Perubahan Sosial

ORANG BALI DAN PARIWISATA:
SEBUAH KAJIAN PERUBAHAN SOSIAL


I WAYAN SUKARMA

Abstrak
Orang Bali dengan tatanan nilai tradisionalnya tidak dapat menghindarkan diri harus berhadapan dengan nilai-nilai kebaruan dalam tatanan ekonomi global dan konteks pariwisata. Mempertentangkan nilai tradisional dengan modernisasi dan globalisasi dalam konteks pariwisata adalah suatu wacana yang kontraproduktif. Mengingat keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang saling melengkapi karena dua nilai yang paradoks bukan berarti tidak mungkin dibuat harmoni. Modernisasi dan globalisasi dalam konteks pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dengan melakukan reinterpretasi terhadap nilai tradisional yang kurang relevan dan fungsional. Oleh karena itu pengenalan terhadap nilai baru dengan budaya deferensial memerlukan tindakan strategis dalam menginterpretasi dan memahami serta mereposisi nilai tradisi Bali agar dapat menciptakan harmoni peradaban.

Kata Kunci: Orang Bali, Pariwisata, dan Perubahan Sosial.


PENDAHULUAN
Orang Bali, alam, kebudayaan, dan agamanya dalam khazanah pariwisata lebih merupakan objek daripada subjek karena pertautannya merupakan aset pariwisata Bali. Hal ini digambarkan oleh para antropolog Amerika Serikat (Picard, 2006:44), mereka menemukan di Bali sebuah pulau di mana budaya dan alam saling berpautan erat, tempat tinggal sebuah masyarakat mapan dan harmonis, yang secara berkala digairahkan oleh ritus-ritus yang amat mempesona. Alamnya menyajikan keindahan Bali dalam warna gaib tridatu dan kilauan sunset dewata nawa sanga yang menggetarkan rasa-agama-budhi. Kebudayaan Bali yang diwarnai pernik-pernik yadnya menawarkan keramahan orang Bali yang khas bhakti dalam tatanan dan tuntunan yang santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susila-acara (Hindu). Keterpaduan antara kelimpahan upacara, kesenian penduduknya, dan pemandangan yang begitu subur dan hijau, para penulis tahun 1930-an menggambarkan sebagai ciri arkais dari kebudayaan Bali (Picard, 2006:46). Bagi Mead dan Bateson (dalam Picard, 2006:44), melimpahnya kegiatan ritual dan seni orang Bali itu patut dilihat sebagai suatu gejala yang harus dibahas dalam kerangka psikologis kulturalis. Di mata mereka kebudayaan Bali menjadi semacam sistem pengatur dorongan-dorongan naluri yang menimbulkan sejenis skizofrenia kultural. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan sehari-hari jalinan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali telah menjadi panduan bagi sikap dan perilaku orang Bali (Geriya, 2000; Triguna, 2002 dan 2004; dan Wesnawa, 2002). Dengannya orang Bali membentuk suatu keyakinan, kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidupnya karena kebudayaan itu dijadikan pedoman tingkah laku.
Pemahaman kebudayaan seperti tersebut sejalan dengan konsep kebudayaan yang dijelaskan Geertz (Abdullah, 2006:1), kebudayaan itu merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditrasmisikan secara historis. Pada bagian selanjutnya, juga dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. Pengertian kebudayaan seperti ini dalam terminologi Abdullah (2006:9) disebut kebudayaan generik, kebudayaan merupakan pedoman yang diturunkan. Pengertian kebudayaan seperti ini menempatkan kebudayaan sebagai sistem simbol yang dibatasi wilayah dan masyarakat pendukungnya dan pada gilirannya harus berhadapan dengan dunia yang semakin terintegrasi.
Dalam dunia yang semakin terintegrasi dalam tatanan global menyebabkan batas-batas kebudayaan menjadi mencair akibat arus orang, barang, informasi, ide-ide, dan nilai-nilai yang semakin lancar, padat, dan intensif. Arus keluar-masuk orang dari dan ke Bali telah menyebabkan sifat-sifat orang Bali mengalami perubahan, tidak lagi seperti bentuk aslinya, walaupun perubahan itu bisa jadi bermakna suatu kemajuan dalam bidang kebudayaan (Abdullah, 2006:3). Mengenai perubahan sifat-sifat orang Bali Triguna (2002 dan 2004) menegaskan bahwa karakter orang Bali telah mengalami perubahan secara signifikan. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan Bateson. Orang Bali tidak lagi dikatagorikan sebagai komunitas eksklusif, melainkan orang Bali telah dipersepsikan oleh outsiders sebagai orang yang temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus. Perubahan ini mendorong terjadinya perbedaan-perbedaan, baik pada dimensi sosial maupun kebudayaan orang Bali yang dalam pandangan Bourdieu perbedaan-perbedaan itu juga disebabkan oleh beragamnya pilihan informasi yang disalurkan melalui berbagai media. Ini merupakan kekuatan yang paling nyata dari masyarakat modern yang telah membentuk ideologi yang paling mendasar, yakni perbedaan. Ini berarti globalisasi telah melahirkan suatu jenis ideologi yang menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan masyarakat yang bertumpu pada proses identitas diri dan pembentukan perbedaan antara orang (Abdullah, 2006:109).
Sejalan dengan perkembangan informasi dan komunikasi unsur-unsur kebudayaan Bali pun bukan hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga dengan mudah ditemukan di berbagai tempat di luar batas-batas geografis kebudayaan Bali. Sebaliknya, unsur-unsur kebudayaan Indonesia yang lain, bahkan unsur-unsur kebudayaan dunia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk ekspresi simbolik tertentu di Bali (Abdullah, 2006:3). Kebudayaan dengan mudah dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial yang dalam terminologi Abadullah (2006:5) disebut kebudayaan diferensial. Kebudayaan bukan suatu warisan yang turun-temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi kebudayaan lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah-ubah dari waktu ke waktu (Abdullah, 2006:10; Harisson, 2006:132). Dalam rangka pembentukan kebudayaan diferensial inilah setting pariwisata berpartisipasi memainkan perannya karena pariwisata sebagai budaya global (Ardika, 2006) memungkinkan terbukanya peluang pergaulan antaretnis dalam suasana persahabatan kebudayaan.
