Studi Agama dan Keberagamaan Umat Hindu
Manusia menjalankan kehidupannya pada sepanjang garis eksistensinya, yaitu
garis antara titik asal-mula dan titik tujuan kehidupan. Apabila mengikuti
pemikiran Bhagavad Gita maka titik
asal-mula dan titik tujuan kehidupan adalah Tuhan; dan karenanya sepanjang
garis eksistensi kehidupan manusia haruslah bernilai ketuhanan. Nilai ketuhanan
begitu abstrak sehingga ketika mengekspresikan dirinya, manusia memodifikasi
garis eksistensi kehidupan menjadi bidang-bidang kehidupan. Bidang-bidang
kehidupan ini memiliki karakteristik dan orientasi nilai masing-masing
misalnya, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, dan bidang kehidupan
lainnya. Bidang-bidang kehidupan, selain agama memiliki tujuan yang lebih jelas
dan terukur. Bidang politik memiliki tujuan kekuasaan sehingga ukuran orang
yang sukses dalam politik, kalau ia memperoleh kekuasaan. Dalam bidang ekonomi
khususnya bisnis memiliki tujuan keuntungan sehingga ukuran orang yang berhasil
dalam bisnis, kalau ia memperoleh keuntungan. Kalau begitu, bagaimanakah tujuan
bidang kehidupan agama dan bagaimanakah mengukur tingkat keberhasilannya?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut patut disadari bahwa pengkaplingan
kehidupan menunjukkan, keterbatasan manusia terutama terbatasnya pengetahuan
tentang titik asal-mula dan titik tujuan kehidupannya. Keterbatasan ini
disebabkan karena keberadaan kedua titik ini bukan dalam dunia
fisis-materialistis, melainkan dalam dunia metafisis-idealistis. Dunia ini
niscaya adanya, tetapi di luar jangkauan kekuatan akal dan kemampuan nalar
sehingga kehadiran manusia ke dunia seperti buku tanpa bagian pendahuluan dan
penutup. Dalam upayanya menyusun kedua bagian ini, yakni memahami titik
asal-mula dan titik tujuan kehidupannya, manusia berspekulasi dan bereksplorasi
masuk ke dalam dunia metafisis-idealistis melalui agama. Inti agama adalah
iman, yaitu penyerahan diri kepada Tuhan, Dialah satu-satunya andalan dalam
kehidupan. Dalam agama iman harus menjadi patokan sehingga rumusannya harus
disesuaikan dengan budaya dan bahasa setempat, agar iman dapat dipahami oleh
orang yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda.
Apabila dikembalikan kepada latar belakang kehadiran agama dalam kehidupan
manusia dengan pertanyaan, mengapakah manusia beragama maka setidak-tidaknya
ditemukan enam dorongan pokok, yaitu untuk memperoleh rasa aman dan nyaman,
mencari perlindungan hidup, menemukan penjelasan atas realitas termasuk dunia
dan hidup itu sendiri, memperoleh segala pembenaran atas praktik-praktik hidup
yang serba relatif, menemukan tata nilai yang sudah mengakar dalam masyarakat,
dan memuaskan kerinduan mendalam atas hakikat hidup dan kehidupan. Ini
sekaligus merupakan variabel untuk mengukur kesuksesan orang dalam beragama,
yakni sejauh mana dasar dan tujuan beragama telah menjadi bagian dari dirinya
dalam keseluruhan kehidupannya. Artinya, bidang religius semestinya telah
meresapi kehidupan bidang-bidang kehidupan nonreligius sehingga seluruh bidang
kehidupan bernilai dan bermakna religius.
Dengan demikian tujuan bidang kehidupan agama adalah meningkatkan kemampuan
menghubungkan titik asal-mula dan titik tujuan kehidupan menjadi satu garis lurus
eksistensi kehidupan. Semakin lurus garis eksistensi kehidupan, semakin efektif
peran dan fungsi agama dalam kehidupan manusia, dan semakin tinggi tingkat
keselarasan kehidupan antara dunia metafisis-idealistis dan dunia
fisis-materialistis. Orang yang sukses dalam bidang agama ditandai oleh
keseimbangan dan keselarasan kehidupan antara dunia metafisis-idealistis dan
dunia fisis-materialistis berdasarkan imannya kepada Tuhan karena Dialah yang
esensial pada setiap agama. Ini berarti agama dapat memainkan perannya untuk
mengarahkan pemeluknya memaknai iman kepada Tuhan. Pemaknaan iman kepada Tuhan
yang keberadaannya dalam dunia metafisis-idealistis diharapkan dapat mencerahi
kehidupan dunia fisis-materialistis yang terkapling-kapling sesuai dengan pengetahuan
dan kebutuhan manusia. Jadi, iman bukanlah entitas yang lepas dan terpisah dari
dunia nyata, tetapi bersentuhan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya.
Dengannya agama lebih fungsional dalam kehidupan manusia, antara lain menjadi
sumber penjelasan terakhir tentang masalah kehidupan, menjadi sumber ketenangan
dan kedamaian, menjadi pembenaran atas praktik-praktik kehidupan, serta
meneguhkan tata nilai dan memuaskan kerinduan manusia yang paling
mendalam.
Artinya, agama memiliki peran transformatif dalam bidang-bidang kehidupan
manusia, seperti proses sosial, kultural, dan ekonomi, oleh karena itu
pembangunan, pembinaan, dan pengembangan agama menjadi agenda penting dan
niscaya. Iman dan agama dituntut agar lebih dinamis melakukan dialog dengan
bidang-bidang kehidupan lainnya untuk saling menyumbangkan potensinya dan
saling melengkapi. Dengannya iman tidak kering, melainkan lebih hidup dan
bergairah dalam dunia praksis kehidupan yang kaya dengan kontradiksi nilai dan
norma. Perbedaan ukuran moral yang berlaku dalam setiap bidang kehidupan telah
memacu munculnya upaya saling mendominasi antarbidang kehidupan sehingga
manusia mengalami anomali dalam kebingungan berkepanjangan. Kebingungan dalam
bidang-bidang kehidupan ini menyebabkan manusia semakin tersesat sehingga
semakin jauh menyimpang dari titik asal-mula dan titik tujuan kehidupan itu
sendiri. Manusia tergiring semakin jauh keluar dari garis eksistensinya karena
semakin tingginya tingkat persaingan antara bidang kehidupan agama dan
nonagama. Ini menjadi undangan kepada pemimpin agama untuk merefleksikan
kenyataan, persaingan antara agama dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Apalagi
dalam perkembangan dunia yang semakin mengglobal, tempat agama dan
bidang-bidang kehidupan lainnya saling mendominasi yang tidak menguntungkan
manusia itu sendiri.
