Tridatu

Merah Putih Hitam:
Misteri Sang Warna Suci

I  W a y a n  S u k a r m a

Merah Putih Hitam, itulah tiga warna berkonotasi ilahi, alami, dan manusiawi. Ketiganya mewarnai tiga manifestasi utama Bhatara Siwa, Sanghyang Widhi Wasa, yaitu pencipta, pelebur, dan pelidung. Di alam mewarnai selatan, timur, dan utara serta arah di antaranya. Kemudian, dalam badan manusia mewarnai hati, jantung, dan empedu. Begitulah ketiganya mewarnai (menguasai) dunia sehingga manusia mengalami kesulitan melepaskan diri dari semesta warna. Malahan dwi warna, Merah Putih menguasai nadi kebangsaan dan perjuangan kita: merdeka merdeka merdeka!           

Merah, Putih, dan Hitam merupakan tiga warna swatantra. Berada sendiri, memiliki sifat dan aturan sendiri, tetapi tidak pernah hadir sendiri terpisah dari sesuatu yang diwarnai. Meskipun sama-sama otonom dan mandiri, antara ‘warna’ dan ‘yang diwarnai’ mempunyai hubungan hakiki, ikatan yang tidak terputus-putus. Hubungan samavaya tersebut, seperti kelekatan asasi antara merah dan putih dengan bendera pada Bendera Merah Putih; antara merah, putih, dan hitam dengan benang pada Benang Tri Datu. Substansi (bendera atau benang) dapat berada sendiri tanpa kualitas (warna), tetapi kualitas tidak pernah hadir dan berdiri sendiri. Kualitas berada nyata terpisah sendiri, sekalipun tidak pernah berdiri sendiri lepas dari substansi. 
Keterpisahan dan keterlekatan antara ‘warna’ dan ‘yang diwarnai’ membuat dunia manusia menjadi semesta warna. Selain kata dan angka, juga warna menjadi kekuatan pembentuk hubungan antarmanusia. Warna mempunyai kekuatan mengkomunikasikan pesan dan kekuatan emosional mempengaruhi perasaan. Seperti Merah Putih terhadap kebangsaaan (Indonesia) atau Merah Putih Hitam terhadap keagamaan (Hindu). Ketiga warna itu sakral. Warna suci simbol Tri Murti, tiga dewa manifestasi Bhatara Siwa, Sanghyang Widhi Wasa. Merah adalah Brahma, sang pencipta. Putih adalah Siwa, sang pelebur. Hitam adalah Wisnu, sang pemelihara. Manifestasi ilahi tergolong tattwa-rahasyam, melampaui batasan manusia. Implikasinya, sang warna suci tetap misteri dan mengimbau untuk disingkap, kini ataupun nanti.           

Sang Merah Putih
Sang Merah Putih, Bendera Negara Republik Indonesia mengandung visi kebangsaan dan misi perjuangan. Komponis Bali misalnya, Gde Dharna mengapresiasi visi dan misi tersebut lewat lagu Merah Putih berikut. “Merah Putih benderan titiange, berkibaran di langite terang galang, nika lambang jiwan rakyat Indonesia, Merah berani medasar hatine suci, pusaka adi leluhur jaya sakti, Merah Putih benderan tiange”. Sekalipun diciptakan pada masa perjuangan kemerdekaan, tetapi Merah Putih adalah perjuangan hidup, “pusaka adi leluhur jaya sakti”. Orang Bali memakai merah putih pada Ider-Ider – dipasang pada lis plang bangunan rumah tempat tinggal ataupun tempat suci – simbol Pertiwi dan Akasa, kekuatan dan kemenangan untuk keselamatan.         
  
Keselamatan, tujuan puncak kehidupan memang tepat diupayakan sedini mungkin. Seperti keinginan mempunyai keturunan suputra diupayakan sejak perkawinan melalui upacara pawiwahan. Upacara ini merupakan prosesi penyatuan dan penyucian kama bang dan kama petak – bang berarti merah, petak berarti putih. Penyatuan kedua bhuta inilah dasar penciptaan manusia. Dalam keadaan murni Kama adalah dewa, menetap di mata, dikuasai Indra, yaitu dewa yang menetap di pertengahan antara mata kanan dan kiri. Dewa berarti sinar, seperti sinar-sinar yang dilepaskan mata menangkap warna sehingga kama bang dan kama putih bisa saling ungkap dan saling tangkap. Aktivitas yang disebabkan ilusi-insani inilah mengurangi kemurnian Kama hingga menjadi manusia.     
    
Bentuk ilusi-insani itu, satu di antaranya bernama tresna, cinta. Seniman melukiskan: ‘cinta muncul dari mata, turun ke hati, hingga ke bawah pusar’. Cinta menjerat Kama menjadi Bhuta. Di bawah pusar laki-laki berwarna putih dan di bawah pusar perempuan berwarna merah. Ini sebabnya, kama bang dan kama petak memiliki daya saling pikat untuk terikat kembali menjadi satu. Kama pun kembali pada kemurniannya, seperti tujuan upacara pawiwahan. Barangkali kemurnian pula menjadi spirit penyatuan merah dan putih pada Bendera Merah Putih karena perjalanan sejarah tidak mudah ditebak. Kecuali tetap mengibarkan Merah Putih lebih meriah setiap bulan kemerdekaan dan menggelorakannya di hati setiap hari. 
             
