Pariwisata dan Perubahan
Sosial-Budaya:
Reinterpretasi Peran Sekaa Teruna
Wayan Sukarma
Pendahuluan
Orang Bali umumnya menekuni pekerjaan agraris, sebagaimana tampak melalui
kebutuhan mereka terhadap penanggal Bali (pranatamangsa)
untuk menggumuli iklim. Oleh karena itu mereka memiliki mentalitas budaya
petani dengan sifat-sifatnya, antara lain homogen dalam pandangan; berorientasi
pada masa lampau dengan sedikit variasi orientasi pada masa kini; rasa
kekeluargaan dan solidaritas sosial menjadi nilai utama; pandangannya bahwa
manusia tunduk pada alam dan mencoba hidup selaras dengan alam; dan mereka
berada dalam kondisi ekonomi substantif. Di samping itu, juga mereka hidup
dalam ikatan kesatuan sosial yang disebut banjar
dan desa pakraman. Kedua lembaga ini
berfungsi mengatur hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas adat istiadat dan
agama di lingkungan komunitas mereka. Sebaliknya, urusan administrasi
pemerintahan diurus oleh desa dinas
dan dusun atau lingkungan. Selain kategori ini, juga mereka menghimpun diri ke
dalam sekaa yang beragam menurut
tujuan dan fungsinya misalnya, sekaa
teruna (Geriya, 2002; Triguna, 2004; Atmadja, 2005).
Akan tetapi perubahan, baik disadari maupun tidak pasti dialami oleh setiap
individu dan masyarakat termasuk orang Bali. Kepastian perubahan ini,
sebagaimana ditegaskan Triguna (1999:1) bahwa secara universal tidak ada satupun
masyarakat dan kebudayaan di dunia yang hidup statis tanpa mengalami proses
perubahan. Perubahan dapat berlangsung secara alamiah ataupun direncanakan, karena
itu Atmadja (2005:5) menyatakan bahwa setiap masyarakat tidak dapat melepaskan
diri dari perubahan sosial budaya, baik yang disebabkan oleh inovasi, difusi
kebudayaan, maupun pembangunan. Fakta bahwa ketiga faktor ini mendorong
terjadinya banyak perubahan dalam waktu singkat sehingga masyarakat mengalami
ketegangan sosio-kultural. Dalam perspektif difusi kebudayaan misalnya,
ketegangan ini merupakan akibat dari semakin terbukanya pergaulan antaretnis
dan antarbangsa. Pada satu sisi melalui wacana Ajeg Bali mereka dihadapkan pada upaya pelestarian kebudayaan lokal
karena menurut Atmadja (2005:3) Ajeg Bali
merupakan gerakan mempertahankan identitas kultural sebagai respons orang Bali
terhadap globalisasi, yakni upaya mengatasi pengaruh kebudayaan modern yang
berlatar Barat. Pada sisi lain mereka dihadapkan pada konflik internal, yakni
benturan antarsubkultur.
Demikian juga pembangunan sebagai
suatu model dari proses modernisasi tidak seluruhnya berimplikasi positif
terhadap kehidupan sosial karena proses pembangunan tidak seluruh dapat dikontrol
dan diarahkan. Paradigma pembangunan di negara-negara sedang berkembang lebih
bertumpu pada teori pertumbuhan ekonomi Rostow, yakni berorientasi pada
pengembangan industri (Lubis, 2004; Fakih, 2005; dan Suhanadji-Waspodo, 2006). Akibatnya,
pembangunan yang merupakan perubahan terencana yang lebih menekankan pada
kesejahteraan, ternyata tidak seluruhnya dapat dikontrol dan diarahkan berdasarkan
kebutuhan masyarakat. Kesejahteraan yang menjadi tujuannya, yakni terwujudnya
masyarakat modern yang ditandai dengan pengadopsian kebudayaan Barat. Pada
kenyataannya, modernisasi tidak terbatas hanya pada bentuk transformasi budaya
ke arah kemajuan yang menyerupai budaya Barat, tetapi juga dengan dominasi
pengetahuan dan teknologi Barat terhadap pengetahuan dan teknologi tradisional
orang Bali. Oleh karena itu terjadi pelenyapan pengetahuan dan teknologi tradisional
orang Bali (Triguna, 1999; Atmadja, 2005; Suhanadji-Waspodo, 2006). Padahal pengetahuan
dan teknologi tradisional tersebut adalah komitmen dan validitas moral orang
Bali. Dalam konteks ini perlu dilakukan reinterpretasi dan revitalisasi karena
memang dalam modernisasi pengetahuan dan teknologi tradisional dipandang
sebagai sesuatu yang disfungsi.
Fenomena pelenyapan pengetahuan dan
teknologi tradisional Bali tidak saja disebabkan karena pengetahuan dan
teknologi Barat bersifat dominatif dan hegemonik, tetapi juga karena dalam
modernisasi bahwa tradisi dipahami sebagai masalah yang harus ditransformasi.
