SISTEM PENGOBATAN USADA
BALI
A.A. Ngr Anom Kumbara
Pengantar
Kesehatan
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (basic human needs) yang sangat penting bagi manusia. Hal ini
terkait erat dengan kenyataan bahwa manusia yang sehat jasmani dan rohani
memungkinkannya untuk melakukan peran-peran sosial sesuai dengan statusnya di
masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan, setiap masyarakat
di dunia mengembangkan sistem medis yang berisi tentang seperangkat
kepercayaan, pengetahuan, aturan, dan praktik-praktik sebagai satu kesatuan
yang digunakan untuk memobilisasi berbagai sumber daya dalam rangka memelihara
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, baik fisik maupun rohani. Dengan
demikian, sistem medis pada hakekatnya adalah pranata sosial yang memberi
pedoman atau petunjuk bagi kelakuan manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka
akan kesehatan dalam suatu sistem sosial (Kalangie,1976:15), atau sistem
kesehatan sebagai sistem budaya (Kleinman,1980).
Dalam
setiap sistem medis akan dijumpai adanya dua sub sistem terkait, yaitu sistem
teori penyakit atau etiologi penyakit, dan sistem perawatan kesehatan. Sistem
teori penyakit atau etiologi penyakit (etiology
of illness) terdiri dari kepercayaan tentang sebab-sebab terjadinya suatu
penyakit dan gejala-gejala simtomatis yang dialami penderita. Sedangkan sistem perawatan kesehatan (health care system) terdiri dari sistem
diagnosis atau penentuan penyebab
penyakit, dan tindakan terapi atau teknik pengobatan yang digunakan. Menurut
Kleiman (1980) sistem perawatan kesehatan dapat dipandang sebagai sistem
kebudayaan karena merupakan suatu kesatuan hirarkis yang tidak dapat dipisahkan yang menyangkut tentang proses dan mekanisme
pengambilan keputusan keluarga dalam pemilihan sektor-sektor pelayanan
kesehatan (health seekking behaviour)
yang tersedia untuk menanggulangi berbagai penyakit yang dihadapi.
Tindakan penyembuhan secara hirarkis berkaitan
erat dengan ide tentang sebab sakit dan bentuk penggolongan penyakit, serta
pemilihan tindakan pengobatan yang dianggap tepat untuk penyakit tersebut.
Kesatuan hirarkis ini ditujukan terhadap masalah penanggulangan gangguan
kesehatan secara tepat guna. Dengan demikian, dalam setiap sistem perawatan
kesehatan kepercayaan tentang etiologi penyakit merupakan hal yang sangat
penting karena azas penyembuhan dalam semua sistem kesehatan selau didasarkan
pada kepercayaan tentang sebab-sebab terjadinya penyakit tersebut (Rienks,1988;
Wellin;1977; Foster dan Anderson, 1986).
Secara komprehensif dapat
dikatakan bahwa setiap masyarakat memiliki sistem kesehatan sendiri. Dapat
dimaklumi apabila Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok suku bangsa
dengan beraneka ragam budaya etnis memiliki berbagai sistem kesehatan.
Masing-masing kelompok suku bangsa tersebut telah mengembangkan sistem
kesehatan mereka yang mungkin satu sama lain memiliki banyak perbedaan dan
persamaan. Akan tetapi pada umumnya karakteristik sistem kesehatan tradisional
mereka dapat dibedakan dengan sistem kesehatan moderen yang berasal dari Barat.
Suku bangsa Bali sebagai
salah satu dari ratusan suku bangsa yang tersebar di Indonesia, secara
terun-temurun juga telah mengembangkan sistem kesehatan atau pengobatan secara
tradisional yang populer disebut dengan pengobatan
usada, dan praktisi medisnya disebut dengan balian.
Hingga kini, walaupun ilmu
dan teknologi kedokteran sudah mengalami kemajuan pesat dan sudah sangat
dikenal di Bali sejak lama, namun peran dan eksistensi pengobatan usada (balian)
di Bali sebagai sumber alternatif masih cukup menonjol. Kondisi ini terjadi menurut berbagai kalangan
karena pengobatan usada ini di
samping dianggap masih fungsional secara sosial dan lebih murah biayanya, juga
cukup efektifnya untuk menyembuhkan
jenis atau golongan penyakit tertentu.
Menurut Klainman (1980),
dalam masyarakat secara umum dikenal adanya tiga sektor pelayanan kesehatan sebagai satu sistem medis
tersendiri, yaitu (1) sektor pelayanan
umum atau rumah tangga (popular
sector/home remedies)), (2) sektor kedukunan (folk medical system), dan (3) sektor profesional atau kosmopolitan
(profesional and cosmopolite medical
system). Ketiga sektor pelayanan tersebut oleh masyarakat dijadikan sebagai
alternatif pilihan manakala mereka mengalami gangguan kesehatan, baik secara
tersendiri maupun secara tumpang tindih, dan atau bersamaan. Pemanfaatan
sektor-sektor tersebut, baik secara tersendiri maupun digambung bersama
dipengaruhi oleh faktor-fator tertentu. Faktor-faktor tersebut antara lain,
yaitu persepsi tentang tingkat keparahan penyakit, persepsi tentang etiologi
penyakit yang diderita, efektivitas pengobatan yang pernah digunakan,
aksesibilitas, dan keterjangkauan secara ekonomi.
Konsepsi Sehat-Sakit,
Etiologi Penyakit, dan Praktek Penyembuhannya
Konsepsi Orang Bali tentang
Sehat-Sakit
Secara komprehensif
yang dimaksud dengan sehat, yaitu suatu keadaan dalam mana seseorang
dapat mempergunakan secara efektif keseluruhan fungsi fisik, mental dan sosial
yang dia miliki dalam berhubungan dengan lingkungannya, sehingga hidupnya
berbahagia dan bermanfaat bagi masyarakat. Menurut definisi Word Health
Organization (WHO) sehat adalah suatu kondisi manusia yang bukan saja bebas dari penyakit dan kecacatan fisik, tetapi juga bebas dari
gangguan mental. Sebaliknya secara mikro dan emik, oleh karena adanya perbedaan
latar belakang budaya dan lingkungan masyarakat menyebabkan konsepsi tentang
sehat–sakit sering dijumpai sangat bervariasi dan bersifat subyektif antara
satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya masalah
kesehatan bersifat biologis. Namun kesehatan dapat ditinjau dari segi sosial
dan kebudayaan karena ternyata pandangan dan konsepsi tetang sehat-sakit tidak
selalu sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perbedaan itu
timbul karena adanya perbedaan-perbedaan pola adaptasi masyarakat terhadap
lingkungan baik fisik maupun sosialnya, sumber daya kesehatan yang tersedia, serta kemampuan
cara berpikir dari masing-masing masyarakat. Dengan kata lain pandangan
masyarakat terhadap kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan dan
pola-pola adaptasi suatu masyarakat terhadap lingkungannya.
Pada masyarakat Bali
konsepsi tentang kondisi sehat atau sakit mengacu pada prinsip keseimbangan dan
ketidakseimbangan sistemik unsur-unsur pembentuk tubuh dan unsur-unsur yang ada
di dalam tubuh manusia, serta keseimbangan hubungan dengan lingkungan yang
lebih luas. Keseimbangan dan berfungsinya unsur-unsur sistemik dalam tubuh
serta terpeliharanya keharmonisan hubungan dengan lingkunggan, baik fisik
maupun sosial, budaya dan psikis menjadi
penyebab utama terbentuknya kondisi sehat. Sebaliknya, ketidakseimbangan unsur-unsur
tersebut menjadi faktor utama gangguan kesehatan atau penyebab sakit. Dengan
demikian, menurut konsepsi orang Bali sehat tidak hanya menyangkut bebas dari
sakit atau penyakit, tetapi juga untuk menikmati seterusnya tanpa
terputus-putus terhadap keadaan fisik, mental dan spiritual yang bahagia dan
utuh. Konsep dari keadaan keseimbangan yang
benar dan hakeki, tidak hanya menyangkut berfungsinya sistem dan organ
tubuh manusia dengan baik dan lancar, psikis dan spiritual, tetapi juga
menyangkut keseimbangan hubungan secara dinamis dengan lingkungan yang lebih
luas, yakni hubungan harmonis dengan sesama ciptaan Tuhan (bhuana, makrokosmos),
antaranggota keluarga sendiri, tetangga, teman dekat dan anggota masyarakat
secara lebih luas, dan antara kita dengan Tuhan Sang Pencipta.
Dalam kosmologi Bali alam semesta dipandang
sebagai sesuatu yang bersifat nyata (sekala)
dan dapat ditangkap dengan panca indra
serta bersifat tidak nyata (niskala/gaib)
yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra, tetapi dipercaya ada. Secara
keseluruhan isi alam semesta ini terdiri atas lima unsur, yaitu (1) bayu, (2) teja, (3) apah, (4) akasa, dan (5) pertiwi. Semua unsur itu disebut Panca Maha Bhuta yang keseluruhannya merupakan sumber dari
kehidupan manusia.
Alam semesta sebagai kesatuan kehidupan terwujud
dalam dua kosmos, yaitu makrokosmos
dan mikrrolosmos. Makrokosmos merupakan suatu wadah
keseimbangan dunia yang amat besar tak terhingga, tetapi tetap diakui memiliki
batas yang jelas dengan keadaan yang bersifat teratur dan tetap (fixed) dengan Tuhan sebagai pusat
pengendali keseimbangan alam sermesta. Sebaliknya, mikrokosmos adalah manusia itu sendiri yang merupakan reflika dari makrokosmos dengan unsur-unsur Panca Maha Bhuta sebagai inti kehidupan.
Walaupun manusia merupakan reflika dari makrokosmos
dan memiliki kemampuan untuk mencipta, namun mereka pun menyadari akan
keterbatasan akan kemampuannya dan tidak pernah bisa menolak kehendak-Nya.
Dalam kehidupan masyarakat Bali, penggambaran keterbatasan manusia
dihadapan-Nya tererfleksi dalam sebutan-sebutan, seperti Tuhan Maha Besar (Sang Hyang Widhy), Maha Tahu (Sang
Hyang Wisesa), Maha Kosong ( Sang
Hyang Embang), Maha Kuasa (Sang Hyang
Wisesa), Maha Pencipta (Sang Hyang
Rekha), dan seterusnya.
Orang Bali, di samping percaya bahwa mereka tidak
kuasa untuk menolak kehendak-Nya, baik berkenaan dengan hal-hal yang dianggap
buruk, seperti kematian, kesakitan, kecelakaan, kesengsaraan, dan lain-lain,
maupun hal-hal yang baik, seperti keselamatan, kebahagiaan, kesehatan,
kemuliaan dan rejeki, dan sebagainya. Mereka juga percaya bahwa manusia akan
bisa terhindar dari hal-hal yang dianggap buruk jika mereka senantiasa mampu
menjaga dan menciptakan keseimbangan atau keharmonisan hubungan dengan alam,
dengan manusia lain, dan dengan Tuhan. Prinsip keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam, dengan sesama
manusia, dan dengan Tuhan oleh orang Bali sangat populer disebut dengan Tri Hita Karan, yaitu tiga penyebab utama kebahagian dan
keselarasan hidup manusia. Kosmologi orang Bali yang menekankan pada prinsip
keseimbangan atau keteraturan hubungan
dan ketidakseimbangan kosmos (mikrokosmos-makrokosmos)
tersebut senantiasa dijadikan sebagai konsep dasar untuk mencegah dan sekaligus
menanggulangi berbagai hal yang dianggap buruk, seperti terganggunya kesehatan
atau sakit, kecelakaan, kesengsaraan, ketidakberuntungan, perceraian, dan
bahkan kematian.