Sang Merah Putih Hitam
Menggelorakan Merah Putih di hati memang penting dalam rangka membangun semangat kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan. Dalam pandangan mistis, hati berwarna merah, ditinggali Dewa Brahma di selatan. Kesucian hati biasanya dihubungkan dengan putih menjadi hati bersih, hati suci. Putih itu warna jantung ditempati Dewa Iswara di timur. Kemurnian hati biasanya dihubungkan dengan hitam menjadi kekuatan hati, keteguhan hati. Hitam adalah warna empedu ditinggali Dewa Wisnu di utara. Begitulah Sang Merah Putih Hitam dijelaskan dalam lontar-lontar Siwatattwa. Dewa Siwa dalam Purana disebutkan berwarna putih, sedangkan dalam lontar-lontar disebutkan berwarna lima macam, panca warna. Penyebutan Dewa Siwa pun beragam, seperti Iswara dan Rudra.

Bhatara Siwa eka-aneka, sebagai ‘yang satu’ menjadi ‘yang banyak’. Tanpa warna menjadi Putih, tiga warna Tri Murti, sembilan warna Dewata Nawa Sanga. Ketika mewarnai alam, padma bhuwana, Brahma melepaskan Merah dari selatan ke arah timur dan barat. Pertemunnya di tenggara menjadi merah muda dan barat daya menjadi jingga. Iswara mengeluarkan Putih dari timur ke arah utara dan selatan. Pertemuannya di timur laut menjadi abu-abu dan tenggara menjadi merah muda. Wisnu memberikan warna Hitam dari utara ke timur dan barat. Pertemuannya di timur laut menjadi abu-abu dan barat laut menjadi hijau. Lewat warna itulah Bhatara Siwa menyusupi bentuk-bentuk dan melingkupi wujud-wujud.
Ketika mewarnai kedirian manusia, Brahma yang menguasai hati melepaskan warna Merah ke arah jantung. Sebaliknya, dari jantung Iswara mengeluarkan warna Putih ke arah hati. Pertemuan kedua warna itu terjadi di paru-paru sehingga wilayah kekuasaan Mahesora berwarna merah muda. Entah dewa apa atau siapa mengatur dan menertibkan gerakan dan pencampuran warna-warna itu, tetapi di antara jantung, hati, dan paru-paru terdapat empedu berwarna hitam yang menjadi wilayah kekuasaan Wisnu. Dalam Purana disebutkan, Wisnu menjaga dan melindungi segala ciptaan Brahma sebelum kembali kepada Siwa. Sesungguhnya manusia mewarisi sifat kreatif dari merahnya Brahma, sifat pemelihara dari hitamnya Wisnu, dan sifat penyempurna dari putihnya Siwa.                               



Gedong Tiga
Pewarisan sifat Tri Murti tetap berlangsung, baik dalam keluarga maupun desa pakraman. Desa Pakraman memuliakannya melalui Kahyangan Tiga. Di Pura Desa memuliakan Dewa Brahma bermaksud mewarisi kedewataannya, seperti kecerdasan, keberanian, dan kreatif. Di Pura Puseh memuliakan Dewa Wisnu bermaksud mewarisi kedewataannya, seperti penjaga, pemelihara, dan pelindung. Di Pura Dalem memuliakan Dewa Siwa bermaksud mewarisi kedewataannya, seperti kesederhanaan, pengasih, dan penyempurna. Sifat warisan ini pun muncul di alam, baik berbentuk ide maupun berwujud material. Dalam bentuk ide misalnya, berupa gambaran tentang prinsip-prinsip alam dalam pikiran. Kemudian, dalam wujud material, berupa pengalaman mengenai benda-benda alam berukuran segi tiga, lingkaran, dan segi empat.     
Dalam keluarga pewarisan sifat-sifat Tri Murti berlangsung di sanggah atau merajan, berupa palinggih Kemulan, Rong Telu dalam formulasi: “Meme bapa raganta jati”. Kesatuan ayah-ibu-aku menggambarkan, dunia hanyalah harmoni besar dalam tegangan abadi: bapa akasa dan ibu pertiwi. Dunia adalah sintesis yang datang, bertahan, dan kembali kepada meme-bapa melalui ruang-ruang pemujaan merah-putih-hitam, kemulan. Agak mirip dengan Rong Telu, juga Gedong Tiga – Butik Buku Hindu, Kantor Redaksi Wartam – berupaya mewarisi kehormatan Merah Putih dan kemuliaan Merah Putih Hitam. Caranya, dengan bersandar pada dharmaning tri kaya parisudha, yaitu berpikir, berkata, dan berbuat dharma. Pengamalannya pada bulan kemerdekaan menjadi Dharma Negara dan Dharma Agama.                               
       






BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...