Pemahaman ini menampilkan fenomena detradisilisasi dalam masyarakat Hindu Bali
yang secara intens mengarah kepada tergerusnya pengetahuan dan teknologi
tradisional orang Bali. Detradisilisasi yang berlaku pada orang Bali, juga
berkaitan erat dengan refleksivitas, yakni praktek sosial yang terus-menerus
diuji dan diubah berdasarkan informasi yang terbaru dan yang paling praktis
sebagai ciri dinamis dari modernitas (Giddens dalam Atmadja, 2005:15). Proses
ini disebabkan karena asumsi dasar modernisasi bahwa tradisi adalah lawan dari
modernitas, bahkan dianggap menghambat pembangunan. Pemahaman ini menyebabkan
terjadinya penggusuran terhadap tradisi dalam rangka percepatan pembangunan
menjadi sulit dihindari, bahkan dapat dianggap sebagai keharusan. Akibatnya, orang
Bali kehilangan modal kultural dan modal sosial yang sangat berharga (Triguna,
2004; dan Atmadja, 2005). Padahal tidak semua modal kultural dan modal sosial
orang Bali menghambat pembangunan, melainkan juga banyak yang relevan bagi pembangunan.
Demikian juga tidak sedikit modal kultural dan modal sosial orang Bali yang
mendukung, bahkan mepercepat proses pembangunan.
Pembangunan dan urbanisasi merupakan dua variabel korelasional (Suhanadji-Waspodo,
2006:98). Pesatnya proses modernisasi dan industrialisasi termasuk industri
pariwisata telah membuka interaksi sosial-budaya yang semakin luas dan beragam,
seperti interaksi bisnis, interaksi politik, dan interaksi kultural. Interaksi
bisnis adalah interaksi yang menempatkan kegiatan ekonomi yang menjadi basis
materialnya. Interaksi politik adalah interaksi yang menempatkan hubungan
budaya dapat membuat ketergantungan dari satu budaya terhadap budaya lain.
Kemudian, interaksi kultural adalah suatu bentuk hubungan yang menempatkan
basis sosial-budaya yang menjadi modalnya (Sunaryo, 2000). Interaksi kultural ini
terjalin karena adanya pertemuan antara dua atau lebih warga dari pendukung
kebudayaan berbeda. Intensitas pertemuan ini mengakibatkan munculnya saling mempengaruhi
dan saling memperkuat salah satu unsur kebudayaan sehingga terbentuk kebudayaan
baru. Hal ini dimungkinkan karena pariwisata Bali, ternyata menyerap banyak
tenaga kerja yang tidak seluruhnya dapat disediakan hanya berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan tradisional Bali (Sukarma, 2008:288). Akibatnya,
upaya pelestarian kebudayaan lokal harus berhadapan dengan pembangunan yang
cenderung mengarah pada modernisasi dan industrialisasi yang tiada lain adalah proses
pembaratan. Ketegangan sosio-kultural
ini, baik langsung maupun tidak berpengaruh terhadap kehidupan orang Bali pada
basis masyarakat desa pakraman dan banjar termasuk sekaa teruna.
Sekaa teruna sebagai
lembaga pendidikan sosial bagi generasi muda Hindu Bali memiliki akar-tradisi
yang tertanam kuat pada struktur dan kultur banjar
ataupun desa pakraman. Oleh karena
itu sekaa teruna yang eksistensinya
dijaga dan dijamin tradisi-banjar dan
banjar adalah basis tradisi Bali
sehingga sekaa teruna memiliki potensi
penting dalam pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional Bali. Selain
itu, perubahan sosial-budaya melalui modernisasi, industrialisasi, dan
pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang tidak dapat dihindari sehingga sekaa teruna sebagai ahli waris
sekaligus pewaris Bali sekali lagi ditegaskan, memiliki peran penting dalam
pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional Bali. Berkaitan dengan peran
inilah perlu dilakukan reinterpretasi karena, selain sekaa teruna, juga lingkungan sosial-budaya terutama pengetahuan
dan teknologi tradisional Bali yang hendak dilestarikan juga mengalami
perubahan.
Rasionalitas Dan Kerangka Pemahaman
Perubahan sosial menurut Rahardjo (2007:25) menyangkut transformasi
bidang-bidang kehidupan masyarakat manusia, antara lain perubahan peradaban,
perubahan budaya, dan perubahan sosial. Perubahan kebudayaan adalah perubahan
yang terjadi dalam sistem ide suatu masyarakat, antara lain mencakup
aturan-aturan atau norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan sosial,
berupa nilai-nilai, teknologi, selera, dan rasa keindahan atau kesenian, dan
bahasa (Vogt dalam Lahajir, 2001:379). Malahan Abdullah (2006:9) menyarankan
bahwa ketika hendak memahami kebudayaan harus dimulai dari dengan
mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri. Menurutnya kebudayaan bukan
semata-mata sebagai kebudayaan generik
(pedoman yang diturunkan), tetapi juga sebagai kebudayaan diferensial (yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi
sosial). Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang turun-temurun dibagi bersama
atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang bersifat
situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan
hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu.