Di antara kedua kebudayaan itu (kebudayaan generik dan diferensial) orang Bali mengalami kebingungan yang membawanya pada ketegangan-ketegangan sosio-kultural. Orang Bali bingung antara mempertahankan dan mengikuti kebudayaan generik dan/atau turut serta dalam kebudayaan diferensial yang mengalami banyak perubahan dalam waktu yang singkat. Kebingungan yang mengarah pada kegelisahan dan kecemasan ini, sebagaimana diungkapkan Darma Putra (Bagus, 2002:155) bahwa negara-negara yang memilih kebudayaan sebagai daya tarik pariwisata merasa cemas karena kegiatan pariwisata dapat memberikan dampak negatif terhadap kebudayaan. Bali juga dilanda kekhawatiran dan kecemasan yang sama. Akibatnya, orang Bali menemukan kesulitan menentukan orientasi nilai-nilai tradisi di antara pusat-pusat orientasi nilai-nilai baru. Munculnya pusat-pusat orientasi nilai baru juga telah menyebabkan pertentangan nilai menjadi sesuatu yang jamak dan dapat dilihat sebagai potensi besar untuk mendorong perubahan tatanan sosial yang lebih baik (Abdullah, 2006:10). Menentukan nilai yang baik bagi perubahan tatanan sosial, bukanlah persoalan mudah karena runtuhnya pusat orientasi nilai tradisi tidak serta merta disertai kemampuan memadai menempatkan pilihan-pilihan secara tepat pada pusat-pusat orientasi nilai baru.
Ketika Bali telah ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata terjadi perubahan yang mendasar dalam struktur masyarakat sebab pariwisata telah mengantarkan masyarakat Bali dari pola hidup agraris – tradisonal ekspresif – menuju masyarakat jasa – modern progresif (Griya, 2000). Perubahan sosial dan kebudayaan orang Bali yang disebabkan perkembangan pariwisata menjadi fokus tulisan ini. Diasumsikan, pariwisata merupakan faktor pendorong munculnya pusat-pusat orientasi nilai baru yang dapat dilihat sebagai potensi besar untuk mendorong perubahan sosial. Kebenaran asumsi ini ditelusuri dalam teks-teks sosial dan kebudayaan bertumpu pada teori perubahan sosial dan selanjutnya, mengidentifikasi beberapa kemungkinan respons orang Bali terhadap perubahan sosial tersebut.

PERUBAHAN SOSIAL: SEBUAH TINJAUAN TEORETIS
Memahami perubahan masyarakat setidak-tidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu sosial dan kebudayaan. Dikatakan demikian karena perubahan sosial pada prinsipnya menyangkut tranformasi bidang-bidang kehidupan masyarakat manusia, yaitu perubahan peradaban, perubahan budaya, dan perubahan sosial (Rahardjo, 2007:25). Perubahan kebudayaan menurut Vogt (Lahajir, 2001:379) adalah perumusan konseptual yang mengacu pada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang merupakan pola-pola kebudayaan mereka. Ini berarti perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan, antara lain mencakup aturan-aturan atau norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan warga masyarakat, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa. Akan tetapi, apabila mengacu pada pemikiran Abdullah (2006:9) maka ketika hendak memahami kebudayaan harus dimulai dari dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri. Menurutnya kebudayaan bukan semata-mata sebagai kebudayaan generik (yang merupakan pedoman yang diturunkan), tetapi juga sebagai kebudayaan diferensial (yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial). Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang turun-temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu.
Ignas Kleden dalam tulisannya berjudul “Masalah Kemiskinan Sosial-Budaya di Indonesia” mengajukan teori holistik kebudayaan (Triguna, 2004:9). Teori holistik kebudayaan ini memandang basis kebudayaan terpilah menjadi tiga bagian, yaitu basis material kebudayaan, basis sosial kebudayaan, dan basis mental/kognitif kebudayaan. Hubungan ketiga basis itu bersifat dialektis, pertama, basis material kebudayaan yang praktis berarti meninjau hubungan manusia dengan dunia fisik umumnya dan ekonomi khususnya; kedua, basis sosial kebudayaan yang meninjau bentuk-bentuk interaksi antarkelompok; dan ketiga, basis mental/kognitif kebudayaan yang praktis melihat hubungan antara suatu kelompok dengan dunia pengetahuan dan nilai-nilai mereka. Dengan ketiga basis itu diandaikan bahwa integrasi kebudayaan baru akan terwujud, jika suatu perubahan pada suatu tingkat akan diteruskan dan diterima pada lapis kebudayaan lainnya. Sebaliknya, desintegrasi terjadi kalau perubahan itu hanya mandek pada salah satu lapis kebudayaan saja dan gagal untuk diteruskan ke lapisan kebudayaan lainnya. Dalam konteks tradisi di Bali misalnya, basis material budaya itu berupa kehidupan agraris; sementara basis sosial kebudayaan Bali terdapat pada komunitas banjar atau desa pakraman; dan terakhir basis mental/kognitif kebudayaan Bali terlihat pada orientasi kosmologis yang siklis-Hinduistik (Triguna, 2004).
Kajian-kajian tentang perubahan kebudayaan juga dapat dipahami dari model evolusi kultural Bellah (1957) dan kajian empirik seperti dilakukan Inkeles (1964). Kedua pandangan itu menyiratkan bahwa perubahan berhubungan dengan beberapa fenomena, antara lain terjadinya diferensiasi dan spesialisasi; bersifat subjektif dan objektif; berlangsung pada tahapan budaya dalam arti dunia ide atau level meterial; bersifat linier atau pun siklus dalam perkembangannya; temporalnya bersifat gradual ataupun revolusiner; dan secara epistimologi mengungkapkan adanya perbedaan antara kajian historis tentang perubahan kebudayaan dengan telaah sosiologis. Hal ini lebih tertarik melahirkan model teoretik yang lebih luas daripada rincian deskriptif atas perubahan kultural. Para sosiolog mengindetifikasi pola-pola yang muncul kembali, menggambarkan arah perubahan jangka panjang atau yang menyebabkan perubahan. Apabila kajian historis cenderung bersikap skeptis terhadap generalisasi yang luas maka dalam kajian sosiologi ditemukan formulasi teoretik yang umum berdasarkan logika deduktif disertai pendekatan perbandingan. Sekalipun diakui kajian sosiologis acap kali didasarkan pada fakta historis, tujuan kajian sosiologi tidak hanya deskriptif, tetapi juga normatif (Triguna, 1987:164).