Dalam konteks sistem medis etnis Bali atau Usada dan konsepsi balian tentang sehat-sakit, bahwa orang bisa disebutkkan sebagai
manusia sehat apabila semua sistem dan unsur pembentuk tubuh (panca maha bhuta) yang terdiri dari: pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa, dan
unsur dalam tubuh (tri dosha), yaitu
udara (vatta), api (pitta), dan air (kapha) serta aksara panca
brahma yang terdiri dari: aang, bang,
tang, ang, ing) dan aksara panca
tirta yang terdiri dari: nang, mang, sang, sing, dan wang, berada dalam keadaan seimbang dan
dapat berfungsi dengan baik. Sebaliknya manusia akan menjadi sakit apabila
unsur-unsur panca brahma sebagai kekuatan panas, dan unsur-unsur panca tirta sebagai kekuatan dingin saat
berinteraksi dengan udara, ada dalam keadaan tidak seimbang. Atau di antara
keduanya, (unsur panas dan dingin ) ada dalam kondisi yang berlebihan sehingga
fungsi-fungsi unsur pembentuk tubuh (panca
maha butha) terganggu. Terganggunya fungsi unsur-unsur tubuh inilah yang
menyebabkan orang menjadi sakit. Dengan kata lain, terganggunya keseimbangan
unsur-unsur pembentuk tubuh dan fungsi unsur dalam tubuh manusia dapat
menyebabkan orang bersangkutan menjadi sakit. Karena itu, mengembalikan
keseimbangan seperti semula usur-unsur dan fungsi pembentuk tubuh merupakan
prinsip dan tindakan utama dalam proses penyembuhan penyakit.
Menurut sistem pengobatan usada Bali yang bersandarkan pada sistem pengobatan Ayurveda dan
naskah-naskah pengobatan kuno yang ada di Bali, bahwa berfungsinya sistem
organisme tubuh manusia secara normal dikendalikan oleh tiga unsur humoral,
yaitu unsur udara (vatta), unsur api (pitta), dan unsur air (kapha).
Ketiga unsur tersebut dalam
sistem pengobatan Ayurveda dan pengobatan usada
Bali disebut dengan istilah Tridosha.
Konsepsi tentang Tridosha (adanya
tiga unsur cairan dalam tubuh) manusia
itu selajutnya dijadikan sebagai salah satu kerangka dasar pijakan oleh
sebagian balian usada di Bali dalam
menjalankan profesinya, baik dalam tahap menegakkan diagnosis maupun terapinya.
Dalam kosmologi berkenaan dengan konsepsi orang
Bali tentang Tuhan atau Ida Sang Hyang
Widhi Wase, bahwa Bhatara Ciwa dipandang sebagai segala sumber yang ada di
dunia, atau menciptakan semua yang ada di jagad raya ini, termasuk berbagai
jenis penyakit dan obatnya. Tuhan dalam wujudnya sebagai Trimurti bermanifestasi sebagai dewa Brahma yang menjadi sumber
panas, dewa Wisnu menjadi sumber air yang bersifat dingin, dan dewa Iswara
menjadi sumber udara. Dengan mengacu
pada konsepsi itu, maka masyarakat Bali secara global menggolongkan jenis dan
penyebab sakit menjadi dua, yaitu
penyakit yang bersifat fisik (sekala)
dan nonfisik (niskala); demikian juga
penyebabnya ada yang dipandang karena faktor
yang bersifat alamiah (naturalistik), ada juga yang bersifat nonalamiah
(personalistik), dan supranaturalistik, atau
gabungan dari kedua atau ketiganya.
Secara fisik atau naturalistik, berdasarkan pada
gejala-gejala atau simtomatisnya, masyarakat Bali menggolongkan penyakit ke
dalam tiga kelompok, yaitu (1) penyakit yang tergolong panes (panas), (2) nyem (dingin),
dan (3) sebaa (panas-dingin).
Sebaliknya, kualitas dan kasiat bahan obat dan obat yang dibuat untuk mengobati
jenis penyakit tersebut, juga diklasifikasi ke dalam tiga kelompok, yaitu (1)
berkasihat anget (hangat), (2)
berkasiat tiis (sejuk), dan (3)
berkasiat dumelada (sedang). Penggolongan penyakit dan jenis obat tersebut
jika mengacu pada konsep kepercayaan terhadap wujud Tuhan sebagai Brahma, Wisnu
dan Iswara (Trimurti/Tripusrusa/Trisakti
) maka Brahma dipandang sebagai wujud
api yang menciptakan penyakit panes,
maka obat yang diciptakan kualitasnya
berkasiat anget; Wisnu yang
menciptakan penyakit nyem, maka obat
yang diciptakan berkasiat tiis, dan
Iswara yang menciptakan penyakit sebaa,
maka obat yang diciptakan berkasiat dumelade/jumelade.
Sebagaimana telah juga disinggung di atas, bahwa
dalam kosmologi dan sistem medis orang Bali, masalah sehat sakit merupakan
masalah yang berkaitan dengan harmoni/keseimbangan dan
disharmoni/ketidakseimbangan hubungan antara buana agung (makrokosmos) atau alam semesta, dan buana alit (mikrokosmos) manusia itu
sendiri, dan Sang Hyang Widhi (Tuhan)
sebagai pencipta dan pengendali. Oleh karena itu, orang Bali percaya dan yakin, bahwa sehat,
bahagia, dan sejahtera sekala-niskala
(lahir-batin) akan terwujud atau terjadi apabila hubungan antara ketiga
komponen tersebut berada dalam keadaan seimbang. Hubungan serasi antara manusia
dengan manusia, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan Tuhan
sebagai pencipta segala yang ada di jagat raya ini disebut dengan Tri Hita Karana. Artinya hubungan
harmonis ketiga unsur tersebut merupakan sumber penyebab kesejahteraan,
kebahagiaan dan kesehatan bagi manusia.
Sebaliknya kondisi buruk seperti sakit, tidak bahagia, sengsara, dan
sebagainya, bisa terjadi manakala hubungan ketiga komponen tersebut terganggu
atau tidak harmonis. Bagi orang Bali, apabila hal ini terjadi, maka upaya
mengembalikan keseimbangan hubungan sistem, baik dalam konteks mikrokosmos maupun makrokosmos merupakan upaya yang penting. Dalam konteks
sehat-sakit, terganggungnya fungsi-fungsi elemen tubuh (panca maha butha dan tri dosha) baik karena faktor alamiah,
personalistik maupun supranatural,
menyebabkan seseorang menjadi sakit.
Dalam lontar Wrehaspati
Tatwa (sloka 33) penyakit
diistilahkan dengan dukha. Menurut
lontar ini terdapat tiga macam dukha atau
penyakit, yaitu , (1) penyakit yang diakibatkan oleh kekuatan supranatural, (2)
adhyatmika duka yaitu penyakit yang
disebabkan oleh adanya gangguan mental, dan (3) bhautika dukha adalah penyakit yang diakibatkan oleh berbagai
mahluk renik yang disebut butha.
Lebih lanjut dalam sloka 52
dijelaskan bahwa ada tiga cara mengatasi dukha
tersebut, yaitu (1) tresna dosaksaya,
yaitu berusaha melenyapkan dosa akibat dari perbuatan atau dengan pengendalian
diri, (2) indriya yogamarga yaitu
melepaskan diri dari kitan duniawi dengan melakukan yoga, dan (3) jnana bhudireka yaitu memupuk
pengetahuan spiritual.
Menurut orang Bali, oleh karena sakit dipandang tidak hanya merupakan gejala
biologis yang bersifat individual,
tetapi dipandang berkaitan secara holistik dengan alam, masyarakat dan Tuhan,
maka setiap upaya kesehatan yang dilakukan tidak hanya menggunakan obat sebagai
sarana pengobatan, tetapi juga menggunakan sarana ritus-ritus tertentu,
mantra-mantra yang termuat dalam aksara suci sebagai bagian dari proses
tersebut. Dengan demikian, menyembuhkan atau menanggulangi suatu penyakit
tertentu umumnya yang digarap oleh balian
usada di Bali, bukan hanya aspek biologis dari pasien, tetapi juga aspek
sosial-budaya dan spiritualnya.
Pada masyarakat Bali umumnya seseorang mencari
pertolongan pengobatan ke sektor-sektor perawatan kesehatan yang tersedia,
seperti ke balian (dukun), dokter,
atau para medis bukan saja karena faktor
penyakit yang patogen, tetapi sering
juga akibat dirasakan adanya kelainan atau gangguan fungsi unsur-unsur dari
tubuh (illness). Sehubungan dengan
hal ini, secara empiris tampak bahwa walaupun telah banyak ada Puskesmas
tersebar merata di setiap kecamatan, dan sistem pengobatan barat (moderen)
sudah sangat lama dikenal, namun sebagian masyarakat Bali baik yang tinggal di
kota maupun di desa masih banyak yang suka dan sering menggunakan balian atau pengobatan usada Bali sebagai alternatif pilihan,
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Secara empiris menurut
keterangan beberapa pasien yang sempat diwawancarai di rumah balian yang ada di desa Sanur, Kota
Madya Denpasar, dan desa Pemaron, Kapupaten
Buleleng, bahwa kepercayaan terhadap etiologi penyakit, tingkat
keparahan, dan pengalaman pengobatan sebelumnya menjadi alasan utama mereka
memilih balian sebagai alternatif.
Dengan demikian, respons dan penghargaan masyarakat Bali terhadap
pengobatan tradisional atau usada di
Bali masih tinggi.
Etiologi atau Sebab-Sebab
Sakit
Pada banyak suku bangsa
yang belum sepenuhnya menerima konsepsi penyakit secara biomedis, hiduplah
konsepsi universal sebagai anggapan umum (representation
colectives) tentang sebab-sebab penyakit yang bersifat nyata dan tidak
nyata. Ke dalam kelompok yang pertama tercakup penyebab penyakit, seperti (1)
karena luka, (2) makan berlebihan, (3) badan terlalu lelah, (4) patah tulang
atau terbebtur benda-benda keras, dan lain-lainnya. Ke dalam kategori kedua
tercakup sebab-sebab sakit, seperti (1) karena jiwa menghilang, (2) tubuh
dimasuki roh jahat, (3) kena ilmu sihir, (4) pengaruh gaib agresif, (5)
melalaikan kewajiban adat dan agama, (6) tubuh kemasukan benda-benda gaib
tertentu, dan (7) melanggar sesuatu pantangan agama/adat tertentu.
Menurut George Foster (1978:13), dalam sistem
kesehatan tradisional nonbarat (non
western medical system) secara umum
dikenal adanya dua jenis etiologi penyakit, yaitu sistem etiologi
personalistik dan naturalistik. Secara personalistik disebutkan bahwa keadaan
sakit disebabkan oleh adanya campur-tangan
suatu agen aktif, baik berupa orang maupun bukan orang. Penyakit yang
disebabkan oleh orang pada umumnya dilakukan oleh dukun sakti atau tukang sihir
dengan memasukkan unsur-unsur tertentu ke dalam tubuh seseorang sehingga orang
bersangkutan menjadi sakit. Sebaliknya, penyakit yang disebabkan oleh campur
tangan agen jahat bukan orang, yakni berupa gangguan mahluk halus, jin, setan,
hantu, atau makhluk-makhluk halus lainnya, bahkan oleh kekuatan supranatural,
seperti dewa yang merasuk ketubuh dan jiwa seseorang sehingga orang
bersangkutan menjadi sakit.
Pandangan secara
naturalistik, sakit atau gangguan kesehatan bukan disebabkan oleh agen aktif,
tetapi terjadi oleh sebab-sebab keadaan yang bersifat alamiah, seperti angin,
hujan, cuaca panas, dingin, dan lembab yang dijelaskan secara impersonal dan
sistemik. Orang yang sakit atau terganggu kesehatannya dianggap sebagai akibat
dari keseimbangan sistem (unsur-unsur panas/yin dan dingin/yang) yang ada dalam
tubuh manusia terganggu, baik oleh kelebihan maupun kekurangan unsur tersebut;
atau orang menderita sakit karena kecelakaan yang timbul dalam interaksi
manusia dengan lingkungan biofisiknya (Allan,1970; Foster dan Anderson,1986).
Karena itu, dalam pandangan naturalistik kesehatan diasosiasikan dengan
keseimbangan, sebaliknya sakit diasosiasikan dengan ketidakseimbangan.