Kemudian, Suparlan (1987)
menjelaskan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan dalam struktur sosial dan
dalam pola-pola hubungan sosial, antara lain mencakup sistem status,
hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuasaan, dan
persebaran penduduk. Para pakar sosiologi menunjuk pada perubahan-perubahan
mendasar dalam pola budaya, struktur, dan perilaku sosial sepanjang waktu
sebagai perubahan sosial (Rahardjo, 2007:25). Artinya, untuk memahami perubahan
sosial orang Bali seharusnya memuat adanya tiga domain perubahan: pertama, pola budaya, yaitu pergeseran
tata nilai dan norma yang digunakan sebagai pedoman berperilaku; kedua, struktur sosial, yaitu pergeseran
elemen-elemen yang membangun keseimbangan dan keteraturan masyarakat; dan ketiga, perilaku sosial, yaitu hubungan
antarinteraksi sosial yang dibangun orang Bali dalam menata kehidupan
bermasyarakat.
Untuk memahami perubahan sosial-budaya suatu masyarakat Kleden (Triguna,
2004:9) mengajukan teori holistik kebudayaan. Teori ini memandang basis
kebudayaan terpilah menjadi tiga bagian, yaitu basis material kebudayaan, basis
sosial kebudayaan, dan basis mental/kognitif kebudayaan. Hubungan ketiga basis
itu bersifat dialektis, pertama,
basis material kebudayaan meninjau hubungan manusia dengan dunia fisik umumnya
dan ekonomi khususnya; kedua, basis
sosial kebudayaan yang meninjau bentuk-bentuk interaksi antarkelompok; dan ketiga, basis mental/kognitif kebudayaan
melihat hubungan antara suatu kelompok dengan dunia pengetahuan dan nilai-nilai
mereka. Teori ini mengandaikan bahwa integrasi kebudayaan terwujud, bila
perubahan pada suatu basis kebudayaan dapat diteruskan dan diterima pada basis
kebudayaan lainnya. Sebaliknya, desintegrasi kebudayaan terjadi kalau perubahan
itu hanya mandek pada salah satu lapis kebudayaan saja dan gagal diteruskan ke
lapisan kebudayaan lainnya.
Dalam konteks tradisi Bali, basis material kebudayaan itu berupa kehidupan
agraris; basis sosial kebudayaan terdapat pada komunitas banjar dan desa pakraman; dan basis mental/kognitif
kebudayaan terlihat pada orientasi kosmologis yang siklis-Hinduistik. Ini
berarti untuk memahami lingkungan sosial-budaya Bali secara memadai diperlukan
pengetahuan komprehensif tentang proses
dan fungsi berbagai institusi dan
kelembagaan sosial-budaya Bali. Menurut Triguna (2004:3) pengetahuan tentang proses memberikan ilustrasi tentang
kondisi spesifik dan permasalahan yang ada pada lingkungan sosial-budaya.
Sebaliknya, memahami fungsi
memberikan pengetahuan dasar tentang nilai, arti, dan makna berbagai institusi
yang ada. Kedua pengetahuan ini digunakan sebagai dasar untuk memahami berbagai
potensi dan kendala yang terdapat pada lingkungan sosial-budaya Bali dalam
menyusun rencana dan melakukan berbagai kebijakan aksi. Dalam hal ini berkaitan
dengan reinterpretasi peran sekaa teruna
dalam melestarikan pengetahuan dan teknologi tradisional Bali di tengah-tengah
perubahan sosial-budaya Bali.
Pariwisata Dan Perubahan Sosial-Budaya
Orang Bali
Berdasarkan kerangka pemahaman di atas perubahan sosial-budaya orang Bali
dapat dipahami mulai dari tradisi Bali, yaitu konsepsi yang dipandang bernilai
dalam komunitas orang Bali yang digunakan sebagai pedoman berperilaku. Ini
berarti bahwa kebudayaan, selain berupa nilai yang dibagi bersama, juga
konsepsi itu berwujud suatu cara, pola tindakan, dan struktur sosial. Oleh karena
itu tradisi Bali acapkali diyakini sebagai representasi komitmen dan validitas moral
orang Bali untuk hidup bersama secara damai dan berbudi. Sebagai komitmen dan
validitas moral yang diyakini bernilai sehingga menjadi kewajiban orang Bali
memelihara, melestarikan, dan memaknainya. Akan tetapi, relativitas sifat nilai
dalam longgarnya praktiknya sosial dan banyaknya cara untuk memaknai tradisi
itu kemudian, membuka peluang adanya polarisasi cara beragam sehingga
menimbulkan bias terhadap fungsi utama tradisi, yaitu memelihara komitmen dan
validitas moral untuk hidup bersama secara damai dan berbudi (Triguna, 2004).
