REPRESENTASI NI DYAH TANTRI:
RETORIKA PERSAHABATAN MANUSIA
Oleh
I Wayan Sukarma
Abstrak
Apabila metaforisitas dipandang sebagai dasar antropologis maka manusia tidak memiliki akses langsung untuk memahami realitas karena rasionalitas bukan sesuatu yang pada dirinya sendiri memadai, bagai cermin untuk memahami realitas. Akibatnya, cara manusia memahami realitas hanya melalui metafor, yaitu dengan mempersamakannya dengan sesuatu yang lain, yang lebih dimengertinya, yang sebenarnya bukan hal itu sendiri. Cara bernalar sesuai dengan kondisi dasar antropologis macam ini adalah Retorika. Ini sebabnya peran Ni Dyah Tantri dihadirkan sebagai refleksi “kebenaran”: dunia, hidup, dan manusia. Dunia-hidup-manusia yang empiris-realis merupakan kesatuan paradoksal-harmonis Alam-Manusia-Tuhan melalui Dunia Binatang. Kemuliaan persahabatan binatang merupakan refleksi keluhuran persahabatan manusia, karena itu hakikat dunia, hidup, dan manusia adalah persahabatan sejati, Kasih.
Kata Kunci: Ni Dyah Tantri, Retorika, dan Persahabatan.
1. Kerangka Acuan: Mengenal Ni Dyah Tantri
“Permainan bahasa” Jacob Sumardjo (2007) berupa “lukisan” seorang Jeihan, dalam Jeihan: Ambang Waras dan Gila merupakan wacana menarik tentang kontras pengungkapan realitas: dunia, hidup, dan manusia. Dengan gaya khas dualisme paradoksnya, realitas dieksplorasi secara dialektis-dinamis, tanpa batas, bahkan nyaris senantiasa bersifat transisional sesuai dengan kata “ambang” yang disisipkan pada judul buku. Menurutnya, orang disebut waras kalau ia berpikir, berbuat sesuai dengan norma-norma umum yang diakui masyarakat sebagai benar dan baik. Sebaliknya, mereka yang tidak waras adalah melawan budaya dan peradaban atau setidak-tidaknya menyimpan beberapa hal daripadanya. Selain itu, menurutnya dusta itu tidak benar. Dusta adalah manipulasi manusia atas manusia lain yang hanya dilakukan oleh manusia beradab dan karena itu disimpulkan bahwa peradaban modern adalah peradaban dusta (Sumardjo, 2007:25--43). Gaya pengungkapan semacam ini merupakan kecenderungan khas yang biasa diasiosiasikan dengan posmodernisme. Misalnya, hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, tumbangnya batas antara budaya tinggi dan budaya pop, percampuradukan gaya yang bersifat ekletik, parodi, pastiche, ironi, kebermainan, termasuk merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada “kedalaman” (Sugiharto, 1996:25).
Sejenis dengan “permainan bahasa” tersebut masyarakat Hindu di Bali mewarisi teks Tantri, Tantri Carita (Nandhaka Harana): Teks dan Terjemahan Dalam Bahasa Bali, 1986, diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Tingkat I Bali. Terjemahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Paramita, Surabaya, 2006 dengan judul Tantri Carita (Nandhaka Harana): Teks dan Terjemahan Dalam Bahasa Indonesia. Teks Tantri Carita ini terdiri atas 397 sloka (a dan b) disusun berurutan dan ditembangkan dengan Puh Demung Sawit. Teks Tantri ini ditulis oleh dua peranda bersaudara, Ida Peranda Nyoman Pidhadha dan Ida Perandha Pidhadha.
Tantri Carita berkisah tentang seorang raja di kerajaan Patali, Sri Maharaja Aiswarya Dala. Seorang raja yang berkeinginan menikmati kesenangan duniawi, kenikmatan hubungan seksual melebihi kesenangan orang pada umumnya. Untuk itu sang raja memerintahkan Rakian Patih Bandeswara menghaturkan dara perawan setiap malam lengkap dengan upacara samskara wiwaha sebagai pemenuhan kenikmatan asmara. Hari demi hari terlewati, bulan pun berganti tahun. Kebingungan dan kesedihan mendalam menimpa Rakian Patih Bandeswara karena tidak bisa mempersembahkan dara perawan. Di wilayah kerajaan Patali para gadisnya sudah habis dipersembahkan setiap malam kepada sang raja. Ketakutannya semakin memuncak ketika ia sadar bahwa yang tersisa hanya seorang dara perawan saja, itupun anaknya sendiri yang bernama Ni Diah Tantri. Akan tetapi, sebagai anak suputra sadhu gunawan, Ni Dyah Tantri menyadari masalah yang dihadapi ayahandanya sehingga bersedia menyerahkan dirinya kepada baginda raja. Penyerahan diri ini dilandasi oleh tekad untuk menyadarkan Sang Raja dari kegelapan asmara duniawi sehingga negara terbebas dari penderitaan. Ia bertekad memberikan penjernihan pikiran dan pencerahan keyakinan kepada Sang Raja yang dalam kegelapan nafsu sehingga membuat rakyat menderita.
Diceriterakan Ni Diah Tantri bersama Baginda Raja di pelaminan. Atas permintaan sang raja iapun berceritera seputar sloka Tantri karangan Rsi Bhasubhaga yang berjudul Nandhaka Harana tentang smara dhahana ketika burung Garuda menghadap Dewa Wisnu. Selain itu, juga ceritera tentang penciptaan alam semesta, Bhagawan Wasistha yang menerima anugerah lembu betina bernama Nandini; pendeta miskin Sri Dharma Swami yang mendapat pahala brata berupa lembu jantan Nandaka; dan perjalanan lembu Nandhaka yang akhirnya bersahabat dengan Sri Singhadipati. Selanjutnya, ia menceritakan ceritera berangkai tentang Prabu Gaja Druma yang kurang wiweka memilih Patih dan ceritera Bhagawan Sri Yadnya Dharma Swami.
Singkat ceritera, Sang Raja Aiswarya Dala mengagumi kepandaian Ni Diah Tantri berceritera. Sang raja berkata, “pantaslah para bhiksuka memberimu nama Ni Diah Tantri”. Melayang-layang perasaan Sang Raja, rasanya melintas di jagatraya, dan rasanya tiada lagi istri lain karena yang melintas dibenaknya hanya Ni Diah Tantri. Rasa bahagia ini juga dirasakan oleh penghuni kraton, apalagi Rakian Patih Bandeswara bagaikan dapat menemukan alam surga karena sebentar lagi anaknya, Ni Diah Tantri akan menjadi permaisuri kerajaan Patali.
Kisah Ni Dyah Tantri ini merupakan metafora kehidupan manusia modern yang teralienasi di dalam rumah tradisinya sendiri. Dalam terminologi Berger (1994) disebut “ketakberumahan”, yakni manusia tercerabut dari akar tradisinya. Ini lebih disebabkan karena kegagalan manusia dalam memahami diri dan dunianya yang lebih menekankan pada akal-rasionalitas. Ketercerabutan dan kegagalan ini disebabkan karena manusia terlalu kering dari pengalaman persahabatan, baik dengan sesama, alam, maupun Tuhan. Pada dasarnya keterbatasan manusia dalam memahami diri dan dunianya berkaitan erat dengan kondisi dasar antropologisnya. Dalam hal ini Sugiharto (1996:18) mengatakan bahwa metaforisitas sebagai kondisi dasar antropologis bahwa manusia adalah pada dasarnya dalam rangka memahami dirinya dan alam, manusia tidak mempunyai akses langsung murni karena rasionalitas pada dasarnya insufficient, bukan sesuatu yang pada dirinya sendiri memadai, bagai cermin untuk memahami realitas. Akibat dari kenyataan ini adalah cara dasar manusia memahami alam dan dirinya hanyalah melalui metafor, yaitu dengan cara mempersamakannya dengan sesuatu yang lain, yang lebih dimengertinya, yang sebenarnya bukan hal itu sendiri. Cara bernalar sesuai dengan kondisi dasar antropologis semacam ini adalah Retorika.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa metafor adalah pusat bahasa atau pusat dari kodrat linguistikalitas manusia sehingga dengan status ontologis ini metaforisitas dapat digunakan sebagai paradigma untuk memahami realitas manusia. Dalam hal ini Sugiharto (1996:18) menyarankan, agar bahasa lebih dilihat fungsi transformatifnya daripada fungsi deskripstifnya. Asumsinya, yang leteral itu pada dasarnya bersumber pada yang metafor sehingga imajinasi-imajinasi ekuivokal bersumber pada konsep-konsep univokal. Bukan perspesi yang mengandaikan imajinasi, namun sebaliknya, imajinasi yang menjadikan persepsi. Dengan demikian imajinasi bermetafor adalah sarana untuk memandang sesuatu secara baru. Patut dipahami bahwa pada umumnya ketegangan antara ekuivokasilitas imajinasi dan univokasilitas konsep menghasilkan wacana “hibrida”, di mana konsep berbelitan dengan metafor.