Patut disadari inti globalisasi adalah komunikasi dan interaksi yang
semakin instensif. Intensitas komunikasi dan interaksi ini menghapus relevansi
batas ruang dan waktu. Dengan demikian sekat-sekat spasial dan temporal yang
memisahkan manusia semakin lentur, bahkan kabur. Dalam sekat-sekat spasial dan
temporal yang sedemikian kabur, agama semakin luluh bersama dengan kepentingan
nonreligius dan nonspiritual. Padahal kepentingan religius dan spiritual
merupakan hakikat agama yang semestinya diperjuangkan umatnya dalam bidang
kehidupan agama. Dengannya agama mampu bertahan dan meresapi bidang-bidang
kehidupan lainnya sehingga nilai ketuhanan pada garis eksistensinya tidak
semakin baur. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa agama menjadi korban dari
sebuah sistem dunia yang meluluhkan dimensi spasial dan temporal serta melebur
segala tindakan ke dalam ukuran yang tanpa ukuran. Dalam agama, iman yang
berarti kepercayaan kepada Tuhan atau mengandalkan diri kepada Tuhan semakin
kabur. Kekaburan ini menyulitkan melakukan pembacaan terhadapnya sehingga iman
tidak menemukan arti dan makna sejatinya. Ini dipicu oleh semakin tingginya
frekuensi pemujaan terhadap berhala modern, seperti penghargaan yang berlebihan
terhadap kemampuan ilmu pengetahuan dan kekuatan teknologi, pengagungan yang
berlebihan terhadap seks, dan konsumerisme.
Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin dihargai karena ilmu pengetahuan
mampu menjelaskan realitas yang memuaskan akal-rasionalitas dan teknologi mampu
memberikan berbagai kemudahan dalam kehidupan. Dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi manusia membangun benteng penalaran untuk mempertahankan diri dari
serangan kebodohan agar kehidupan lebih sejahtera. Upaya membangun benteng
penalaran ini telah mendorong aktivitas pendidikan ke arah pencapaian kemajuan
dalam bidang teknologi dan industri untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Tanpa
disadari sikap demikian telah memosisikan ilmu pengetahuan dan teknologi
menjadi dewa pujaan, dan karenanya posisi Tuhan semakin terpinggirkan. Demikian
juga seks yang memberikan perasaan hidup, gairah, kreatif, dan membuat manusia
berharga kemudian, dipandang sebagai hal yang berdiri sendiri dan dijadikan
komoditi yang dapat diperjual-belikan. Oleh karena begitu diagung-agungkan
kemudian, seks berubah menjadi dewa pujaan dan dijadikan penawar segala masalah
dan kegelisahan hidup. Apabila seks telah menjadi penawar kegelisahan hidup,
bahkan dapat dijadikan modal ekonomi maka kerakusan atas kenikmatan dengan
mengikuti nafsu-selera tidak terhindarkan.
Kerakusan untuk memakan dan menghabiskan segala produk yang ditawarkan
pasar dengan mengikuti nafsu-selera inilah konsumerisme. Sikap konsumeristis
mendorong orang hendak menikmati atas desakan sikap hedonistis sehingga
produk-produk teknologi modern yang merupakan produk zaman maju sekaligus
menjadi lambang kemajuan. Orang yang menggunakan produk-produk ini merasa
dirinya menjadi orang modern. Sebaliknya, orang akan merasa kuno-kolot, bila
tidak bisa menggunakan barang-barang hasil produksi terbaru, bahkan tidak
’komplit’ rasanya, bila tidak memenuhi hasrat memiliki barang-barang hasil
industri terbaru. Sikap yang demikian ini mendorong orang semakin meningkatkan
hasratnya untuk mendapatkan kenikmatan dari segala yang dianggapnya dapat
memberikan kenikmatan. Kehadiran individu dalam dunia sosialnya kemudian, lebih
ditentukan oleh tingkat penikmatan atas kenikmatan produk-produk teknologi
modern. Pada gilirannya orang lebih mempercayakan dirinya kepada ilmu dan lebih
mengandalkan dirinya kepada teknologi modern daripada Tuhan. Oleh karena itu
ilmu dan produk teknologi modern disembah menjadi berhala dan di luar kesadaran
telah menggeser posisi keimanan kepada Tuhan.
Persoalan menjadi semakin kusut, ketika agama ataupun bidang kehidupan
nonagama lainnya belum menangkap hakikat perkembangannya dan belum mampu
menentukan posisinya masing-masing, bahkan ditambah lagi hubungan antara mereka
semakin dikacaukan oleh berbagai macam konflik dan ketidakharmonisan.
Silang-sengkarut hubungan antara bidang kehidupan dan ketika mereka harus
menemukan posisinya masing-masing, ternyata bidang kehidupan nonreligius
meninggalkan jejak dalam bidang kehidupan religius. Misalnya, ketika agama
dijadikan instrumen politik, ekonomi, dan bahkan industri akibatnya, fondasi
bidang kehidupan religius semakin rapuh. Ditambah lagi posisinya yang semakin
terdesak oleh pemujaan berhala zaman modern sehingga bidang kehidupan agama
berubah menjadi sekadar sudut kehidupan. Agama benar-benar sudah disodok
seperti bola billyard dipinggirkan
dari lapangan permainan kehidupan. Kenyataan ini menambah beban tanggung jawab
yang dapat menggoyahkan konsentrasi perhatian pemimpin agama terhadap tugas
utamanya.
Keterpinggiran peran dan fungsi agama dalam persaingannya dengan bidang-bidang
kehidupan lainnya tidak lepas dari semakin biasnya pemahaman mengenai iman itu
sendiri. Inilah yang mendorong munculnya kapling-kapling baru dalam bidang
kehidupan agama dan ini terjadi pada setiap agama termasuk Hindu sehingga
lahirlah paham-paham keagamaan baru yang lazim disebut sekte. Aliran-aliran
agama baru ini semula memang memperkaya khazanah Hindu, tetapi di luar
kesadaran ternyata setiap aliran agama ini membentuk dirinya sedemikian rupa
sehingga yang tampak adalah upaya saling mendominasi dan saling menundukkan.