Boleh jadi, ini yang mendasari pemikiran Geriya (2004) bahwa perubahan dan
pelestarian budaya merupakan keniscayaan dan keduanya harus berjalan seimbang
dan berkelanjutan secara terencana. Menurutnya, pelestarian dan perubahan
kebudayaan secara terencana tergantung pada multifaktor, antara lain manusia,
iptek, dana, wawasan, dan manajemen. Pembangunan kapital kultural memerlukan
sinergis-komplementer yang optimal terkait dengan religius, sosial, hukum,
ekonomi, politik, dan sains. Upaya pengembangan dan pelestarian kebudayaan yang
bersifat partisipatif menuntut adanya penguatan dan diversifikasi aksi lokal
dalam visi bersifat universal. Akan tetapi cita-cita menjadi negara industri
menyebabkan upaya ini akan berhadapan langsung dengan proses modernisasi,
industrialisasi, pertumbuhan ekonomi termasuk industri pariwisata.
Pariwisata budaya sebagai industri yang oleh
pemerintah dilaksanakan dalam seperangkat perencanaan dan pengawasan dapat
menjadi salah satu aspek yang memunculkan suatu polarisasi tertentu. Kenyataan
menunjukkan bahwa semaraknya perkembangan kebudayaan Bali didorong oleh
pariwisata dan sebaliknya, pariwisata Bali senantiasa memikat karena daya tarik
kebudayaan (Darma Putra, 2006). Malahan Alisjahbana (Darma Putra, 2006)
menegaskan bahwa kebudayaan Bali yang ekspresif akan mampu berkembang ke arah
watak kebudayaan progresif[1],
yakni memberikan pendukungnya peluang untuk meraih manfaat ekonomi. Mengingat
budaya dan kinerja ekonomi berkaitan erat sehingga perubahan pada yang satu
akan berpengaruh pada yang lain (Harrison dan Huntington, 2006:28). Pergeseran
nilai ini, yakni dari budaya ekspresif ke budaya progresif yang lebih
mengutamakan nilai ekonomi, juga ditegaskan Darma Putra (2006) bahwa pemerintah
dan masyarakat melihat adanya kecenderungan komersialisasi kesenian Bali untuk
kepentingan pariwisata.
Berkaitan dengan kesenian Bali,
Triguna (2002:4) mengatakan bahwa dalam bidang kehidupan berkesenian telah
terjadi proses sekularisasi dan sentralisasi. Sekularisasi terjadi
karena banyak kesenian yang tidak sepatutnya dipertunjukkan kepada umum, justru
dipergelarkan kepada tamu kehormatan. Sentralisasi pembinaan kesenian dalam
satu dasa warsa terakhir cenderung terpusat pada lembaga kesenian formal yang
mengalahkan eksistensi sekaa sebunan sebagai pusat-pusat kesenian
rakyat. Sentralisasi pembinaan membawa akibat pada standardisasi pakem dan pola, semua itu gejala
menguntungkan perkembangan berkesenian di Bali. Akan tetapi keberhasilan
lembaga pendidikan seni ini seharusnya diikuti oleh keberhasilan sekaa-sekaa sebunan yang tersebar di
seluruh Bali. Kesemarakan pelaksanaan ritus agama, eksistensi banjar dan desa pakraman, serta keanekaragaman daya cipta seni terasa hanya
mampu memenuhi fungsi kuantitas, sedangkan dimensi isi dan takaran nilainya
dirasakan semakin terpinggirkan. Lebih dari itu disenyalemen telah terjadi
proses profanisasi akibat kesalahan dalam perencanaan dan pengawasan
pelaksanaan kebijakan publik. Eksploitasi kultural untuk kepentingan pariwisata
menjadi isu utama dalam satu dasa warsa terakhir ini (Triguna, 2002; dan
Atmadja, 2005). Oleh karena itu Ardika (2006) menyarankan, dalam pengembangan
pariwisata dewasa ini masyarakat lokal harus dilibatkan dalam perencanaan,
implementasi/pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi sehingga mereka mempunyai
rasa memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap pengelolaan objek wisata.
Secara implisit dapat dipahami bahwa
modernisasi dan globalisasi melalui pariwisata telah memperkenalkan nilai baru
dalam lingkungan tradisi Bali. Apabila tradisi diasumsikan dibentuk atas dasar setting
agraris, yakni komunal, religius-magis, setempat, dan konkret maka modernisasi
dan globalisasi yang diperkenalkan melalui pariwisata dibentuk atas dasar
individualistik, berorientasi prestasi, menghargai waktu, terukur, sekuler,
mobilitas tinggi, totalitas, dan konsepsional atau abstraktif (Fakih, 2001; Triguna,
2004; Lubis, 2004; Atmadja, 2005; Suhanadji-Waspodo, 2006). Oleh karena itu tradisi
Bali mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi
nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Pergeseran itu telah memberi
kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah
tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi
makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya (Wesnawa, 2002; dan Triguna, 2004).
Dalam konteks pariwisata misalnya, telah terjadi perubahan orientasi nilai, yakni
dari agraris ke arah ekonomi. Secara fisikal ditandai dengan perubahan pada
penataan rumah tradisional Bali dan terutama telajakan. Hal ini setidak-tidaknya ditunjukkan oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pawana (2006) di Desa Petulu Gianyar dan Nadia
(2005) di Desa Pakraman Kuta Badung. Di Desa Petulu ditemukan adanya
kecenderungan perubahan telajakan
menjadi warung dan toko-toko seni, sedangkan di Desa Pakraman Kuta terjadi
komodifikasi bale saka roras.
