MENJADI GENERASI PEMBELAJAR:
MEMAHAMI EKSISTENSI SEKAA TERUNA
Oleh
I Wayan Sukarma
Pendahuluan
Masyarakat Hindu di Bali memiliki sistem dan struktur sosial kemasyarakatan yang unik dan khas. Dasar-dasar pokok sistem sosial kemasyarakatan orang Bali (Geriya, 2001) dalam buku Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI bertumpu pada empat landasan utama, yaitu kekerabatan, wilayah, agraris, dan kepentingan khusus. Ikatan kekerabatan membentuk sistem kekerabatan dan kelompok-kelompok kekerabatan. Sistem kekerabatan berlandaskan prinsip patrilineal yang merentang dari keluarga inti, keluarga luas, dan sampai dengan klan patrilineal. Ikatan kesatuan wilayah terwujud dalam bentuk komunitas desa adat (desa pakraman) dengan subsistemnya banjar-banjar. Dalam bidang kehidupan agraris berkembang organisasi subak. Selanjutnya, dalam ikatan kelompok-kelompok kepentingan khusus terwujud sebagai organisasi sekaa.
Keterangan itu memberitahukan bahwa sekaa teruna adalah organisasi sekaa, yaitu ikatan kelompok kepentingan khusus atau organisasi yang eksistensinya ditentukan oleh kepentingan khusus. Ini berarti eksistensi sekaa teruna tergantung pada kepentingan khusus itu. Selama masih ada kepentingan khusus maka sekaa teruna juga masih ada dan eksis. Ini sebabnya upaya memahami eksistensi sekaa teruna dapat dilakukan melalui kepentingan khusus itu. Salah satu kepentingan khusus yang melekat pada “diri” sekaa teruna adalah kepentingan belajar. Mengingat warga sekaa teruna umumnya, mereka bergaul dalam lingkungan pendidikan formal sebagai warga dari satuan pendidikan tertentu. Mereka juga tumbuh dan berkembang dalam lingkungan banjar dan desa pakraman yang merupakan lingkungan pendidikan nonformal. Warga sekaa teruna, dengan demikian senantiasa berada dalam lingkungan pendidikan, baik formal maupun non-formal, bahkan juga dalam keluarga merupakan lingkungan pendidikan informal. Hal ini meneguhkan bahwa menjadi generasi pembelajar merupakan kepentingan khusus yang layak dipertahankan bagi eksistensi sekaa teruna. Upaya-upaya mempertahankan kepentingan khusus inilah yang menjadi konsentrasi pembahasan tulisan ini.
Trikotomi Lembaga Adat dan Tantangan Sekaa Teruna
Sekaa teruna, banjar, dan desa pakraman merupakan suatu kesatuan trikotomi lembaga adat yang tak terpisahkan. Desa pakraman seperti yang dimuat dalam Perda Propinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001 pada dasarnya merupakan kesatuan wilayah hukum adat sebagai penjabaran falsafah Tri Hita Karana, yaitu parhyangan, pawongan, dan palemahan. Parhyangan mengatur kegiatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa; pawongan mengatur kegiatan manusia dalam hubungannya dengan sesama; dan palemahan mengatur kegiatan manusia dalam hubungannya dengan alam. Jadi, desa pakraman adalah kesatuan harmonis tiga gatra. Krama desa adalah gatra pawongan membutuhkan ruang beraktivitas di wilayah desa pakraman sebagai gatra palemahan. Krama desa dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial membutuhkan jalinan komunikasi untuk memenuhi kepentingan bersama adalah gatra pawongan. Krama desa adalah manusia religius membutuhkan kebahagiaan, karena itu mereka sujud ke hadapan Tuhan. Untuk itu mereka mendirikan pura sebagai tempat pemujaan sebagai gatra parhyangan. Jadi, desa pakraman dalam konteks ini merupakan kesatuan ruang-waktu-tindakan (desa-kala-nimmita) dalam nuansa ke-Tuhan-manusia-alam-an untuk mewujudkan sukerta tata agama (tertib hidup beragama), sukerta tata pawongan (hubungan harmonis antarkrama), dan sukerta tata palemahan (tertib wilayah desa). Ini merupakan refleksi dari hakikat hidup dan tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu, kesatuan dari tiga penyebab kesejahteraan.