Berbeda dengan perubahan kebudayaan, Parsudi Suparlan (1987) menjelaskan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola hubungan sosial, antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuasaan, dan persebaran penduduk. Para pakar sosiologi menunjuk pada perubahan-perubahan mendasar dalam pola budaya, struktur, dan perilaku sosial sepanjang waktu sebagai perubahan sosial (Rahardjo, 2007:25). Pandangan ini menekankan perubahan sosial orang Bali dalam hubungannya dengan pariwisata seharusnya memuat adanya perubahan pola budaya, yaitu pergeseran tata nilai dan norma yang digunakan sebagai pedoman berperilaku; struktur sosial, yaitu pergeseran elemen-elemen yang membangun keseimbangan dan keteraturan masyarakat; dan perilaku sosial, yaitu hubungan antarinteraksi sosial yang dibangun oleh orang Bali dalam menata kehidupan bermasyarakat. Soemardjan (Rahardjo, 2007:27) lebih rinci mendefinisikan perubahan sosial dengan menunjuk perubahan aspek-aspek hubungan sosial, pranata-pranata masyarakat, dan pola perilaku kelompok. Sementara itu, dalam kaitannya dengan waktu, perubahan sosial menurut Zanden (Rahardjo, 2007:26) pada dasarnya merupakan proses yang dilalui oleh masyarakat sehingga berbeda dengan sebelumnya. Dengan demikian berbicara tentang perubahan sosial dapat dibayangkan sesuatu yang terjadi setelah jangka waktu tertentu, dalam hal ini berurusan dengan perbedaan keadaan yang diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu. Berdasarkan pemikiran ini analisis tentang perubahan sosial orang Bali dalam kaitannya dengan pariwisata menyiratkan perubahan harus diletakkan pada kondisi sebelum dan sesudah kegiatan pariwisata dilaksanakan. Analisis semacam ini lebih menekankan pada perbedaan aspek-aspek unit analisis, seperti budaya, berupa sistem gagasan orang Bali yang lebih ditentukan oleh agama Hindu; struktur sosial, berupa lembaga-lembaga adat yang tampak dalam wujud banjar dan desa pakraman, dan perilaku sosial, berupa interaksi sosial tradisional yang tampak dalam pelaksanaan panca yadnya.
Untuk menyatakan perbedaan aspek-aspek unit analisis Strasser & Randall (Sztompka, 2004:2) menganjurkan bahwa ciri-ciri awal unit analisis harus diketahui dengan cermat – meskipun terus berubah. Jadi, konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan, yaitu perbedaan, pada waktu berbeda, dan di antara keadaan sistem sosial yang sama. Perbedaan aspek-aspek hubungan sosial, pranata-pranata masyarakat, dan pola perilaku kelompok sosial orang Bali harus dilihat pada masa sebelum dan sesudah pariwisata digairahkan dalam setting sistem sosial yang sama. Mengingat pariwisata menurut Ardika (2006) adalah salah satu fenomena kebudayaan global yang dapat dipandang sebagai suatu sistem. Ini berarti, apabila menganalisis perubahan sosial orang Bali dengan penekanan pada sistem sosial maka perhatian unit analisis lebih memusat pada komponen atau ciri-ciri sistem sosial yang menurut Sztompka (2004:4) meliputi, antara lain unsur-unsur pokok dan hubungan antarunsur, berfungsinya unsur-unsur dalam sistem, pemeliharaan batas, subsistem, dan lingkungan. Apabila dipisah-pisah menjadi komponen maka dimensi utamanya menurut Sztompka (2004:4) teori sistem secara tidak langsung menyatakan kemungkinan perubahan sebagai berikut.
(1) Perubahan komposisi (misalnya, migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok).
(2) Perubahan struktur (misalnya, terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan, munculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerja sama ataupun hubungan kompetitif).
(3) Perubahan fungsi (misalnya, spesialisasi dan digerensiasi pekerjaan, hancurnya peran ekonomi keluarga, diterimanya peran yang diindoktrinasikan oleh sekolah atau universitas).
(4) Perubahan batas (misalnya, penggabungan beberapa kelompok, atau satu kelompok ke kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan kelompok dan demokratisasi keanggotaan, dan penaklukan).
(5) Perubahan hubungan antarsubsistem (misalnya, penguasaan rezim politik atas organisasi ekonomi, pengendalian keluarga dan keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintah totaliter).
(6) Perubahan lingkungan (misalnya, kerusakan ekologi, gempa bumi, munculnya wabah atau virus HIV, dan lenyapnya sistem bipolar internasional).

Berdasarkan pandangan tersebut perubahan sosial orang Bali yang disebabkan aktivitas pariwisata dalam perspektif perubahan sosial yang mengacu pada sistem sosial, setidak-tidaknya mengandung enam komponen, yaitu perubahan komposisi, perubahan struktur, perubahan fungsi, perubahan batas, perubahan hubungan antarsubsistem, dan perubahan lingkungan. Ini sebabnya perubahan sosial bisa terjadi pada berbagai tingkat kehidupan, seperti antara lain individual, interaksi, organisasi, institusi sosial, komunitas, dan global (Lauer, 2003:5). Di samping dimensi kebudayaannya perubahan orang Bali dalam hubungannya dengan pariwisata juga dapat dicermati melalui dimensi sosial terutama dengan teori sistem sosial ini. Mengingat fenomena sosial dan budaya merupakan dua gejala dari satu realitas, yaitu sistem tindakan manusia berdasarkan sistem pengetahuannya yang di dalamnya tidak bisa dipisahkan adanya hubungan antarsesama manusia dan alam serta kebudayaannya (Berger, 1994). Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa setiap tindakan sosial dan budaya senantiasa berlangsung dalam setting keruangan, karena itu komponen perubahan lingkungan dibahas tersendiri sebagai perubahan fisikal.