Hasilnya mungkin berupa jawaban-jawaban sementara, tetapi setidak-tidaknya dapat digunakan untuk mengkategorisasikan fakta, menggabungkan medan semantik dan semiologis yang berbeda dalam tindakan bisosiatif, dan mengkombinasikan ide dan teori (teori baru). Sebagaimana pernyataan-pernyataan filosofis para filsuf kendati status ilmiahnya hanyalah hipotesis, tetapi bermanfaat untuk mengorganisasikan kembali dan memperluas pemahaman dunia kehidupan manusia. Sebagaimana tawaran Sugiharto (1996:21) bahwa kebenaran dapat dilihat dalam tegangan antara medan konvensional (konsensus yang koheren) dan gejala-gejala baru yang tidak konvensional. Ini merupakan gagasan tentang idealitas yang berfungsi sebagai ide regulatif yang senantiasa memungkinkan jarak kritis terhadapnya. Ini dimaksudkan, agar konvensi tidak mandek dalam bentuk kemapanan yang tertutup, bahkan represif dan otoriter. Dalam hal ini idealitas muncul sebagai peristiwa-peristiwa yang tidak konvensional dalam bentuk-bentuk anomali atau irasionalitas yang menuntut pengakuan, bahkan menggugat anggapan tentang “kenormalan” dan “kerasionalan” itu sendiri. “Irasionalitas” dan “keabnormalan” semacam inilah yang senantiasa menantang manusia untuk berpikir ulang dan berimajinasi untuk merumuskan kembali anggapan-anggapan konvensional secara baru, yang berarti merumuskan realitas secara baru. Persisnya, “irasionalitas” yang menantang “rasionalitas” itu umumnya tampil dalam rupa metafor, yang dalam hal ini sebagaimana digambarkan Tantri Carita melalui peran Ni Dyah Tantri.
Kalaupun tulisan semacan ini ada gunanya, tentu itu bukan pada pretensinya untuk memberikan jawaban tentang “kebenaran”: dunia, hidup, dan manusia – sebagaimana diperankan Ni Dyah Tantri, yang pada dirinya merupakan cermin realitas kebenaran Tantri Carita terwakilkan, barangkali justru pada persoalan-persoalan yang ditimbulkannya. Persoalan-persoalan yang mungkin menggoyang inspirasi imajinatif (Anda) untuk tiba pada tegangan-tegangan berikutnya karena padanya harapan-harapan tentang penyempuranaan “pandangan dunia” mendapat pembaruan.
Kontras Peradaban: Representasi Ni Dyah Tantri
Kembali kepada Jacob Sumardjo mengenai Jeihan, seorang manipulator budaya, dilukisnya seperti berikut.
Jeihan adalah manipulator budaya masyarakatnya yang cerdas. Ia amat memahami budaya masyarakatnya karena ia pernah disakiti oleh budaya itu. Jeihan ada di atas budaya masyarakatnya. Apa yang dianggap kewarasan dalam budaya ia layani, sambil secara cerdas memainkan budayanya sendiri. Untuk itu ia harus hidup dalam pura-pura, hidup dalam dusta. Kebebasan individu yang otentik justru terdapat pada orang-orang “gila” semacam Jeihan. Ia menikmati kebebasan tanpa dituduh tidak waras. Kebebasan dirinya merupakan manipulasi budaya (Sumardjo, 2007:40).
Lukisan tersebut hendak mununjukkan bahwa seorang Jeihan merupakan produk dari ketegangan-ketegangan antara masyarakat modern dan masyarakat pramodern. Menurut Sumardjo (2007:37) bahwa masyarakat modern melihat masyarakat pramodern sebagai tidak waras dan sebaliknya, budaya pramodern melihat budaya modern sebagai tidak waras pula. Walaupun demikian menurutnya, pada dasarnya masyarakat pada kutub pramodern tidak mengenal tidak waras. Kegilaan itu tidak ada, semuanya waras-waras saja. Dalam peradaban pramodern yang dicari adalah ketidakwarasan yang superwaras, tetapi tidak bagi peradaban modern. Orang gila itu penyakit, jahat harus disingkirkan karena irasional dan dikuasai nafsu tak terkendali sehingga yang tidak rasional itu tidak benar. Manusia modern yang waras itu harus tunduk dan patuh penuh disiplin pada kaidah-kaidah sosialnya. Manusia waras adalah manusia sosial. Sebaliknya, mereka yang asosial adalah tidak waras. Mereka yang gila dinilai tidak rasional, tidak sosial, tidak manusiawi, dan jahat. Mereka ini harus disembuhkan kembali, dibudayakan karena asosial itu tidak sinkron dan tidak sinergi dengan cara hidup masyarakatnya.
Ketaksinkronan cara hidup Sang Raja dengan cara hidup masyarakatnya yang ditunjukkan oleh ketaklaziman perilaku seksualnya berdasarkan kode budaya dapat dikategorikan sebagai ketidakwarasan atau keabnormalan. Akan tetapi kegilaan Sang Raja pada perawan, yang tidak konvesional merupakan tegangan yang telah mendorong hadirnya peran Ni Dyah Tantri sebagai kewarasan dan kenormalan yang konvensional. Ini bermula dari peran Ki Patih sebagai intrumen intelektual yang dibodohkan menjadi alat pemuas nafsu kegilaan Sang Raja. Ki Patih tidak dapat berbuat lain, kecuali patuh dan memenuhi keinginan Sang Raja. Selama persediaan perawan dalam gudang Patali masih memadai dan selama itu tidak terjadi permasalahan sehingga Ki Patih pun tetap berperan pintar dalam kebodohannya. Peran ini pun berjalan aman dan lancar karena Ki Patih belum ketiban “batunya”. Persoalan mulai muncul ketika stok gadis persembahan telah mencapai titik kering-kerontang, apalagi yang tersisa hanya satu-satunya perawan dan itu pun milik Ki Patih sendiri. Di atas persoalan inilah Ki Patih berperan sebaliknya, menjadi bodoh dalam kepintarannya sehingga terpaksa menghadirkan tokoh Ni Dyah Tantri.
Menghadirkan kembali Ni Dyah Tantri berdasarkan kontras antara peradaban modern dan pramodern pada dasarnya merupakan upaya menempatkan konvensi-konvensi budaya di antara kewarasan dan kegilaan. Berdasarkan gagasan budaya modern bahwa kebenaran adalah kewarasan yang rasional dan konsensus yang koheren sehingga untuk sampai pada tegangan kausalnya dapat dibangun seting peran para aktor Tantri Carita sebagai berikut. Pertama, peran Sang Raja yang gila kenikmatan seksual dapat dilihat sebagai kegilaan permainan nafsu inderawi dan kekuasaan sehingga Sang Raja mampu menjadi manipulator budaya masyarakatnya. Permainan ini juga tidak lepas dari konsep dewa-raja bahwa raja adalah titisan dewa sehingga segala ucapannya adalah kata-kata kebenaran yang harus dipatuhi. Konvensi budaya diletakkan pada rasionalitas nafsu dan kekuasaan sehingga memaksa kehadiran peran tokoh lain, peran intelektual, Rakian Patih Bandeswara. Kedua, peran Ki Patih juga tidak jauh dari permainan ini, bahkan sekaligus menjadi instrumen bagi permainan itu sendiri. Pada mulanya memang peran Ki Patih tidak lebih dari sekadar alat pemuas nafsu-kekuasaan Sang Raja belaka, walaupun akhirnya ia terlibat langsung dalam permainan itu. Kedua tokoh ini dengan mudah mempermainkan realitas dunia kehidupan manusia atas kemauan dan kemampuan rasionalitas yang melekat padanya karena permainan antara nafsu, kekuasaan, dan intektual pada dasarnya merupakan “permainan bahasa” dalam khazanah peradaban dusta. Pada tataran ini peran kedua tokoh ini dapat dikategorikan sebagai yang “gila”; walaupun Ki Patih karena hanya alat demi berjalannya permainan sehingga tidak sepenuhnya harus menerima penilaian ini. Sampai di sini Ki Patih telah berhasil memainkan konvensi budaya hingga akhirnya ia harus menghadapi kenyataan bahwa putrinya, Ni Dyah Tantri merupakan gadis satu-satunya di kerajaan Patali yang harus dipersembahkan kepada Sang Raja.