Pada gilirannya persaingan internal telah mengaburkan batas-batas agama Hindu
itu sendiri sehingga melahirkan diferensiasi moralitas keagamaan. Relativitas
ukuran moral menyebabkan umat Hindu seperti masuk ke dalam suatu wilayah asing
yang penuh dengan tanda-tanda yang serba boleh atau sebaliknya, penuh dengan
tanda-tanda larangan. Ini sebabnya tidak jarang ditemukan satu tindakan
keagamaan memperoleh penilaian moral yang berbeda. Akibatnya, umat Hindu
mengalami kegamangan praktik-praktik keagamaan, antara lain apa yang boleh
menurut satu paham keagamaan, belum tentu demikian menurut paham keagamaan
lainnya.
Perbedaan pandangan ini paling tidak telah didemontrasikan oleh dua paham
keagamaan yang paradoks, bahkan mungkin kontradiktif, yaitu antara tattwaisme dan ritualisme. Tattwaisme merupakan paham keagamaan yang lebih
menekankan pada pentingnya tattwa di
atas susila dan acara agama, sedangkan
Ritualisme merupakan paham keagamaan yang lebih menekankan pada pentingnya acara di atas tattwa dan susila agama.
Penganut tattwaisme lebih menempatkan
pentingnya pengetahuan keagamaan terutama ajaran ketuhanan daripada upacara
keagamaan dan kesusilaan, sedangkan penganut ritualisme lebih menempatkan
pentingnya pelaksanaan upacara keagamaan dan berbagai bentuk persembahan
daripada pengetahuan keagamaan khususnya ajaran tentang ketuhanan dan
kesusilaan. Penampilan praktik-praktik keagamaan yang berbeda dan berlawanan
ini menimbulkan kebingungan sehingga dapat diduga umat Hindu akan tersesat dan
jatuh ke dalam praktik-praktik keagamaan yang malahan keluar dari teks-teks
otoritatif dan otentik.
Umat Hindu dan khususnya elite agama Hindu yang berpikir jenih terutama
Parisada Hindu Dharma Indonesia, tentu tidak ingin dan tidak membiarkan
persoalan agamanya berlarut-larut dalam kehidupan yang serba melarutkan.
Larutan-larutan kehidupan yang mendorong munculnya perbedaan praktik agama,
antara lain pietisme, ritualisme, formalisme, estetisme, eskipisme, dan usaha
magik. Pietisme yang lebih menekankan pentingnya hubungan pribadi dengan Tuhan;
ritualisme yang memutlakkan perlunya ketetapan dalam upacara agama; formalisme
yang lebih menekankan pada bentuk-bentuk rumus dan pola tindakan keagamaan;
estetisme yang lebih mementingkan pada keindahan dan kemeriahan kegiatan agama;
eskipisme yang cenderung menempatkan upacara agama dan doa-doa menjadi tempat
pelarian; dan usaha magik yang memandang Tuhan sebagai alat pemuas
nafsu-selera. Perbedaan penekanan praktik agama yang demikian memang
dimungkinkan ketika agama Hindu dikontekstualisasikan dalam budaya lokal.
Kenyataan ini melahirkan multitafsir dan multipemahaman terhadap agama Hindu
sejalan dengan pengetahuan dan kebutuhan umat menjadi persoalan yang tidak
dapat dihidari.
Perbedaan pada penekanan praktik agama dan persoalan-persoalan keagamaan
dalam konteksnya menunjukkan bahwa yang dibutuhkan agama Hindu pada masa depan
adalah kepemimpinan religius transformatif. Kepemimpinan sebagaimana yang
ditawarkan Hardono Hadi (2007) untuk menjelajahi labirin gelombang zaman. Untuk
mengembangkan kepemimpinan model ini yang diperlukan bukan hanya pengetahuan
tentang ajaran agama Hindu, melainkan juga pemahaman agama Hindu dalam dunia
kontekstualnya. Artinya, melihat peran dan fungsi agama Hindu dalam keseluruhan
aspek kesejarahan manusia. Sejarah manusia menunjukkan, perebutan dominasi
antara bidang kehidupan dengan bidang lainnya tidak mungkin dihidari. Dominasi
merupakan salah satu bentuk komunikasi, sedangkan inti dari komunikasi adalah
transaksi nilai bidang kehidupan yang satu dengan lainnya. Interaksi
antarbidang kehidupan tidak terhindarkan karena semua bidang kehidupan bermuara
di dalam diri manusia itu sendiri. Persoalan ini merupakan undangan kepada
Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar – yang kelahirannya terinspirasi
oleh Piagam Campuhan (Mahasabha PHDI II). Selain itu, juga untuk lebih
mencermati keberagamaan umat Hindu di Indonesia dengan berbagai
persoalannya.
Upaya pencermatan tersebut dilakukan melalui Diskusi Meja Bundar dengan
tema Kebangkitan Hindu Indonesia dalam rangka peringatan Setengah Abad Parisada
Hindu Dharma Indonesia. Asumsinya, pada usia setengah abad PHDI merupakan sosok
majelis umat Hindu yang dewasa dan matang, yakni dewasa melihat persoalan dan
matang mengatasinya. Kedewasaan dan kematangan ini merupakan modal awal
membentuk cita-cita untuk nilai-diri PHDI sendiri dan umat Hindu Indonesia
dalam perubahan zaman yang tidak mungkin dihindari. Untuk menghadapi perubahan
inilah diperlukan reinterpretasi dan revitalisasi nilai-nilai agama Hindu,
yaitu sebuah upaya adaptasi dinamis nilai-nilai agama Hindu pada setiap
masyarakat dan kebudayaannya. Dengan demikian agama Hindu bisa diterima oleh
masyarakat dan kebudayaan yang mengkontekstualisasikannya pada setiap zaman,
dan inilah esensi Kebangkitan Hindu Indonesia. Pemikiran ini juga mendorong
pelaksanaan Diskusi Meja Bundar yang diselenggarakan dari tanggal 20 sampai
dengan 30 Maret 2009 di beberapa kota, yaitu Jakarta, Palangkaraya, Surabaya,
Palu, dan Denpasar dengan menampilkan pembicara kunci, antara lain Ida Pedanda
Gede Made Gunung, Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa, Ida Bagus
Doshter, dan diikuti ratusan tokoh umat Hindu.