PARIWISATA DAN PERUBAHAN FISIKAL BALI
Bali mengalami perubahan fisikal yang signifikan. Fenomena perubahan fisikal ini lebih lanjut dijelaskan oleh Triguna (2004) dengan perbandingan antara luas wilayah dan perkembangan jumlah penduduk pulau Bali, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Triguna (2004) memaparkan bahwa luas wilayah 5.632,86 km2 pulau Bali dihuni oleh 3.021.247 jiwa. Kepadatan penduduk rata-rata 536 jiwa tiap km2 dengan angka rasio seks rata-rata 1,00. Laju pertumbuhan rata-rata penduduk Bali sebesar 0,98 persen tiap tahun. Di samping itu, terjadi ketimpangan yang cukup tinggi pada pertumbuhan penduduk pedesaan dan perkotaan. Perkotaan di Propinsi Bali mengalami pertumbuhan penduduk rata-rata 5,17 persen tiap tahun. Sebaliknya, pedesaan mengalami penurunan penduduk minus 1,23. Relatif tingginya pertumbuhan penduduk perkotaan disebabkan oleh angka migrasi masuk ke Bali relatif besar. Hasil Suspenas 1999-2004 menyebutkan migrasi masuk 58.177 orang, sedangkan keluar pada tahun yang sama sebanyak 45.298 orang. Menurut prediksi bahwa jumlah migrasi masuk ke Bali semakin tahun semakin miningkat, apabila ramalan ini benar maka dimensi kependudukan yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan sosial budaya orang Bali akan menjadi persoalan yang tidak dapat dipandang mudah. Secara konseptual bertambahnya jumlah penduduk dalam suatu wilayah secara signifikan berpengaruh terhadap lingkungan tersebut, baik pada dimensi sosial dan budaya maupun fisikal.
Perubahan aspek fisikal Bali menurut Triguna (2004:6), juga tampak dari data penggunaan lahan (existing land use). Pemanfaatan lahan dominan itu masing-masing untuk kepentingan, antara lain hutan (24,62 %), perkebunan (22,61 %), tegalan (22,60 %), sawah (15,28 %), pemukiman (7,66 %), tambak (0,13 %), dan lain-lain (7,10 %) (Statistik Propinsi Bali Hasil Suspenas 1999). Perubahan fisikal semakin terasa dengan terbitnya Perda nomor 4 tahun 1996 yang membagi Bali ke dalam 21 kawasan wisata. Ke 21 kawasan itu adalah Nusa Dua, Kuta, Tuban, Sanur, Ubud, Lebih, Tanah Lot, Soka, Bedugul/Pancasari, Air Sanih, Kalibubuk, Batuampar, Gilimanuk, Candikusuma, Palasari, Perancak, Kintamani, Nusa Penida, Candidasa, Ujung, dan Tulamben. Kawasan wisata ini menurut Triguna (2002:8) membutuhkan minimal 142.904 Ha tanah di luar lahan yang akan dikuasai berbagai invenstor pariwisata di luar kawasan yang ditetapkan. Artinya, terjadi perluasan kebutuhan tanah untuk kepentingan pariwisata dan aktivitas yang terkait dengan itu. Jika dibandingkan dengan luas wilayah Bali (5.632,86 Ha) dengan kebutuhan lahan untuk kepentingan pengembangan kawasan wisata (142.904 Ha) maka dapat dipastikan orang Bali telah mengalami krisis kepemilikan atas tanah. Padahal tanah dalam konsepsi Hindu adalah ibu pertiwi yang menjadikan manusia hidup dan memiliki eksistensi.
Perubahan fisikal akibat terbitnya Perda No. 4/1996 dalam pandangan Triguna (2004) telah melahirkan kesan bahwa Bali untuk Pariwisata, bukan sebagaimana direncanakan Pariwisata untuk Bali. Ini merupakan awal dari problem yang lebih besar. Berkaitan dengan persoalan ini terutama dalam konteks pusaka budaya, Ardika (2006) menjelaskan bahwa pariwisata budaya ibarat pisau bermata dua terutama dalam pemanfaatan pusaka budaya sebagai objek dan daya tarik wisata. Dengan menyitir pendapat Burns dan Holden, Ardika (2006) mengatakan pada satu sisi pariwisata dapat melestarikan pusaka budaya, sedangkan pada sisi lain kegiatan pariwisata dapat merusak atau berdampak negatif terhadap pusaka budaya tersebut. Akan tetapi sampai kini belum ditemukan cara-cara yang efektif untuk mengatasi dampak negatif dari pariwisata tersebut termasuk menyempitnya lahan pertanian sebagai akibat dari banyaknya alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh Sukawati (2004) dan Sudiana (2005) bahwa di daerah Ubud telah terjadi begitu banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pariwisata.
Berkaitan dengan pertanian, Triguna (2002:8) juga menjelaskan bahwa perubahan pada dimensi pertanian dalam arti luas ke arah kehidupan industri dan jasa yang relatif bersifat lebih rasional secara tidak langsung memberi iklim terhadap objektivasi orang Bali secara keseluruhan. Pandangan mereka tentang dunia dan kosmos yang dilandasi oleh pentingnya kedudukan air dan tanah dalam wadah organisai, seperti subak, banjar, dan desa pakraman mulai pengalami perubahan. Penafsiran terhadap konsepsi kosmologi sebagai salah satu dimensi simbol konstruktif mengalami perubahan ke arah universal dengan makna yang lebih kontekstual. Sebaliknya, dalam dimensi ekspresif ditandai dengan semakin maraknya berbagai aktivitas agama, adat, dan kesenian dalam arti luas. Semua ini seolah-olah memberi penilaian bahwa pembangunan dan pariwisata telah memberi peningkatan kualitas berkebudayaan orang Bali (Triguna, 2002:9). Implikasi sosiologis dari perubahan fisikal ini adalah hilangnya pesona dunia (Triguna, 2002:10). Ditegaskan juga bahwa lingkungan lahiriah dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang menakutkan sekaligus mempesona tidak lagi mempengaruhi dan membentuk pikiran manusia. Lingkungan dihadapi dan diberi arti sebagai dunia material atau objek semata. Konsekuensi dari pariwisata adalah terjadinya otonomi dan kebebasan subjek dalam menafsirkan realitas objektif. Akibatnya, perubahan fisikal Bali memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan sosial orang Bali.