Penggolongan etiologi atau
penyebab penyakit ke dalam salah satu dari keduanya akan berpengaruh terhadap
upaya penanggulangan yang dilakukan terutama berkenaan dengan bagaimana dan
kepada siapa mereka harus meminta pertolongan sekaligus pemebrian label
terhadap jenis penyakit yang diderita (Klienman,1980;Helman,1984). Selain dari
kedua kategori etiologi penyakit tersebut yang memiliki dasar rasionalitas yang
berbeda, namun, dalam kenyataannya di masyarakat kedua etiologi penyakit
tersebut dipercayai dapat menimpa seseorang secara simultan atau kombinasi dari
keduanya. Artinya, penyakit yang diderita oleh seseorang diyakini tidak saja
disebabkan oleh etiologi naturalistik, tetapi juga oleh faktor-faktor yang
bersifat personalistik.
Di kalangan masyarakat Bali, baik yang tinggal di
pedesaan maupun perkotaan kepercayaan terhadap gangguan kesehatan yang
disebabakan oleh gambungan faktor naturalistik dan personalistik terutama
gamgguan kesehatan jiwa hingga kini tampak masih sangat dominan. Masih kuatnya
kepercayaan masyarakat Bali terhadap etiologi gangguan jiwa secara kombinasi antara kausa naturalistik
dan personalistik menjadi faktor motivasi yang signifikan terhadap
penggunaan pengobatan tradisional (balian/dukun) sebagai alternatif yang
pertama dan utama, di samping menggunakan pengobatan rumah sakit (Suryani,
1980; Kumbara,1994). Dengan
demikian, penggunaan pengobatan
tradisional (balian) dan pengobatan
rumah sakit (dokter) oleh masyarakat secara bersama-sama merupakan fenomena yang sangat umum di Bali,
tanpa terjadinya pertentangan di antara kedua sektor pelayanan tersebut.
Klasifikasi dan Jenis
Penyakit yang Dikenal
Berdasarkan sistem klasifikasi penyakit, secara
praktis masyarakat Bali menggolongkan penyakit menjadi dua golongan besar yaitu
penyakit fisik (sekala) dan penyakit
nonfisik (niskala). Menurut kebiasaan
dan keterangan beberapa informan baik
dari balian maupun pasien,
jenis penyakit fisik yang umum dikenal masyarakat Bali adalah sebagai berikut.
(1) Penyakit Dalem (Dalam), yakni jenis penyakit atau gangguan yang menimpa
seseorang yang menunjukkan gejala-gejala dalam tubuh bersangkutan terasa panas
atau dingin berlebihan, atau perubahan unsur panas-dingin dalam tubuh secara
mendadak.
(2) Barah
(Bengkak) yang terjadi di bagian-bagian
tertentu dari anggota badan.
(3) Mokan
(badan bengkak dan terasa sakit).
(4) Buh (perut bengkak dan berair).
(5) Pemalinan (bagian tertentu dari badan, seperiti
punggung, perut, dan dada terasa sakit pada seperti ditusuk-tusuk).
(6) Sula
(sakit melilit di
perut yang secara medis disebut gejala
kolik)
(7) Belahan
atau puruh (sakit seperti
ditusuk-tusuk di bagian kepala sampai ke
mata}
(8) Tilas
Naga dan tilas bunga (penyakit kulit yang
biasanya menyerang kulit di bagian
pinggang, yang memiliki tanda-tanda khas yang disebabkan oleh jamur. Tilas
bunga penyakit kulit yang hampir sama dengan tilas naga, tetapi menyerang pada
bagian tubuh lain, di luar bagian pinggang.
(9) Tuju (bengkak-bengkak yang terasa ngilu pada
sela-sela persendian kaki dan tangan)
(10) Tiwang
(sakit ngilu atau kejang
pada kaki atau tangan)
(11) Upas (gatal-gatal pada tubuh yang disebabkan
oleh bulu binatang, jamur, atau getah/bulu
pohon tertentu).
Sebaliknya jenis penyakit niskala (nonfisik) antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Buduh
atau gila atau stress
yang dengan tingkat keparahan tertentu, yaitu (1) uyang (gelisah), (2) suka
mengigau, (3) suka lari dari rumah, (4) ngamuk atau melakukan tindakan
kekerasan tanpa sadar, atau melakukan tindakan abnormal lainnya.
(2) Bebainan (sejenis gangguan jiwa yang dialami
seseorang yang menunjukkan perilaku abnormal secara tiba-tiba, seperti menangis,
tertawa, berteriak-teriak, memanggil-manggil nama seseorang, atau orang yang
sudah mati, dan tanda-tanda lainny).
(3) Beda,
suatu jenis penyakit yang bisa menyerang, baik
fisik maupun jiwa (nonfisik) seseorang yang
gejala-gejala dan penyebabnya secara medis baik oleh dirinya maupun
praktisi medis tidak diketahui secara pasti, namun yang bersangkutan secara
fisik dan mental tampak kurang sehat,
atau merasa kondisi kesehatannya terganggu secara tiba-tiba tanpa diketahui
sebab-sebabnya secara jelas. Secara umum jenis penyakit ini menunjukkan
tanda-tanda , antara lain, tampak pucat dan lemah, kadang-kadang pinsan secara
tiba-tiba, kepala terasa sakit sekali, gelisah, sering mimpi buruk, sukar
tidur, cepat marah tanpa alasan, dan lain-lainnya.
Atas ketiga jenis penyakit
niskala ini, menurut konsepsi orang Bali disebabkan oleh faktor-faktor yang
bersifat personalistik dan supranaturalistik. Faktor-faktor tersebut antara
lain adalah sebagai berikut.
(1) Leyak/desti, yaitu penyakit yang disebabkan oleh
manusia jahat yang dengan kekuatan gaibnya telah berubah rupa menjadi binatang
tertentu ( kera, babi, anjing kurus, rangda, dll) yang dengan perubahan wujud itu mendatangi
orang yang dituju, yang akhirnya menyebabkan sasaran atau korban menjadi sakit.
(2) Cetik , yaitu
racun gaib yang telah masuk ke
tubuh seseorang lewat maknan atau minuman, baik yang ditaburi langsung pada
minuman atau makanan tersebut, maupun dikirim secara gaib atau
dengan kekuatan supranatural, sehingga orang minum racun tersebut
menjadi sakit, dan bahkan menyebabkan kematian.
(3) Teluh,
yaitu makhluk mirip manusia yang diciptakan dan
telah memiliki kekuatan magis yang dikirim oleh seseorang untuk memasuki raga
atau jiwa orang yang dituju, sehingga menyebabkan orang tersebut menjadi sakit.
Papasangan (Penyakit disebabkan oleh
benda yang berkekuatan magis yang di tanam di tempat orang yang dituju)
(4) Trangjana/acep-acepan,
yaitu jenis penyakit yang
diderita seseorang yang disebabakan oleh ulah orang sakti atau berilmu dengan
cara ngacep (mengipnotis dari jarak
jauh orang yang dituju), sehingga yang bersakutan menjadi sakit.
(5) Bebai, yaitu sejenis binatang yang diciptakan
oleh balian sakti yang memiliki kekuatan
magis, yang disuruh masuk ke dalam badan orang yang dituju, sehingga
menyebabkan orang yang bersangkutan terganggu jiwanya atau menderita bebainan.
(6) Kepongor,
yaitu gangguan jiwa yang
diderita seseorang yang disebabkan oleh kemarahan roh-roh leluhur mereka akibat
dari keluarga bersangkutan telah melalaikan kewajiban agama atau adat yang
menjadi tanggungjawabnya.
Selain itu, dalam masyarakat
Bali juga dikenal adanya jenis penyakit yang bersifat fisik, namum disebabkan
oleh faktor-faktor yang bersifat, fisik dan nonfisik sebagai berikut.
(1) Mala adalah sakit/gangguan kesehatan pada
mental/pikiran individu yang disebabkan
oleh adanya gangguan bio-psikologis dan karena faktor nonbiomedis berupa
kekuatan supranatural
(2) Letuh,yakni gangguan fisik atau mental yang
dialami seseorang karena faktor bawaan dari sejak lahir dan atau muncul
kemudian sebagai akibat dari faktor supranatural (hukum karma/karma wesana), perbutan yang dilakukan
pada kehidupan tergahulu dan harus dijalani pada kehidupan sekarang, sehingga
seseorang mengalami jenis penyakit tertentu yang sulit untuk disembuhkan.
Balian dan Keahliannya
Balian adalah sebutan yang paling
populer bagi para pengobat tradisional (dukun) pada masyarakat Bali, atau orang
yang mempunyai kemampuan menolong orang
yang mengalami gangguan kesehatan dengan menggunakan cara-cara pengobatan yang
diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Sistem pengetahuan
pengobatan tradisional yang dipakai acuan dan sumber konsep oleh balian dalam praktik pengobatan yang
dijalaninya, atau landasan yang digunakan untuk memecahkan masalah kesehatan
disebut dengan usada.
Secara etimologi kata usada berasal dari kata ausadhi
(bhs. Sansekerta) yang berarti tumbuh-tumbuhan yang mengandung khasiat
obat-obatan (Nala, 1992:1). Istilah usada
ini tidaklah asing bagi masyarakat di Bali, karena kata usada sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dalam kaitan
dengan mengobati orang sakit. Menurut Sukantra (1992:124) usada adalah ilmu pengobatan tradisional Bali yang dikenalkan oleh
para leluhur dan merupakan ilmu pengetahuan penyembuhan yang dijiwai oleh
nilai-nilai agama Hindu. Selamjutnya Sukantra berpendapat bahwa usada adalah ilmu pengobatan
tradisional Bali yang sumber ajarannya terdapat pada lontar-lontar. Lontar-lontar yang menyangkut tentang
sistem pengobatan di Bali menurut
Nala (2002) dapat di golongan menjadi dua golongan, yaitu lontar
tutur atau tatwa dan
lontar usada. Di dalam lontar tutur (tatwa) berisi
tentang ajaran aksara gaib atau
wijaksara. Sedangkan di dalam lontar usada berisi tentang ajaran pengobatan, yaitu jenis penyakit
dan jenis tanaman yang dapat dipergunakan untuk obat.
Lontar yang khusus memuat tentang bahan obat yang
berasal dari tumbuh-tumbuan dikenal dengan Lontar
Usada Taru Premana. Di dalam usada ini secara mitologi
tumbuh-tumbuhan itu dapat berbicara dan menceritrakan khasiat dirinya. Karena
itu, setiap balian usada di Bali
pasti tahu dan menggunakan usada ini
sebagai pegangan dalam menjalankan profesinya. Walaupun demikian, sejalan
dengan pengaruh perkembangan pengetahuan moderen di bidang kesehatan, para balian di Bali dalam praktiknya, di
samping menggunakan metode pengobatan dan obat-obatan tradisional berdasarkan
ilmu yang tertulis dalam lontar usada, dewasa ini dia juga secara terbuka mengadopsi metode
pengobatan moderen, seperti pemeriksaan hasil
ronsen pasien untuk kepentingan diagnosis, pemakaian obat buatan pabrik,
saran rujukan ke dokter bila jenis penyakit yang diderta pasien memerlukan
pertolongan dokter untuk kecepatan kesembuhan, dan cara-cara modern lainnya.
Berdasarkan atas sumber
pengetahuan dan kemampuan penyembuhan yang dimiliki oleh seorang balian pada masyarakat Bali dikenal
adanya beberapa kategori balian,
yaitu (1) balian usada, (2) balian
tason atau ketakson, (3) balian kepican,
dan (4) balian campuran. Balian usada
adalah balian yang di dalam
menjalankan profesinya untuk mengobatai orang sakit berpedoman dan menggunakan
dasar-dasar pengetahuan, teknik dan ketrampilan yang diperoleh atau dipelajari
dari naskah-naskah kono yang umumnya tertulis dalam lontar usada sebagai pegangan pokok, di samping menggunakan pengetahuan
dan teknik pengobatan yang tidak
bersumber dari lontar usada.
