Eda Ngaden Awak Bisa

Mendebat Paradogma,
“Eda Ngaden Awak Bisa”

I  W a y a n  S u k a r m a

“Eda ngaden awak bisa”, pesan pendidikan bernuansa moral yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Bali. Kesempurnaan pesan ini diterima semua lapisan sosial sehingga menjadi rujukan tingkah laku bersama secara kolektif, semacam paradogma. Ketika zaman semakin terbuka dan tatanan kehidupan semakin pragmatis, apa perlu diganti dengan “ngaden awak bisa?”       
 
Debat merupakan cara menjernihkan pemikiran dan mencerahkan pengalaman dari keraguan, seperti sangkaan dan pandangan skeptis lainnya, selain dengan cara diskusi. Kedua cara ini dalam Nyaya disebut Tarka-Vada – Tarka-Vidya (ilmu berdebat) dan Vada-Vidya (ilmu berdiskusi). Diskusi berorientasi pada hasil (pemahaman) dan debat berorientasi pada proses (penalaran). Kerja filsafat memang berlandaskan akal, mencari makna sedalam-dalamnya, serta tidak menghendaki ide-ide yang dibaca tenggelam menuju kematiannya dan terkubur dalam pikiran tanpa memperoleh pemahaman dan apresiasi. Inilah letak relevansinya debat, upaya membangun interaksi antara ide-ide yang sedang dibaca dengan ide-ide yang telah mapan dalam pikiran supaya ide-ide tersebut bisa hidup dan berkembang sesuai dengan peradaban.
Mendebat sebagai upaya menghidupkan ide-ide dan menemukan relevansinya memerlukan wawasan filosofis misalnya, pembacaan dengan pemahaman dan apresiasi. Memahami suatu ide berarti mengetahui yang dimaksudkan (yang dimaknai) dan mengapresiasi suatu ide berarti mengetahui nilainya (signifikansinya). Pembacaan semacam ini membuka ruang perdebatan yang lebih luas. Bukan hanya digma (model penalaran) dan paradigma (keyakinan yang melandasinya), bahkan dogma (model tindakan) dan paradogma (kepercayaan yang melandasinya) lebih leluasa memasuki ruang perdebatan. “Eda ngaden awak bisa” misalnya. Paradogma kearifan lokal Bali ini secara etis efektif menjadi norma pengendalian diri. Namun ketika zaman semakin terbuka dan tatanan kehidupan semakin pragmatis, bagaimanakah relevansi “eda ngaden awak bisa?”

Pesan Pendidikan Lewat Macepat
“Eda ngaden awak bisa” (jangan menyangka diri bisa) merupakan baris pertama dari tujuh baris syair gending pupuh Ginada yang diakhiri dengan baris “liu enu paplajahan” (masih banyak pelajaran). Baris pembuka dan penutup macepat ini hendak mengingatkan bahwa dunia kehidupan adalah lembaga pendidikan. Dunia kehidupan menjadi semacam sekolah, tempat berlangsungnya proses pendidikan dan proses pembelajaran melalui interaksi dengan lingkungan, baik alam, sosial, maupun kultural. Proses ini merupakan upaya sadar manusia menyediakan pengalaman bagi pertumbuhan dan memberikan pengetahuan bagi perkembangannya sejalan dengan dinamika sekolah kehidupan. Di sekolah ini segalanya cepat berubah, seperti landasan, peralatan, aturan, dan tujuan pendidikan berganti sesuai dengan desa-kala-patra. 
Pergantian kondisi alam, perubahan situasi sosial, dan transformasi suasana budaya memang menjadi rujukan utama bagi tercapainya tujuan pendidikan sementara, berupa pemahaman dan penyesuaian diri. Perhatikanlah upaya orang Bali memahami dan menyesuaikan diri terhadap pergantian kondisi alam. Upacara keagamaan, seperti tumpek bubuh, caru sasih, tawur agung, dan sad kertih untuk menangani pergantian iklim dan musim, agar hidup harmonis bersama alam. Alam dipahami sebagai sumber pembelajaran tanpa batas karena alam menyediakan pengetahuan dan memberikan pengalaman mahaluas. Dalam hubungannya dengan waktu misalnya. Kalender Bali menguraikan pergantian kondisi alam dan pergerakan benda-benda alam beserta pengaruhnya terhadap manusia dan kehidupannya, seperti perwatakan dan ala-ayuning dewasa.
Selain keterbatasan memahami tanda-tanda alam, juga manusia mengalami hambatan serius sekadar mengerti prinsip-rinsip alam yang bekerja di luar dan dalam dirinya. Ini sebabnya, harmoni bersama alam tetap menjadi idola dan cita-cita bersama sehingga pesan “eda ngaden awak bisa” tetap penting dan relevan untuk menata tingkah laku. Hanya saja ketundukan pada paradogma ini tidak otomatis mengimplikasikan pembentukan sikap dan tingkah laku baku yang berlaku secara universal. Mengingat lingkungan sekolah kehidupan tidak melulu terikat pada prinsip-prinsip alam, tetapi juga tergantung pada hukum-hukum kehidupan, seperti status dan peran sosial. Pembelajar datang mengabarkan kehadirannya dengan menampilkan kemampuannya dan pergi memberitakan keberadaannya dengan mendemonstrasikan kesanggupannya. 