PARIWISATA DAN PERUBAHAN SOSIAL ORANG BALI
Pada bagian pendahuluan telah dijelaskan bahwa tradisi Bali (baca: kebudayaan generik) adalah sebuah konsepsi yang dipandang bernilai dalam komunitas orang Bali yang digunakan sebagai pedoman perilaku. Dengan demikian kebudayaan, selain berupa nilai yang dibagi bersama konsepsi itu juga berwujud suatu cara, pola tindakan, dan struktur sosial, karena itu tradisi Bali acapkali diyakini sebagai representasi komitmen moral orang Bali untuk hidup bersama secara damai dan berbudi. Sebagai komitmen moral yang diyakini bernilai menjadi kewajiban bagi orang Bali untuk memelihara, melestarikan, dan memaknainya dengan cara yang paling baik menurut ukuran nilai mereka. Akan tetapi, relativitas sifat nilai dan banyaknya cara untuk memaknai tradisi itu kemudian, membuka peluang adanya polarisasi cara beragam sehingga menimbulkan bias terhadap fungsi utama tradisi, yaitu memelihara komitmen moral untuk hidup bersama secara damai dan berbudi (Triguna, 2004). Ini sebabnya perubahan dan pelestarian budaya menurut Geriya (2004) merupakan keniscayaan dan keduanya harus berjalan seimbang dan berkelanjutan secara terencana. Pelestarian dan perubahan kebudayaan secara terencana tergantung pada multi faktor, antara lain manusia, iptek, dana, wawasan, dan manajemen. Pembangunan kapital kultural memerlukan sinergis-komplementer yang optimal terkait dengan religius, sosial, hukum, ekonomi, politik, dan sains. Upaya pengembangan dan pelestarian kebudayaan yang partisipatif dan hidup menuntut adanya penguatan dan diversifikasi aksi lokal dalam visi bersifat universal.
Pariwisata budaya sebagai industri yang oleh pemerintah dilaksanakan dalam seperangkat perencanaan dan pengawasan dapat menjadi salah satu aspek memunculkan suatu polarisasi tertentu. Kenyataan menunjukkan bahwa semaraknya perkembangan kebudayaan Bali adalah karena pariwisata dan sebaliknya, pariwisata Bali senantiasa memikat karena daya tarik kebudayaan (Darma Putra, 2006). Alisjahbana (Darma Putra, 2006) juga menegaskan bahwa kebudayaan Bali yang ekspresif mampu berkembang ke arah watak kebudayaan progresif[1], yakni memberikan pendukungnya peluang untuk meraih manfaat ekonomi. Mengingat budaya dan kinerja ekonomi berkaitan erat, perubahan-perubahan pada yang satu akan berpengaruh pada yang lain (Harrison dan Huntington, 2006:28). Pergeseran nilai ini, dari budaya ekspresif ke budaya progresif yang lebih mengutamakan nilai ekonomi, juga ditegaskan Darma Putra (2006) bahwa pemerintah dan masyarakat melihat kecenderungan komersialisasi kesenian Bali untuk kepentingan pariwisata.
Berkaitan dengan persoalan kesenian Bali Triguna (2002:4) mengatakan bahwa dalam bidang kehidupan berkesenian telah terjadi proses sekularisasi dan sentralisasi. Sekularisasi terjadi karena ada banyak kesenian yang tidak sepatutnya dipertunjukan untuk umum dipergelarkan untuk tamu kehormatan. Sentralisasi pembinaan kesenian dalam satu dasa warsa terakhir cenderung terpusat pada lembaga kesenian formal yang mengalahkan eksistensi sekaa sebunan sebagai pusat-pusat kesenian rakyat. Sentralisasi membawa akibat pada standardisasi pakem dan pola, semua itu gejala menguntungkan bagi perkembangan berkesenian di Bali. Akan tetapi keberasilan lembaga pendidikan seni ini seharusnya diikuti oleh keberhasilan sekaa-sekaa sebunan yang tersebar di seluruh Bali. Kesemarakan pelaksanaan ritus agama, eksistensi desa adat (desa pakraman), dan keanekaragaman daya cipta seni terasa hanya mampu memenuhi fungsi kuantitas dan sementara itu, isi dan takaran nilainya dirasakan semakin dipinggirkan. Lebih dari itu disenyalemen telah terjadi proses profanisasi akibat kesalahan dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan publik. Eksploitasi kultural untuk kepentingan pariwisata menjadi isu utama dalam satu dasa warsa terakhir ini (Triguna, 2002; dan Atmadja, 2005). Oleh karena itu Ardika (2006) menegaskan bahwa dalam pengembangan pariwisata dewasa ini masyarakat lokal harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi/pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi sehingga mereka mempunyai rasa memiliki (sance of belinging) dan ikut bertanggung jawab terhadap pengelolaan objek wisata.
Secara implisit telah dikemukakan bahwa modernisasi dan globalisasi melalui pariwisata telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi Bali. Apabila tradisi diasumsikan dibentuk atas dasar setting agraris, yakni komunal, religius-magis, setempat, dan konkret maka modernisasi dan globalisasi yang diperkenalkan melalui pariwisata dibentuk atas dasar individualistik, berorientasi prestasi, menghargai waktu, terukur, sekuler, mobilitas tinggi, dan konsepsional atau abstraktif (Triguna, 2004; dan Atmadja, 2005). Oleh karena itu setiap tradisi senantiasa mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Dalam hubungannya dengan kebudayaan bahwa pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya (Wesnawa, 2002; dan Triguna, 2004). Dalam konteks pariwisata dapat diketahui telah terjadi perubahan orientasi nilai dari agraris ke arah ekonomi, yaitu secara fisikal ditandai dengan perubahan pada penataan rumah tradisional Bali dan terutama telajakan. Hal ini setidak-tidaknya ditunjukkan oleh hasil penelitian Pawana (2006) di Desa Petulu Gianyar dan Nadia (2005) di Desa Pakraman Kuta Badung. Di Desa Petulu ditemukan adanya kecenderungan perubahan telajakan menjadi warung dan toko-toko seni, sedangkan di Desa Pakraman Kuta terjadi komodifikasi bale saka roras.
