Ngayah dan Mayah

Antara Ngayah dan Mayah

I  W a y a n  S u k a r m a

Ngayah dan mayah memang berbeda, bahkan mudah dibedakan dengan uang. Uang menyelesaikan ngayah melalui mayah. Namun berbeda ketika ngayah untuk mayah dan mayah untuk ngayah, apalagi ngayah-mayah-utang. Hidup hanyalah ngayah (kewajiban) terutama mayah (kewajiban membayar) utang karma, sanchita. Bila lalai membayarnya niscaya akan mendapatkan sanksi punarbhawa, kelahiran kembali.             

“Ngayah” dan “Mayah”, dua istilah bertuah bagi orang Bali karena mengandung kewajiban melunasi utang (rna), yaitu prinsip yadnya. Utang kepada dewa, pitra, dan rsi sekiranya, sudah cukup memadai untuk memahami kewajiban hidup dan kewajiban membayar utang. Kewajiban hidup hanyalah melakukan kerja berazaskan dharma, aturan hidup. Kewajiban membayar utang hanya melakukan kerja tanpa mengharapkan hasil, setulus membayar utang uang. Apalagi prinsip konvensional tidak membenarkan sebuah Bank memberikan imbalan jasa kepada peminjam, pengutang. ‘Hidup adalah pinjaman’, karena itu melakukan dua macam kewajiban itu merupakan cara hidup bertanggung jawab yang umum diterima dalam kehidupan bersama. Keselarasan ngayah dan mayah itulah jaminan keselamatan jiwa.                 
Lazim kita pahami ngayah, membayar dengan tegana kerja dan mayah, membayar dengan uang. Membayar utang tidak berarti hubungan transaksi sudah selesai, seperti “titik” di akhir kalimat berfungsi mengakhiri dan menutup wacana. Sebaliknya, justru “titik” menandai terbukanya peluang memulai wacana baru karena ngayah dan mayah melandasi kehidupan secara berkesinambungan. Hidup hanyalah kewajiban, ngayah dan mayah sehingga tidak menyediakan hak untuk menuntut keadilan manusiawi. Bagi orang Bali hidup hanyalah ‘ngayah-mayah-utang’, melakukan kewajiban hidup untuk membayar utang karma. Tujuannya, bukan hanya meningkatkan kualitas kelahiran, bahkan meniadakan kelahiran. Bila mengikuti prinsip transaksi itu: ‘melakukan demi hasil paling memuaskan’ lalu, apa bedanya ngayah dengan mayah?

