Membaca Ulang Wasudewa
Kutumbakam
I
W a y a n S u k a r m a
Bumi adalah rumah kita bersama.
Dunia adalah keluarga kita bersama.
Kita semua adalah bersaudara.
“Wasudewa Kutumbakam”,
‘bumi adalah satu keluarga’, ‘dunia adalah satu keluarga’. Frasa Mahaupanisad
tersebut memang perlu dibaca ulang seiring dengan perubahan zaman yang disertai
dengan semakin tajamnya perbedaan dan kejamnya persaingan antarmanusia.
Perbedaan dan persaingan bukan hanya ciptaan alam, melainkan juga manusia sebagai
instrumen peradaban yang menciptakan beraneka ragam kebutuhan. Di samping
pendidikan, agama, dan kebudayaan, juga ekonomi serta politik merupakan
perangkat dominan dalam mengelola perbedaan yang menggerakkan perubahan dan
perkembangan masyarakat. Perhatikanlah perubahan kebutuhan dalam pertumbuhan
ekonomi ataupun perubahan kepentingan dalam perkembangan politik yang
menentukan aneka nilai, sikap, dan perilaku manusia dalam menguasai sumber daya
alam serta sumber daya manusia.
Perbedaan kebutuhan dan
kepentingan sesungguhnya dapat menjadi suatu kekuatan yang mendorong “kita”
untuk saling melengkapi dan bersatu padu dalam kerja sama harmonis. Bukan malah
sebaliknya, memisahkan pada posisi berlawanan antara “kebutuhan aku” dan “kebutuhan
kamu” atau “kepentingan kami” dan “kepentingan mereka”. Lebih buruk lagi,
menempatkan perbedaan dalam persaingan tanpa aturan yang tegas dan prosedur
yang jelas. Guna menghindari kekacauan kehidupan yang lebih buruk, sekiranya
penting mengenangkan kembali Catur Purusa Artha, empat tujuan hidup
manusia Hindu. Dalam konteks susila, juga perlu mengembangkan wawasan
tentang kehidupan bahwa ‘bumi adalah rumah kita bersama’, ‘dunia adalah
keluarga kita bersama’, dan ‘kita semua adalah bersaudara’.
Bumi Rumah Kita
Bagian Nasadyasukta
dan Purusasukta dalam Rig Veda X.129.1-7 menyebutkan bahwa
sebelum dunia ini tercipta, yang ada hanya Brahman (Realitas Tertinggi),
tiada apa pun di luar itu. Ini adalah malam Brahman (Brahmaratri),
kekosongan mutlak. Kemudian melalui tapa-Nya, lahir energi panas yang
mahadahsyat dan terciptalah benih semesta (Brahmanda). Benih semesta ini
pun berkembang tak terbatas menjadi matahari, planet-planet, unsur-unsur materi
(prakerti), dan semua makhluk (bhutasya). Jadi, alam semesta dan seluruh
isinya ini sesungguhnya tunggal (eka), tetapi beremanasi menjadi yang beragam
(bhinneka). Hukum eka dalam yang bhinneka, dan sebaliknya,
berlaku pada seluruh ciptaan, juga termasuk bumi yang menjadi ruang kehidupan bagi
semua makhluk.
Konsepsi eka-bhinneka
membangun prinsip environmentalisme Hindu (palemahan) yang menetapkan hubungan
bumi dengan segala keberadaan di atasnya. Bumi menjadi rumah bersama semua
makhluk yang terfragmentasi dalam berbagai ruang. Teks-teks Hindu menggambarkannya
seperti bunga teratai (Padmabhuwana) yang saat menguncup adalah eka
(padma kuncup), tetapi ketika mengembang (padma mekar) menjadi aneka.
Padma mekar mengembangkan ruang-ruang parsial dengan batasan yang jelas
dan tegas dari benua, negara, desa, hingga rumah tinggal. Pada setiap ruang tersebut,
juga terbentuk entitas ruang yang lebih spesifik, misalnya pembagian ruang
tempat tinggal dalam arsitektur Bali. Walaupun demikian, ruang-ruang parsial
ini terhubung satu sama lain sehingga membangun sistem kehidupan secara
holistik.
Dunia Keluarga Kita
Sistem kehidupan pada
ruang-ruang parsial melahirkan keragaman aturan (dharma) bagi
penghuninya, dan tidak dapat dipungkiri bahwa secara sosiokultural manusia
menjadi pengendali utama sistem tersebut. Oleh karenanya, perbedaan sosial dan
budaya menjadi keniscayaan ketika manusia hidup pada ruang-ruang yang
berlainan. Hubungan ruang dan kebudayaan melahirkan satu kesatuan ekologi
budaya dalam dharmaning pawongan, yaitu aturan-aturan kewajiban bagi
manusia dalam relasinya dengan Tuhan, sesama, dan alam-lingkungannya. Kemampuan
manusia mematuhi sekaligus melaksanakan dharma sesuai dengan
struktur, status, fungsi, dan wewenang dalam sistem sosial budayanya merupakan
syarat terciptanya harmoni dunia-kehidupan. Harmoni mengisyaratkan keselarasan
gerak dharma dari aneka peran dan fungsi individu untuk memenuhi
integrasi sistem.