Sangka dan Sangkal Diri
Kemampuan dan kesanggupan sebagai daya potensial manusiawi, baik pisik maupun psikhis terikat dan tergantung pada pengetahuan. Seperti kemuliaan yadnya terletak pada pengetahuan tentang yadnya itu sendiri. Menyadari yadnya yang sedang dilakukan berarti mengetahui kurban suci yang sedang dilaksanakan. Kesadaran akan kurban suci ini menurut sistem filsafat Mimamsa membentuk apurva, tenaga yang tidak tampak. Tindakan kurban suci melahirkan tenaga yang tidak tampak dalam jiwa yang melakukan kurban suci. Daya ini terus bertahan hingga hasil yang sesuai dengan tindakan kurban suci itu menjadi masak-matang. Sederhananya, apurva mewujudkan suatu jembatan yang menghubungkan waktu antara pelaksanaan kurban suci di sini-kini dan hasilnya di sana-nanti.     
Bentangan ruang dan waktu yadnya yang demikian rupanya, membentuk pengetahuan sakala dan niskala. Pengetahuan sakala, apara-widya dicapai dengan perantara pikiran dan panca indra, karena itu terbagi-bagi dan terbatas. Pengetahuan niskala, para-widya dicapai dengan perantara kontemplasi eksklusif, karena itu tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas. Kedua jenis pengetahuan ini adalah pengetahuan valid, benar. Dalam sistem filsafat Nyaya, pengetahuan benar disebut prama dan alat mendapatkan pengetahuan disebut pramana terdiri atas pratyaksa (pengamatan), anumana (penyimpulan), upamana (pembandingan), dan sabdha (kesaksian). Pramalah menjadi daya yang melahirkan predikat bisa (tahu dan mampu), ririh (tahu dan sanggup), dan wikan (tahu dan bijak) mempunyai status istimewa dalam masyarakat.
Status istimewa mungkin benar tidak dapat dicapai dengan “ngaden awak”, ‘sangka diri’ karena sangkaan adalah pengetahuan khayal, ragu-ragu, palsu. Sangkaan memang pengetahuan palsu, tetapi isinya adalah benar. Artinya, “ngaden awak bisa” adalah pengetahuan sangkaan sebagai pengetahuan benar. Ngaden adalah benar, awak adalah benar, dan bisa adalah benar. Hanya saja dunia kehidupan menggariskan tidaklah cukup dengan mengetahui dan memahami kebenaran tentang pengetahuan palsu dan kepalsuan tentang pengetahuan benar, tetapi menyadarinya. Menyadari kenyataan ‘yang benar’ ataupun ‘yang palsu’, seperti saran filsafat Yoga dapat dilakukan dengan vairagya, sangkal diri, “eda (ngaden) awak”. ‘Sangkal diri’ bermanfaat untuk menjaga jarak kritis dan menyatu dengan kenyataan.     

Menjadi Manusia Pembelajar
Memasang jarak kritis dan menyatu dengan kenyataan merupakan kebiasaan khas dan cita-cita pembelajar. Kebiasaan ini disarankan lewat “eda ngaden awak bisa”, upaya menunda arti dan makna putusan pengetahuan, baik bisa maupun ririh. Bukan hanya karena “liu enu paplajahan”, melainkan juga menunda untuk menemukan ‘jalan tengah’. Cara pandang yang tidak memihak pada suatu putusan pengetahuan: tidak segera menerima suatu putusan yang seolah-olah dapat disetujui dan tidak segera menolak suatu putusan yang seolah-olah tidak dapat disetujui. Sebaik-baiknya pandangan dan pendapat memang berada di jalan tengah, tidak memihak. Posisi yang demikian membuka peluang bagi pikiran untuk melanjutkan petualangannya menjelajahi kenyataan yang tidak terbatas.         
Kenyataan itulah yang ditunjuk dalam pesan “liu enu paplahan”, karena itu peringatan “eda ngaden awak bisa” sesungguhnya hendak berbicara tentang ketidaktuntasan proses pembelajaran. Pendidikan memang sepanjang hayat, belajar terbatas usia, dan tamat saat kematian. Meskipun begitu, kita tidak mudah menemukan seseorang yang menguasai secara utuh dan sepenuhnya semua unit pengetahuan alam, sosial, dan budaya, apalagi pengetahuan ketuhanan. Menyadari keterbatasan tidak berarti harus rendah hati, apalagi rendah diri di hadapan kenyataan yang tidak terbatas, tetapi membuatnya menjadi ‘obor belajar’. Api dan cahaya perubahan untuk mengganti kesombongan, keangkuhan, dan kecongkakan menjadi daya semangat untuk tetap menjadi manusia pembelajar, sebagaimana kewajiban sekolah kehidupan.     






BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...