Tradisi Ngayah
Ngayah berasal dari ayah menjadi ayahan dan ngayahang mempunyai hubungan erat dengan pakraman (sistem sosial tradisional) masyarakat Bali. Pakraman berasal dari krama sebagai unit sosial terkecil, berupa keluarga dalam ikatan sanggah/merajan. Selanjutnya, institusi banjar menyatukan krama dalam ikatan pura penyarikan dan desa pakraman menyatukan krama dalam ikatan kahyangan tiga. Dari ikatan-ikatan religius itu muncullah kewajiban religius yang disebut ayah dan melaksanakan ayah disebut ngayah. Artinya, ayah ataupun ayah-ayahan timbul dari ikatan perkawinan sehingga menjadi tanggung jawab kepala keluarga. Ayah-ayahan tersebut diwariskan turun-temurun kepada setiap generasi melalui perkawinan dengan sistem kekerabatan berlandaskan patrilineal. Pewarisan inilah yang melahirkan adat-istiadat atau tradisi ngayah.     
Tradisi ngayah yang timbul dari ikatan-ikatan religius sesungguhnya bermula dari ikatan parhyangan dengan palemahan. Seperti ikatan sanggah/merajan, pura penyarikan, dan kahyangan tiga dengan tanah tempat tinggal, tanah banjar, tanah pelaba pura, dan tanah ayah-ayahan desa. Dalam keluarga, krama mempunyai kewajiban meneruskan kebiasaan-kebiasaan religius berkenaan dengan sanggah/merajan. Kewajiban ini muncul dari tanah ayahan (warisan) sanggah/merajan misalnya, tempat tinggal, sawah, dan pekarangan lainya. Kewajiban dalam keluarga meluas dari sanggah/merajan hingga melestarikan kebisaan-kebiasaan religius yang mengalir dari pura paibon, pura panti, pura dadia, dan pura kawitan. Banjar pun memberikan tanggung jawab kepada krama melanjutkan kebiasaan-kebiasaan religius berkaitan dengan pura penyarikan dan wilayah banjar.
Krama banjar sekaligus menjadi krama desa pakraman karena banjar menjadi bagian integral dari desa pakraman. Desa pakraman memberikan kewajiban kepada krama meneruskan kebiasaan-kebiasaan religius berkaitan dengan Kahyangan Tiga: Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Kepemilikan tanah dalam wilayah desa pakraman terdiri atas tiga jenis. Pertama, tanah tempat tinggal hak milik krama. Kedua, tanah pelaba pura hak milik desa pakraman ditempati atau dikelola beberapa krama desa. Ketiga, tanah hak milik desa pakraman disebut tanah ayahan desa ditempati dan dikelola semua krama desa. Perbedaan hak milik tanah tidak mempengaruhi kewajiban krama desa dalam melestarikan kebiasaan-kebiasaan religius, kecuali berdasarkan status dan perannya.
Religiusitas kesatuan parhyangan dengan palemahan sekaligus melekat pada pawongan sehingga ayah (bentuk tunggal) ataupun ayah-ayahan (bentuk jamak) bersifat religius. Bukan hanya hubungan dengan Tuhan, bahkan religiusitas ayah-ayahan mewarnai hubungan antarsesama krama dan palemahan. Ayah-ayahan, landasan pakraman selanjutnya, dipahami saling melayani: “hidup hanyalah ngayah”. Misalnya, “ngayahan basang” (melayani perut), “ngayahang tanah palekadang” (melayani tanah kelahiran), “ngayahang desa” (melayani desa), ngayahang nyama-braya” (melayani sanak-saudara), dan “ngayahang pitara” (melayani leluhur). Ngayahan desa misalnya, menjauhkan krama desa dari ‘kutukan sosial’, seperti penanjung batu (ongkos kuburan), kasepekang (disisihkan dari desa), dan katundung (diusir dari desa). Sebaliknya, mendekatkannya kepada ‘pujian sosial’, seperti kenyamanan status dan peran. 
Prinsip transaksi semacam itulah melanggengkan tradisi ngayah sebagai sistem budaya Bali. Perasaan diterima dan disayangi lingkungan, apalagi dicintai dan dikasihi nyama-braya dan leluhur membuat krama desa aman dan nyaman dalam pakraman. Ganjaran yang memuaskan lahir dan batin atau sakala dan niskala merangsang krama desa melaksanakan ayah-ayahan secara berulang-ulang dan berkelanjutan. Hubungan sosial yang saling menguntungkan memang selalu memuaskan dan membuat orang betah berlama-lama menikmati hubungan tersebut. Sebaliknya, bila terjadi ketidakseimbangan antara standar ongkos dan ganjaran akan terjadi kesenjangan dan akibatnya, orang cenderung mencari alternatif tindakan dan hubungan lain. Harapan memperoleh keamanan, kenyamanan, dan keselamatan rupanya, prinsip yang mempertahankan tradisi ngayah.           