Menghindari agar hasil diskusi ini tidak tenggelam dan mengendap menjadi
ide-ide yang menemui ajalnya di sudut gudang-gudang perpustakaan sehingga perlu
disosialisasikan dalam bentuk rekomendasi. Dalam hal ini setidak-tidaknya
kepada pemimpin umat, yakni Parisada Hindu Dharma Indonesia yang memang
memiliki orotitas penuh atas berbagai kebijakan dalam kehidupan beragama.
Paling tidak rekomendasi ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
menentukan strategi kebijakan dalam keberagamaan umat Hindu yang menjalankan
kehidupannya dalam dunia sosial dan kebudayaan yang tidak mungkin diseragamkan.
Berdasarkan kenyataan ini dan kelaziman bahwa struktur agama yang paling
sederhana terdiri atas empat elemen, antara lain eksistensial menyangkut keseluruhan hidup; intelektual menyangkut pemahaman; institusional menyangkut kelembagaan; dan etikal menyangkut perilaku keagamaan sehingga rekomendasi ini
disusun mengikuti format bidang dharma
agama, bidang dharma negara, bidang kawidanaan, dan bidang sumber daya manusia. Walaupun demikian,
tulisan ini hanya memuat beberapa pokok pikiran yang terungkap dan tertangkap
yang klasifikasi menjadi enam bab yang lebih ditekankan pada apek keberagamaan
daripada ajaran agama Hindu melalui pendekatan dalam studi agama-agama.
Rekomendasi ini disusun dengan memperhatikan lapisan-lapisan nilai
kehinduan yang terdiri atas sistem keyakinan, sistem budaya, dan sistem sosial.
Di samping juga memperhatikan ilmu-ilmu yang menempatkan agama menjadi objek
kajiannya yang secara nyata dibutuhkan dalam keberagamaan, seperti pendidikan,
sejarah, sosiologi, antropologi, kebudayaan, teologi, dan filsafat. Aspek ini
masing-masing dijelaskan seperti berikut di bawah ini.
(1)
Pendidikan
Agama Hindu
Pendidikan menjadi prioritas pertama dalam rekomendasi bidang Dharma Agama
karena kenyataan menunjukkan bahwa seluruh kehidupan mengandung nilai
pendidikan. Memang formalisme pendidikan mengantarkan umat Hindu menjadi
manusia dewasa, tetapi untuk mencapai kematangannya ia harus melewatinya dalam
berbagai tantangan kehidupan. Mengingat setiap tantangan kehidupan yang dapat
diatasi akan menambah kematangan dan demikian seterusnya, semakin tinggi
tingkat kemampuan mengatasi tantangan kehidupan dan semakin matang yang
bersangkutan. Kedewasaan mengandaikan tingkat kemampuan melihat tantangan
kehidupan dan kematangan menunjukkan tingkat kemampuan mengatasi tantangan tersebut.
Pada dua dimensi inilah pendidikan agama Hindu sepatutnya dikembangkan sehingga
umat Hindu menjadi manusia dewasa yang matang dan mampu bertahan dalam
persaingan kehidupan yang semakin keras, sebuah persaingan yang tidak mungkin
dihindari.
Kurikulum pendidikan yang dapat memuat kedua dimensi ini mungkin berisi
nilai-nilai, antara lain kebenaran, kebijaksanaan, dan kebahagiaan. Kemudian,
nilai-nilai inilah yang dijabarkan ke dalam silabus-silabus pembelajaran dengan
mengikuti kompetensi dasar manusia yang lebih dikenal dengan taksonomi
pendidikan yang terdiri atas ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam
pengembangan kurikulum yang demikian ini mungkin catur purusa artha dan catur
asrama penting dan relevan dipertimbangkan menjadi format dasar penyusunan
dan pengembangan program pembelajaran. Dalam konteks inilah psikologi agama
Hindu relevan menjadi dasar pembentukan Psikologi Pendidikan dan Psikologi
Belajar Hindu yang secara nyata dapat dipraktikkan dalam dunia praksis
pendidikan. Dengan demikian ahli pendidikan dan ahli agama Hindu dapat
memadukan diri (baca: keahlian) dalam mengembangkan Landasan Kependidikan dan
Teori-Teori Pendidikan Agama Hindu pada masa depan sehingga dunia pendidikan
agama Hindu semakin hidup dan bergairah. Dengannya umat Hindu mampu membentuk
cita-cita atau visi untuk nilai-dirinya yang tercermin dalam cipta, rasa, dan
karsanya.
(2)
Psikologi
Agama Hindu
Manusia
sebagai makhluk religius (homo religios)
memiliki hubungan dengan sesuatu yang adikodrati (supernatural) – Illahi. Dalam
kehidupan empiris para psikolog mencoba melihat hubungan tersebut dari sudut
pandang psikologi. Menurut mereka hubungan manusia dengan kepercayaannya, juga
ikut mempengaruhi faktor kejiwaan. Proses dan sistem hubungan ini menurut
psikolog dapat dikaji secara empiris dengan menggunakan pendekatan psikologi.
Misalnya, dalam isi harapan yang termuat dalam doa-doa ataupun motivasi yang
melatarbelakangi perilaku keberagamaan. Demikian juga mengenai aspek-aspek
keagamaan lainnya yang diperlihatkan manusia dalam sikap dan tingkah lakunya
menurut para psikolog ada kaitannya dengan aspek kejiwaan.
Psikologi
agama mempelajari masalah kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan batin
manusia yang paling dalam – agama, ternyata dapat dimanfaatkan dalam berbagai
lapangan, seperti dalam bidang kedokteran, bidang pendidikan, dan bidang
lainnya. Temuan-temuan psikologi agama tentang perkembangan perasaan keagamaan
pada anak-anak dan para remaja dapat membantu para pendidik dan pengajar agama.
Dengan demikian psikologi agama Hindu dapat difungsikan sebagai ilmu bantu
dalam bidang pendidikan khususnya pendidikan agama Hindu. Guru-guru agama Hindu
dalam melaksanakan profesinya sebagai pendidik akan terbantu oleh berbagai
temuan psikologi agama Hindu. Berbagai teori psikologi agama Hindu dapat
memberikan rumusan mengenai proses dan perkembangan perasaan keagamaan pada
anak didik sesuai dengan tahapan perkembangannya. Dalam hal ini tentunya dapat
membantu para guru agama Hindu dalam membimbing peserta didik dalam bidang keagamaan.