Pemahaman secara cermat terhadap perubahan sosial-budaya orang Bali
mengindikasikan bahwa dalam suatu proses tafsir diakui adanya aktivitas
‘manipulasi simbolis’, yaitu suatu cara mengedepankan kultur yang relevan dan
menyembunyikan yang kurang sesuai dengan situasi yang sedang berkembang. Dengan
cara itu sekaligus menunjukkan bahwa tradisi bukanlah merupakan sebuah kontinum
yang berhadapan dengan modernisasi bahwa yang satu lebih menekankan pada cara
berfikir spesifik-lokal berhadapan dengan cara berfikir universal-global. Keduanya,
baik tradisionalisme maupun modernisme memiliki nilai axioma, seperti menjunjung nilai persaudaraan, kemanusiaan, dan
kesejahteraan. Artinya, dalam suatu tradisi komitmen tentang persaudaraan,
kemanusiaan, dan kesejahteraan bukannya tidak ada, tetapi dikemas dengan cara
yang lebih tersembunyi. Sebaliknya, dalam dunia global kehidupan atas dasar
solidaritas bukanlah sesuatu yang asing. Oleh karena itu reintepretasi terhadap
nilai-nilai tradisi merupakan suatu keharusan sejarah, namun hal itu tetap
dilakukan setelah melalui mekanisme dan tahapan yang sistematis. Tujuannya agar
seluruh produk manusia dan hasil intepretasi mereka terus dapat menjadi standar
moral dan wahana memelihara solidaritas (Triguna, 2002 dan 2004; Lubis, 2004;
Atmadja, 2005).
Apabila mengacu pada teori holistik kebudayaan maka perubahan tradisi Bali
pada tataran kognitif/mental kebudayaan dapat dilihat pada dua sisi paradoks. Pada
satu sisi kuatnya orientasi kosmis siklis-Hinduistik yang menjadikan kokohnya
pakem epistemologi bagi individu dalam perilaku sosial (unggah-ungguhing
bahasa, soroh dan “kasta”). Sebaliknya, pada sisi lain derasnya arus
konsep historisitas linear dari masyarakat Barat yang hadir ke Bali melalui
pariwisata yang mengusung nilai-nilai global. Kuatnya tradisi dalam
menyelaraskan individu-masyarakat dengan ritme alam berhadapan langsung dengan
budaya perhitungan eksak yang tanpa menghiraukan ritme alam, bahkan cenderung
mengeksploitasi alam. Pengaruh langsung benturan budaya ini pada lapis budaya
material, yaitu semakin konsumtifnya perilaku orang Bali; dan pada lapis budaya
sosial terjadinya toleransi bagi anggota komunitas desa pakraman untuk bertempat tinggal di luar komunitas krama-nya. Sementara itu, perubahan pada
basis sosial kebudayaan Bali cenderung berjalan lambat. Pada titik ini basis
sosial kebudayaan Bali cenderung defensif terhadap pengaruh nilai-nilai
positif, bahkan dalam makna politik muncul respons negatif (Triguna, 2002; dan 2004).
Dalam teori kebudayaan holistik disebutkan bahwa hubungan antarketiga basis
kebudayaan itu dialektis sehingga pengandaian teoretis yang dianut ialah dalam
suatu perkembangan kebudayaan yang “ideal” terjadi hubungan dan perkembangan
yang sejalan antara ketiga lapis kebudayaan itu. Demikian juga kalau terjadi
perubahan pada salah satu lapis kebudayaan maka perubahan tersebut akan diteruskan
dan diterima pada tingkat/lapis kebudayaan lainnya. Akan tetapi dalam praktek
desintegrasi antara tiga basis kebudayaan di atas berjalan asimetris terhadap
perkembangan kebudayaan, yaitu hubungan antara dua kelompok sosial atau lebih,
di mana keuntungan yang diakibatkan oleh hubungan tersebut hanya didapat oleh
satu pihak tertentu, bahkan keuntungan yang diperoleh justru dengan merugikan
pihak lain. Artinya, dalam dialektika itu tidak melahirkan satu sintesa yang
mengakomodasikan perluasan dan pemadatan kebudayaan atau terjadi ‘pelembagaan
desintegrasi’ (Triguna, 2004).