Mayah Ayah 
Mayah, membayar dengan uang, baik untuk barang maupun jasa berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pilar modernisasi yang berujung pada terwujudnya masyarakat konsumtif. Ujung perubahan sosial itu diawali dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga cara hidup tidak lagi ditempuh dengan kebiasaan-kebiasaan yang diwarisi. Ketika adat-istiadat tidak lagi menjadi pola hidup, maka individualisme berkembang pesat ditandai dengan perbedaan cara-cara menangani masalah kehidupan. Dominannya cara-cara rasional merongrong kepercayaan akan kekuatan gaib sehingga manusia tidak menggantungkan kehidupan kepada alam, tetapi pada sektor industri. Sektor industri inilah menjadi andalan pertumbuhan ekonomi, bahkan dengan dukungan investasi dan modal tinggi perekonomian tumbuh melampaui batas desa.
Para pemikir masyarakat misalnya, George Simmel merumuskan, perubahan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern ditentukan oleh dua sisi yang saling berhubungan, yaitu kota dan ekonomi uang. Kota menjadi tempat megah pemusatan atau pengintensifan modernitas, sedangkan ekonomi uang menyebabkan penyebaran modernitas dan perluasannya. Kemegahan dan uang memang mempesona sehingga menarik warga desa berduyun-duyun ke kota. Kebutuhan uang dan keinginan hidup modern mendorong warga desa suka rela memasuki hubungan sosial baru di kota. Di sini warga desa merasa dapat mengungkapkan potensinya yang tersembunyi dalam hubungan sosial lama, pakraman. Kepuasan materi dari hubungan baru ini menimbulkan anggapan: ‘dengan uang segala urusan selesai termasuk ayah-ayahan’.
Mayah ayah ataupun ayah-ayahan lainnya memang tidak dapat dihindari karena kehidupan modern menciptakan perubahan yang tidak terkendali, baik langkah, kecepatan, keluasan, maupun kedalamannya. Menghadapi perubahan kehidupan, Ida Bagus Mantra menyarankan mekanisme reinterpretasi, reintegrasi, dan adaptasi. Mekanisme ini membutuhkan pemahaman mengenai inti kebudayaan, ide sentral yang mempengaruhi bentuk luar dari kebudayaan yang berubah. Ide sentral kebudayaan Bali disebutnya Rta (ketertiban dan keteraturan alam) yang nilai dasarnya terdiri atas sathya (kebenaran: keselarasan pikiran, ucapan, dengan tindakan); yadnya (kurban suci: pemurnian ego); dan tapas (pengendalian diri: penguasaan diri lewat disiplin). Keutuhan ide sentral inilah kekuatan rohani untuk mengendalikan perubahan bentuk luar dari kehidupan.   
Artinya, selama mayah ayah menjadi rumusan akhir dari mekanisme adaptasi berdasarkan budaya rohani, selama itu pula mayah ayah menjadi cara efektif menghadapi perubahan kehidupan. Apalagi kehidupan modern bergerak melalui banyak ideologi dengan melibatkan sejumlah aspek, bahkan antara yang satu dan yang lainnya berlawanan dan saling bertentangan. Kontradiksi paling nyata kehidupan modern ditunjukkan pengalaman warga desa yang tinggal di luar desanya. Ikatan dengan pakramannya semakin renggang karena ayah-ayahannya sudah direkatkan lewat mayah. Penyelesaian inilah bentuk rasionalisasi, pengembangan kebiasaan sehari-hari yang memungkinkan warga desa menghadapi kehidupan sosial secara efisien. Akibatnya, desa-kala-patra kehilangan daya karena tidak lagi mengikat kehadiran warga desa secara pisik.
Kehidupan modern yang memungkinkan hubungan jarak jauh memang melepaskan ruang dari lokal dan tempat. Misalnya, mayah ayah-ayahan dengan mudah dapat dilakukan lewat kotak ATM yang tersebar di permukiman terutama pasar-pasar. Barangkali kemudahan mayah ayah-ayahan menyebabkan warga desa enggan memasuki pakraman di tempat tinggal baru. Seolah-olah mayah menjadi akhir dari ayah. Seperti membeli suatu barang, transaksi berakhir setelah pembeli menerima nota pembayaran. Walaupun bisa mayah, tetapi menambah ayah di tempat tinggal baru tentu tidak efektif. Apalagi kehidupan modern memastikan pencapaian dengan membandingkan antara biaya dan ganjaran sehingga menambah kewajiban tanpa ganjaran yang seimbang, bukanlah pilihan rasional. Rasionalnya memang memilih mayah ayah.                                       