Apabila kemungkinan itu dapat
dipertimbangkan maka psikologi agama Hindu akan berisi pokok-pokok diskusi,
antara lain perkembangan jiwa agama,
kriteria kematangan beragama, hubungan antara agama dan kesehatan mental,
hubungan antara kepribadian dan sikap keberagamaan, pengaruh kebudayaan
terhadap jiwa keagamaan, problema kelainan sikap keagamaan, pengaruh pendidikan
terhadap jiwa keagamaan, pengaruh agama terhadap kehidupan manusia, gangguan
perkembangan jiwa keagamaan, dan juga mungkin termasuk tingkah laku keagamaan
yang menyimpang. Pengetahuan ini dapat diduga berguna bagi pengembangan jiwa
keagamaan umat Hindu dalam menghadapi kompleksitas tantangan kehidupan dalam
dunia global.
(3)
Sosiologi Agama Hindu
Sosiologi
merupakan studi tentang masyarakat yang mengemukakan kebiasaan-kebiasaan
manusia dalam kelompok dengan segala kegiatannya dan kebiasaan-kebiasaan
lembaga-lembaga sosial yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang
terus-menerus. Oleh karena itu dalam kehidupan masyarakat dapat dijumpai adanya
norma yang mengatur kehidupan mereka. Norma-norma tersebut ada yang
dilembagakan menjadi tata kehidupan bermasyarakat dan dikaitkan dengan
nilai-nilai spiritual dan religius. Artinya, dalam kehidupan masyarakat ada
semacam institusi yang berfungsi mengatur hubungan kepercayaan terhadap sesuatu
yang dianggap adikodrati dan suci. Para
agamawan dari berbagai agama memperkuat hubungan tersebut berdasarkan informasi
kitab suci bahwa hubungan manusia dengan Zat Yang Adikodrati ini digambarkan
sebagai hubungan antara makhluk ciptaan dengan Sang Pencipta. Hubungan ini
sudah ada sejak manusia pertama, karena itu hubungan manusia dengan Tuhan
menurut pandangan agamawan adalah hubungan yang bersifat kodrati, bukan hasil
rekayasa yang bersifat artifisial. Untuk memahami masyarakat beragama (religious
society) merupakan sasaran sosiologi agama sebagai disiplin ilmu.
Dengan demikian
mungkin dapat dipertimbangkan bahwa objek material sosiologi agama Hindu adalah
masyarakat agama Hindu. Masyarakat agama Hindu dapat dilihat atas
komponen-komponen konstitutif, kelompok-kelompok keagamaan, institusi-institusi
religius yang memiliki ciri-ciri pola tingkah laku tersendiri menurut norma dan
aturan yang ditentukan oleh agama Hindu. Perhatian difokuskan terhadap struktur
dan fungsinya, pengaruhnya terhadap masyarakat umum, dan stratifikasi sosial
khususnya, kesadaran dan kohesi kelompok, dan perubahan-perubahan sosial
keagamaan. Sosiologi agama Hindu dengan demikian mempelajari
masyarakat agama Hindu dengan pendekatan empiris sosiologis. Yang hendak dicari dalam fenomena agama adalah dimensi
sosiologisnya dan inilah yang disebut dengan objek formal sosiologi agama
Hindu. Misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan
kepribadian pemeluknya, ikut menciptakan jenis-jenis kebudayaan, mewarnai dasar
dan haluan negara, pengaruhnya terhadap partai politik, lapisan masyarakat,
organisasi-organisasi sosial, proses sosial, perubahan sosial, sekularisasi,
fanatisme, dan lain-lainnya.
(4)
Antropologi
Agama Hindu
Para
antropolog melihat hubungan manusia dengan Tuhan dari sudut pandang kebudayaan.
Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa pada masyarakat yang memiliki kebudayaan
asli (primitif) dijumpai adanya pola
kebudayaan yang mencerminkan bentuk hubungan masyarakat dengan sesuatu yang
mereka anggap adikuasa dan suci. Pada masyarakat ini berlaku upacara-upacara
ritual, penghargaan terhadap tempat-tempat, dan benda-benda yang dianggap suci
ataupun sesuatu yang bersifat spiritual. Ada semacam upacara keagamaan dalam
masyarakat yang mereka pelihara sebagai suatu tradisi dalam kebudayaan mereka.
Koentjaraningrat (1985:12) menjelaskan bahwa analisis religi dan upacara dalam
kebudayaan dan masyarakat merupakan usaha untuk mencari asas-asas religi dan
usaha memecahkan religi. Menurutnya bahwa teori-teori tentang asas-asas dan
asal mula religi digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) teori-teori yang dalam
pendekatannya berorientasi kepada keyakinan religi atau isi ajaran religi, (2)
teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada sikap para penganut
religi yang bersangkutan terhadap alam gaib, dan (3) teori-teori yang dalam
pendekatannya berorientasi kepada ritus dan upacara religi.
Memperhatikan pendekatan tersebut kemudian, isi diskusi dalam antropologi
agama Hindu yang dapat ditawarkan, antara lain esensi, eksistensi, dan
aktivitas yang bersifat illahiah dan hubungan manusia denganNya; perhatiann
agama Hindu pada yang suci; orientasi keselamatan atau kesempurnaan atau moksa dari keadaan biasa dalam kehidupan
duniawi; praktik-praktik ritual Hindu; keyakinan Hindu yang tidak dapat
ditunjukkan secara logis dan empiris; kode etis yang didukung oleh keyakinan
Hindu; sanksi supernatural terhadap pelanggaran kode etis tersebut; mitologi
Hindu; kitab suci dan tradisi oral yang mulia para rsi dan upanisad; peran
dan fungsi pandita dan pinandita serta spesialisasi elite
Hindu; komunitas moral Hindu, seperti pura
dan pasraman; dan hubungan agama
Hindu dengan kelompok etnis.
(5)
Sejarah
Agama Hindu
Manusia merupakan makhluk yang menyejarah melalui berbagai aspek
kehidupannya termasuk dalam aspek agama sehingga agama mungkin setua usia
manusia. Akan tetapi perkembangan kesadaran agama tidak selalu seiring dan
berbanding lurus dengan bertambahnya usia manusia. Mereka yang berpengetahuan
haruslah berkesadaran dan ini berarti mereka yang berpengetahuan agama haruslah
berkesadaran agama. Apabila tidak maka mereka telah merusak keindahan dan
kegembiraan hidup agama dan keberagamaan itu sendiri. Fakta bahwa banyak
ketakutan dan kengerian disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan, tetapi
tidak berkesadaran; dan tidak sedikit kehancuran, bahkan kemusnahan ras manusia
disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama.