Ketegangan Ki Patih ini, antara peran yang dimainkan dan kenyataan kehidupan yang dijalaninya kemudian, Ni Dyah Tantri dihadirkan untuk mengatasi ambiguitas realitas dunia kehidupan manusia. Di sini peran Ki Patih telah berubah dari instrumen menjadi penikmat. Pada peran yang pertama jiwanya sama sekali tidak terpengaruh dan terbebas dari akibat, sedangkan pada peran yang kedua jiwanya sangat terpengaruh dan tidak bebas dari akibat (sehingga ia bersedih dan kebingungan karena anaknya harus menjadi barang persembahan). Pada peran yang pertama, Ki Patih hanyalah berfungsi sebagai instrumen bagi permainan nafsu-asmara Sang Raja sehingga fungsinya ini lebih sebagai pengabdian daripada peran sebagai ayah. Akan tetapi, berbeda dengan peran yang kedua, Ki Patih benar-benar telah menjadi bagian internal dari seluruh permainan itu sehingga fungsinya berubah menjadi peranan yang berimplikasi pada kegelisahan jiwanya. Pada peranannya ini, Ki Patih telah menikmati permainan kehidupan manusia berdasarkan konvensi budaya yang sulit dimanipulasinya karena jiwanya terlibat secara langsung dalam permainan. Ia tidak tega mempersembahakan anaknya karena ia tahu nasib yang akan menimpa anaknya, bila dipersembahkan kepada Sang Raja. Ia marah kepada Sang Raja, tetapi tidak mungkin menampakkannya. Ia benci kepada Sang Raja, tetapi tidak mungkin menunjukkannya. Perasaan cinta kepada Sang Raja dan cintanya kepada anaknya dipertarungkan karena harus ada pemenang. Menolak menghaturkan anaknya kepada Sang Raja, sama saja bertindak murtad terhadap junjungan dan mati adalah hukumannya. Sebaliknya, menghaturkan anak kepada Sang Raja sama saja telah membunuh anak tercinta sebelum dilahirkan. Rupanya dua jenis cinta berkecamuk di hati Ki Patih yang telah membuatnya berada pada posisi sulit yang tidak mungkin disampaikan kepada siapapun.
Dalam situasi inilah Ki Patih kelimpungan, perutnya kesakitan karena mual-mual, seperti pengantin wanita sedang ngidam, berasa ingin muntah-muntah, tetapi dari mulutnya yang keluar hanyalah keluh-kesah dan penyesalan yang amat mendalam. Oleh karena tidak bisa menahannya, ia pun memuntahkan kemarahan dan kekesalan kepada dirinya sendiri. Kepekaaan empati keluarga rupanya segera menjadi penawar sakit perut Ki Patih. Istri Ki Patih misalnya, melalui satya pati brata memberikannya kekuatan untuk menyadari kebodohan Ki Patih dalam kepintarannya menjalankan loyalitas dalam peran-peran pengabdiannya kepada Sang Raja dan Kerajaan Patali. Kemudian, anaknya atas dasar bhakti yang mendalam, yang memang memiliki ketangguhan spiritual yang diekspresikan dalam tata-laku sopan-santun segera melakukan tindakan penyelamatan. Kebingungan dan ketersesatan Ki Patih dalam permainannya sendiri terselamatkan oleh anaknya, Ni Dyah Tantri.
Pengalaman Ki Patih telah menunjukkan bahwa dunia-hidup-manusia rupanya sarat dengan kontradiktif norma dan nilai yang bukan saja hadir dari pandangan-dunia yang berbeda, melainkan juga dari pandangan-dunia yang sama. Setiap subjek (pelaku budaya) yang dibatasi struktur dan kultur senantiasa menciptakan tatanan nilai baru. Nilai-nilai baru ini dibangun berdasarkan kebutuhan dunia majinasi dan aktualnya yang selaras dengan ketegangan yang dihadirkan melalui alur-alur konvensi yang keluar dari tatanan normal dan rasional, anomali rasionalitas. Di antara tegangan-tegangan ini peran Ni Dyah Tantri dibangun sebagai aktor yang ketiga. Peran penyelaras kehidupan yang diliputi paradoksal nilai-nilai dan kontradiktif norma-norma dalam dunia praksis. Jalan hidup memang susah ditebak, tetapi pada tataran ini peran Ni Dyah Tantri dapat diletakkan pada kesesuaian antara konvensi budaya dan tindakan rasional sehingga ia termasuk ke dalam kategori sebagai yang “waras”. Malahan dapat disebut superwaras karena niat dan hasratnya menjernihkan dan mencerahkan Sang Raja demi mengatasi penderitaan rakyat. Ini merupakan ide tentang superwaras sebagaimana gagasan yang idolakan oleh masyarakat pramodern dan cita-cita luhur ini sejalan dengan etika sosial yang dibangun dalam peradaban modern yang menempatkan pahlawan sebagai yang “terhormat”.
Patut dipahami bahwa posisi terhormat yang diraih Ni Dyah Tantri bukan hanya karena kecantikan dan kecerdasannya memainkan kode-kode moral melalui cerita berbingkai. Melainkan juga berdasarkan formasi wawasan yang melampaui epistemologi konvensional sebagaimana yang dikenal dalam rancang bangun pengetahuan, baik rasional dan empiris maupun kritis dan intuitif. Ini merupakan tantangan baru bagi masyarakat modern yang memiliki dua kebenaran. Pertama, kebenaran rasional, yakni kebenaran logis dan dapat diterima akal sehat sehingga semua penjelasan yang masuk akal itu benar, meskipun dasar pemikirannya tidak seluruhnya dapat disetujui. Kedua, kebenaran empiris, yakni kebenaran merupakan kesesuaian realitas sehingga kebenaran itu adalah kebenaran peristiwa, pengalaman, perasaan, dan nafsu (Sumardjo, 2007:43). Meletakkan kemasukakalan menjadi landasan ketakmasukakalan pengalaman batin bukanlah permainan mudah, sebagaimana peran yang harus dimainkan Ni Dyah Tantri. Meramu pengetahuan rasional dan empiris dalam bentuk metaforisitas sebagai kondisi dasar antropologis bukan persoalan mudah, tetapi Ni Dyah Tantri tidak begitu sulit mendemontrasikannya. Pengetahuannya tentang kesatuan dan kesucian alam, keluhuran persahabatan manusia, kehebatan persahabatan antara manusia dan binatang, bahkan kemuliaan persahabatan binatang yang melebihi keluhuran persabahatan manusia ini merupakan “permainan bahasa” yang mengatasi Rasionalitas – Pikiran Objektif. Ini merupakan permainan akal-nalar, yakni rasionalitas yang lepas dari bahasa, kultur, dan praktik-praktik sosial sehingga meninggalkan cara kerja manas, ahamkara, dan buddhi sebagaimana teladan yang ditunjukkan Samkhya-Yoga ataupun Nyaya-Waisesika.