Ngayah-Mayah-Utang
Mayah ayah menjadi pilihan rasional karena bagi kehidupan modern, “waktu adalah uang”. Waktu dipahami bergerak linier dengan kepastian ukuran-ukuran dan pada setiap ukuran melekat nilai uang. Misalnya, ongkos harian, biaya mingguan, gaji bulanan, dan penghasilan tahunan. Waktu lebih berharga daripada ruang sehingga efisiensi menjadi standar pertama bagi tindakan. Perhatikanlah ketatnya absensi kehadiran dan kepulangan pekerja, bahkan melalui legitimasi secara elektrik. Akhirnya, kepadatan jadwal kerja mengurangi waktu luang, apalagi waktu ngayah sehingga mayah ayah menjadi pilihan rasional. Pilihan rasional memang menandai perkembangan kehidupan modern yang berujung pada konsumsi massa tinggi. Namun transisi setiap tahapannya menyisakan kerawanan sosial-budaya yang memerlukan penanganan ‘nonrasional’.
Kenyataannya, hidup bukanlah sekadar tentang ‘yang terpikirkan’, mengenai ‘yang teralami’, dan ‘yang serba terukur’. Banyak hal dari dimensi hidup memang terukur, tetapi lebih banyak lagi tidak terjangkau dengan ukuran-ukuran yang kita punyai. Kita dapat mengatakan banyak hal tentang hidup, tetapi lebih banyak lagi yang tak terkatakan. Hidup memang misterius atau setidaknya menyisakan banyak misteri. Para pemikir klasik hingga modern sudah lama berusaha memecahkan teka-teki tentang hidup, tetapi tak seorang pun menjawab secara tegas pertanyaan, “Apakah hidup itu?” Agama Hindu menyatakan Hidup hanya dengan kata “Brahman”. Kata ini begitu subtil, bahkan menurut Maharesi Panini, guru-guru Upanisad membutuhkan 900 kitab untuk menjelaskannya.
Penjelasan tentang Brahman dalam panca sraddha dijalin dengan atman, karmaphala, punarbhawa, dan moksa. Dari rangkaian itu dapat dipahami karmaphala menjadi intinya: ‘hidup adalah gerak’. Brahman dan atman sebagai penyebab, sedangkan punarbhawa dan moksa sebagai akibat. Karmaphala tidak membicarakan gerak dari segi arah, seperti lurus, melengkung, dan melingkar – sebagaimana Waisesika menjelaskannya. Melainkan gerak sebagai tingkah laku (etis), tindakan (sosial), perbuatan (moral), dan perilaku (psikis) yang dalam kehidupan menjadi ‘kerja’. Pemahaman ini ditegaskan dengan kata “phala” yang berarti ‘hasil’sehingga karmaphala bermakna ‘kerja dan hasil kerja’. Karmaphala mengajarkan tentang kerja dan hasil yang menyertainya. Jadi, panca sraddha mengajarkan kepercayaan tentang ‘hidup adalah kerja’.                           
Kesatuan kerja dan hasilnya sudah banyak dibicarakan dalam fisika, energi sebagai hasil gerakan mempunyai kecenderungan kembali kepada sumber gerakan, yaitu tempat energi itu diproduksi. Serupa dengan prinsip itu, juga karmaphala mengajarkan, phala kembali kepada sumber karma, hasil kerja kembali kepada pelaku. Karmaphala menyarankan, hanya melakukan kerja dan tidak mengharapkan hasil karena hasil sudah melekat pada kerja. Tiadanya pengharapan pada hasil, maka kerja menjadi persembahan. Kerja sebagai persembahan adalah yadnya. Inilah inti dari ayah, kewajiban-hidup. Sederhananya, hidup hanyalah melakukan kewajiban, ngayah. Kita dapat tergugah mendedikasikan diri melalui ngayah karena hanya manusia berbakat menyucikan diri, sedangkan makhluk lain tidak bercita-cita memurnikan diri.   
Selain ngayah demi yadnya, juga karmaphala melalui punarbhawa menurunkan kewajiban mayah demi yadnya. Sanchita yang turut serta mewarnai punarbhawa merumuskan hidup hanyalah mayah demi yadnya. Masa kehidupan yang terletak di antara titik kelahiran dan titik kematian memberikan prioritas penikmatan dan penebusan phala masa lalu. Kita menikmati phala masa lalu sebagai takdir dan menebusnya melalui nasib pada masa kini. Nasib menyarankan, mengutamakan kewajiban menebus phala-karma, membayar utang masa lalu. Ketika menjalani kehidupan setulus dan seikhlas membayar utang, sebagaimana tri rna mengajarkannya, maka hidup adalah yadnya. Kehidupan pun menjadi masa persembahan, bahkan persembahan itu sendiri. Ringkasnya, ‘hidup hanyalah kewajiban membayar utang’, ngayah-mayah-utang.                             