Membangun dan menata kesadaran manusia tentang hidup dan kehidupan merupakan
inti dari idola-idola agama melalui sejarahnya pada setiap zaman.
Ini menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan tentang sejarah evolusi agama
Hindu bagi umat Hindu, baik menyangkut sejarah evolusi agama Hindu di India
maupun di Indonesia. Artinya, kajian agama Hindu dari paradigma historis atau
kesejarahan perlu dilakukan dalam rangka memperdalam pemahaman agama Hindu
dalam konteks sosial dan budaya, seperti sejarah evolusi agama Hindu di
Indonesia dari wilayah Kalimantan dan Jawa hingga Bali. Kehidupan sosial dan
budaya yang mengkontekstualisasikan agama Hindu di setiap daerah di tanah air
akan menjadi titik tolak terbangun semangat saling menghargai dan menghormati
praktik-praktik agama Hindu yang berbeda. Perbedaan inilah keragaman budaya
sekaligus kekayaan agama Hindu karena kebudayaan daerah merupakan tempat
berseminya agama Hindu yang didemontrasikan dalam tradisi sosial daerah
masing-masing.
(6)
Teologi
Agama Hindu
Teologi berarti ilmu tentang ketuhanan dalam suatu agama yang dalam agama
Hindu dikenal dengan tattwa-jnana
atau brahmawidya. Titik tolak
argumensi teologi Hindu atau brahmawidya
disusun berdasarkan informasi-insformasi atau ajaran-ajaran tentang ketuhanan
dalam agama Hindu. Tujuannya untuk menjustifikasi sistem kepercayaan kepada
Tuhan dalam agama Hindu sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dalam
masyarakat Hindu. Alur argumentasi disusun meliputi, antara lain hubungan
manusia dengan alam, manusia dengan sesama, dan manusia dengan Tuhan sehingga
setiap argumentasi memiliki kebenaran kontekstualnya. Oleh karena itu,
informasi tentang ketuhanan dalam agama Hindu, boleh jadi, tersusun secara
hirarkhis sebagaimana manusia menyusun kehidupan sosial dan kebudayaannya.
Tuhan dipahami lebih psikologis, sosilogis, dan antropologis untuk mendekatkan
keberadaanNya dalam kehidupan manusia itu sendiri. Dalam hal
ini Tuhan dipahami melalui esensiNya, eksistensiNya, dan aktivitasNya.
Informasi tentang ketuhanan Hindu, baik saguna-brahman
maupun nirguna-brahman tersebar dalam
kitab-kitab Upanisad, Brahma Sutra, Bhagavad Gita, dan kitab sejenis lainnya. Dalam teks Jawa-Kuno
terdapat dalam lontar-lontar Siwaistik, seperti bhuana kosa, sang hyang
mahajnana, ganapati-tattwa, tattwa-jnana, dan lontar sejenis
lainnya. Malahan besar kemungkinan bahwa umat Hindu di daerah masing-masing
juga memiliki kitab suci yang memang berisi tentang ilmu ketuhanan, sebagaimana
ditunjukkan oleh umat Hindu Kaharingan memiliki Kitab Panaturan. Kitab-kitab
ini juga dapat dijadikan rujukan agar pluralitas dan multikultural dalam
keberagamaan umat Hindu pada tataran nasional dan regional dapat berjalan
sesuai dengan esensi ajaran Hindu itu sendiri.
(7)
Filsafat
Agama Hindu
Filsafat agama sebagian besar melakukan penyelidikan tentang latar rasional
bagi kepercayaan atau ketidakpercayaan kepada Tuhan. Filsafat agama Hindu,
tidak diandaikan bermula dari sejumlah asumsi atau kepercayaan sebelumnya.
Tujuannya adalah menguji dasar kepercayaan keagamaan dan untuk melakukan itu ia
tidak bisa mengasumsikan bahwa kepercayaan itu benar atau salah. Oleh karena
itu, ia berbeda dengan teologi Hindu yang bermula dari kepercayaan keagamaan
atau seperangkat kepercayaan dan berusaha memahami dan mengeksplorasi
persoalan-persoalan dalam agama Hindu. Filsafat agama Hindu pada pokoknya
adalah pemikiran filsafat tentang agama Hindu. Ia akan menerangkan
masalah-masalah agama Hindu secara filosofis. Agama Hindu yang dimaksudkan
adalah agama Hindu secara keseluruhan, yaitu Hinduisme. Manusia Hindu telah
menunjukkan rasa suci dan agama Hindu adalah termasuk dalam kategori hal suci
tersebut. Dalam setiap agama, Tuhan merupakan sentral atau pusat perhatian bagi
para pemeluknya. Tugas filsafat agama Hindu adalah membahas tentang peranan
agama Hindu bagi manusia Hindu ditinjau dari sudut filosofis.
Beberapa argumentasi yang akan dipertimbangkan muncul dalam berbagai bentuk
berbeda dalam teks-teks klasik berbeda pula. Misalnya, argumentasi ontologis
tentang eksistensi Tuhan telah dikemukakan dalam bentuk yang berbeda, baik oleh
Gautama dalam Nyaya-Sutra maupun Kanada dalam Vaiseika-Sutra. Malahan akan
berbeda dengan pemikiran zaman skolastik India, antara lain Madhva (Wasudewa)
dengan sistem Dvaita, Ramanuja dengan sistem Visistadhvaita, serta Sankara dan
Gaupada dengan sistem Adhvaita. Caranya dengan memperkenalkan isu-isu yang
mengatasi banyak versi argumentasi yang berbeda tanpa berhenti pada
detail-detail khususnya pada satu atau dua filosof. Melainkan juga dapat
diperkaya dengan berbagai sistem pemikiran lainnya yang berkembang masa berikutnya,
seperti sistem pemikiran yang berkembang pada masa modern, misalnya Kabir,
Tagore, Raju, Tilak, Wiwekananda, Radakrishnan, dan lain-lainya.