Kepiawaiannya memainkan dawai-dawai sloka Tantri Carita seputar dunia kehidupan binatang merupakan perpaduan permainan dari jenis-jenis pengetahuan yang paling mungkin dikuasai manusia. Pengetahuan yang melampaui pengetahuan rasional dan empiris, bahkan melampaui pemikiran kritis dan kebenaran intuisi. Pengetahuan tentang dunia, hidup, dan manusia yang pada dasarnya di luar kendali dan kontrol epistemologi konvesional sehingga melampaui permainan nafsu, kekuasaan, dan intelektual. Ini merupakan ide tentang Kesadaran Agung, yakni Kesadaran Kosmis. Kesadaran Subjektif yang mengatasi pluktuasi-pluktuasi pikiran dan peran-peran dusta peradaban mana pun. Dengannya Sang Raja harus tunduk dan takluk, bertekuk lutut di sudut kerling “mata” Ni Dyah Tantri. Kerlingan “mata batin”, Kesadaran Subjektif yang mengatasi Pikiran Objektif dan Objek-Objek (nama-rupa inderawi) telah menggeser kepercayaan dan keyakinan Sang Raja dan Ki Patih pada “pandangan-dunia baru”. “Pandangan dunia” yang “kabur” dalam paradoks yang harmonis melalui penyatuan alur-alur logika ke-Alam-an dan ke-Manusia-an serta ke-Binatang-an yang senantiasa merujuk pada ke-Tuhan-an, Realitas Tertinggi. Dunia kehidupan binatang telah menjadi medan pemahaman dunia kehidupan manusia, sebagaimana dalam peradaban modern bahwa manusia lebih mudah menundukkan alam dan binatang daripada dirinya sendiri. Walaupun demikian, Sang Raja dan Ki Patih yang ditakluk-tundukan kemudian, melalui “upacara perkawinan” mereka menjadi yang paling menikmati suka-cita kemenangan permainan itu. Sebagaimana halnya manusia modern, sang pengubah yang mengaku pencipta pada akhirnya, harus tunduk dan takluk pada kenyataan dirinya, Alam.
3. Simpulan: Manusia dan Persahabatan
Ni Dyah Tantri melalui cerita berbingkai Nandhaka Harana telah menyampaikan pesan moral dan kemanusiaan, betapa pentingnya membangun dunia persabahatan, yakni sebuah wacana yang memikat hati Kerajaan Patali. Penerimaan ini ditunjukkan dengan peneguhan dan pengukuhan dirinya dalam sebuah upacara perkawinan dengan Sang Raja. Hidup dan kehidupan Kerajaan Patali kembali bergairah dalam suasana damai dan tenteram karena persahabatan ditegakkan. Ini berarti keberlangsungan sebuah masyarakat sangat tergantung pada kemampuannya membangun persahabatan, baik secara internal maupun eksternal. Kenyataannya, sebuah masyarakat bukanlah penjumlahan individu-individu yang tanpa ikatan, melainkan ia dibangun dengan persahabatan berdasarkan nilai dan norma moral dan kemanusiaan. Fakta bahwa seseorang tidak dapat hidup normal dalam kesendiriannya telah membuktikan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam membangun eksistensinya. Radhakrishnan (2003) dalam Religion And Society mengatakan bahwa persahabatan adalah kehidupan dan kurangnya persahabatan adalah kematian. Demikian juga Konfusius menjawab, belajar dan terus belajar untuk menjadi manusia seumur hidup, ketika ditanyakan tentang tujuan hidup manusia (Ming, 2005; Sutanto, 2007). Jikalau pisau perlu diasah dengan batu supaya bisa memotong dengan efektif maka manusia harus diasah dengan manusia. Malahan Sankara dan guru-guru agung Upanisad lainnya mengatakan, dewa pun menjadi manusia untuk mencapai moksa “kebebasan”. Dengan demikian kelahiran sebagai manusia dalam persahabatan adalah keutamaan paling mulia, seperti ditegaskan dalam Sarasamuccaya. Persahabatan adalah guna “kualitas” manusia dalam kesatuan dan keseluruhan yang tak terpisahkan, seperti watak dan sifat-sifatnya yang lain.
Persahabatan sebagai kualitas manusia kemudian, mendapatkan nilai dan makna tertingginya dalam dunia pengalaman langsung dalam kancah sosial – kemasyarakatan. Dalam dunia sosialnya manusia saling memberi dan menerima makna persahabatan sosial yang diciptakan melalui interaksi dan relasi dengan sesama dalam jaringan-jaringan sosial yang sarat dengan ikatan-ikatan. Di dalamnya manusia mengikatkan diri untuk menjadi satu tatanan sosial yang kemudian kesatuan ini lebih dikenal dengan sebutan masyarakat. Kuat-lemahnya ikatan-ikatan sosial tergantung dari jaring-jaring makna atau organisasi nilai, yang oleh Clifford Geertz (1992) disebut kebudayaan, yang dibangun sebagai asal mula dan tujuan masyarakat. Kemudian, setiap individu menjadi determinan dalam lingkungan sosial-budayanya, yakni suatu lingkungan yang menjadi penanda yang membedakannya dengan lingkungan alam. Manusia secara aktif dan kreatif membangun nilai-nilai dan norma-norma dalam tindakan rasional untuk menjamin masa depan interaksi sosialnya. Bersamaan dengan itu juga manusia membangun dan menata lingkungan alamnya demi kelangsungan tatanan yang telah mapan dalam suasana penuh persahabatan.
Walaupun demikian, mendandani persahabatan dalam pengertian manusiawi, bukanlah semudah menghiasi pertemanan dalam nafsu dan keserakahan. Manusia dengan mudah mengubah persahabatannya dengan alam demi memenuhi nafsu dan keserakahannya, bahkan dengan penuh kemarahan memaki-maki dalam teriakan suara-suara alat-berat. Ini upaya nyata manusia mengeksploitasi sumber-sumber alam. Alam yang semula dipahami dalam kesadaran bhuana agung “makro-kosmos” bagian integral dari kesadaran bhuana alit “mikro-kosmos” atau “diri manusia” telah bergeser menjadi barang sesuatu. Alam diterima hanya sejauh dalam arti pertemanan, berupa kepadatan dan kekosongan, itupun sejauh memberi manfaat bagi penciptaan kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan begitu, Alam sama sekali tanpa makna kedirian, bukan seperti halnya Bhagavad Gita (VII:4) mengingatkan bahwa alam, selain terdiri atas lima anasir material: tanah, air, api, udara, ether, juga memiliki kesadaran pikiran, bhudi, dan ego. Kesadaran inilah yang hendak dibangun Ni Dyah Tantri di Kerajaan Patali melalui kecerahan Sang Raja. Sang Raja yang tercerahkan telah tiba pada kesadaran pujaannya, Ni Dyah Tantri. Demikianlah Sang Raja, yang adalah seorang laki-laki; dan bagi laki-laki, masih adakah cara lain, selain “berkelahi” berdasarkan keperkasaannya dalam menyelesaikan permasalahan: nafsu, keserakahan, dan kemarahan. Dalam rangka inilah Ni Dyah Tantri hadir menawarkan “persahabatan semesta” yang mengatasi kemuliaan persahabatan manusia dengan semua makhluk. Inilah persahabatan dalam kasih Tuhan. Cermin bagi rasional, di mana manusia melihat dirinya sendiri hidup di tengah-tengah, dari dan ke dengan persahabatan, sebagaimana karibnya persahabatan antara jiwa-raga.
Daftar Bacaan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1986, Tantri Carita (Nandhaka Harana), Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Geertz, Clifford, 1992, Politik Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Geertz, Clifford, 2002, Hayat dan Karya: Antropologi sebagai Penulis dan Pengarang, Yogyakarta: LkiS.
Geertz, Clifford. 1992, Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Geertz, Clifford. 2003, Pengetahuan Lokal, Yogyakarta: Merapi.
Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1999. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.
Ming, Tu Wei. 2005. Etika Konfusianisme. Jakarta: Teraju.
Pudja, Gde. 2003. Bhagavad Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita.
Radhakrishnan, S. 1992. Upanisad Utama. Denpasar: Yayasan Dharma Sarathi.
Radhakrishnan, S. 2002. Hindu Dharma: Pandangan Hidup Hindu. Denpasar: Pustaka Manikgeni.
Radhakrishnan, S. 2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.
Radhakrishnan, S. 2003. Religion And Society. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.
Sugiharto, Bambang, 1996, Postmoderniema: Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Sumardjo, Jacob, 2007, Jeihan: Ambang Waras dan Gila, Bandung: Jeihan Institute.
Suyanto, Jusuf, 2007, Kearifan Timur Dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin, Jakarta: Kompas.