Selayaknya keluarga,
seluruh manusia di dunia ini diikat dalam satu ikatan dengan status dan fungsi
masing-masing. Harmoni keluarga akan tercipta manakala setiap anggotanya mampu
melaksanakan kewajibannya sebagai kakek, nenek, ayah, ibu, dan anak. Ikatan
keluarga inti pun berkembang menjadi keluarga batih sehingga setiap anggota
keluarga harus berinteraksi harmoni dengan paman, bibi, misan, mindon, dan
seterusnya. Masyarakat merupakan kumpulan beberapa keluarga yang tinggal dalam
satu wilayah. Struktur sosial merupakan pelembagaan norma yang terbangun
melalui pranata keluarga dari perilaku keseharian, kebiasaan, tata kelakuan, hingga
menjadi adat-istiadat. Artinya, seluruh anggota masyarakat adalah saudara (nyama)
yang terikat dalam cita-cita dan tujuan hidup bersama (braya).
Kita Bersaudara
Memahami bahwa masyarakat
merupakan pengembangan serta perluasan ikatan keluarga dengan segala pranatanya
menegaskan betapa pentingnya membangun kesadaran persaudaraan universal. Selain
ketundukan terhadap status dan fungsi sosial masing-masing, juga kesediaan saling
mengendalikan diri dalam pemenuhan kebutuhan serta kepentingan individu menjadi
satu syarat terbangunnya harmoni sosial. Dalam konteks inilah, dharma bukan
hanya menggariskan nilai-nilai individual berupa swadharma, melainkan
juga nilai-nilai kebersamaan dalam bentuk aturan moral, norma sosial, serta
hukum formal. Tujuannya tentu agar persaingan antarindividu dalam upaya
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya tetap berlangsung pada rel aturan yang
benar. Dengan demikian, kompetisi tidak menjadi penyebab disintegrasi, tetapi
justru mendorong terwujudnya peradaban yang harmoni.
Penguatan nilai dan norma
sosial secara simultan memang dibutuhkan guna mewujudkan harmoni sosial, bahkan
acap kali memerlukan upaya-upaya penegakan melalui berbagai sanksi. Mengingat kesadaran
manusia senantiasa berubah-ubah seiring dengan perubahan ruang, waktu, dan tindakannya.
Konsistensi pemikiran, sikap, dan perilaku niscaya terbangun manakala dalam
diri individu terbangun kesadaran persaudaraan universal. Kesadaran ini dapat
dibangun melalui transformasi kesadaran dari perbedaan (aneka) menuju kesatuan
(eka). Perbedaan memancar dari yang tunggal dan sehingga yang tunggal
harus menjadi tujuan ideal dari yang berbeda. Maka dari itu, kesadaran bahwa
seluruh manusia bersumber dari yang tunggal penting untuk membangun spirit
persaudaraan universal bahwa seluruh manusia adalah bersaudara.
Mahawakya ‘Wasudewa
kutumbakam’ menegaskan bahwa
alam semesta beserta seluruh isinya bersaudara karena bersumber dari Tuhan Yang
Esa. Kesadaran parhyangan ini sepatutnya mencerahi kesadaran kemanusiaan
(pawongan) karena Tuhan merupakan asal muasal kehidupan (kawitan)
dari seluruh keluarga dan bangsa manusia. Spirit persaudaraan universal Wasudewa
Kutumbakam menegaskan bahwa Yang Esa bersemayam dalam diri
manusia dan semua makhluk berwujud jiwa (jiwatman). Selain manusia (bhuwana
alit), Yang Eka juga menjiwa alam semesta (bhuwana agung)
sebagai ruang kehidupan semua makhluk. Artinya, bersaudara dengan
semesta alam (palemahan) juga menjadi spirit tidak terpisahkan dalam
Wasudewa Kutumbakam karena harmoni kehidupan hanya mungkin terwujud
dalam kemanunggalan manusia, alam, dan Tuhan.
Membaca ulang Wasudewa
Kutumbakam mengisyaratkan pemahaman secara mendalam terhadap perbedaan dan
persatuan, bhinneka dan tunggal ika. Perbedaan manusia
mencerminkan realitas material sebagai emanasi dari realitas spiritual.
Realitas material berkembang mengikuti hukum keabadian yang senantiasa kekal
dalam perubahannya sehingga keragaman (bhinneka) menjadi keniscayaan bagi
setiap materi yang terus menerus bertransformasi. Sebaliknya, realitas
spiritual mengikuti hukum kekekalan yang tidak pernah berubah. Manakala yang kekal
menjiwai yang abadi, maka kebhinnekaan harus dimaknai dalam ketunggal-ikaannya.
Demikian pula spirit persaudaraan universal Wasudewa Kutumbakam harus
dimaknai kembali sebagai kemenyatuan antara Tuhan (parhyangan), manusia
(pawongan), dan alam lingkungan (palemahan). Harmoni ketiganya
adalah penyebab kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan.
(Wartam Edisi 81 Nopember 2021)