Tradisi dan lembaga umat Hindu merupakan tempat kewajiban moral berakar
perlu dirumuskan ulang dalam sebuah tatanan sosial yang dinamis karena tradisi
dan lembaga ini memberikan pendidikan moral kepada umatnya di seluruh tanah
air. Hindu bukan barang sesuatu yang baku dan beku sehingga bebas dari tafsir
dunia praksis, melainkan suatu inspirasi ketuhanan yang hidup dalam kemanusiaan
seturut dalam dinamika zaman. Kehadiran sradha
memang selalu terikat dan tergantung pada bahasa sebagai satuan kebudayaan
karena hanya dengan bahasa pemeluknya sradha
dapat dipahami dan dipraktikkan. Pada gilirannya sradha harus dimengerti sesuai dengan kehendak zaman dan memang
banyak dijumpai kemerosotan pada pemahaman atau pemikiran yang diterima, dan
juga banyak di antaranya yang diyakini secara semu. Kesadaran semu sering
melahirkan perbedaan-perbedaan dalam dunia praksis, bahkan tidak jarang
berakhir pada konflik. Para pemikir Hindu yang tafakur dalam kejernihan pikiran
akan mewariskan kepada generasi mereka keindahan tradisi lama dan penghormatan
kepada masa lalu. Kemudian, pada masa kini melalui jejak-jejak sejarah berupaya
menanamkan kemampuan untuk memahami ketenteraman masa depan. Pengalaman belajar
semacam ini akan memberikan kekuatan kepada mereka dalam menjelajahi labirin
gelombang zaman.
Perubahan zaman rupanya, secara signifikan telah berpengaruh terhadap
perubahan keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Perubahan ini sekaligus telah mendorong para pemikir Hindu untuk
menyumbangkan pemikirannya, sebagaimana tertuang dalam buku, PHDI Setengah
Abad: Sebuah Retrospeksi. Jika argumentasi di atas sudah menjadi ‘komitmen’
bersama maka mahawakya, “binneka tunggal
ika tan hana dharma mangrwa” menjadi landasan ‘ontologis’ buku ini. Dengan
demikian,
buku ini dibagi menjadi enam bagian, antara lain Bab I Studi Agama dan
Kebangkitan Hindu mengetengahkan pemikiran Jelantik tentang setengah abad
sejarah perjalanan agama Hindu dan khususnya peran-peran Parisadha dalam
keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Seluruh rangkaian pemikirannya, berupa
catatan-catatan penting dalam sejarah Hindu di Indonesia dibungkus dalam judul:
Setengah Abad Kebangkitan Hindu Indonesia. Pengungkapan dari dimensi sejarah
ini rupanya, telah mendorong Anom Kumbara dan Sukarma memikirkan kebutuhan
nyata umat Hindu dalam keberagamaan mereka dan menurutnya bahwa umat Hindu
sedang membutuhkan studi agama-agama. Pemikiran yang lebih menekankan
pentingnya melakukan kajian-kajian tentang keberagamaan dibungkus dalam tema:
Studi Agama dan Keberagamaan Umat Hindu.
Masih dalam kaitannya dengan keberagamaan, Wiana memandang perlu menegaskan
lagi bahwa Parisada sebagai lembaga agama yang mengemban visi Hindu tidak bisa
lepas dari perkembangan zaman. Menurutnya, zaman telah merubah visi Hindu
sehingga teks-teks agama haruslah ditafsir terus-menerus sejalan dengan
perubahan zaman dan seluruh pemikiran ini dijilid dalam PHDI dan Visi Hindu
dalam Perubahan Zaman. Fakta memang menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat dan
kebudayaan yang statis tanpa mengalami perubahan. Perubahan ini menurut Gelgel
dan Budi Utama sekaligus merupakan tuntutan bahwa bhisama Parisada tidak mungkin dibuat kaku dan baku. Oleh karena
itu setiap bhisama haruslah
mencerminkan kebutuhan umat sesuai dengan azas-azas moralitas dan hukum
sehingga memiliki kekuatan mengikat. Pemikiran ini disusun dalam Bhisama
Parisada: Dasar Hukum Kekuatan Mengikat, dan Peranannya dalam Era Globalisasi.
Kemudian, gelombang globalisasi ini oleh Agus S. Mantik dipandang sebagai
tantangan utama dalam keberagamaan, karena itu menurutnya umat Hindu memerlukan
Padma Bhavana – The Hindu Centre.
Malahan lebih jauh Kobalen melihat semakin mendesaknya kebutuhan terhadap
pembentukan World Hindu Parisada. Dalam dunia global, menurut Wiana diperlukan
pemahaman tentang Satvika Yadnya Menuju Upacara Yadnya Berkualitas. Bukan hanya
itu, bahkan Suarjaya memandang semakin diperlukan upaya Penyederhanaan Ritual.
Penyederhanaan ini rupanya, mendorong Agus S. Mantik memikirkan tentang Bhisama
Baru Mengenai Pengabenen. Inilah seluruh pemikiran yang tertuang pada Bab II
dengan judul PHDI dan Keberagamaan.
Sementara itu, pada Bab III Pendidikan dan Pemberdayaan Umat memang
memberikan gambaran tentang pentingnya pembangunan sumber daya manusia dalam
berbagai dimensi. Titib misalnya, melihat Pendidikan Kunci Kemajuan Umat Hindu.
Menurutnya, pendidikan merupakan kebutuhan manusia dalam rangka membangun
perkembangan diri dewasa dan matang. Dewasa dalam melihat masalah-masalah
kehidupan dan matang dalam memecahkannya. Pendidikan memang menyangkut
pengalaman manusia dalam berbagai dimensi, karena itu bentuk pendidikan memang
sangat beragam dan satu di antaranya adalah Pasraman Kilat sebagai Pengenalan
Pendidikan Kemah Sadhana oleh Agus S. Mantik dirasakan semakin dibutuhkan umat.
Pendidikan semacam ini yang lebih bertumpu pada kekuatan leingkungan alam
merupakan jenis pembelajaran yang sudah digagas sejak taman siswa, bahkan
hingga kini masih diwarisi Pramuka sebagai pendidikan kepanduan. Pemberdayaan
umat juga diperlukan dalam bidang pengumpulan dana karena dalam dunia sekarang
kejahteraan material tidak ditabukan. Menjadi kaya dengan cara-cara yang
disejalan dengan hukum sosial dan agama bukan dosa. Fakta juga menunjukkan
bahwa untuk melanjutkan perjalanan kehidupan ini memerlukan artha (instrumen), selain dharma, kama, dan moksa. Oleh
karena itu Budiarna menawarkan proyek Nyolasin dan Badan Dharma Dana Nasional
dalam rangka membangun sumber dana nasional, bukanlah pelanggaran moral.