Balian
katakson adalah balian yang dalam menjalankan profesinya
menyandarkan diri pada kekuatan-kekuatan sakti yang ada dan dimiliki oleh
mahluk-mahluk supranatural seperti, dewa-dewa, roh-roh, jin, dan kekuatan sakti
lainnya. Kemampuan, kesaktian, dan keahlian yang dimiliki balian jenis ini umumnya diperoleh tidak melalui proses belajar,
melainkan diperoleh dengan cara yang tidak lazim atau orang bersangkutan oleh
sebab-sebab yang tidak diketahuai secara kasat mata secara tiba-tiba menjadi
memiliki taksu. Taksu adalah kekuatan gaib yang masuk ke dalam diri seorang balian sehingga dengan kekuatan gaib
itulah yang bersangkutan mampu menolong dan menanggulangi berbagai persoalan
yang dihadapi orang-orang, bukan saja masalah kesehatan, tetapi juga masalah
sosial lainnya yang tidak terkait langsung dengan masalah kesehatan. Oleh
karena dalam praktik yang dilakukan oleh balian
jenis ini bersandarkan pada kekuatan gaib, maka praktek persembahan dengan ruitual berupa persembahan (banten ) tertentu sebagai sarana untuk
memohon kekuatan gaib menjadi sarana utama. Dalam menentukan jenis penyakit
klien yang datang kepadanya, bailan
ini tidak menggunakan teknik “tetengerin
gering” sebagaimana yang lazim digunakan oleh balian usada.
Balian
kapican adalah balian
yang mirip dan bahkan hampir sama dengan balian
ketakson yang dalam menjalankan profesinya menggunakan atau bersandarkan pada benda-benda bertuah
yang diperoleh dari kekuatan supranatural yang disebut pica untuk menyembuhkan atau menolong pasien (orang sakit).
Benda-benda bertuah ini pada umumnya dapat berupa keris, batu permata, uang
kepeng yang memiliki gambar dan bentuk spesifik tertentu, kayu dan atau akar
dari jenis pohoh tertentu, dan kadang-kadang air suci yang disebut wangsuhan sebagai sarana obat. Dengan
mempergunakan pica itulah balian pica ini menyembuhkan berbagai penyakit yang ditanganinya.
Sedangkan balian campuran adalah balian yang dalam menjalankan profesinya
di samping bersandarkan kepada pengetahuan, teknik dan ketrampilan pengobatan
yang dipelajari dari naskah-naskah pengobatan kuno yang terdapat dalam lontar usada, dan menggunakan benda-benda
bertuah yang diperoleh secara gaib, juga menggunakan kekuatan gaib tertentu
yang dilakukan melalui proses permohonan dengan ritual tertentu. Dengan kata
lain, jenis balian ini dalam menjalankan profesinya memanipulasi dan
menggunakan secara bersama-sama pengetahuan, teknik pengobatan usada dan
berbagaii sumber daya lain yang dipandang memiliki kekuatan sakti untuk
menangani pasiennya.
Sebaliknya, menurut spesialisasinya, pada
masyarakat Bali dikenal beberapa jenis kejuruan balian, yaitu (1) balian urut
(dukun pijat) yang memiliki keahlian khusus menangani pasien yang mengalami
patah tulang atau keseleo urat; (2)
balian manak (dukun bayi) yang memiliki ketrampilan khusus menangani
persalinan atau perawatan kehamilan secara tradisional; (3) balian
tenung (dukun nujum), yang memiliki keahlian untuk meramal keadaan atau
kejadian tertentu yang akan dan telah menimpa seseorang atau suatu keluarga,
dan mampu menjelaskan faktor-faktor penyebabnya. Dalam menjalankan profesinya, balian ini umumnya menggunakan sumber
pengetahuan yang dipelajari atau diperoleh dari naskah-naskah kono, lontar
usada, dan dikombinasikan dengan pengenguasaan olah batin; dan (4) balian peluasan (dukun pemberi
informasi). Karakteristik balian peluasan
ini hampir sama dengan balian ketakson, karena dalam menjalankan profesinya sebagai pemberi
informasi sangat bergantung pada
kekuatan gaib yang masuk ke dalam tubuh dan jiwa balian bersangkutan. Keberhasilan balian ini untuk menjawab masalah yang dihadapi sesuai dengan
persepsi dan harapan kilen sangat tergantung pada terpenuhinya permohonan balian selaku perantara (mediator) kepada
kekuatan gaib yang dipuja atau dimohonkan kekuatannya. Dalam proses permohonan
kekuatan gaib ini, sarana ritual berupa banten
(sesaji) yang dipersembahkan kepada kekuatan gaib yang dituju berserta
mantra-mantra yng menyertainya menjadi sarana pokok.
Sementara itu, berdasarkan konsepsi dualistik “Rwa Bhineda” (dua kekuatan yang
berlawanan) dalam konteks fungsi dan peranan balian pada masyarakat Bali dikenal adanya dua kategori balian, yaitu “penengen” dan “pengiwa”. Balian panengen, yakni sebutan untuk balian yang di dalam melakukan praktiknya menggunkan kemampuan/
kesaktian yang dimiliki hanya semata-mata untuk tujuan-tujuan positif yakni
menolong orang atau mengatasi masalah yang dihadapi anggota masyarakat, baik
yang bersifat medis (pengobatan) maupun nonmedis (masalah sosial dan
spiritual). Dalam menjankan profesinya, balian
jenis ini secara konsisten menggunakan dan bersandarkan pada kode etik seorang
balian. Artinya dalam praktiknya, dukun jenis ini di samping hanya semata
berperan sebagai penolong, juga dalam
menjalankan profesinya selalu menggunakan ilmu-ilmu yang digolongkan sebagai
ilmu beraliran putih.
Sebaliknya
balian pengiwa, yakni
sebutan untuk balian yang di dalam prakteknya melakukan peran ganda, dan di
dalam melakukan perannya itu, balian
ini dianggap menggunakkan dasar-dasar ilmu yang digolongkan oleh masyarakat
sebagai ilmu beraliran hitam. Peran
ganda yang dimaksud, yaitu di samping untuk menolong orang sakit atau sebagai
penyembuh, di sisi lain dia juga berperan sebagai pembuat penyakit yang
ditujukan kepada orang-orang tertentu, baik demi kepentingan sendiri mapun atas
suruhan orang lain. Karena peran ganda inilah dia disebut sebagai balian
pengiwa. Sekalipun balian jenis
ini melakukan praktik pengiwa
(penyembuh dan sekaligus pembuat penyakit) bagi orang-orang tertentu, namun
dalam kehidupan masyarakat di Bali mereka tidak pernah dimusuhi, dibenci
ataupun dikucilkan oleh warga masyarakat atas peran ganda yang dilakoni. Hal
ini terjadi karena terkait erat dengan konsepsi atau pandangan orang Bali
tentang segala sesuatu yang ada dan terjadi di muka bumi ini selalu atau pasti
mengandung sifat-sifat “Rwa Bhineda”,
seperti baik-buruk, hitam putih, gunung-laut, laki-perempuan, sehat-sakit, dan
lain-lain yang satu dengan yang lain sekalipun ada pada posisi biner tetapi tidak terpisahkan.
Sementara itu, mengenai sumber pengetahuan kesehatan dan pengobatan di Bali
dapat digolongkan dalam dua golongan besar, yaitu pengetahuan yang diperoleh
dari hasil budi-daya individu dan
masyarakat itu sendiri secara
turun-temurun, dan pengetahuan yang diperoleh dari luar, yakni hasil akulturasi
kebudayaan sebagai akibat dari adanya kontak dan saling pengaruh dengan
kebudayaan lain. Unsur-unsur kebudayaan
dari luar yang paling kuat dan tampak dominan
dalam sistem pengobatan di Bali adalah unsur-unsur kebudayaan yang
berasal dari India yang bersumber dari kitab Ayurveda, di samping juga pengaruh
kebudayaan Tiongkok/Cina.
Adanya kontak-kontak budaya dengan India yang
telah berlangsung sangat lama dan intensif, khususnya yang berkaitan dengan
penyebaran agama Hindu di Indonesia termasuk Bali, dan hijrahnya
para Danghyang (intelektual Hindu dari Jawa) ke Bali untuk memantapkan
paham Hindu-Budha di Bali yang diperkirakan berlangsung sejak awal abad ke-7
masehi hingga akhir abad ke-13 menyebabkan pengaruh agama dan nilai-nilai Hindu
dalam kebudayaan Bali sangat kental. Masih kuat dan bertahannya hingga kini
pengaruh agama Hindu terhadap kebudayaan Bali
disebabkan oleh kondisi di mana
pendukung kebudayaan Bali hampir seluruhnya beragama Hindu. Walaupun demikian,
oleh karena kontak kebudayaan itu berlangsung lama, maka nilai-nilai Hindu
khususnya praktik-pratik pengobatan Ayurveda dari India dan pengobatan dari
Jawa yang dibawa oleh para Danghyang itu bercampurbaur dengan tradisi yang ada
sebelumnya, dan selajutnya oleh orang Bali diakui sebagai pusaka turun-temurun
hasil pemikiran nenek moyang mereka sendiri. Konsep-konsep dan praktik-praktik
tradisi pengobatan itu oleh masyarakat Bali diwariskan dalam bentuk
naskah-naskah kuno dan lontar-lontar, baik yang berwujud tutur /tatwa maupun lontar usada, yang ditulis dengan berbagai
bahasa. Sebagai naskah dan lontar
tersebut ada yang ditulis dengan huruf Pallawa India, hurup Jawa Kuno,
Sansekerta dan sebagian besar ditulis
dengan huruf Bali. Sistem pengobatan yang merupakan warisan nenek-moyang yang ditulis dalam berbagai naskah kuno dan
lontar tersebut di Bali disebut dengan pengobatan
usada. Oleh karena pengaruh budaya
Hindu dari India demikian dominan, maka sistem pengobatan tradsional Bali
sekarang banyak yang menyerupai simtem
pengobatan Ayurveda.
Teknik Diagnosis Balian
Menurut beberapa sumber yang ada dalam lontar usada Bali, seperti Usada Ola Sari, Usada Separa, Usada Sari,
Usada Cemeng Sari, Wraspati Kalpa, Taru Premana, Budha Kecapi, dan informasi dari dukun, bahwa “hakekat keberadaan penyakit itu tunggal
dengan obatnya”. Artinya penyakit yang diciptakan pasti ada obatnya. Namun,
dalam proses pengobatan apabila salah cara menegakkan diagnosis dan mengobati
atau memberikan obat, dapat menyebabkan
penyakit semakin parah. Sebaliknya apabila diagnosis ditegakkan secara tepat dan obat
yang diberikan juga tepat, maka penyakit itu akan menjadi cepat sembuh atau
pasien menjadi sehat. Dengan demikian, ketepatan diagnosis merupakan kunci
utama keberhasilan pengobatan.
Oleh karena kesalahan diagnosa dapat berakibat
pada ketidaktepatan dalam pemeberian obat
dan selajutnya bisa memperparah kondisi pasien atau bahkan sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa
pasien, maka demi keselamatan pasien para praktisii kesehatan (baik dokter,
peramedis, maupun dukun dan balian)
secara etik dituntut agar dapat menegakkan diagnosis secara tepat, bekerja
secara profesional, dan mengutamakan keselamatan pasien berdasrakan pada kode
etik profesinya masing-masing. Dalam
sistem kesehatan tradisional di Bali (praktik kedukunan), seperti halnya
praktik kesehatan barat (kedokteran), para balian
usada di Bali dalam rangka mengambil tindakan medis terutama menentukan
jenis penyakit yang diderita pasien dan memilih jenis obat yang dianggap tepat
untuk pasien tersebut pada umumnya menggunakan teknik-teknik diagnosis yang bersandarkan, baik pada sistem
pengobatan yang termuat dalam lontar usada, pengetahuan yang diperoleh
dari teman seprofesi maupun atas dasar pengalaman praktis selama mereka menjadi
balian. Pedoman etika dan teknik praktis bagi para balian di Bali agar dapat menegakkan
diagnosis dan terapi kepada pasien secara tepat sesuai dengan sistem
pengetahuan dan teknik yang tertulis dalam lontar usada Bali di sebut dengan “Tetengering
Gering”.