RETORIKA PERSAHABATAN MANUSIA
Oleh
I Wayan Sukarma
Abstrak
Apabila metaforisitas dipandang sebagai dasar antropologis maka manusia tidak memiliki akses langsung untuk memahami realitas karena rasionalitas bukan sesuatu yang pada dirinya sendiri memadai, bagai cermin untuk memahami realitas. Akibatnya, cara manusia memahami realitas hanya melalui metafor, yaitu dengan mempersamakannya dengan sesuatu yang lain, yang lebih dimengertinya, yang sebenarnya bukan hal itu sendiri. Cara bernalar sesuai dengan kondisi dasar antropologis macam ini adalah Retorika. Ini sebabnya peran Ni Dyah Tantri dihadirkan sebagai refleksi “kebenaran”: dunia, hidup, dan manusia. Dunia-hidup-manusia yang empiris-realis merupakan kesatuan paradoksal-harmonis Alam-Manusia-Tuhan melalui Dunia Binatang. Kemuliaan persahabatan binatang merupakan refleksi keluhuran persahabatan manusia, karena itu hakikat dunia, hidup, dan manusia adalah persahabatan sejati, Kasih.
Kata Kunci: Ni Dyah Tantri, Retorika, dan Persahabatan.
1. Kerangka Acuan: Mengenal Ni Dyah Tantri
“Permainan bahasa” Jacob Sumardjo (2007) berupa “lukisan” seorang Jeihan, dalam Jeihan: Ambang Waras dan Gila merupakan wacana menarik tentang kontras pengungkapan realitas: dunia, hidup, dan manusia. Dengan gaya khas dualisme paradoksnya, realitas dieksplorasi secara dialektis-dinamis, tanpa batas, bahkan nyaris senantiasa bersifat transisional sesuai dengan kata “ambang” yang disisipkan pada judul buku. Menurutnya, orang disebut waras kalau ia berpikir, berbuat sesuai dengan norma-norma umum yang diakui masyarakat sebagai benar dan baik. Sebaliknya, mereka yang tidak waras adalah melawan budaya dan peradaban atau setidak-tidaknya menyimpan beberapa hal daripadanya. Selain itu, menurutnya dusta itu tidak benar. Dusta adalah manipulasi manusia atas manusia lain yang hanya dilakukan oleh manusia beradab dan karena itu disimpulkan bahwa peradaban modern adalah peradaban dusta (Sumardjo, 2007:25--43). Gaya pengungkapan semacam ini merupakan kecenderungan khas yang biasa diasiosiasikan dengan posmodernisme. Misalnya, hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, tumbangnya batas antara budaya tinggi dan budaya pop, percampuradukan gaya yang bersifat ekletik, parodi, pastiche, ironi, kebermainan, termasuk merayakan budaya “permukaan” tanpa peduli pada “kedalaman” (Sugiharto, 1996:25).
Sejenis dengan “permainan bahasa” tersebut masyarakat Hindu di Bali mewarisi teks Tantri, Tantri Carita (Nandhaka Harana): Teks dan Terjemahan Dalam Bahasa Bali, 1986, diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Tingkat I Bali. Terjemahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Paramita, Surabaya, 2006 dengan judul Tantri Carita (Nandhaka Harana): Teks dan Terjemahan Dalam Bahasa Indonesia. Teks Tantri Carita ini terdiri atas 397 sloka (a dan b) disusun berurutan dan ditembangkan dengan Puh Demung Sawit. Teks Tantri ini ditulis oleh dua peranda bersaudara, Ida Peranda Nyoman Pidhadha dan Ida Perandha Pidhadha.
Tantri Carita berkisah tentang seorang raja di kerajaan Patali, Sri Maharaja Aiswarya Dala. Seorang raja yang berkeinginan menikmati kesenangan duniawi, kenikmatan hubungan seksual melebihi kesenangan orang pada umumnya. Untuk itu sang raja memerintahkan Rakian Patih Bandeswara menghaturkan dara perawan setiap malam lengkap dengan upacara samskara wiwaha sebagai pemenuhan kenikmatan asmara. Hari demi hari terlewati, bulan pun berganti tahun. Kebingungan dan kesedihan mendalam menimpa Rakian Patih Bandeswara karena tidak bisa mempersembahkan dara perawan. Di wilayah kerajaan Patali para gadisnya sudah habis dipersembahkan setiap malam kepada sang raja. Ketakutannya semakin memuncak ketika ia sadar bahwa yang tersisa hanya seorang dara perawan saja, itupun anaknya sendiri yang bernama Ni Diah Tantri. Akan tetapi, sebagai anak suputra sadhu gunawan, Ni Dyah Tantri menyadari masalah yang dihadapi ayahandanya sehingga bersedia menyerahkan dirinya kepada baginda raja. Penyerahan diri ini dilandasi oleh tekad untuk menyadarkan Sang Raja dari kegelapan asmara duniawi sehingga negara terbebas dari penderitaan. Ia bertekad memberikan penjernihan pikiran dan pencerahan keyakinan kepada Sang Raja yang dalam kegelapan nafsu sehingga membuat rakyat menderita.
Diceriterakan Ni Diah Tantri bersama Baginda Raja di pelaminan. Atas permintaan sang raja iapun berceritera seputar sloka Tantri karangan Rsi Bhasubhaga yang berjudul Nandhaka Harana tentang smara dhahana ketika burung Garuda menghadap Dewa Wisnu. Selain itu, juga ceritera tentang penciptaan alam semesta, Bhagawan Wasistha yang menerima anugerah lembu betina bernama Nandini; pendeta miskin Sri Dharma Swami yang mendapat pahala brata berupa lembu jantan Nandaka; dan perjalanan lembu Nandhaka yang akhirnya bersahabat dengan Sri Singhadipati. Selanjutnya, ia menceritakan ceritera berangkai tentang Prabu Gaja Druma yang kurang wiweka memilih Patih dan ceritera Bhagawan Sri Yadnya Dharma Swami.
Singkat ceritera, Sang Raja Aiswarya Dala mengagumi kepandaian Ni Diah Tantri berceritera. Sang raja berkata, “pantaslah para bhiksuka memberimu nama Ni Diah Tantri”. Melayang-layang perasaan Sang Raja, rasanya melintas di jagatraya, dan rasanya tiada lagi istri lain karena yang melintas dibenaknya hanya Ni Diah Tantri. Rasa bahagia ini juga dirasakan oleh penghuni kraton, apalagi Rakian Patih Bandeswara bagaikan dapat menemukan alam surga karena sebentar lagi anaknya, Ni Diah Tantri akan menjadi permaisuri kerajaan Patali.
Kisah Ni Dyah Tantri ini merupakan metafora kehidupan manusia modern yang teralienasi di dalam rumah tradisinya sendiri. Dalam terminologi Berger (1994) disebut “ketakberumahan”, yakni manusia tercerabut dari akar tradisinya. Ini lebih disebabkan karena kegagalan manusia dalam memahami diri dan dunianya yang lebih menekankan pada akal-rasionalitas. Ketercerabutan dan kegagalan ini disebabkan karena manusia terlalu kering dari pengalaman persahabatan, baik dengan sesama, alam, maupun Tuhan. Pada dasarnya keterbatasan manusia dalam memahami diri dan dunianya berkaitan erat dengan kondisi dasar antropologisnya. Dalam hal ini Sugiharto (1996:18) mengatakan bahwa metaforisitas sebagai kondisi dasar antropologis bahwa manusia adalah pada dasarnya dalam rangka memahami dirinya dan alam, manusia tidak mempunyai akses langsung murni karena rasionalitas pada dasarnya insufficient, bukan sesuatu yang pada dirinya sendiri memadai, bagai cermin untuk memahami realitas. Akibat dari kenyataan ini adalah cara dasar manusia memahami alam dan dirinya hanyalah melalui metafor, yaitu dengan cara mempersamakannya dengan sesuatu yang lain, yang lebih dimengertinya, yang sebenarnya bukan hal itu sendiri. Cara bernalar sesuai dengan kondisi dasar antropologis semacam ini adalah Retorika.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa metafor adalah pusat bahasa atau pusat dari kodrat linguistikalitas manusia sehingga dengan status ontologis ini metaforisitas dapat digunakan sebagai paradigma untuk memahami realitas manusia. Dalam hal ini Sugiharto (1996:18) menyarankan, agar bahasa lebih dilihat fungsi transformatifnya daripada fungsi deskripstifnya. Asumsinya, yang leteral itu pada dasarnya bersumber pada yang metafor sehingga imajinasi-imajinasi ekuivokal bersumber pada konsep-konsep univokal. Bukan perspesi yang mengandaikan imajinasi, namun sebaliknya, imajinasi yang menjadikan persepsi. Dengan demikian imajinasi bermetafor adalah sarana untuk memandang sesuatu secara baru. Patut dipahami bahwa pada umumnya ketegangan antara ekuivokasilitas imajinasi dan univokasilitas konsep menghasilkan wacana “hibrida”, di mana konsep berbelitan dengan metafor.