Pemahaman secara cermat terhadap perubahan sosial dan budaya orang Bali menurut Triguna (2004) mengindikasikan bahwa dalam suatu proses tafsir diakui ada aktivitas ‘manipulasi simbolis’, yaitu suatu cara mengedepankan kultur yang relevan dan menyembunyikan yang kurang sesuai dengan situasi yang sedang berkembang. Dengan cara itu sekaligus menunjukkan bahwa tradisi bukanlah merupakan sebuah kontinum yang berhadapan dengan modernisasi bahwa yang satu lebih menekankan pada cara berfikir spesifik-lokal berhadapan dengan universalisme-globalisasi. Masing-masing dari keduanya (tradisi dan modernisasi) memiliki nilai axioma, seperti menjunjung nilai persaudaraan, kemanusiaan, dan kesejahteraan manusia. Artinya, dalam suatu tradisi komitmen tentang persaudaraan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bukannya tidak ada, tetapi dikemas dengan cara yang lebih tersembunyi dan dibuat malu-malu. Sebaliknya, dalam dunia global kehidupan atas dasar solidaritas bukanlah sesuatu yang asing. Oleh karena itu reintepretasi terhadap nilai-nilai tradisi merupakan suatu keharusan sejarah, namun hal itu tetap dilakukan setelah melalui mekanisme dan tahapan yang sistematis. Tujuannya agar seluruh produk manusia dan hasil intepretasi mereka terus dapat menjadi standar moral dan wahana memelihara solidaritas (Triguna, 2002; dan 2004).
Apabila mengacu kepada teori holistik kebudayaan yang dikembangkan oleh Ignas Kleden, seperti telah dijelaskan di atas maka hubungan ketiga basis kebudayaan yang bersifat dialektis itu, Triguna (2004) mengandaikan bahwa integrasi kebudayaan akan terwujud jika suatu perubahan pada suatu tingkat akan diteruskan dan diterima pada tingkat kebudayaan lainnya. Dengan demikian haruslah terwujud kesatuan antara basis material kebudayaan yang meninjau hubungan manusia dengan dunia fisik umumnya dan ekonomi khususnya; dan basis sosial kebudayaan yang meninjau bentuk-bentuk interaksi antarkelompok; serta basis mental/kognitif kebudayaan yang melihat hubungan antara suatu kelompok dengan dunia pengetahuan dan nilai-nilai. Sebaliknya, disintegrasi terjadi kalau perubahan itu hanya mandek pada salah satu lapis kebudayaan saja dan gagal untuk diteruskan ke lapis kebudayaan lainnya. Dalam konteks adat dan tradisi di Bali misalnya, basis material budaya itu berupa kehidupan agraris; sementara basis sosial kebudayaan Bali terdapat pada komunitas banjar atau desa pakraman; dan terakhir basis mental/ kognitif kebudayaan Bali terlihat pada orientasi kosmologis yang siklis-Hinduistik (Triguna, 2004).
Perubahan signifikan yang dihadapi tradisi Bali pada tataran kognitif/mental kebudayaan adalah pada satu sisi kuatnya orientasi kosmis-siklis Hinduistik yang menjadikan kokohnya pakem epistemologi bagi individu dalam perilaku sosial (unggah-ungguhing bahasa, soroh dan “kasta”); sedangkan pada sisi lain derasnya arus konsep historisitas linear dari masyarakat Barat yang hadir ke Bali melalui pariwisata yang mengusung nilai-nilai global. Kuatnya tradisi dalam menyelaraskan individu-masyarakat dengan ritme alam berhadapan langsung dengan budaya perhitungan eksak yang harus dicapai dalam periode waktu tanpa menghiraukan ritme alam – bahkan cenderung mengeksploitasi alam (Triguna, 2004). Pengaruh langsung benturan budaya ini pada lapis budaya material, yaitu semakin konsumtifnya perilaku masyarakat Bali; dan pada lapis budaya sosial terjadinya toleransi — dan ini dituangkan dalam awig-awig — bagi anggota komunitas desa pakraman untuk bertempat tinggal di luar komunitas krama-nya (Triguna, 2002). Sementara itu, perubahan pada basis sosial kebudayaan di Bali cenderung berjalan lambat. Pada titik ini, basis sosial kebudayaan di Bali cenderung defensif terhadap pengaruh nilai positif; dalam makna kata politik, bahkan negatif. Respon negatif itu diekspresikan melalui plesetan kata ‘politik’ yang diartikan polo (kepala) dan legitik (pentung, linggis). Penolakan penerimaan nilai sosial dengan mengikuti aktivitas ini ditanggapi dengan, “Lebih baik ngurus betek layah (ekonomi keluarga) ketimbang mepolitik-politikan” (Triguna, 2004).
Dalam teori kebudayaan holistik disebutkan bahwa hubungan antarketiga basis kebudayaan itu dialektis sehingga pengandaian teoretis yang dianut ialah dalam suatu perkembangan kebudayaan yang “ideal” terjadi hubungan dan perkembangan yang sejalan antara ketiga lapis kebudayaan itu. Demikian juga kalau terjadi perubahan pada salah satu lapis kebudayaan maka perubahan tersebut akan diteruskan dan diterima pada tingkat/lapis kebudayaan lainnya. Akan tetapi dalam praktek desintegrasi antara tiga basis kebudayaan di atas berjalan asimetris terhadap perkembangan kebudayaan, yaitu hubungan antara dua kelompok sosial atau lebih, di mana keuntungan yang diakibatkan oleh hubungan tersebut hanya didapat oleh satu pihak tertentu, di mana keuntungan yang diperoleh justru dengan merugikan pihak lain. Artinya, dalam dialektika itu tidak melahirkan satu sintesa yang mengakomodasikan perluasan dan pemadatan kebudayaan atau terjadi apa yang disebut dengan ‘pelembagaan desintegrasi’; challenge yang ada dalam perkembangan kebudayaan di-response secara negatif.