Desa pakraman umumnya, terdiri atas banjar sebagai subsistemnya, karena itu eksistensinya tergantung pada ekspresi banjar. Pada gatra pawongan misalnya, salah satu bentuk ekpresi banjar adalah sekaa teruna sebab sekaa teruna merupakan praeksistensi banjar. Artinya, sekaa teruna merupakan wujud partisipasi banjar bagi kelangsungan desa pakraman. Kenyataan ini tidak bisa dihindari bahwa kualifikasi desa pakraman yang ditentukan oleh kualifikasi banjar sepenuhnya berada pada kualifikasi sekaa teruna. Asumsinya, makin tinggi kualifikasi sekaa teruna maka semakin tinggi kualifikasi banjar dan ini sekaligus merupakan representasi dari kualifikasi desa pakraman. Ini sebabnya mempertahankan kualifikasi sekaa teruna agar selalu pada kualifikasi tinggi merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebuah kualifikasi bukanlah hadiah yang dapat diraih tanpa perjuangan, melainkan upaya dinamis dari waktu ke waktu tanpa henti dan tanpa akhir. Tiada masa depan yang berakhir, karena itu gairah perjuangan sepanjang masa ini mungkin dapat disebut proses pembelajaran. Di dalamnya kualitas diri dapat dipertaruhkan karena hanya itu cara yang paling memungkinkan pencapaian optimal bagi kemanusiaan. Dalam kapasitas ini sekaa teruna dengan sendirinya layak dilabeli generasi pembelajar, karena itu patut dipertahankan sebagai kepentingan khusus.
Untuk itu perlu dilakukan upaya memahami eksistensi sekaa teruna secara terus-menerus karena tidak ada situasi dan kondisi yang benar-benar final. Sesuatu yang final mengandaikan tidak dimungkinkannya lagi bagi perubahan dan sekaligus menyatakan bahwa sesuatu yang final itu telah tiba dalam realisasi pencapaian kesempurnaan. Padahal sejarah masa depan penuh dengan ketidakpastian dan ketidakmungkinan karena di dalamnya terdapat alur yang beragam ke segala arah. Di dalamnya mengandung gerakan yang saling menjalin-kelidan dan bertaut-tautan sehingga wawasan sejarah masa depan tak ubahnya mengejar fatamorgana di gurun pasir. Sekaa teruna dengan demikian tidak bisa berhenti pada suatu terminal pencarian jati diri karena aliran arus perubahan itu sarat dengan kegamangan. Penyamaran status dan peran juga sangat dimungkinkan dalam alur sejarah yang juga sarat dengan terma transisi sehingga menciptakan paradoksal di dalam dirinya sendiri. Itu sebabnya pembelajaran sebagai kepentingan khusus merupakan variabel dinamis yang senantiasa mengalami perubahan inheren dalam perkembangan kebudayaan.
Walaupun begitu dalam pewarisan suatu kebudayaan terdapat satu unsur yang tidak berubah, yaitu adanya tindakan internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Ketiga tindakan ini dicirikan oleh susana belajar dan proses pembelajaran atau pendidikan dan pembudayaan. Di dalamnya ada satu kepentingan khusus yang tidak berubah, yang menentukan eksistensi sekaa teruna, yaitu suasana dan proses, baik pendidikan maupun pembudayaan. Sekaa teruna pada posisi ini merupakan generasi yang kehidupannya diliputi oleh suasana belajar dan proses pembelajaran. Ini sebabnya sekaa teruna dapat disebut generasi pembelajar, generasi yang senantiasa mengusahakan pembelajaran. Sebagai sebuah proses, pembelajaran lebih merupakan sebuah upaya yang berlangsung secara terus-menerus, karena itu hasil belajar bukanlah sebuah produk, hasil yang sudah final. Kenyataan ini tampak dari sikap dan perilaku sekaa teruna dalam kehidupan empiris yang tidak henti-hentinya mencari dan menemukan identitas diri dan jati diri. Eksistensi sekaa teruna seperti ini sesuai dengan ajaran catur asrama yang mengatakan bahwa sekaa teruna sebagai generasi muda termasuk ke dalam klasifikasi perkembangan kehidupan manusia yang disebut brahmacari, masa belajar, masa menuntut ilmu, masa berguru.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat para ahli pendidikan yang mengatakan bahwa manusia melalui pembelajaran meningkatkan kemuliaan harkat dan martabat serta menjadikan diri lebih manusiawi. Menjadi generasi pembelajar dengan demikian merupakan kepentingan khusus yang harus dipertahankan, apabila sekaa teruna tidak ingin luluh dalam fenomena kehidupan yang sarat dengan penampilan-penampilan yang paradoksal. Kenyataan secara empiris juga menawarkan begitu banyak pilihan yang membingungkan dan cenderung menyesatkan. Membuat pilihan yang mendekati benar diperlukan penajaman akal-budi melalui suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif.