Menurut beberapa sumber yang termuat dalam lontar-lontar usada di Bali, seperti Taru Premana, Wraspati Kalpa, Budha Kecapi,
Kalimosadha-Kalimosadhi, dan lain-lain,
teknik-teknik menegakkan diagnosis atau menentukan jenis penyakit (tetengering gering) yang diderita oleh
pasien sebelum menentukan jenis obat yang akan diberikan umumnya dilakukan
melalui tiga cara, yaitu, (1) pratyaksa
atau roga pariksa (pengamatan
melalui panca indra), (2) sparsana (perabaan), dan (3) prasna dan anumana (wawancara dan menarik kesimpulan). Pratyaksa atau roga pariksa
dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan mengandalkan
perasaan melalui pancaindra, dengan cara melihat, mendengar, membau, meraba,
dan mencicipi. Pemeriksaan secara langsung dilakukan dengan mengamati seluruh tubuh pasien untuk mengatahui adanya
kelainan lewat tanda-tanda fisik yang ada pada pasien. Dilihat warna kulitnya,
apakah warna kilitnya pucat, kemerahan, kehitaman atau kuning, ada benjolan
atau tidak. Bila warna kulitnya misalnya pucat dan kuning, maka diduga orang
tersebut menderita anemia (padhu) atau gangguan pada fungsi hati (lever).
Setelah dilihat dilakukan perabaan, penekanan dan
pengetukan pada rongga dada dan perut serta didengarkan bunyinya untuk
mengetahui suhu tubuh, denyut nadi, dan jalannya nafas. Untuk pemeriksaan yang
lebih teliti lagi, menurut Ayur Weda dan Usada
Bali dilakukan melalui tahapan
pemeriksaan (astangga pariksa) ,yaitu
(1) nadi pariksa (pemeriksaan pada nadi), (2) Mutra-Pariksa (pemeriksaan air
kencing), (3) Netra-Pariksa (pemeriksaan pada mata), (4) Mala-Pariksa
(pemeriksaan tinja), (5) Jihva-Pariksa (pemeriksaan lidah), (6) Charma-Pariksa
(pemeriksaan kulit), (7) Nala-Pariksa (pemeriksaan kuku), dan (8) pemeriksaan
gambaran fisik sesuai dengan unsur Tridosha
yang dominan , apakah usur vatta, pitta,
atau kapha.
Sebaliknya, pemeriksaan tidak langsung menurut
lontar Wraspati Kalpa dilakukan dengan memperhatikan hiasan bunga yang ada di kepala
si sakit, jumlah orang yang mengantar, melihat posisi duduk si sakit mengahadap
kearah mana dia duduk. Hasil dari pengamatan terhadap perilaku pasien tersebut
seorang balian bisa mengetahui jenis penyakit atau gangguan kesehatan yang
diderita orang bersangkutan. Teknik
perabaan (sparsana) dilakukan dengan
memeriksa denyut nadi (nadi pariksa)
pada pergelangan tangan kanan dan kiri pasien, perabaan pada perut, dahi dan
kepala untuk mengetahui konsentrasi unsur panas atau dingin pada tubuh pasien.
Sedangkan teknik wawancara dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara
menanyakan runutan awal gejala
penyakit, bagian tubuh yang
dirasakan sakit, gejala-gejala yang dirasakan, penyakit pernah diderita
sebelumnya, kambuhan, dan jenis pengobatan yang sudah pernah dilakukan.
Berdasarkkan hasil wawancara yang
digabung dengan pengamatan dan perabaan itu, seorang balian
menarik kesimpulan tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan selajutnya
menegakkan, terapi yang dianggap tepat atas penyakit tersebut. Secara
naturalistik masyarakat Bali menggolongkan penyakit ke dalam tiga kelompok yatu
(1) penyakit yang tergolong panes
(panas), (2) tergolong nyem (dingin),
dan (3) sebaa (panas-dingin). Demikian pula tentang kualitas bahan obat dan
obatnya. Ada obat yang diklasifikasi
berkasihat anget (hangat), tis (sejuk), dan dumelada (sedang).
Penggolongan penyakit dan jenis obat tersebut jika
mengacu pada konsep kepercayaan terhadap wujud Tuhan sebagai Brahma, Wisnu dan
Iswara (Trimurti Tripusrusa/Ttrisakti
) maka Brahma dipandang sebagai wujud
api yang menciptakan penyakit panes,
dan obat yang bersifat anget, Wisnu
yang menciptakan penyakit nyem dan
obat yang berkasiat tiis, dan Iswara
yang menciptakan penyakit sebaa dan
obat yang berkasiat dumelade/jumelade.
Seperti telah disinggung di depan bahwa dalam
kosmologi dan sistem medis orang Bali, masalah sehat sakit merupakan masalah
yang berkaitan dengan harmoni (keseimbangan) dan disharmoni (ketidakseimbangan)
hubungan antara buana agung (makrokosmos) atau alam semesta, dan buana alit (mikrokosmos) manusia itu sendiri, dan Sang Hyang Widhi (Tuhan) sebagai pencipta dan pengendali. Dengan
demikian, sehat, bahagia, dan sejahtera sekala-niskala
(lahir-batin) akan terwujud atau terjadi apabila terjadi keseimbangan hubungan
antara ketiga komponen tersebut. Hubungan serasi antara manusia, alam dan Tuhan
sebagai pencipta segala yang ada di jagat raya ini disebut dengan Tri Hita Karana. Artinya hubungan
harmonis ketiga unsur tersebut merupakan sumber penyebab kesejahteraan, kebahagian
dan kesehatan manusia. Sebaliknya,
sakit, tidak bahagia, sengsara, dan sebagainya, bisa terjadi manakala hubungan
ketiga komponen tersebut (hubungan antara manusia dengan alam, hubungan manusia
dengan Tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia ) terganggu atau tidak
harmonis. Bagi orang Bali, apabila hal ini terjadi, maka upaya mengembalikan
keseimbangan hubungan sistem, baik dalam konteks mikrokosmos maupun makrokosmos
merupakan upaya yang penting. Dalam kontek sehat-sakit, terganggungnya
fungsi-fungsi elemen tubuh (panca maha
butha dan tri dosha) baik karena faktor alamiah, personalistik maupun supranatural, menyebabkan seseorang
menjadi sakit.
Oleh karena penyakit tidak hanya merupakan
gangguan yang bersifat biologis semata, tetapi menyangkut dimensi yang lebih
luas, yakni dimensi psikologis dan sosial budaya, maka upaya menyembuhkan suatu penyakit tidaklah cukup
hanya ditangani masalah biologinya saja, tetapi harus digarap secara holistik
termasuk masalah sosial budaya dan psikologinya. Masyarakat pada umumnya
mencari pertolongan pengobatan bukanlah karena penyakit yang patogen, tetapi sering juga akibat
dirasakannya (illness) adanya
kelainan atau gangguan fungsi unsur-unsur dari tubuh. Dalam hubungan dengan
pencarian pengobatan, hingga kini kepercayaan masyarakat di Bali terhadap balian atau sistem pengobatan tradisional
masih cukup kuat, sekalipun
pelayanan kesehatan moderen seperti puskesmas, dokter praktik swasta dan
rumah sakit telah tersebar merata dan mudah dijangkau oleh masyarakat Bali.
Bahkan untuk jenis-jenis penyakit tertentu yang diduga disebabkan oleh
faktor nonmedis (supranatural) seperti
gangguan jiwa, bebainan dan sakit beda, pengobatan tradisional (balian/dukun) justru sering menjadi pilhan pertama sebelum pasien
dibawa ke rumah sakit atau ke dokter.
Bahan Obat dan Cara
Pembuatannya.
Bahan-bahan Obat
Dalam praktek
pengobatan sesuai dengan usada Bali, para balian di Bali dalam meracik obat pada umumnya
menggunakan campuran bahan-bahan obat
yang diambil dari berbagai sumber , yaitu sebagai berikut.
(1) Taru
(tanaman) yang umumnya
diambil sebagai bahan campuran obat adalah bagian-bagian dari tanaman tersebut
seperti daun, bunga, kulit, akar, umbi, dan lendir batang atau keseluruhan dari
pohon tersebut.
(2) Sato
atau buron (binatang),
yakni bagian dari binatang tersebut, yakni dagingnya, kulit, kuku, bulu dan
tulangnya, atau keseluruhan dari binatang tersebut.
(3) Yeh
atau Toya (air) yang
berasal dari laut, mata air, air hujan, air pohon dan buah tertentu.
(4) Unsur
Pertiwi yang terdiri dari tanah, garam, mineral,
batuan, logam, dan arang dari pohon tertentu.
(5) Madu, susu, arak, tuak/nira, dan berem.
Setelah melalui proses peracikan tertentu,
bahan-bahan obat tersebut akan menjadi obat tertentu yang bisa berbentuk padet (padat), enceh (cair), dan belek
(setengah padat).
Cara Pembuatan
Menurut konsepsi dan aturan yang ada dalam sistem
pengobatan usada Bali, agar obat yang
dibuat manjur untuk mengobati jenis penyakit tertentu dan dengan bahan
tertentu, maka proses pembuatannya tidak boleh dilakukan secara sembarangan,
sebaliknya harus dilakukan berdasarkan ketentuan atau melalui prosedur
tertentu. Atas dasar konsepsi itu, proses pembuatan obat di Bali dialkukan
dengan beberapa cara yaitu sebagai berikut.
(1) Dengan cara diulig (digerus).
(2) dipakpak
(dikunyah)
(3) dilablab (direbus)
(4) digoreng
(digoreng)
(5) dinyahnyah
(dioseng)
(6) ditambus
(dimasukkan ke bara api atau abu panas), dan
(7) ditunu
(dipanggang di atas api secara langsung).
Cara Penggunaan
Dalam pengobatan usada
Bali, pemberian obat kepada pasien dilakukan dengan cara-cara tertentu
tergantung pada peruntukan jenis obat yang akan diberikan, apakah untuk obat
dalam atau obat luar. Adapun cara-cara
penggunaan “obat dalam” (obat
yang masuk langsung ke dalam tubuh) dilakukan dengan tiga cara yaitu sebagai
berikut.
(1) Tetes (diteteskan)
(2) Tutuh
(dimasukkan melalui
hidung atau mata)
(3) Loloh
(diminum).
Sebaliknya penggunaan “obat luar” dilakukan melalui
beberapa cara sebagai berikut.
(1) Oles,
yaitu obat dioleskan pada
bagian-bagian tubuh yang sakit.
(2) Boreh, yaitu obat ramuan dilulurkan pada bagian tubuh orang yang sakit
(3) Simbuh , yaitu ramuan obat yang dikunyah
terlebih dahulu lalu disemburkan ke bagian-bagian tubuh tertentu.
(4) Uap,
yaitu ramuan obat yang digerus terlebih dahulu lalu diurapkan pada bagian tubuh yang sakit atau bagian tubuh tertentu,
seperti perut, dada dan bokong.
(5) Usug, yaitu ramuan obat digosokkan pada luka,
sekaligus untuk membersihkan.
(6) Ses,
yaitu luka atau bagian tubuh yang sakit dikompres dengan air dingin atau panas yang telah
berisi ramuan obat tertentu.
(7) Limpun, yaitu ramuan obat diurutkan pada
bagian-bagian tubuh yang sakit.
(8) Kacekel, yaitu ramuan obat digunakan bersamaan
dengan proses pemijetan anggota badan yang sakit.
(9) Tampel, yaitu ramuan obat ditempelkan pada
bagaian anggota badan yang sakit.
Profil Dua Kasus Balian:
Jero Mangku Loka Praktek di Kawasan Sanur Denpasar dan Jero mangku Gede Suartha
di Pemaron Singaraja.
Mangku Loka adalah
merupakan salah seorang seorang balian
dari sekian banyak balian yang ada di
desa Sanur. Berperawakan cukup kekar,
masih tampak cekatan dalam melayani pasien yang datang sekalipun sekarang dia
diperkirakan sudah berumur lebih dari tujuh puluh tahuan (70 tahun). Menyatakan bahwa dia tidak pernah mengenyam
pendidikan formal, tetapi memiliki sedikit
ketrampilan menulis dan membaca hurup latin. Sebaliknya, sangat pasih
berbicara, menulis dan membaca huruf Bali. Memperoleh keahlian sebagai
penyembuh di samping belajar dari lontar
usada, juga berguru kepada beberapa orang pedanda (pendata) yang tinggal di Bali,
dan sempat juga menimba ilmu pengobatan kepada seorang pendeta yang tinggal di
pulau Lombok. Dengan demikian, atas
ketrampilannya itu, Mangku Loka dapat digolongkan sebagai balian usada. Usada-usada pokok yang sering dipakai acuan dalam pengobatan
adalah Taru Premana, Wraspati Klapa, Usada Rare, dan Usada Sari..