Sementara itu, pengaruh pariwisata terhadap bidang ekonomi tampak dari
perubahan orientasi kehidupan dari masyarakat agraris ke masyarakat jasa
sehingga perlu dipertimbangkan suatu strategi bagi pengembangan perekonomian
masyarakat dengan memasukkan unsur-unsur manajemen modern. Inovasi organisasi
yang memungkinkan dimasukkannya unsur-unsur manajemen modern dalam perekonomian
rakyat tidak mungkin dihindari. Modernisasi yang intinya adalah pembangunan
merupakan api semangat yang tidak pernah pudar dan tidak mungkin dipadamkan
terutama dalam masyarakat negara-negara sedang berkembang (Triguna, 2004;
Lubis, 2004; Atmadja, 2005; dan Suhanadji-Waspodo, 2006). Walaupun demikian,
pada prinsipnya proses pembangunan dapat dinegosiasikan dalam setiap konteksnya
melalui pengelolaan berbasis nilai-nilai tradisional karena dua jenis nilai yang
paradoks, bukan berarti harmoni tidak dimungkinkan. Dalam konteks ini Triguna
(2002) menegaskan bahwa melalui pembenahan pada basis interaksi sosial-budaya
dapat memperteguh nilai sakral yang mendasari basis komunitas banjar dan desa pakraman sekaligus mempertajam visi kognitif pada basis mental
kebudayaan. Pengaruh lain yang berbias pada basis material kebudayaan, selain
dipenuhinya kebutuhan domestik adalah perasaan keberumahan dalam melakukan pemenuhan hidup sehari-hari. Upaya
mengaktualisasikan strategi kebudayaan ini dapat dikatakan sebagai alternatif
sintesis dalam memposisikan nilai-nilai tradisi dalam menghadapi globalisasi.
REINTERPRETASI PERAN SEKAA TERUNA
Perubahan sosial-budaya orang Bali terutama dalam perspektif tafsir adat
dan tradisi Bali dalam menghadapi globalisasi ditandai dengan mulai
diintensifkannya model pembangunan yang bersumber dari masyarakat berdasarkan
referensi nilai dan lingkungan sosial-budaya yang berkembang pada masyarakat.
Inovasi sosial yang hendak disosialisasikan kepada masyarakat senantiasa dibuat
agar tidak mengalami keterasingan dengan masyarakat. Oleh karena itu, isu tentang
upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan menjadi isu
menarik, terlebih lagi ketika isu itu dikaitkan dengan potensi sosial-budaya orang Bali. Potensi
sosial-budaya sebagai suatu perspektif, tampaknya menjadi tuntutan karena
disadari bahwa potensi sosial-budaya yang dimiliki suatu komunitas merupakan
wahana yang tidak mudah dipahami dan dimanfaatkan sebagai media
mensosialisasikan suatu inovasi sosial. Ketidakmampuan merumuskan perspektif
sosial-budaya disebabkan karena aspek ini tidak saja berdimensi
subyektif-kualitatif, tetapi juga kadang-kadang bersifat ambigu. Oleh karena
itu diperlukan suatu panduan dalam menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat Hindu
di Bali termasuk peran sekaa teruna berdasarkan
pendekatan sosial-budaya.
Sekaa teruna
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi banjar dan desa pakraman,
bahkan Bali karena sekaa teruna
adalah daya potensial bagi perkembangan Bali. Pada posisi ini sekaa teruna dapat dipandang sebagai
praeksistensi banjar di desa pakraman. Sekaa teruna dengan demikian merupakan domain dominan dan sentral
dalam kesatuan dan keseluruhan sistem budaya Bali. Masa depan Bali, baik
langsung maupun tidak berada pada tanggung jawab pembangunan jati diri sekaa teruna sebagai wadah pengembangan
generasi muda Hindu Bali. Patut disadari bahwa dalam pewarisan suatu kebudayaan
terdapat satu unsur yang tidak berubah, yaitu adanya tindakan internalisasi,
sosialisasi, dan enkulturasi. Ketiga tindakan ini dicirikan oleh susana belajar
dan proses pembelajaran (atau pendidikan dan pembudayaan). Di dalamnya terdapat
satu kepentingan khusus yang tidak berubah, yang menentukan eksistensi sekaa teruna, yaitu suasana belajar dan
proses pembelajaran, baik melalui pendidikan maupun pembudayaan (Sukarma,
2006:6).
Pada posisi ini sekaa teruna
merupakan generasi yang kehidupannya diliputi oleh suasana belajar dan proses
pembelajaran. Ini sebabnya sekaa teruna
dapat disebut generasi pembelajar, generasi yang senantiasa mengupayakan
pembelajaran. Sebagai sebuah proses, pembelajaran lebih merupakan sebuah upaya
yang berlangsung secara terus-menerus, karena itu hasil belajar bukanlah sebuah
produk, hasil yang sudah final. Kenyataan ini tampak dari sikap dan perilaku sekaa teruna dalam kehidupan empiris
yang tidak henti-hentinya menemukan identitas dan jati diri. Eksistensi sekaa teruna seperti ini sesuai dengan
ajaran catur asrama bahwa sekaa teruna sebagai generasi muda
termasuk ke dalam klasifikasi perkembangan kehidupan manusia yang disebut brahmacari, masa belajar, masa menuntut
ilmu, masa berguru (Sukarma, 2007:8). Kemauan dan kemampuan belajar ini secara
konseptual memang fungsional dalam menghadapi perubahan sosial-budaya dalam
konteks modernisasi, industrialisasi, globalisasi, dan pertumbuhan ekonomi. Kemauan
belajar menimbulkan dorongan untuk mengenali perubahan sosial-budaya dengan
berbagai implikasinya dan kemampuan belajar menyebabkan semakin meningkatnya
daya adaptasi budaya dan adopsi budaya asing yang relevan dengan budaya atau
tradisi lokal. Boleh jadi, ini merupakan harapan kepada generasi muda Hindu
Bali yang eksis dalam sekaa teruna
berkaitan dengan pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisonal Bali.