Berkaitan dengan pariwisata kecenderungan adanya pelembagaan desintegrasi ini menurut Triguna (2002) terdapat dalam kasus pelecehan simbol-simbol keagamaan di Bali. Ketiadaan sintesa dalam desintegrasi dari tiga lapisan kebudayaan itu menjadikan kasus pelecehan itu terjadi berulang-ulang – setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir ini. Upaya untuk menyelesaikan secara yuridis sebagai kasus class action pun sampai saat ini dinilai masih terkatung-katung. Ignas Kleden (Triguna 2002) mengidentifikasikan gejala ini sebagai salah satu ciri adanya ‘kemiskinan budaya’, yang terjadi kalau suatu kesulitan sosial tidak diselesaikan secara sosial, tetapi diselesaikan secara simbolik (diselesaikan pada tingkat mental) khususnya melalui manipulasi bahasa. Hal ini menunjukkan adanya semacam monopoli nilai dan makna dengan akibat bahwa interaksi sosial tidak disertai dengan interaksi nilai (yang kenyataannya datang melalui imposisi secara satu arah) atau dengan kata lain, interpretasi mengenai makna dan nilai praktis hanya mungkin dilakukan oleh pihak tertentu dan harus diterima begitu saja oleh pihak lainnya.
Sementara itu, pengaruh pariwisata terhadap kehidupan sosial terutama dalam bidang ekonomi tampak dari perubahan orientasi kehidupan dari masyarakat agraris ke masyarakat jasa sehingga perlu dipertimbangkan suatu strategi bagi pengembangan perekonomian masyarakat dengan memasukkan unsur-unsur manajemen modern. Inovasi organisasi yang memungkinkan dimasukkannya unsur-unsur manajemen modern dalam perekonomian rakyat tidak mungkin dihindari. Modernisasi adalah pembangunan merupakan api semangat yang tak pernah pudar dan tak mungkin dipadamkan terutama dalam masyarakat negara-negara berkembang (Atmadja, 2005; dan Suhanadji, 2006). Pembangunan dengan demikian pada dasarnya masih dapat dinegosiasikan dalam setiap konteksnya melalui pengelolaan berbasis nilai-nilai tradisional karena pada prinsipnya dua nilai yang paradoks bukan berarti harmoni tidak dimungkinkan. Mengingat melalui pembenahan pada basis interaksi sosial kebudayaan menurut Triguna (2002) dapat memperteguh nilai sakral yang mendasari basis komunitas desa pakraman dan sekaligus mempertajam visi kognitif pada basis mental kebudayaan. Pengaruh lain yang berbias pada basis material kebudayaan adalah selain dipenuhinya kebutuhan domestik adalah perasaan at home dalam melakukan pemenuhan hidup sehari-hari. Upaya untuk mengaktualisasikan strategi kebudayaan ini dapat dikatakan satu alternatif sintesis dalam memposisikan nilai-nilai tradisi dalam menghadapi era globalisasi.
Fenomena lain bertalian dengan perubahan sosial orang Bali dalam tafsir adat dan tradisi Bali menghadapi era globalisasi terutama dalam kaitannya dengan pariwisata adalah mulai diintensifkannya model pembangunan yang bersumber dari masyarakat berdasarkan referensi nilai dan lingkungan sosial yang berkembang pada masyarakat itu (Triguna, 2002). Selanjutnya, juga dijelaskan bahwa seluruh inovasi sosial yang hendak disosialisasikan kepada masyarakat senantiasa dibuat agar tidak mengalami keterasingan dengan masyarakat penerima. Oleh karena itu, isu tentang upaya meningkatkan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan menjadi isu menarik, terlebih lagi ketika isu itu dikaitkan dengan potensi sosial budaya. Potensi sosial budaya sebagai suatu perspektif, tampaknya menjadi tuntutan yang berarti karena disadari bahwa potensi sosial budaya yang dimiliki oleh suatu komunitas merupakan wahana yang tidak mudah dipahami dan dimanfaatkan sebagai media mensosialisasikan suatu inovasi sosial. Ketidakmampuan merumuskan perspektif sosial budaya disebabkan karena aspek ini tidak saja berdimensi subyektif-kualitatif, tetapi juga kadang-kadang bersifat ambigu. Oleh karena itu diperlukan panduan untuk menumbuhkembangkan peranserta masyarakat berdasarkan pendekatan sosial budaya.

SIMPULAN
Uraian di atas mencoba menunjukkan bahwa orang Bali dengan tatanan nilai-nilai tradisinya tidak dapat menghindarkan diri harus berhadapan dengan nilai-nilai baru dalam tatanan ekonomi global terutama dalam konteks pariwisata. Mempertentangkan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modernisme dan globalisasi dalam konteks pariwisata adalah suatu wacana yang kontraproduktif. Keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Modernisme dan globalisasi dalam konteks pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dan dalam waktu yang bersamaan melakukan reinterpretasi terhadap nilai-nilai tradisi yang kurang relevan dan fungsional. Artinya, penggairahan kehidupan adat dan tradisi merupakan suatu keharusan, sementara itu, adaptasi modernitas juga bukanlah sesuatu yang harus ditabukan. Oleh karena itu untuk dapat menghasilkan modus yang paling sesuai dengan situasi orang Bali diperlukan kajian terhadap model-model adaptasi dan adopsi unsur-unsur kebudayaan modern secara berkesinambungan. Kehadiran pariwisata harus dilihat bukan saja sebagai tantangan, tetapi juga sekaligus sebagai peluang bagi proses kreatif orang Bali dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan demikian Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan mendapat nafas segar dalam mempertahankan eksistensinya. Hindu sebagai spirit orang Bali yang menggunakan sistem budaya Bali sebagai wahana bersemi tetap mampu merangkum pengalaman kreatif orang Bali di tengah-tengah pariwisata dalam beragamamnya nilai-nilai modernisme.