Mangku Loka
tinggal di dalam lingkungan keluarga luas yang berlokasi di Jalan Danau
Buyan No 43 Desa Sanur, berjarak sekitar tujuh (7 Km) dari pusat Kota Madya
Denpasar. Rumah Mangku Loka berada di jalur utama Desa Sanur, yang sangat ramai dilalui oleh
berbagai jenis kendaraan sepanjang hari (24 jam). Di samping sangat dekat
dengan ibu kota propinsi, Desa Sanur merupakan salah satu resort pariwisata di
Denpasar Bali yang sudah berkembang demikian pesat sejak lama, sehingga kawasan
ini dapat dikatakan sebagai desa yang bercorak modern dan global, sekaligus
juga tradisional. Dikatakan masih
tradisional karena kehidupan masyarakatnya, sekalipun sangat intensif melakukan
kontak dengan budaya luar yang bersifat modern, namun kepercayaan dan
praktik-praktik yang bersifat tradisonal seperti gotong royong, keprcayaan
terhadap roh dan kekuatan gaib sebagai sumber penyakit, dan penggunaan
pengobatan tradisional, seperti balian
masih cukup menonjol.
Mangku Loka, selain
berperan sebagai balian, dia juga
adalah sorang pemangku salah satu pura yang ada di desa Sanur, yaitu
Pura Dalem Desa Sanur. Atas peran
sosialnya itu, Mangku Loka menjadi orang yang cukup disegani dan dihormati di
lingkungan komunitasnya. Menjalani profesi sebagai balian, sudah cukup lama, diperkirakan sudah lebih dari 30 tahun.
Sedangkan profil Balian kedua adalah Jero Mangku Gde Suarta (Mangku Sani), di
samping sebagai balian, beliau juga menjadi pemangku (pendeta) di pura desa di
Desa Pemaron. Berumur 51 tahun, berpendidikan tamat Sekolah Dasar, dan
menjalani profesi sebagai balian
relatif lama yaitu sekitar lima belas tahun.
Sebelum menjalani profesi sebagai balian,
Jero Mangku Gde Suarta belajar ilmu kebatinan Sila Dharma sekitar 25 tahun, dan
memiliki sedikit pengetahuan tentang pengobatan secara medis dan lontar usada Taru Premana[1]
serta Wraspati Kalpa[1]. Dalam praktek pengobatannya, tampak bahwa
penggunaan ilmu kebatinan (kekuatan batin) lebih menonjol dibandingkan dengan
penggunaan pengetahuan yang diperoleh dari usada, sebagaimana yang diterapkan
oleh Balian Mangku Loka di Desa Sanur. Walupun demikian, kedua balian ini
memiliki pengetahuan yang cukup memadai
tentang obat-obatan tradisional.
Berbeda dengan kondisi
lingkungan rumah dari Mangku Loka, lingkungan rumah Jero Mangku Gde Suarta yang
berlokasi di desa Pemaron Singaraja adalah lingkungan desa yang relatif jauh
dari keramaian kota dan berjarak sekitar 10 KM dari ibu kota kabupaten
Buleleng. Walaupun demikian, jumlah pasien yang berobat pada Jero Mangku
Suartha cukup banyak, mencapai antara lima-sepuluh (5-10) orang perhari, dengan
karakteristik pasien yang bervariasi, secara usia, jenis kelamin maupun latar
belakang sosialnya. Berikut ini akan
digambarkan system penatalaksanaan pengonatan terhadap beberapa jenis penyakit
yang pernah ditangani dan jenis obat yang diberikan kepada pasiennya.
Penatalaksanaan Pengobatan.
Dalam menegakkan diagnosis
terhadap penyakit yang diderita pasien,
Mangku Loka menggunakan motode dan teknik diagnosis (tetengerin gering) berdasarkan dari pengalaman dan pengetahuan yang
diperoleh dari usada dengan melakukan pemeriksaan secara bertahap pada
elemen-elemen tubuh tertentu, yaitu (1)
suhu tubuh, (2) bulu mata , (3) warna kulit, (4) warna dan bentuk rambut, (5)
warna mata, dan kuku (6) dan memeriksa keadaan tenggorokan. Di samping itu menanyakan kepada pasien lama gejala sakit,
lokasi sakit, dan menanyakan juga warna kotoran dan air seni sipasien. Agak berbeda dengan teknik yang dilakukan
oleh Mangku Loka, Jero Mangku Gde Suartha dalam menegakkan diagnosis lebih sering menggunakan tekni-teknik yang
terdapat pada usada Wraspati Kalpa,
yaitu dengan mengamati keadaan atau ciri-ciri pasien yang datang antara lain:
apa ada bunga dalam dirinya, memperhatikan tempat, cara/posisi, dan arah duduk
sipasien, dan kemudian melihat kuku si pasien. Berdasarkakn pengamatan itulah balian ini menegaKkan diagnosis dan
pengobatan. Walaupun tampak ada sedikit
perbedaan di antara keduanya, naum kedua balian ini selalu menggunakan prosedur
menegakkan diagnosis (tetengering gering)
sesuai dengan kode etik profesi menjadi seorang balian (ambek dadi balian)
Agar pengobatan berhasil dengan baik, selain
menggunakan teknik dan pendekatan medis, kedua balian ini juga menggunakan pendekatan supranatural (metafisik),
dengan permohonan kepada Tuhan melalui penyelenggaraan jenis ritual dan
mantra-mantra tertentu. Di samping itu, untuk jenis penyakit tertentu, seperti
penyakit kulit tilas naga misalnya, pasien diajurkan untuk berpantang makan
telor, ikan asin atau ikan laut dan
daging babi.
Obat-obat yang diberikan kepada pasien, secara
umum adalah obat tradisional yang dibuat dari bahan-bahan (tumbu-tumbuhan,
binatang, mineral) tertentu berdasarkan
pada teknik pengobatan usada yang tertera dalam Lontar Taru Premana. Umumnya obat tersebut tidak tunggal, ada
campurannya sesuai dengan jenis penyakit yang diderita pasien. Bagi pasien yang
pertama kali datang, obat yang diberikan
dibuat oleh balian yang bersangkutan
untuk dipakai dalam kurun waktu kurang lebih tiga (3 hari). Setelah itu, jika belum sembuh, tetapi sudah
menunjukkan perbaikan, diajurkan pasien membuat sendiri di rumah mereka.
Sebaliknya jika dengan obat tersebut panyakit pasien tidak sembuh atau tidak menunjukkan
perubahan, disarankan untuk membeli obat di apotik atau berobat ke dokter.
Evaluasi Keberhasilan
Pengobatan
Mangku Loka dan Jero
Mangku Gde Suartha (Suni) menjelaskan bahwa dia tidak memiliki teknik acuan
untuk mengevaluasi keberhasilan pengobatan yang diberikan, namun menurut
kebiasaan kesembuhan pasien diketahui dari perberitahuan langsung oleh pasien
kepada dirinya bahwa yang bersangkutan
sudah merasa sembuh. Pada saat kedatangannya itu yang bersangkutan biasanya
minta dilukat /diruat (diupacarai
agar bersih dan terhindar dari mara bahaya dan penyakit). Selain itu,
pemeriksaan getaran tenaga pasien lewat nadi, pertanyaan terhadap hilangnya
keluhan pasien sering dilakukan sebagai dasar evaluasi keberhasilan pengobatan.
Demikian juga bila pasien tidak lagi datang, diasumsikan oleh kedua balian
bahwa panyakit sipasien sudah sembuh.
Karakteristik Pasien Diobati
Berdasarkan pengamatan dan
hasil wawancara dengannya, jumlah pasien yang datang ke rumah Mangku Loka untuk
berobat tidak begitu banyak, namun pada
saat penelitian ini dilakukan tercatat tidak kurang dari lima pasien datang
berobat. Mereka terdiri dari 2 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Pasien
laki-laki tersebut satu orang tergolong masih Balita (berumur sekitar empat
tahun) dengan keluhan panas badan anak tiba-tiba tinggi setelah diajak ke rumah
saudara dekat, diduga oleh orang tuannya anak ini kena pengaruh ilmu hitam.
Sebaliknya, laki-laki yang kedua berumur sekitar lima puluh (50 tahun) dengan
keluhan batuk menahun. Sedangkan pasien
perempuannya terdiri dari satu orang berumur sekitar enam puluh tahun dengan
keluhan batuk-batuk dan rematik, dan dua orang lainnya merupakan pasangan
pengantin yang mengalami masalah rumah tangga. Dengan demikian, karakteristik
pasien yang datang berobat pada Balian Mangku Loka cukup bervariasi, baik dari
segi umur, seks, maupun jenis penyakitnya. Sedangkan mengenai asal daerah
pasien yang datang berobat umunya
berasal dari wilayah desa-desa terdekat di wilayah Denpasar, tetapi
kadang-kadang ada yang berasal dari luar kabupaten, seperti Gianyar. Demikian juga
kebanyakan pasien yang datang berobat
pada Jero Mangku Gde Suartha, berasal dari desa atau daerah
disekitarnya, seperti Seririt, Kota Singaraja, dan kadang-kadang ada yang
berasal dari kabupaten Jembrana, dan Tabanan.
Menurut Mangku Loka dan
Mangku Suartha, sebagian pasien yang diobati dengan kesadaran sendiri
kadang-kadang membawa hasil pemeriksaan laboratorium, untuk menunjukkan kondisi
penyakitnya setelah mereka gagal menjalani pengobatan dokter. Kedua balian
ini menyatakan, bahwa dirinya tidak
menggunakan hasil ronsen sebagai dasar diagnosis, tetapi lebih berdasarkkan
hasil pengamatan sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari lontar
usada.
JenisTumbuhan Obat yang Digunakan
Tumbuh-tumbuhan yang
digunakan baik oleh Mangku Loka maupun Jero Mangku Gde Suatha sebagai bahan
obat sangat banyak jenisnya, baik yang berupa pohon besar yang berumur puluhan
tahun yang ada di hutan, maupun dan jenis pohon perdu, rumput dan tanaman
merambat yang tumbuh di semak belukar dan halaman rumah. Bagian-bagian dari
tanaman yang digunakan sebagai bahan obat adalah akar/umbi, pucuk daun, daun
tua, batang, bunganya, dan buahnya. Oleh karena tidak semua bahan obat yang
diperlukan dapat dibudidayakan di rumah, maka balian ini mencari bahan obat di sawah, tegalan, di
hutan yang kadang-kadang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Disamping itu,
sebagian lain bahan obat yang dibuat sering juga di beli di pasar dan toko
obat.
Jenis-Jenis Penyakit yang Pernah Ditangani
Berdasarkan
dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap praktik pengobatan
yang dilakukan oleh Mangku Loka di desa Sanur, dan Jero Mangku Gde di Desa
Pemaron Singaraja, jenis-jenis penyakit yang pernah ditangani dan jenis obat
yang diberikan terangkum dalam deskripsi sebagai berikut.
Penyakit Kulit
(1) Tilas
Naga
Bahan Obat :
Obat Luar :
Kules
lelipi (kulit ular), Daun Nasi-Nasi, Injin (ketan hitam), Kunyit (kunir), Hati ayam Bihing (merah) dibakar.
Cara Pembuatan :
Semua bahan obat tersebut di gerus (ulig) ditambah air panas, setelah itu
disaring. Air saringannya ditambahkan
bedak selanjutnya dipakai bedak pada
kulit yang sakit.
Obat Dalam :
Lunak (asem), gula Bali (merah), Kunyit (kunir),
Madu Asli.
Cara Pembuatan :
Kunyit (kunir) dikikih (diparut), lunak,
gula bali, dan madu di gerus dan ditambahkan air hangat satu gelas kemudian
disaring. Air saringannya
diminum 3 X sehari (pagi, sore, dan malam).
(2) Tilas
Bunga.