Harapan inilah peran yang harus dimainkan sekaa teruna, yakni memperluas dan memperdalam pengalaman belajar
untuk meningkatkan kecerdasan: intelektual, emosional, dan spiritual. Hal ini
sejalan dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan,
berpendidikan, dan berkebudayaan (Suhartono, 2008:51). Sebagai makhluk
berpengetahuan, manusia lahir dengan kodratnya berupa cipta, rasa, dan karsa. Cipta
adalah kemampuan mempersoalkan nilai ’kebenaran’; Rasa adalah kemampuan
mempersoalkan nilai ’keindahan’; dan Karsa adalah kemampuan mempersoalkan nilai
’kebaikan’. Ketiga jenis nilai ini dijadikan landasan mendirikan filsafat
hidup, menentukan pedoman hidup, serta mengatur sikap dan perilaku hidup
serarah kepada tujuan hidup[2].
Manusia sebagai makhluk berpendidikan dapat dicermati pada kehidupan dalam
pengalaman empiris sehari-hari. Sejak lahir ia dijaga, dirawat, dididik,
diajar, dan dilatih oleh orang tua, keluarga, dan masyarakatnya termasuk
pendidikan kelembagaan menuju kedewasaan hingga terbentuknya potensi
kemandirian. Setelah kedewasaan dicapai, manusia melanjutkan kegiatan
pendidikan dan pembelajaran dalam rangka pematangan dirinya. Kematangan diri merupakan
kemampuan menolong diri sendiri, orang lain, dan terutama menjaga kelestarian
alam, yakni tempat berlangsungnya seluruh rangkain kegiatan pendidikan.
Artinya, pematangan diri adalah upaya manusia untuk menjadikan dirinya semakin
arif dengan sikap dan berperilaku adil terhadap segala sesuatu yang menjadi
bagian integral dari eksistensi kehidupannya (Jalaluddin, 2002:243; Tilaar,
2002:188; Suhartono, 2008:54--56; Sukarma, 2008:348).
Selanjutnya, manusia sebagai makhluk berkebudayaan ditunjukkan dengan
kegiatan pewarisan nilai-nilai kehidupan dari generasi ke generasi. Manusia
secara psikologis memiliki dua jenis dorongan yang menentukan bentuk tingkah
lakunya, yaitu insting dan insight. Insting
merupakan dorongan nafsu belaka. Pada tarap ini manusia tidak berbeda dengan
hewan, karena itu insting sering disebut dorongan hewani. Sebaliknya, insight merupakan dorongan insani
(manusiawi) berupa akal dan budi. Dengan akalnya manusia membagi dan menandai
realitas atas fakta-fakta ke dalam nama
dan bentuk. Dengan budinya manusia
melakukan pilihan-pilihan atas fakta-fakta sesuai dengan kodratnya
(kemanusiaan) berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai. Dalam konteks ini
manusia mengatur dan mengontrol sikap dan tingkah lakunya secara rasional
sesuai dengan kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan norma dan nilai
lingkungannya. Ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara akal-budi
pada satu sisi dengan kebudayaan pada sisi lain (Poedjawijatna. 1996:14;
Jalaluddin, 2002:240; Sukarma, 2007:12; Sukarma,
2008:349).
Dengan kegiatan pendidikan dan pembudayaan menurut Suhartono (2008:56--58)
manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai kebenaran, baik
yang bersifat universal-abstrak, yang teoretis, maupun yang praktis. Nilai
kebenaran ini mendorong terbentuknya sikap dan perilaku arif dan berkeadilan
serta dengannya manusia membangun kebudayaan dan peradabannya. Kebudayaan, baik
yang material maupun yang spiritual merupakan upaya manusia untuk mengubah dan
membangun keterhubungan berimbang, baik secara horizontal maupun vertikal.
Secara horizontal dengan sikap terdidiknya manusia mendukung kodrat hidup untuk
senantiasa terdorong membangun hubungan dengan diri sendiri dan sesama termasuk
dengan alam secara berkeadilan. Dalam membangun keterhubungan ini manusia wajib
membangun moral ’pengendalian diri’ dalam berperilaku sehingga ia mampu
menjalani kehidupannya menurut azas kecukupan, bukan menuruti keinginan (Sukarma,
2008:349).
Ini menunjukkan bahwa warga sekaa
teruna yang pada hakikatnya memang berpengetahuan, berpendidikan, dan
berkebudayaan sehingga tidak bisa menghindarkan diri dari perannya sebagai
generasi pembelajar. Proses pembelajaran, baik dalam lingkungan keluarga,
sekolah, maupun masyarakat sebesar-besarnya ditujukan bagi pelestarian
pengetahuan dan teknologi tradisional Bali. Budi pekerti keluarga (nilai
tradisi), rasionalitas sekolah (nilai modern), dan kode moral masyarakat
(pertemuan antarnilai) merupakan kekuatan fundamental yang dapat dijadikan
panduan dalam membangun dan menata diri sesuai dengan perkembangan lingkungan
yang lebih luas. Mengingat pada dasarnya warga
sekaa teruna adalah individu yang memasyarakat sekaligus deterministik
terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya. Pada gilirannya
patut disadari bahwa eksistensi pengetahuan dan teknologi tradisional Bali
terikat dan tergantung pada kemauan dan kemampuan belajar generasi muda Hindu
Bali, sekaa teruna.