Dengan demikian tradisi Bali sebagai kesatuan komitmen yang berlaku pada zamannya, bukan sesuatu yang bebas konflik dan tidak mengalami perubahan, melainkan sistem nilai budaya yang aktif dan dinamis terlibat dalam pergulatan tatanan nilai global sejalan dengan kebutuhan orang Bali yang berkembang setiap saat. Pada kenyataannya, berbagai kebutuhan baru muncul inheren dalam perkembangan pengetahuan masyarakat sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Kebutuhan baru itu dalam perjalanannya sebagian telah diadaptasi dan diakomodasi serta dijadikan acuan bersama dan di dalamnya terdapat komitmen moral yang semula dirumuskan dan dimaksudkan untuk tujuan baik. Akan tetapi implementasinya dalam masyarakat dewasa ini (kontemporer) telah mengalami benturan, bahkan dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap substansi, konteks, dan relevansinya. Semua itu merupakan dorongan alamiah bersifat internal yang menandakan bahwa nilai-nilai tradisional tidak terhindar dari proses perubahan (kemajuan). Perubahan terasa semakin kuat bersamaan dengan derasnya pengaruh faktor eksternal, yaitu modernisasi dan globalisasi dalam konteks pariwisata. Oleh karena itu pengenalan nilai baru dengan budaya deferensial memerlukan tindakan strategis dalam menginterpretasi dan mereposisi tradisi agar dapat menciptakan harmoni peradaban.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah, Irwan, 2006, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yagyakarta: Pustaka Pelajar.

Ardika, I Gede. 2004. “Meningkatkan Peranan Museum Dalam Hubungan Internasional Melalui Kepariwisataan”, Makalah disampaikan dalam seminar sehari yang diselenggarakan oleh Himpunan Museum Bali di Denpasar, tanggal 3 Desember 2004.
Ardika, I Wayan. 2004. Pariwisata Bali: Membangun Pariwisata-Budaya dan Mengendalikan Budaya-Pariwisata, (dalam Bali Menuju Jagaddhita: Aneka Perspektif). Denpasar: Pustaka Bali Post.
___________, 2005. Strategi Bali Mempertahankan Kearifan Lokal di Era Global, (dalam Kompetensi Budaya dalam Globalisasi). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.
___________, 2006, Pengelolaan Pusaka Budaya sebagai Objek dan Daya Tarik Pariwisata di Bali (dalam Bali Bangkit, Bali Kembali), Denpasar: Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dan Universitas Udayana.
Atmadja, Nengah Bawa. 2001. Reformasi: ke Arah Kemajuan Yang Sempurna dan Holistik (Gagasan Perkumpulan Surya Kanta Tentang Bali di Masa Depan). Surabaya: Paramita.
__________, 2005, “Bali Pada Era Globalisasi: Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya” (hasil penelitian – studi kasus pada berbagai desa), Singaraja:-
Bagus, I Gusti Ngurah (Penyunting), 2002, Masalah Budaya dan Pariwisata Dalam Pembangunan, Denpasar: Program Strudi Magister (S2) Kajian Budaya, Universitas Udayana.
Berger, Peter L., 1994, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial (terjemahan: The Scred Canopy), Jakarta: Pustaka LP3ES.
Geriya, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
__________. “Kebudayaan dan Pelestarian: Penguatan Aksi Lokal Dalam Visi Universal”, Makalah disampaikan pada seminar sehari HIMUSBA Daerah Bali, Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Denpasar : 3 Desember 2004.
Harrison, Lawrence E, Samuel P Huntington, 2006, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Lahajir, 2001, Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang (Etnografi Lingkungan di Dataran Tunjung), Yogyakarta: Galang Press.
Lauer, Robert H. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Nadia, I Ketut, 2005, “Komodikasi Bale Sakaroras di Desa Pakraman Kuta: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna” (tesis), Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia.
Pawana, Ida Bagus, 2006, “Eksistensi dan Pemanfaatan Rumah Tradisional Bali di Desa Petulu, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar (tesis), Denpasar: Program magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.
Picard, Michel, 2006, Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Putra, Darma, I Nyoman, 2002, Pariwisata Budaya, antara Polusi dan Solusi: Pengalaman Bali (dalam Masalah Budaya dan Pariwisata Dalam Pembangunan – suntingan I Gusti Ngurah Bagus), Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udaya.

__________, 2006, Solusi-solusi Pembangunan Bali: Kebudayaan di antara Pariwisata, Demokratisasi, dan Terorisme (dalam Bali Bangkit, Bali Kembali), Denpasar: Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dan Universitas Udaya.
Suhandji-Waspodo TS, 2004. Modernisasi dan Globalisasi: Studi Pembangunan dalam Perspektif Global. Malang: Insan Cendekia.
Rahardjo, Mudjia, 2007, Sosiologi Pedesaan: Studi Perubahan Sosial, Malang: UIN-Malang Press.
Sukawati, Tjok A.A, 2004, Ubud Bergerak, Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa.
Synnott, Anthony. 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra.
Sztompka, Piötr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, 2002, “Perubahan Sosial dan Upaya Pelestarian Budaya Bali: Perspektif Filsafat Ilmu Pengetahuan”, Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universita Hindu Indonesia.
____________.2002. “Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi” (Makalah Dialog Budaya Regional, 28-29 Oktober). Yogyakarta: Direktorat Tradisi dan Kepercayaan.
___________, 2004, Kecenderungan Perubahan Karakter Orang Bali (Pidato Diesnatalis UNHI ke-41), Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
Wesnawa, Ida Bagus Putu. 2002. Revitalisasi Kebudayaan Hindu Untuk Ketahanan Masyarakat Bali. Denpasar: Sekretariat Dewan Perwakilan Daerah Propinsi Bali.


[1] The Pan-American Dream mengenali sepuluh nilai, sikap atau pola pikir yang membedakan budaya progresif dari budaya statis. Harrison dan Huntington (2006:434-436) menyatakan bahwa kesepuluh nilai, sikap atau pola pikir tersebut sejalan dengan tipologi Mariano Grondona, yaitu orientasi waktu, kerja, berhemat, pendidikan, komunitas, kode etik, keadilan dan fair play, otoritas, dan sakularisme.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...