Bahan Obat :
Obat Luar :
Jahe, Kunyit
(kunir), Kencur, kerikan pohon
cempaka, jajan begina matah (kue tradisional Bali yang masih
mentah yang dikeringkan) dibakar , dan
cuka.
Cara Pembuatan :
Jahe, Kunir, Kencur, kerikan pohon cempaka,
Jajan begina mentah digerus (ulig)
ditambah cuka kemudian disaring. Air
saringan dipakai obat oles pada kulit
yang sakit.
Obat Dalam :
Padang Sendok, Lamongan, Temu-temu, Madu, Jeruk
Nipis.
Cara Pembuatan :
Padang Sendok, Lamongan digerus ditambahkan air
angat satu gelas kemudian airnya diperas. Air perasan ditambahkan air jeruk
nipis dan madu, diminum 3 kali dalam sehari (pagi, siang dan sore).
(3) Penyakit Lepra :
Bahan Obat :
Oong
(jamur kotoran sapi), jamur batang bambu (oong tiing), oong telagi (pohon asem), oong dedalu, oong bulan, buah buni hitam , umbi game, asem tanek
hitam, cuka belanda, minuman Wiski.
Cara
Pembuatan :
Oong
taen sapi, oong tiing, oong telagi, oong dedalu, oong bulan, buah buni hitam, umbi game, dan asem
tanek hitam, semua bahan tersebut
digerus sampai halus kemudian disaring dan ditambahkan cuka belanda, dan wiski, lalu dioleskan pada
kulit yang sakit.
Catatan: di samping dengan ramuan obat, pengobatan
juga dilakukan dengan cara pembersihan secara magis melalui ritual meluka/ruatan di tempat tertentu, yaitu di
Pemuhun (tempat pembakaran jenazah di
kuburan umat Hindu, dan disertai dengan mengaturkan sesajen berupa banten caru.
(4) Kusta dan Bulenan
(kurap).
Bahan Obat :
Obat Dalam :
Buah
jebug + Kakap Sedah + Buah Base + Gambir
Cara Pembuatan :
Buah
jebug + Kakap Sedah + Buah Base + Gambir digerus sampai alus kemudian ditambahkan air
panas secukupnya disaring; airnya diminum satu sendok makan setiap hari 3 kali
(pagi, siang, dan sore).
Obat Luar :
Kakap
sedah (daun sirih tua)+ Jahe + Isen Kapur + Kesune Jangu + Akah Paku Dukut +
Inan Kunyit.
Cara Pembuatan :
Kakap
sedah (daun sirih dua)+ Jahe + Isen Kapur + Kesune Jangu + Akah Paku Dukut +
Inan Kunyit semuanya
digerus dipakai boreh.
(5) Alergi Kulit
Bahan Obat :
Kakap
Base + Inan Kunyit + Dakep-dakep
Cara Pembuatan :
Kakap
Base + Inan Kunyit + Dakep-dakep digerus kemudian ditambahkan air panas disaring diminum sebagai loloh.
Penyakit Saluran Pernapasan
(1) Bengek (sulingan)
Bahan Obat :
Air
Bungkak (kelapa Muda), Daun Kesimbukan, Daun Pancar Sona, Sari Kuning, Air Damuh.
Cara Pembuatan :
Air
Bungkak (kelapa muda), daun Kesimbukan, daun Pancar Sona, Sari Kuning direbus.
Airnya disaring ditambahkan air Danuh
(air yang diembunkan) dipakai Tutuh
(obat masuk melalui hidung).
(2) Batuk
Kering
Obat Dalam :
Bahan Obat
:
Bunga
Belimbing Buluh, Daun Pancar Sona, Bawang Merah Metambus (dibakar dengan bara api) Daun Sulasih mihik (wangi), Kencur.
Jeruk Nipis.
Cara Pembuatan :
Bunga
Belimbing Buluh, Daun Pancar Sona, Bawang Metambus, Daun Sulasih mihik, Kencur ditumbuk dimasukkan ke dalam
kantong plastik kemudian dikukus setelah itu diperas. Air perasannya
ditambahkan jeruk nipis diminum 3 X dalam sehari.
Obat Luar :
Bahan Obat :
Biji
Nangka, Mesui, Jebuharum, jahe
Cara Pembuatan :
Biji
Nangka, Mesui, Jebuharum, jahe digerus (ulig) ditempelkan pada
dada (ulu hati).
(3) Kohkohan
(Batuk Berdahak)
Obat Dalam
Bahan Obat :
Daun
Belimbing Besi, Kunir, Kulit Kelapa Ditambus, Bawang ditambus, Lunak.
Cara Pembuatan :
Daun
Belimbing Besi, Kunir, Kulit Kelapa Ditambus, Bawang ditambus, Lunak. Digerus (ulig) ditambahkan air Panas, kemudian disaring. Air saringannya
diminum.
Obat Luar
Bahan Obat :
Bungkil
biu dang saba (pancar
pisang kapok), bawang metambus (dibakar
dalam bara), kepik Waru (pucuk daun
waru), minyak kelapa asli (Bali).
Cara pembuatan :
Bungkil
Biu dang saba, Bawang metambus, kepik Waru digerus kemudian ditambahkan minyak kelapa bali dipakai obat tempel pada tulang Gihing (tulang belakang di ujung pantat).
(4) Penyakit Saluran Pernapasan
Bahan Obat :
Obat Luar :
Liligundi
Sekemulan + Kesuna Jangu + Kencur + Beras
Cara Pembuatan :
Liligundi
Sekemulan + Kesuna Jangu + Kencur + Beras digerus sampai alus ditambahkan air panas
secukupnya.
(5) Penyakit Batuk Berdarah
Bahan Obatnya :
(Jahe Pahit + Jeruk Nipis + Minyak Dehe digunakan
sebagai loloh).
Penyakit Perut
(1) Buh (perut membesar)
Bahan Obat :
Biji
Tabu (waluh), Pepaya
matang, Kentang, Wortel, ½ sendok cuka,
½ sendok brem, ½ sendok kecap manis.
Cara Pembuatan :
Biji
Tabu (waluh) dinyanyah kemudian digerus, Pepaya
matang, Kentang, Wortel dikihkih
kemudian dikukus airnya diambil ditambahkan
½ sendok cuka. ½ sendok brem, ½ kecap manis, lalu diminum untuk obat.
(2) Mah (gangguan lambung)
Bahan Obat :
Obat Dalam :
Ketela
Bun (rambat), Garam
sedikit, Air Titisan (air tanakan
nasi)
Cara Pembuatan :
Ketela
Bun (rambat) diparut,
ditambahkan Garam sedikit, Air Titisan kemudian
dimakan sehari empat kali.
Obat Luar
Bahan Obat :
Kulit manggis, Kesuna Jangu, Abu (arang), minyak
kelapa bali.
Cara Pembuatan :
Kulit manggis, Kesuna Jangu, Abu (arang) digerus
sampai halus kemudian ditambahkan minyak
kelapa bali ditempelkan pada ulu hati.
(3) Perut
Panas dan atau Dingin Karena Infeksi.
Bahan Obat : Bidara Upas
Cara Pembuatan :
Bidara Upas direndam dengan air panas, setelah
dingin diminum dengan dosis tiga gelas dalam satu hari.
(4)
Berak Darah
Bahan
Obat:
Buah Sarikaya masak + es batu sampai dingin,
kemudian dimakan.
Babakan Jati + Bawang Adas + asaban Cendana
digerus sampai alus kemudian disaring dijadikan loloh (jamu).
(5) Perut Sakit :
Bahan
Obat :
Kerikan Buah + Kerikan Gedang + Bangle Tiga Iria +
Uyah Areng.
Cara
Pembuatan :
Kerikan Buah + Kerikan Gedang + Bangle Tiga Iria +
Uyah Areng dipapak disimbuhkan dibagian perut yang sakit.
Sakit Tulang (Tuju)
Bahan Obat :
Obat Luar :
Akar Kayu Tulang, Akar Sambung Tulang, Akar kayu
Tiwang, Akar liligundi, kelapa ental, sindrong jangkep.
Cara Pembuatan :
Akar Kayu Tulang, Akar Sambung Tulang, Akar kayu
Tiwang, Akar liligundi, kelapa ental, sindrong jangkep digerus kemudian digoreng
dipakai untuk boreh pada bagian yang
sakit.
Bata merah digambar dengan Ongkara (sastra suci Hindu) dipanaskan dan diatasnya diisi daun
liligundi secukupnya dan diinjak dengan kaki yang sakit sampai keluar air pada
kaki yang sakit.
Obat Dalam :
Daun Paye/pare Puuh, Kuncuk Pule, Daun Ginten
Cemeng, Temukus, akar kayu angket, temu
ireng, dan jahe pahit.
Cara Pembuatan :
Daun Paye Puuh, Kuncuk Pule, Daun Ginten
Cemeng, Temukus, akah kayu angket, temu
ireng, jahe pahit digerus kemudian
ditambahkan air panas secukupnya dan disaring. Air saringannya diminum 3 kali
dalam sehari.
Sakit Kepala
(1) Puruh
atau Belahan
Obat Luar :
kulit telur ayam, daun sembung, mesui, cekuh
nunggal, buah base (sirih), daun dagdag.
Cara Pembuatan :
Kulit telur ayam, daun sembung, mesui, cekuh
nunggal, buah base (sirih) digerus sampai halus kemudian ditempelkan pada
kepala ditutup dengan daun dagdag.
Catatan dalam pengobatan tidak boleh kena asap,
merokok, kena air. Dan untuk obat urutnya
dipergunakan bawang merah, kayu putih, limo (jeruk purut) diurut pada
tulang belakang (tulang gihing).
(2) Rambut
Rontok
Bahan Obatnya :
Obat Luar :
Kelabet, daun langir, daun mangkok, lidah buaya,
putih semangka muda (pusuh).
Cara Pembuatan :
Kelabet, daun langir, daun mangkok, lidah buaya,
putih semangka pusuh di lablab
(direbus) kemudian disaring, airnya dimasukkan ke dalam botol ditutup kemudian
didinginkan dalam air, baru disiramkan atau dibasuhkan di kepala sampai kena kulit kepala.
Obat Dalam :
Daun jempiring dan gula bali (gula merah).
Cara Pembuatan :
Daun jempiring, gula bali digerus kemudian
disaring diminum.
Penyakit Pada Wanita
(1) Keputihan
Bahan Obat :
Obat Luar :
Daun keliki, kulit manggis, bawang merah.
Cara Pembuatan :
Daun Keliki, kulit manggis, bawang merah digerus
ditempelkan pada perut.
Obat Dalam :
Akah
(akar kemogan), tain yeh (endapan sari air yang berwarna
kuning/kotoran air), umbi ikose
(sejenis isen).
Cara Pembuatan :
Akah
kemogan, tain yeh, umbi ikose (sejenis isen) digerus dan ditambahkan air panas secukupnya kemudian
disaring dan diminum sebagai loloh
(jamu).
(2) Datang
Bulan Tak Lancar.
Bahan Obat :
Obat Luar :
Temako, lunak (asem) dan minyak tandusan (minyak kelapa asli produksi
tradisional).
Cara Pembuatan :
Temako,
lunak (asem), minyak tandusan (asli) digerus
ditempelkan pada pusar pada malam hari.
Obat Dalam :
daun isen,
gula bali, akah biu dangsaba (akar pisang kapok), blangsah buah,(bunga pinang),
dan sari kuning.
Cara Pembuatan
:
daun
isen, gula bali, akah biu dang saba, blangsah buah, sari kuning
digerus kemudian ditambah air panas dan disaring, airnya diminum untuk
obat.
(3) Vagina
Sakit
Bahan Obat
Obat
Luar :
Untuk Mandi : daun candi late direbus untuk air
mandi.
Untuk oles : jagung muda, gadung cina, buah kem,
umbi ilak, daun ilak, semuanya
direbus disaring kemudian ditambahkan air mawar dengan perbandingan 1 campuran
obat : 1 air mawar.
Sakit Gigi
(1) Sakit Gigi tidak ada ocel
Bahan Obat :
Untuk gosok gigi : Getah kamboja ditambah odol
atau garam
Obat kumur: Babakan
ental, air dan garam direbus, air
rebusan dipakai kumur-kumur.