Akal-Budi: Ciri Khas Generasi Pembelajar
Manusia secara psikologis memiliki dua jenis dorongan yang menentukan bentuk tingkah lakunya, yaitu insting dan insight. Insting merupakan dorongan nafsu belaka. Pada tarap ini manusia tidak berbeda dengan hewan, karena itu insting sering disebut dorongan hewani. Sebaliknya, insight merupakan dorongan insani (manusiawi) berupa akal dan budi. Akal adalah kemampuan melakukan pembedaan atas realitas dan budi adalah kemampuan melakukan pemilihan sesuai dengan kodrat manusia. Dengan akalnya manusia membagi dan menandai realitas atas fakta-fakta ke dalam nama dan bentuk. Dengan budinya manusia melakukan pilihan-pilihan atas fakta-fakta sesuai dengan kodratnya (kemanusiaan) berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai. Dalam konteks ini manusia mengatur dan mengontrol sikap dan tingkah lakunya secara rasional sesuai dengan kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan norma dan nilai dalam lingkungannya. Pada tarap ini manusia dapat dikatakan telah berbudaya karena telah membedakan antara “yang harus” dan “yang tidak harus”, antara “yang boleh” dan “yang tidak boleh” berdasarkan pertimbangan moral disertai dengan kemampuan menggunakan simbol. Ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara akal-budi pada satu sisi dengan kebudayaan pada sisi lain.
Paradigma tersebut mengantarkan pemahaman kepada sebuah pengertian bahwa kualitas suatu masyarakat tampak dari tingkat kebudayaannya karena kebudayaan merupakan presentasi tingkat pemikiran masyarakat tersebut. Secara konseptual bahwa tingkat pemikiran dan tingkat pendidikan (suatu masyarakat) memiliki korelasi positif. Ini sebabnya kebudayaan hanya diwariskan melalui proses pembelajaran dan bukan secara geneal-fisiko-biologis. Kebudayaan yang hidup di dalam pikiran merupakan sikap mental dan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan dari generasi kepada generasi berikutnya. Setidaknya ada tiga proses pembelajaran kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan manusia sebagai makhluk hidup dan bagian dari suatu sistem sosial. Proses pembelajaran kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan sampai mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan perasaan, hasrat, dan emosi dalam rangka pembentukan kepribadian dikenal sebagai proses internalisasi. Mengingat manusia adalah bagian dari suatu sistem sosial maka setiap individu harus selalu belajar tentang pola tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu lain dalam lingkungan sekitarnya disebut sosialisasi. Selanjutnya, proses pembelajaran kebudayaan, yaitu seseorang harus mempelajari dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang hidup dalam kebudayaannya dikenal dengan enkulturasi atau pembudayaan. Pendidikan dan pembudayaan dengan demikian merupakan dua sisi dari satu mata uang yang berfungsi meningkatkan kemanusiaan. Ini kunci yang menentukan tingkat kualitas individu ataupun suatu masyarakat seperti dinyatakan dalam tujuan pendidikan, yaitu mewujudkan individu mandiri dan masyarakat madani. Hal ini sesuai dengan pengertian pendidikan yang dijelaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik agar berguna bagi dirinya sendiri, masyarakat, dan bangsa.
Pendidikan ataupun pembudayaan yang intinya adalah pembelajaran, baik disadari maupun tidak telah menempatkan individu ataupun kelompok ke dalam interaksi yang diliputi oleh suasana pendidikan. Dalam hal ini individu ataupun kelompok, baik dalam lingkungan nyata maupun verbal selalu mengandaikan adanya tujuan, proses, metode, sarana, guru, peserta didik, dan materi pelajaran. Walaupun bentuk unsur-unsur yang menentukan suasana itu tidak selalu harus sama pada setiap lingkungan pendidikan, yakni tempat dilaksanakannya pembelajaran. Sekaa teruna dengan menetapkan dan memantapkan diri menjadi generasi pembelajar sebagai kepentingan khususnya dengan demikian selalu berada dalam interaksi sosial yang sarat dengan nuansa pendidikan. Suasana yang diwarnai aktivitas belajar dan pembelajaran dalam berbagai aspek dan skalanya, baik formal dan non-formal maupun informal. Aktivitas ini mengarahkan pada pembentukan akal-budi, potensi entitas setiap individu yang dalam perkembangannya memerlukan bantuan dan dukungan lingkungan yang kondusif. Dengannya sekaa teruna melakukan penyesuaian dan adaptasi secara terus-menerus sehingga tetap eksis sepanjang masa sesuai dengan tunutan zaman.