Hasilnya mungkin berupa jawaban-jawaban sementara, tetapi setidak-tidaknya dapat digunakan untuk mengkategorisasikan fakta, menggabungkan medan semantik dan semiologis yang berbeda dalam tindakan bisosiatif, dan mengkombinasikan ide dan teori (teori baru). Sebagaimana pernyataan-pernyataan filosofis para filsuf kendati status ilmiahnya hanyalah hipotesis, tetapi bermanfaat untuk mengorganisasikan kembali dan memperluas pemahaman dunia kehidupan manusia. Sebagaimana tawaran Sugiharto (1996:21) bahwa kebenaran dapat dilihat dalam tegangan antara medan konvensional (konsensus yang koheren) dan gejala-gejala baru yang tidak konvensional. Ini merupakan gagasan tentang idealitas yang berfungsi sebagai ide regulatif yang senantiasa memungkinkan jarak kritis terhadapnya. Ini dimaksudkan, agar konvensi tidak mandek dalam bentuk kemapanan yang tertutup, bahkan represif dan otoriter. Dalam hal ini idealitas muncul sebagai peristiwa-peristiwa yang tidak konvensional dalam bentuk-bentuk anomali atau irasionalitas yang menuntut pengakuan, bahkan menggugat anggapan tentang “kenormalan” dan “kerasionalan” itu sendiri. “Irasionalitas” dan “keabnormalan” semacam inilah yang senantiasa menantang manusia untuk berpikir ulang dan berimajinasi untuk merumuskan kembali anggapan-anggapan konvensional secara baru, yang berarti merumuskan realitas secara baru. Persisnya, “irasionalitas” yang menantang “rasionalitas” itu umumnya tampil dalam rupa metafor, yang dalam hal ini sebagaimana digambarkan Tantri Carita melalui peran Ni Dyah Tantri.
Kalaupun tulisan semacan ini ada gunanya, tentu itu bukan pada pretensinya untuk memberikan jawaban tentang “kebenaran”: dunia, hidup, dan manusia – sebagaimana diperankan Ni Dyah Tantri, yang pada dirinya merupakan cermin realitas kebenaran Tantri Carita terwakilkan, barangkali justru pada persoalan-persoalan yang ditimbulkannya. Persoalan-persoalan yang mungkin menggoyang inspirasi imajinatif (Anda) untuk tiba pada tegangan-tegangan berikutnya karena padanya harapan-harapan tentang penyempuranaan “pandangan dunia” mendapat pembaruan.
Kontras Peradaban: Representasi Ni Dyah Tantri
Kembali kepada Jacob Sumardjo mengenai Jeihan, seorang manipulator budaya, dilukisnya seperti berikut.
Jeihan adalah manipulator budaya masyarakatnya yang cerdas. Ia amat memahami budaya masyarakatnya karena ia pernah disakiti oleh budaya itu. Jeihan ada di atas budaya masyarakatnya. Apa yang dianggap kewarasan dalam budaya ia layani, sambil secara cerdas memainkan budayanya sendiri. Untuk itu ia harus hidup dalam pura-pura, hidup dalam dusta. Kebebasan individu yang otentik justru terdapat pada orang-orang “gila” semacam Jeihan. Ia menikmati kebebasan tanpa dituduh tidak waras. Kebebasan dirinya merupakan manipulasi budaya (Sumardjo, 2007:40).
Lukisan tersebut hendak mununjukkan bahwa seorang Jeihan merupakan produk dari ketegangan-ketegangan antara masyarakat modern dan masyarakat pramodern. Menurut Sumardjo (2007:37) bahwa masyarakat modern melihat masyarakat pramodern sebagai tidak waras dan sebaliknya, budaya pramodern melihat budaya modern sebagai tidak waras pula. Walaupun demikian menurutnya, pada dasarnya masyarakat pada kutub pramodern tidak mengenal tidak waras. Kegilaan itu tidak ada, semuanya waras-waras saja. Dalam peradaban pramodern yang dicari adalah ketidakwarasan yang superwaras, tetapi tidak bagi peradaban modern. Orang gila itu penyakit, jahat harus disingkirkan karena irasional dan dikuasai nafsu tak terkendali sehingga yang tidak rasional itu tidak benar. Manusia modern yang waras itu harus tunduk dan patuh penuh disiplin pada kaidah-kaidah sosialnya. Manusia waras adalah manusia sosial. Sebaliknya, mereka yang asosial adalah tidak waras. Mereka yang gila dinilai tidak rasional, tidak sosial, tidak manusiawi, dan jahat. Mereka ini harus disembuhkan kembali, dibudayakan karena asosial itu tidak sinkron dan tidak sinergi dengan cara hidup masyarakatnya.
Ketaksinkronan cara hidup Sang Raja dengan cara hidup masyarakatnya yang ditunjukkan oleh ketaklaziman perilaku seksualnya berdasarkan kode budaya dapat dikategorikan sebagai ketidakwarasan atau keabnormalan. Akan tetapi kegilaan Sang Raja pada perawan, yang tidak konvesional merupakan tegangan yang telah mendorong hadirnya peran Ni Dyah Tantri sebagai kewarasan dan kenormalan yang konvensional. Ini bermula dari peran Ki Patih sebagai intrumen intelektual yang dibodohkan menjadi alat pemuas nafsu kegilaan Sang Raja. Ki Patih tidak dapat berbuat lain, kecuali patuh dan memenuhi keinginan Sang Raja. Selama persediaan perawan dalam gudang Patali masih memadai dan selama itu tidak terjadi permasalahan sehingga Ki Patih pun tetap berperan pintar dalam kebodohannya. Peran ini pun berjalan aman dan lancar karena Ki Patih belum ketiban “batunya”. Persoalan mulai muncul ketika stok gadis persembahan telah mencapai titik kering-kerontang, apalagi yang tersisa hanya satu-satunya perawan dan itu pun milik Ki Patih sendiri. Di atas persoalan inilah Ki Patih berperan sebaliknya, menjadi bodoh dalam kepintarannya sehingga terpaksa menghadirkan tokoh Ni Dyah Tantri.
Menghadirkan kembali Ni Dyah Tantri berdasarkan kontras antara peradaban modern dan pramodern pada dasarnya merupakan upaya menempatkan konvensi-konvensi budaya di antara kewarasan dan kegilaan. Berdasarkan gagasan budaya modern bahwa kebenaran adalah kewarasan yang rasional dan konsensus yang koheren sehingga untuk sampai pada tegangan kausalnya dapat dibangun seting peran para aktor Tantri Carita sebagai berikut. Pertama, peran Sang Raja yang gila kenikmatan seksual dapat dilihat sebagai kegilaan permainan nafsu inderawi dan kekuasaan sehingga Sang Raja mampu menjadi manipulator budaya masyarakatnya. Permainan ini juga tidak lepas dari konsep dewa-raja bahwa raja adalah titisan dewa sehingga segala ucapannya adalah kata-kata kebenaran yang harus dipatuhi. Konvensi budaya diletakkan pada rasionalitas nafsu dan kekuasaan sehingga memaksa kehadiran peran tokoh lain, peran intelektual, Rakian Patih Bandeswara. Kedua, peran Ki Patih juga tidak jauh dari permainan ini, bahkan sekaligus menjadi instrumen bagi permainan itu sendiri. Pada mulanya memang peran Ki Patih tidak lebih dari sekadar alat pemuas nafsu-kekuasaan Sang Raja belaka, walaupun akhirnya ia terlibat langsung dalam permainan itu. Kedua tokoh ini dengan mudah mempermainkan realitas dunia kehidupan manusia atas kemauan dan kemampuan rasionalitas yang melekat padanya karena permainan antara nafsu, kekuasaan, dan intektual pada dasarnya merupakan “permainan bahasa” dalam khazanah peradaban dusta. Pada tataran ini peran kedua tokoh ini dapat dikategorikan sebagai yang “gila”; walaupun Ki Patih karena hanya alat demi berjalannya permainan sehingga tidak sepenuhnya harus menerima penilaian ini. Sampai di sini Ki Patih telah berhasil memainkan konvensi budaya hingga akhirnya ia harus menghadapi kenyataan bahwa putrinya, Ni Dyah Tantri merupakan gadis satu-satunya di kerajaan Patali yang harus dipersembahkan kepada Sang Raja.