SIMPULAN
Paparan di atas mencoba menunjukkan
bahwa modernisasi dan globalisasi yang merupakan proses perubahan melalui
pembangunan adalah sesuatu yang sangat umum, karena itu tidak ada suatu tempat
yang memungkinkan suatu masyarakat akibat suatu hal tidak terlibat dalam proses
modernisasi dan globalisasi. Ini sebabnya orang Bali dengan tatanan nilai
tradisi dalam konteks pariwisata tidak dapat menghindar, bahkan harus
berhadapan dengan nilai baru dalam tatanan global. Mempertentangkan nilai
tradisional dengan nilai-nilai modern dan global dalam konteks pariwisata merupakan
suatu wacana yang kontraproduktif. Keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang
saling melengkapi dan menyempurnakan. Modernisme dan globalisme dalam konteks
pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dan dalam waktu
yang bersamaan melakukan reinterpretasi terhadap nilai tradisi yang kurang
relevan dan fungsional. Dalam konteks ini sekaa
teruna sebagai ahli waris dan pewaris nilai-nilai tradisi Bali haruslah
senantiasa melakukan reinterpretasi terhadap perannya dalam menghadapi
perubahan tersebut. Reinterpretasi dilakukan setidak-tidaknya berdasarkan
pertimbangan berikut.
(1)
Sekaa
teruna sebagai himpunan generasi muda Hindu yang eksis di
tingkat banjar pada kenyataannya berpengetahuan,
berpendidikan, dan berkebudayaan sesuai dengan nilai tradisi Bali terutama
pengetahuan dan teknologi tradisional dalam lingkungan banjar dan desa pakraman.
Dalam konteks ini sekaa teruna dapat
berperan aktif dalam kegiatan adat istiadat sesuai dengan harapan krama banjar dan krama desa pakraman.
(2)
Warga
sekaa teruna yang pada dasarnya berada pada tingkat pengalaman brahma cari tidak dapat menghindar dari
perannya sebagai pembelajar. Oleh karena itu budi pekerti keluarga,
rasionalitas sekolah, dan kode-kode moral masyarakat dapat dijadikan panduan
dalam melakukan adaptasi dan adopsi budaya global. Mengingat tradisi Bali
sebagai kesatuan komitmen yang berlaku pada zamannya, bukan sesuatu yang tidak
mengalami perubahan, melainkan sistem nilai budaya yang aktif dan dinamis
terlibat dalam pergulatan tatanan nilai global sejalan dengan kebutuhan orang
Bali yang berkembang setiap saat.
(3)
Sekaa
teruna sebagai lembaga pendidikan sosial dapat melakukan
kajian-kajian terhadap model adaptasi modernitas untuk dapat menghasilkan modus
yang paling sesuai dengan situasi orang Bali. Mengingat penggairahan kehidupan
adat dan tradisi merupakan suatu keharusan, sedangkan adaptasi modernitas, juga
bukanlah sesuatu yang harus ditabukan.
(4)
Oleh karena itu kehadiran pariwisata
harus dilihat bukan saja sebagai tantangan, tetapi juga sebagai peluang bagi
proses kreatif orang Bali dalam menyikapi perubahan sosial-budaya. Dengan
demikian Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan mendapat nafas segar dalam
mempertahankan eksistensinya. Hindu sebagai spirit orang Bali yang menggunakan
sistem budaya Bali sebagai wahana berseminya tetap mampu merangkum pengalaman
kreatif orang Bali di tengah-tengah pariwisata dan dalam beragamamnya
nilai-nilai modernisme.
[1] The Pan-American Dream mengenali sepuluh
nilai, sikap atau pola pikir yang membedakan budaya progresif dari budaya
statis. Harrison dan Huntington (2006:434-436) menyatakan bahwa kesepuluh
nilai, sikap atau pola pikir tersebut sejalan dengan tipologi Mariano Grondona,
yaitu orientasi waktu, kerja, berhemat, pendidikan, komunitas, kode etik,
keadilan dan fair play, otoritas, dan
sakularisme.
[2] Filsafat hidup mengandung pengetahuan yang
bernilai universal, meliputi masalah asal-mula, tujuan, dan eksistensi
kehidupan. Pedoman hidup adalah
pengetahuan umum yang secara khusus dijadikan suatu prinsip yang dianggap benar
karena sesuai dengan hakikat asal-mula yang berguna bagi pencapaian tujuan
kehidupan. Sikap dan perilaku hidup adalah pengetahuan
khusus dan konkret, berupa langkah-langkah kehidupan yang ditentukan sepenuhnya
oleh pedoman hidup (Syam, 1984:122; Suhartono, 2008:53--54).