4. Simpulan
Pada prinsipnya uraian di atas hendak mengantarkan pengertian kepada sebuah pemahaman bahwa sekaa teruna adalah organisasi yang keberadaannya ditentukan oleh ikatan kepentingan khusus. Menjadi generasi pembelajar merupakan suatu kepentingan khusus yang layak dipertahakan. Mengingat warga sekaa teruna adalah kelompok brahmacarya yang kehidupannya dicitrakan oleh suasana belajar dan proses pembelajaran. Sekolah dan kampus menyediakan lingkungan pendidikan formal memberikan suasana belajar dan proses pembelajaran bagi pembentukan generasi yang sehat dan kuat serta mandiri. Banjar dan desa pakraman menyediakan lingkungan pendidikan non-formal memberikan dukungan bagi pembentukan generasi berkecakapan dan berterampilan. Keluarga menjadi lingkungan pendidikan informal memberikan harapan dan motivasi bagi pembentukan generasi yang berbudi. Oleh karena itu untuk memahami eksistensi sekaa teruna dapat dilakukan melalui penelusuran dalam ketiga lingkungan tersebut.
Dengan menjadi generasi pembelajar sekaa teruna dapat membangun kualitas diri dan eksistensi dirinya dalam kehidupan sosial budaya yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan seturut dengan perubahan dan perkembangan zaman. Melalui proses pembelajaran sekaa teruna dapat melakukan adaptasi dan penyesuaian diri berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang berkembang inheren dalam perkembangan kehidupan sosial dan kebudayaan. Dalam proses ini terjadi penafsiran dan pemahaman terhadap sistem dan struktur sosial budaya secara terus-menerus sehingga terjadi pemutahiran pengetahuan, rekongnisi. Sekaa teruna dengan demikian memiliki sebuah kemungkinan dapat hidup dan berkembang sepanjang zaman dalam segala zaman.
Salam saya:
Sekaa Teruna itu bunga,
Bunga itu harum,
Harum itu kualitas,
Kualitas itu diri, dan
Diri itulah kebenaran.
Bumi Rumah Kita
Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam I W a y a n S u k a r m a Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...
Cari Blog Ini
Arsip Blog
-
▼
2009
(28)
-
▼
Oktober
(28)
-
▼
Okt 17
(27)
- Religi
- Etika
- Moriltas
- Dekonstruksi
- Demokrasi
- Perubahan Zaman
- Moralitas
- Moralitas
- Perubahan Sosial
- SUPUTRA
- MEME-BAPA
- Zona Perkembang Proksimal
- Perempuan
- Pembelajar
- Pengendalian Diri
- Sriwaratri
- Bhuana Kosa
- Pendidikan
- HUMANISME DALAM BRAHMAVIDYA DAN TRADISI HINDU DI B...
- Pemurnian Tradisi Dalam Komunitas AdatOlehI Wayan ...
- PRIVATISASI AGAMA DAN KONVERSI INTERNAL:FENOMENA K...
- PENDIDIKAN SEPANJANG ZAMAN:PERSPEKTIF SANKHYA-YOGA...
- MASA DEPAN RUANG PUBLIK DESA PAKRAMANI Wayan Sukar...
- Ni Dyah Tantri
- PANCA YADNYA SEBAGAI LOKAL GENIUS:MENYONGSONG MASY...
- Dharma Untuk Keluarga Ideal:Akar Moralitas Generas...
- Sepotong Harapan Buat Pemimpin Hindu Di Indonesia ...
-
▼
Okt 17
(27)
-
▼
Oktober
(28)
Popular Posts
-
SISTEM PENGOBATAN USADA BALI A.A. Ngr Anom Kumbara Pen gantar Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manu...
-
BRAHMAVIDYA DALAM BHUANA KOSA Oleh I Wayan Sukarma Abstrak Bhuana Kosa adalah lontar yang paling tua dalam kelompok lontar-lontar Siwaistik....
-
PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA DI INDIA DAN INDONESIA (Pendekatan Ilmu Sejarah) Prof. D.Litt...
-
TATTWA JNÀNA: KAJIAN TERHADAP STRUKTUR I Wayan Suka Yasa 1. Pendahuluan “Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali...
-
REINKARNASI Wacana Surga-Bumi-Neraka I Wayan Suka Yasa Abstrak Keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari se...
Tentang Penulis
Nama: I Wayan Sukarma
Email: putraghanes58@gmail.com