Ketegangan Ki Patih ini, antara peran yang dimainkan dan kenyataan kehidupan yang dijalaninya kemudian, Ni Dyah Tantri dihadirkan untuk mengatasi ambiguitas realitas dunia kehidupan manusia. Di sini peran Ki Patih telah berubah dari instrumen menjadi penikmat. Pada peran yang pertama jiwanya sama sekali tidak terpengaruh dan terbebas dari akibat, sedangkan pada peran yang kedua jiwanya sangat terpengaruh dan tidak bebas dari akibat (sehingga ia bersedih dan kebingungan karena anaknya harus menjadi barang persembahan). Pada peran yang pertama, Ki Patih hanyalah berfungsi sebagai instrumen bagi permainan nafsu-asmara Sang Raja sehingga fungsinya ini lebih sebagai pengabdian daripada peran sebagai ayah. Akan tetapi, berbeda dengan peran yang kedua, Ki Patih benar-benar telah menjadi bagian internal dari seluruh permainan itu sehingga fungsinya berubah menjadi peranan yang berimplikasi pada kegelisahan jiwanya. Pada peranannya ini, Ki Patih telah menikmati permainan kehidupan manusia berdasarkan konvensi budaya yang sulit dimanipulasinya karena jiwanya terlibat secara langsung dalam permainan. Ia tidak tega mempersembahakan anaknya karena ia tahu nasib yang akan menimpa anaknya, bila dipersembahkan kepada Sang Raja. Ia marah kepada Sang Raja, tetapi tidak mungkin menampakkannya. Ia benci kepada Sang Raja, tetapi tidak mungkin menunjukkannya. Perasaan cinta kepada Sang Raja dan cintanya kepada anaknya dipertarungkan karena harus ada pemenang. Menolak menghaturkan anaknya kepada Sang Raja, sama saja bertindak murtad terhadap junjungan dan mati adalah hukumannya. Sebaliknya, menghaturkan anak kepada Sang Raja sama saja telah membunuh anak tercinta sebelum dilahirkan. Rupanya dua jenis cinta berkecamuk di hati Ki Patih yang telah membuatnya berada pada posisi sulit yang tidak mungkin disampaikan kepada siapapun.
Dalam situasi inilah Ki Patih kelimpungan, perutnya kesakitan karena mual-mual, seperti pengantin wanita sedang ngidam, berasa ingin muntah-muntah, tetapi dari mulutnya yang keluar hanyalah keluh-kesah dan penyesalan yang amat mendalam. Oleh karena tidak bisa menahannya, ia pun memuntahkan kemarahan dan kekesalan kepada dirinya sendiri. Kepekaaan empati keluarga rupanya segera menjadi penawar sakit perut Ki Patih. Istri Ki Patih misalnya, melalui satya pati brata memberikannya kekuatan untuk menyadari kebodohan Ki Patih dalam kepintarannya menjalankan loyalitas dalam peran-peran pengabdiannya kepada Sang Raja dan Kerajaan Patali. Kemudian, anaknya atas dasar bhakti yang mendalam, yang memang memiliki ketangguhan spiritual yang diekspresikan dalam tata-laku sopan-santun segera melakukan tindakan penyelamatan. Kebingungan dan ketersesatan Ki Patih dalam permainannya sendiri terselamatkan oleh anaknya, Ni Dyah Tantri.
Pengalaman Ki Patih telah menunjukkan bahwa dunia-hidup-manusia rupanya sarat dengan kontradiktif norma dan nilai yang bukan saja hadir dari pandangan-dunia yang berbeda, melainkan juga dari pandangan-dunia yang sama. Setiap subjek (pelaku budaya) yang dibatasi struktur dan kultur senantiasa menciptakan tatanan nilai baru. Nilai-nilai baru ini dibangun berdasarkan kebutuhan dunia majinasi dan aktualnya yang selaras dengan ketegangan yang dihadirkan melalui alur-alur konvensi yang keluar dari tatanan normal dan rasional, anomali rasionalitas. Di antara tegangan-tegangan ini peran Ni Dyah Tantri dibangun sebagai aktor yang ketiga. Peran penyelaras kehidupan yang diliputi paradoksal nilai-nilai dan kontradiktif norma-norma dalam dunia praksis. Jalan hidup memang susah ditebak, tetapi pada tataran ini peran Ni Dyah Tantri dapat diletakkan pada kesesuaian antara konvensi budaya dan tindakan rasional sehingga ia termasuk ke dalam kategori sebagai yang “waras”. Malahan dapat disebut superwaras karena niat dan hasratnya menjernihkan dan mencerahkan Sang Raja demi mengatasi penderitaan rakyat. Ini merupakan ide tentang superwaras sebagaimana gagasan yang idolakan oleh masyarakat pramodern dan cita-cita luhur ini sejalan dengan etika sosial yang dibangun dalam peradaban modern yang menempatkan pahlawan sebagai yang “terhormat”.
Patut dipahami bahwa posisi terhormat yang diraih Ni Dyah Tantri bukan hanya karena kecantikan dan kecerdasannya memainkan kode-kode moral melalui cerita berbingkai. Melainkan juga berdasarkan formasi wawasan yang melampaui epistemologi konvensional sebagaimana yang dikenal dalam rancang bangun pengetahuan, baik rasional dan empiris maupun kritis dan intuitif. Ini merupakan tantangan baru bagi masyarakat modern yang memiliki dua kebenaran. Pertama, kebenaran rasional, yakni kebenaran logis dan dapat diterima akal sehat sehingga semua penjelasan yang masuk akal itu benar, meskipun dasar pemikirannya tidak seluruhnya dapat disetujui. Kedua, kebenaran empiris, yakni kebenaran merupakan kesesuaian realitas sehingga kebenaran itu adalah kebenaran peristiwa, pengalaman, perasaan, dan nafsu (Sumardjo, 2007:43). Meletakkan kemasukakalan menjadi landasan ketakmasukakalan pengalaman batin bukanlah permainan mudah, sebagaimana peran yang harus dimainkan Ni Dyah Tantri. Meramu pengetahuan rasional dan empiris dalam bentuk metaforisitas sebagai kondisi dasar antropologis bukan persoalan mudah, tetapi Ni Dyah Tantri tidak begitu sulit mendemontrasikannya. Pengetahuannya tentang kesatuan dan kesucian alam, keluhuran persahabatan manusia, kehebatan persahabatan antara manusia dan binatang, bahkan kemuliaan persahabatan binatang yang melebihi keluhuran persabahatan manusia ini merupakan “permainan bahasa” yang mengatasi Rasionalitas – Pikiran Objektif. Ini merupakan permainan akal-nalar, yakni rasionalitas yang lepas dari bahasa, kultur, dan praktik-praktik sosial sehingga meninggalkan cara kerja manas, ahamkara, dan buddhi sebagaimana teladan yang ditunjukkan Samkhya-Yoga ataupun Nyaya-Waisesika.