Obat oles: Daun kayu anyeket, daun tabia/cabai lombok, hati
bawang, air cendana semua bahan
digerus sampai halus, lalu dioleskan pada gigi yang sakit.
(2) Sakit Gigi Berlubang
Bahan Obat :
Arang batok kelapa, sembung, dan trusi.
Cara Pembuatan:
Arang batok kelapa, sembung, trusi digerus
ditambahkan air panas dijadikan obat kumur.
(3) Gigi Sakit
Bahan Obat :
Jahe Pahit + Jeruk Nipis + Minyak Dehe + Batu Tuwung Kanji yang Tua.
Cara Pembuatan :
Jahe Pahit + Jeruk Nipis + Minyak Dehe + Botun
Tuwung Kanji yang Tua di , kemudian airnya disaring dipakai obat kumur.
Air Lumut dipakai kumur-kumur.
Gangguan Vitalitas (Wandu)
Bahan Obat :
Obat Dalam :
Kuning Telur ayam kampung, air kunir 1 sendok,
serbuk merica 11 biji, madu dicampur dijadikan satu dan diminum sebagai loloh.
Kuud
ental (isi buah lontar
muda), wortel, ketela rambat, kelapa dibakar (metunu); semuanya itu digerus kemudian dikukus, airnya diambil
dijadikan loloh.
Obat Luar :
Buah Tibah dicocok dimasukkan garam, kemudian ditambus, kemudian diinjak tepat kena
cekok kaki.
Luka/borok Menahun (kronis)
Bahan Obat :
Minyak
Alu (kadal/biawak ), Yeh Lunak (air asem,, air Jeruk Purut
(lemo), dipakai obat oles luka.
Isen,
batang jepun/kamboja di lablab (direbus) atau ditambus (dibakar pada
bara api), lalu airnya dipakai obat oles.
Penyakit Mata
(3) Mata Merah
Bahan Obat :
Air batang Simbukan, umbi bunga Teratai (tunjung),
air kakap (daun sirih tua).
Cara Pembuatan :
Umbi
Teratai (Tunjung) ditambus dibakar pada bara api ditambah air
batang simbukan dan air kakap,
kemudian disaring; airnya dijadikan obat tetes.
Air rebusan daun Kelor dipakai mencuci mata setiap bangun pagi.
(4) Mata Tumbuhan
(Katarak)
Bahan
Obatnya:
Darah bulu ekor ayam, darah
ekor belut (lindung) dipakai obat
tetes mata.
Gangguan Saluran Kencing
(5) Kencing Darah
Bahan
Obatnya :
Semangka + Gula Batu
Cara
Pembuatan :
Buah Semangka dicocok sampai
berlubang kemudian dimasukkan gula batu, didiamkan selama satu hari, kemudian
air semangka itu diminum untuk obat.
(6) Kencing Batu
Bahan
Obatnya :
Kelungah buah kelapa
Mulung + Bunga Gedang Renteng (bunga
kates renteng)+ Bawang Adas + Bulih Sutra + Jeruk Nipis.
Cara
Pembuatan :
Kelungah Nyuh Mulung dilobangi
dan dimasukkan Bunga Gedang Renteng + Bawang Adas + Bulih Sutra + Jeruk Nipis,
kemudian dipanaskan sampai matang. Airnya diminum lebih kurang dengan dosis 2 sampai 3 kelapa dalam sehari.
Penyakit Kencing Manis
Bahan Obatnya :
Widara Upas + Jahe Pahit + Jeruk Nipis + Sambi
Roto + Bidara Upas.
Cara
Pembuatan :
Widara Upas + Jahe Pahit + Jeruk Nipis +
Sambi Roto + Bidara Upas direbus sampai mendidih dan air tinggal sepertiganya,
kemudian disaring. Air saringannya diminum sebagai obat.
Penyakit Asam Urat
Bahan Obat :
Obat Luar :
Babakan Juwet + Babakan Book + Babakan Jepun +
Pomor Bubuk + Kesuna Jangu + Isen Pabuan + Cuka.
Cara Pembuatan :
Babakan Juwet + Babakan Book + Babakan Jepun (kulit pohon kamboja) +
Pomor Bubuk + Kesuna Jangu + Isen Pabuan
digerus sampai alus kemudian ditambahkan air panas secukupnya disaring
kemudian + Cuka.
Obat Bengkak
Bahan Obatnya :
Jebug Arum 3 Biji +induk kunir (inan kunyit) + Temutis
Cara Pembuatan :
Jabug Arum 3 Biji + Inan Kunyit + Temutis di
kunyah sampai alus kemudian disemburkan pada tempat yang bengkak.
Darah Kotor
Bahan Obat :
Buah Menori
(di ambil bijinya yang muda) + Pancar Sona Sekembulan, (satu tangkai utuh).
Cara Pembuatan :
Buah Menori
(di ambil bijinya yang muda) + Pancar Sona Sekembulan di Gerus Sampai
Alus ditambahkan air panas secukupnya, kemudian disaring. Diminum sebagai
loloh.
Obat Jerawat
Bahan Obatnya :
Kakap Tabia Bun (daun cabe jawa tua + Kesuna Jangu
+ Akah Paku Jukut (akar pohon paku sayur)+ Inan Kunyit (induk kunir).
Cara Pembuatan :
Kakap Tabia Bun + Kesuna Jangu + Akah Paku Jukut +
Inan Kunyit di gerus sampai alus dijadikan boreh (bedak) pada jerawat.
Simpulan dan Saran
Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan di
atas, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut. Suku bangsa Bali, sebagaimana suku-suku bangsa
lain yang tersebar di Indonesia, sejak lama telah mengembangkan seperangkat
pengetahuan, kerepercayaan, aturan-aturan, ritus-ritus dan praktik-praktik
untuk menghindari dan menanggulangi berbagai ancaman penyakit yang dihadapi
yang disebut dengan sistem kesehatan atau sistem medis.
Secara
teoritis dalam setiap sistem medis paling tidak akan dijumpai dua subsistem, yaitu (1) sistem etiologi atau
sebab-sebab sakit dan penggolongan penyakit, dan (2) sistem perawatan
kesehatan. Sistem perawatan atau
pengobatan secara tradisional di Bali
disebut dengan Usada Bali; dan para
penyembuhnya dikenal dengan sebutan Balian/dukun.
Sedangkan sistem etiologinya atau
sebab-sebab sakit digolongkan menjadi empat, yaitu (1) sebab-sebab yang
bersifat naturalistik, (2) personalistik, (3) supranaturalistik, dan (4)
gabungan dari ketiga faktor tersebut.
Keempat penyebab sakit tersebut, secara emik digolongkan ke dalam
tiga kategori, yaitu (1) penyebab sakit
secara skala (fisik/nyata), (2) penyebab sakit secara niskala (tidak nyata/nonfisik), dan (3)
campuran sebab-sebab skala dan niskala. Kepercayaan orang Bali pada
umumnya terhadap sebab-sebab sakit
secara niskala justru hingga kini
masih sangat kuat. Kondisi ini diduga menjadi salah satu faktor penting masih
eksisnya balian dan penerimaan masyarakat
terhadap pengobatan tradisional atau usada di Bali.
Berdasarkan
atas keahlian, sumber pengetahuan dan kemapuan profesi yang dijadikan sebagai
sumber kekuatan dalam menjalankan praktiknya, balian di Bali dibagi ke dalam empat
golongan atau kategori, yaitu (1) Balian
Usada, (2) Balian Ketakson, (3) Balian Pica, dan (4) Balian Campuran. Di dalam
menjalankan praktik pengobatan, baik dalam rangka menegakkan diagnosis
maupun terapi, para balian di
Bali terutama balian usada dan campuran menggunakan
lontar usada sebagai pegangan
profesinya. Lontar-lontar yang paling
umum dikenal dan biasa digunakan adalah lontar Wraspati Kalpa, Budha Kecapi, Ayurveda, dan naskah-naskah kuno
lainnya yang memuat cara-cara menentukan penyakit (menegakkan diagnosis), dan Lontar Taru Premana yang memuat
nama-nama jenis tanaman untuk nama-nama dan jenis penyakit yang bisa
disembuhkan dengan tanaman tersebut.
Secara praktis ada tiga cara yang biasa dilakukan oleh balian dalam menegakkan diagnosis, yaitu
1) praktyasa atau roga pariksha
(melakukan pengamatan pada bagian tubuh pasien secara teliti), Sparsana (melakukan rabaan, sentuhan
pada nadi dan bagian tubuh lainnya), dan (3) Prasna (wawancara tentang berbagai hal yang erat kaitannya dengan
penyakit yang dideritanya, termasuk umur, pekerjaan, pengalaman sakit, dan
pengobatan yang pernah digunakan sebelumnya). Dengan model pemeriksaan seperti
itu, secara perbandingan tampak tidak jauh berbeda dengan teknik yang lazim
dilakukan oleh dokter saat memeriksa pasiennya. Dengan demikian, model
pemeriksaan yang dilakukan oleh balian di
Bali seperti itu, dapat dikategorikan sebagai praktik pengobatan yang sudah
memenuhi prinsip moderen. Walaupun
demikian, praktik pengobatan yang dilakukan oleh balian yang menggunakan obat-obat tradisional, sering tampak
masih kurang terukur takaran dosisnya,
konsistensinya, kandungan farmakologi dari bahan obat yang diberikan, dan
heginitasnya. Kondisi yang demikian bukan tidak mungkin bisa berdampak negatif
atau bisa membahayakan kesehatan bahkan jiwa
pasien bersangkutan.
Bentuk
dan kualitas obat yang diramu oleh balian
untuk para pasiennya terdiri dari tiga bentuk, yaitu (1) Padet (padat, (2) Enceh
(cair), dan (3) Belek (setengah
padat). Sedangkan kualitas unsur-unsur yang terkandung dalam obat yang dimaksud digolongkan menjadi tiga
kategori, yaitu (1) berkualitas atau mengandung unsur Anget (panas), (2) Tis
(dingin), dan (3) Jumelade
(netral/sedang). Konsepsi orang Bali tentang sehat-sakit mengacu pada aspek
keseimbangan dan ketidakseimbangan fungsi dan hubungan unsur-unsur yang ada
dalam sistem tubuh dan pembentuk tubuh (mikrokosmos),
yaitu panca maha butha dan Tridosha dengan sistem luar yang luas
yaitu alam semesta (makrokosmos).
Dengan demikian, kondisi sehat akan terjadi manakala ada keseimbangan dan
keharmonisan hubungan antara simtem mikrokosdmos dengan makrokosmos. Sebaliknya, sakit akan terjadi manakala
keseimbangan fungsi dan unsur dalam tubuh manusia dan hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos terganggu.
Saran-Saran
Dengan
berbagai keterbatasan yang ada terutama masalah waktu dan biaya maka masih
banyak jenis tanaman obat, baik yang termuat dalam lontar Taru Premana, dan
naskah-naskah kuno lainnya yang ada di Bali maupun ramuan obat yang biasa
dibuat oleh balian yang mungkin sangat manjur untuk jenis penyakit tertentu
belum terindentifikasi secara baik dan lengkap.
Atas dasar keterbatasan ini, maka upaya penelitian yang lebih intensif
dan mendalam untuk lebih memahami isi
dan kasiat jenis tanaman yang dimasud pada masa-masa berikut perlu
diadakan.
Daftar Bacaan
Foster G.M & B.G.
Anderson,1978. Medical Anthropology.
New York: John Berkeley: University of California Press.
Helman, Cecil,1984. Culture, Health, and Illness. The
Stonebrige Prees.
Kalangie, N.S, 1976.”Arti
dan Lapangan Antropologi Medis”. Dalam Berita
Kalangie, N.S,1980. Contemporary Helath Care in West Javanese
Village: The
Kleinman, Arthur, 1980. Patients and Healers in the Context of
Culture:
Kleinman, Arthur,1980. Patients and Healers in the Context of Culture:
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI
Press.
Kumbara, A.A. Ngr Anom,1994.
“Gangguan Jiwa di Bali sebagai
Raines,
John (editor). 2003. Marx Tentang Agama.
Jakarta:
Teraju.