Malahan ide ini mendapat dukungan dari Perdana yang mewarkan upaya yang tidak
jauh berbeda dengan kegiatan Dharma Dana. Seluruh rangkaian bab ini ditutup
oleh Sarasdewi dengan Menyoal Hukum Waris, yakni sebuah wawasan hukum yang
memang diperlukan dalam dunia praksis.
Selanjutnya, pada Bab IV Dari Identitas Menuju Komunitas Tattwa, antara
lain Utami Pidada menawarkan konsep Manusia Hindu Indonesia dalam Kekinian. Ini
sejalan dengan pokok pikiran yang disampaikan oleh Nanang Sutrisno yang
berkaitan dengan Rekontruksi Identitas Hindu Jawa. Pergulatan identitas Hindu
Jawa merupakan contoh bidang keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Keberagamaan
dalam konteks sosial memang sarat dengan nuansa budaya tradisional, karena itu
Jayakumara menemukan Fenomena Balinisasi dan Indianisasi dalam Hinduisme di
Yogyakarta. Demikian juga dalam membangun identitas agama dan keberagamaan
rupanya, Suarja melihat relevansi dan pentingnya memadukan peran-peran lembaga
agama dan adat. Dalam seting keberagaman umat Hindu Bali diketengahkan Peranan
Parisada dan Desa Pakraman Dalam Pembinaan Umat Hindu di Bali. Selain Desa
Pakraman, bahkan Wirawibawa melihat peranan Sekaa Teruna dalam Pembinaan Umat
Hindu di Bali karena generasi muda Hindu dikatakan sebagai ahli waris dan
pewaris tradisi Hindu di Bali. Pengungkapan ini dilakukan dalam konteks
industri pariwisata yang memang berimplikasi terhadap keberagamaan umat Hindu
di Bali. Untuk meningkatkan peran Parisada dan Desa Pakraman dalam pembinaan
keberagamaan umat Hindu Bali menurut Agus Mantik diperlukan pemahaman Selayang
Pandang Sejarah Bali. Mengingat perjalan sejarah Hindu yang berakhir di Pulau
Bali telah membentuk Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan merupakan
titik tolak untuk lebih memahami dan pengembangan Hindu pada masa depan.
Kebudayaan tradisional memang harus berlanjut karena di dalamnya mengandung
simbol dan masa lalu berbagai generasi. Kemudian, untuk mempertahakan tradisi
Hindu ini Ngakan Putra menawarkan jalan pembentukan komunitas yang paham tattwa. Membangun Komunitas Tattwa
disadari bukan persolan mudah, namun bukan berarti tidak mungkin, karena itu
diperlukan kebersamaan semua elemen keberagamaan umat Hindu di Indonesia.
Dalam keberlangsung sebuah komunitas agama, Agus Mantik melihat makanan
dapat menjadi agen kunci dalam perubahan, karena itu pada Bab V Kesehatan dan
Dokter Usada, ia mengetengahkan satu pertanyaan, apakah makanan halal itu sama
dengan makanan sukla? Makanan bila dilihat dari sudut moral ataupun spiritual
akan mengundang banyak pertanyaan yang mungkin bukan saja aneh-nyeleneh, tetapi
juga ironis dan absurd. Mengingat makanan bukan hanya menyangkut soal halal dan
sukla, tetapi juga sehat dan sakit karena dalam rumusan Anom Kumbara, apa yang
membuat sehat, itulah yang membuat sakit. Menurutnya, kekuatan tubuh tidak
berarti apa-apa, kalau tubuh tidak sehat, bahkan mudah dipahami yang berkembang
pesat dalam ilmu kedokteran adalah penanganan penyakit dari mereka yang mampu
membayar. Dalam mewujudkan kesehatan sebagai upaya alternatif untuk menghindari
kemahalan, ia menawarkan sebuah sistem pengobatan usada Bali. Usada semacam ini
umumnya bersifat sangat “rahasyam”,
sangat privat, dan menjadi “lontar simpanan”, tetapi ia menjelaskan dengan
gamblang. Menurutnya ini merupakan kekayaan Hindu yang patut dipublikasikan
kepada umat karena kesehatan merupakan milik setiap orang yang harus diupayakan
sendiri. Mengingat cara kerja sistem usada yang hampir mirip dengan cara-cara
kerja ilmu kesehatan modern sehingga Agus S. Mantik mengajukan pertanyaan yang
lebih mirip dengan mengusulkan, mungkinkah sistem usada disejajarkan dengan
ilmu kedokteran modern, dokter usadha
mungkinkah? Tentu jawabannya sangat tergantung pada kemampuan dan kemauan umat
Hindu untuk meminatinya.
Pada akhirnya, Sukarma dengan Bab VI Harapan dan Kerinduan menutup seluruh
rangkaian pemikiran yang tertangkap dalam diskusi meja bundar dengan Sepotong
Harapan Buat Pemimpin Hindu Di Indonesia. Sepotong harapan yang tiada lain
adalah pelaksanaan seluruh tugas manusia berdasarkan dharma seuai dengan tujuan kehidupan (catur purusha artha), empat kelompok lapisan sosial (catur varna), dan empat tingkatan
kehidupan (catur asrama). Dengannya dipahami bahwa umat Hindu harus mengambil tanggung jawab sradha-bhaktinya di tangannya sendiri
karena merealisasikan ketuhanan
merupakan tujuan hidup pribadi. Untuk memahami tanggung jawab ini umat Hindu
memerlukan dukungan dari pemimpin religius transformatif, yakni kepemimpinan
berdasarkan pengetahuan dan kesadaran dharma.
Mungkin Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu di Indonesia dapat mewakili
seluruh pemikiran yang telah diuraikan di atas, yakni Pekerjaan Pengabdian.
Pada akhirnya seluruh hasil diskusi meja bundar ini diberikan catatan reflektif
oleh Dewa Ketut Putra yang menyatakan bahwa Hindu dalam kecemasan hendak
menggapai masa depan sekaligus sarat kerinduan pada masa lalu. Tegasnya, Hindu:
Antara Kerinduan dan Kecemasan.