Kepiawaiannya memainkan dawai-dawai sloka Tantri Carita seputar dunia kehidupan binatang merupakan perpaduan permainan dari jenis-jenis pengetahuan yang paling mungkin dikuasai manusia. Pengetahuan yang melampaui pengetahuan rasional dan empiris, bahkan melampaui pemikiran kritis dan kebenaran intuisi. Pengetahuan tentang dunia, hidup, dan manusia yang pada dasarnya di luar kendali dan kontrol epistemologi konvesional sehingga melampaui permainan nafsu, kekuasaan, dan intelektual. Ini merupakan ide tentang Kesadaran Agung, yakni Kesadaran Kosmis. Kesadaran Subjektif yang mengatasi pluktuasi-pluktuasi pikiran dan peran-peran dusta peradaban mana pun. Dengannya Sang Raja harus tunduk dan takluk, bertekuk lutut di sudut kerling “mata” Ni Dyah Tantri. Kerlingan “mata batin”, Kesadaran Subjektif yang mengatasi Pikiran Objektif dan Objek-Objek (nama-rupa inderawi) telah menggeser kepercayaan dan keyakinan Sang Raja dan Ki Patih pada “pandangan-dunia baru”. “Pandangan dunia” yang “kabur” dalam paradoks yang harmonis melalui penyatuan alur-alur logika ke-Alam-an dan ke-Manusia-an serta ke-Binatang-an yang senantiasa merujuk pada ke-Tuhan-an, Realitas Tertinggi. Dunia kehidupan binatang telah menjadi medan pemahaman dunia kehidupan manusia, sebagaimana dalam peradaban modern bahwa manusia lebih mudah menundukkan alam dan binatang daripada dirinya sendiri. Walaupun demikian, Sang Raja dan Ki Patih yang ditakluk-tundukan kemudian, melalui “upacara perkawinan” mereka menjadi yang paling menikmati suka-cita kemenangan permainan itu. Sebagaimana halnya manusia modern, sang pengubah yang mengaku pencipta pada akhirnya, harus tunduk dan takluk pada kenyataan dirinya, Alam.
3. Simpulan: Manusia dan Persahabatan
Ni Dyah Tantri melalui cerita berbingkai Nandhaka Harana telah menyampaikan pesan moral dan kemanusiaan, betapa pentingnya membangun dunia persabahatan, yakni sebuah wacana yang memikat hati Kerajaan Patali. Penerimaan ini ditunjukkan dengan peneguhan dan pengukuhan dirinya dalam sebuah upacara perkawinan dengan Sang Raja. Hidup dan kehidupan Kerajaan Patali kembali bergairah dalam suasana damai dan tenteram karena persahabatan ditegakkan. Ini berarti keberlangsungan sebuah masyarakat sangat tergantung pada kemampuannya membangun persahabatan, baik secara internal maupun eksternal. Kenyataannya, sebuah masyarakat bukanlah penjumlahan individu-individu yang tanpa ikatan, melainkan ia dibangun dengan persahabatan berdasarkan nilai dan norma moral dan kemanusiaan. Fakta bahwa seseorang tidak dapat hidup normal dalam kesendiriannya telah membuktikan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam membangun eksistensinya. Radhakrishnan (2003) dalam Religion And Society mengatakan bahwa persahabatan adalah kehidupan dan kurangnya persahabatan adalah kematian. Demikian juga Konfusius menjawab, belajar dan terus belajar untuk menjadi manusia seumur hidup, ketika ditanyakan tentang tujuan hidup manusia (Ming, 2005; Sutanto, 2007). Jikalau pisau perlu diasah dengan batu supaya bisa memotong dengan efektif maka manusia harus diasah dengan manusia. Malahan Sankara dan guru-guru agung Upanisad lainnya mengatakan, dewa pun menjadi manusia untuk mencapai moksa “kebebasan”. Dengan demikian kelahiran sebagai manusia dalam persahabatan adalah keutamaan paling mulia, seperti ditegaskan dalam Sarasamuccaya. Persahabatan adalah guna “kualitas” manusia dalam kesatuan dan keseluruhan yang tak terpisahkan, seperti watak dan sifat-sifatnya yang lain.
Persahabatan sebagai kualitas manusia kemudian, mendapatkan nilai dan makna tertingginya dalam dunia pengalaman langsung dalam kancah sosial – kemasyarakatan. Dalam dunia sosialnya manusia saling memberi dan menerima makna persahabatan sosial yang diciptakan melalui interaksi dan relasi dengan sesama dalam jaringan-jaringan sosial yang sarat dengan ikatan-ikatan. Di dalamnya manusia mengikatkan diri untuk menjadi satu tatanan sosial yang kemudian kesatuan ini lebih dikenal dengan sebutan masyarakat. Kuat-lemahnya ikatan-ikatan sosial tergantung dari jaring-jaring makna atau organisasi nilai, yang oleh Clifford Geertz (1992) disebut kebudayaan, yang dibangun sebagai asal mula dan tujuan masyarakat. Kemudian, setiap individu menjadi determinan dalam lingkungan sosial-budayanya, yakni suatu lingkungan yang menjadi penanda yang membedakannya dengan lingkungan alam. Manusia secara aktif dan kreatif membangun nilai-nilai dan norma-norma dalam tindakan rasional untuk menjamin masa depan interaksi sosialnya. Bersamaan dengan itu juga manusia membangun dan menata lingkungan alamnya demi kelangsungan tatanan yang telah mapan dalam suasana penuh persahabatan.
Walaupun demikian, mendandani persahabatan dalam pengertian manusiawi, bukanlah semudah menghiasi pertemanan dalam nafsu dan keserakahan. Manusia dengan mudah mengubah persahabatannya dengan alam demi memenuhi nafsu dan keserakahannya, bahkan dengan penuh kemarahan memaki-maki dalam teriakan suara-suara alat-berat. Ini upaya nyata manusia mengeksploitasi sumber-sumber alam. Alam yang semula dipahami dalam kesadaran bhuana agung “makro-kosmos” bagian integral dari kesadaran bhuana alit “mikro-kosmos” atau “diri manusia” telah bergeser menjadi barang sesuatu. Alam diterima hanya sejauh dalam arti pertemanan, berupa kepadatan dan kekosongan, itupun sejauh memberi manfaat bagi penciptaan kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan begitu, Alam sama sekali tanpa makna kedirian, bukan seperti halnya Bhagavad Gita (VII:4) mengingatkan bahwa alam, selain terdiri atas lima anasir material: tanah, air, api, udara, ether, juga memiliki kesadaran pikiran, bhudi, dan ego. Kesadaran inilah yang hendak dibangun Ni Dyah Tantri di Kerajaan Patali melalui kecerahan Sang Raja. Sang Raja yang tercerahkan telah tiba pada kesadaran pujaannya, Ni Dyah Tantri. Demikianlah Sang Raja, yang adalah seorang laki-laki; dan bagi laki-laki, masih adakah cara lain, selain “berkelahi” berdasarkan keperkasaannya dalam menyelesaikan permasalahan: nafsu, keserakahan, dan kemarahan. Dalam rangka inilah Ni Dyah Tantri hadir menawarkan “persahabatan semesta” yang mengatasi kemuliaan persahabatan manusia dengan semua makhluk. Inilah persahabatan dalam kasih Tuhan. Cermin bagi rasional, di mana manusia melihat dirinya sendiri hidup di tengah-tengah, dari dan ke dengan persahabatan, sebagaimana karibnya persahabatan antara jiwa-raga.
Daftar Bacaan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1986, Tantri Carita (Nandhaka Harana), Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Geertz, Clifford, 1992, Politik Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Geertz, Clifford, 2002, Hayat dan Karya: Antropologi sebagai Penulis dan Pengarang, Yogyakarta: LkiS.
Geertz, Clifford. 1992, Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Geertz, Clifford. 2003, Pengetahuan Lokal, Yogyakarta: Merapi.
Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1999. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.
Ming, Tu Wei. 2005. Etika Konfusianisme. Jakarta: Teraju.
Pudja, Gde. 2003. Bhagavad Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita.
Radhakrishnan, S. 1992. Upanisad Utama. Denpasar: Yayasan Dharma Sarathi.
Radhakrishnan, S. 2002. Hindu Dharma: Pandangan Hidup Hindu. Denpasar: Pustaka Manikgeni.
Radhakrishnan, S. 2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.
Radhakrishnan, S. 2003. Religion And Society. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.
Sugiharto, Bambang, 1996, Postmoderniema: Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Sumardjo, Jacob, 2007, Jeihan: Ambang Waras dan Gila, Bandung: Jeihan Institute.
Suyanto, Jusuf, 2007, Kearifan Timur Dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin, Jakarta: Kompas.