Sanksi-Ngayah-Mayah
Ketika percaya, hidup adalah kewajiban membayar utang, ngayah utang dan mayah utang, maka ngayah dan mayah tidak dapat saling meniadakan. Mayah tidak menghentikan ngayah atau sebaliknya. Apalagi sraddha-bhakti mengajak kita menyadari dualitas hidup untuk menembus batas pikiran dan melampaui sekat mental. Beragama tidak hanya berlangsung dalam hubungan vertikal, kerinduan untuk mengikatkan diri kepada Hyang Widhi. Agama mengajarkan kita memuliakan Sanghyang Widhi sekaligus menghormati sesama dan menghargai alam dalam hubungan horizontal. Kita percaya, ketenangan batin dan kebebasan jiwa dapat dirasakan tidak hanya dalam hubungan dengan Hyang Widhi, tetapi juga dalam hubungan harmonis dengan sesama dan alam. Harmoni kehidupan tri hita karana.
Harmoni tri hita karana itulah landasan, aturan dan prosedur, serta cita-cita pakraman yang dicanangkan dalam awig-awig sebagai sukerta tata parhyangan, pawongan, dan palemahan. Harmoni pakraman meliputi jalinan nada-nada kewajiban, ngayah dan mayah, tanpa hak karena hidup hanyalah membayar utang karma, sanchita. Keindahan pakraman tergantung pada kelembutan irama ngayah dan mayah dalam satuan melodi parhyangan, pawongan, dan palemahan dengan tempo kalender Bali. Kalau nada ngayah dan mayah tidak selaras dan tidak sinkron dengan dinamika kondisi palemahan, situasi pawongan, dan suasana parhyangan akan timbul guncangan. Sanksi terberat dari guncangan itu, berupa punarbhawa, kelahiran kembali. Kelahiran menandai mulainya ngayah dan mayah yang baru.
Lingkaran lahir-hidup-mati di bawah kekuasaan brahma-wisnu-siwa dengan simbol desa-puseh-dalem, kahyangan tiga menjadi inti dari ngayah dan mayah dalam pakraman. Warga pakraman mempunyai kewajiban, ngayah dan mayah melalui Pura Desa kepada Dewa Brahma karena mengadakan kelahiran; melalui Pura Puseh kepada Dewa Wisnu karena menjaga kehidupan; dan melalui Pura Dalem kepada Dewa Siwa karena melebur untuk menyempurnakan segala keberadaan. Apalagi keberadaan manusia sebagai pantulan Atman yang bersumber dari Brahman tentu mempunyai cita-cita kembali kepada Brahman. Cita-cita inilah dasar komitmen, cara, dan tujuan dari ngayah dan mayah, karena itu kebutuhan lahiriah sepenuhnya untuk mengembangkan kehidupan rohaniah. Seperti raga hanyalah ngayah-mayah demi keselamatan jiwa.                   











BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...