PANCA YADNYA SEBAGAI LOKAL GENIUS:
MENYONGSONG MASYARAKAT MULTIBUDAYA
Oleh
I Wayan Sukarma
Abstract
Hindhuism and Balinese culture are two phenomena and one reality, i.e. the personality of Balinese people. This integrity of personality is at the same time also a cultural identity expressed thorough panca yadnya. Through this panca yadnya Balinese people manifest harmonious relations with God(s), ancestors, nature, teacher, and other people. It is the chained unity of these five relations that can be regarded as their local genius, serving as the spirit of Hindu culture in the face of cross-cultural interactions, either between ethnic groups or between nations. With all this Hindu culture can probably preserve, stand, and develop in the dynamics, dialectics, and interpretations that follow, through a process of continuous structuration, deconstruction, and restructuration.
Key words: Panca Yadnya, Local Genius, and Hindu Culture
1. Pendahuluan
Masuknya Hindu di Indonesia menorehkan warna khusus bagi perkembangan norma-norma dan pola kehidupan masyarakat Indonesia. Tradisi kejawen misalnya, diduga memiliki unsur ajaran Hindu. Pengaruhnya yang langsung terlihat adalah kebudayaan dan agama Hindu di Bali (Takwin, 2003:38). Hindu sebagai agama dan kebudayaan dalam masyarakat Hindu di Bali merupakan dua fenomena dari satu realitas. Jalinan kedua fenomena tersebut sulit dipisahkan karena keduanya hadir bersamaan dalam sistem budaya masyarakat yang lebih dikenal sebagai adat istiadat. Mengingat bagi Hindu kebenaran nilai universal terletak pada pengalaman langsung mengenai nilai tersebut. Seseorang tidak cukup mengetahui ilmu agama, tetapi merasakan kebenaran-kebenaran kitab suci dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dengan demikian agama adalah praktik dan disiplin tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Beragama bukan di tempat suci saja, melainkan di mana saja (Wesnawa, 2004:51). Ini sebabnya Hindu Bali digunakan sebagai sistem pemikiran, sistem ucapan, dan sistem tindakan oleh masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Artinya, baik disadari maupun tidak Hindu telah menjadi identitas, bahkan kepribadian orang Bali yang menyebabkan kebudayaan Bali bertahan dalam berbagai gelombang pemikiran. Inilah lokal genius. Sejalan dengan penjelasan Haryati Soebadio (Ayatrohaedi, 1986:18-19) bahwa pengertian local genius secara keseluruhan meliputi dan mungkin malahan dapat dianggap sama dengan apa yang dewasa ini dikenal dengan culture identity dan yang diartikan sebagai identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa, yang mengakibatkan bangsa bersangkutan menjadi lebih mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang mendatanginya dari luar wilayah sendiri sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya.
Hindu sebagai agama terdiri atas tiga kerangka dasar, tattwa, susila, dan acara (Sudharta dan Oka Puniatmadja, 2001). Tattwa merupakan landasan filosofis ajaran agama dan sekaligus digunakan sebagai pandangan hidup (analitis dan eksistensial). Susila merupakan landasan dan pedoman moral meliputi ajaran tentang tingkah laku (nilai-nilai dan norma-norma moral). Acara merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan beragama meliputi tradisi aktivitas-aktivitas hidup keagaman (upacara dan apakara). Walaupun demikian, dalam pengalaman empiris ketiga kerangka dasar ajaran tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan. Ini juga yang menimbulkan kesulitan untuk membedakan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan karena keduanya begitu padu dalam kehidupan sosial budaya sebagai adat istiadat (Sukarma, 2004). Mengingat Hindu adalah agama yang lebih menekankan pada disiplin tindakan maka dharma adalah karma (aktivitas); dan dalam tindakan tidaklah mungkin memisahkan antara dasar komitmen dan tujuan dari tindakan. Sebagaimana pikiran tidak melakukan pemisahan terhadap momen yang sedang berlangsung dalam pengalaman karena tindakan tidak pernah lepas dari ruang dan waktu. Boleh jadi, ini merupakan landasan bagi pelaksanaan panca yadnya karena pada kenyataannya tidak pernah ada satu jenis yadnya dari panca yadnya dilaksanakan tersendiri secara terpisah. Panca yadnya yang terdiri atas lima jenis yadnya selalu hadir dalam setiap pelaksanaan salah satu daripadanya. Tentu penekanannya selalu pada satu jenis yadnya yang hendak dilaksanakan. Panca yadnya dengan demikian merupakan kesatuan yang integeral sehingga tidak mungkin melaksanakan salah satu daripadanya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya selalu tampil salah satu jenis yadnya yang lebih dominan sebagai fokus dari yadnya yang hendak dilaksanakan. Pada kenyataan empiris dalam kehidupan sehari-hari pelaksanaannya juga selalu berada dalam lingkaran sistem religi yang sama, yaitu menyangkut emosi keagamaan, sistem ritus dan upacara, alat-alat ritus dan upacara, pemimpin dan penganut yang melaksanakan ritus dan upacara, tempat ritus dan upacara, dan selalu ada unsur yang mengandung nilai sakral atau profan (Sukarma, 2004).
Panca yadnya dalam lontar Agastya Parwa dijelaskan terdiri atas dewa yadnya, rsi yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya, dan manusa yadnya. Pada prinsipnya dewa yadnya adalah persembahan kepada Dewa Siwa, Tuhan; pitra yadnya adalah persembahan kepada pitra, roh nenek moyang, leluhur; rsi yadnya adalah menghormati pendeta, guru; bhuta yadnya adalah mensejahterakan tumbuhan-tumbuhan, alam; dan manusa yadnya adalah memberikan makanan kepada masyarakat, manusia (Nala dan Adia Wiryatmadja, 1993; Tim Penyusun, 2000; Putra, 2002; dan Sura, 2004; Sukarma, 2004). Jadi, melalui panca yadnya masyarakat Hindu di Bali, baik sadar maupun tidak telah menjalin hubungan harmonis dengan Tuhan, leluhur, guru, alam, dan sesama (Sukarma, 2004). Ini sebabnya masyarakat Hindu di Bali memiliki watak sosial-religius sebagaimana tampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan desa pakraman yang dicirikan oleh kahyangan tiga atau kahayangan desa (Sirtha dalam Astra, 2004).
Dalam dua dasa warsa terakhir menurut Triguna (1989:6) masyarakat Hindu telah banyak mengalami perubahan. Jikalau dilihat dari perspektif sosiologi agama maka perubahan itu menjadi wajar sebagai ciri suatu dinamika. Pertama, semakin tampak bahwa perubahan dalam pranata keagamaan berhubungan dengan semakin rasional dan formalisme kehidupan keagamaan. Rasionalisme komunitas yang tampak dari derasnya tuntutan akan tafsir agama yang kontekstual, sedangkan formalisme agama dapat diamati dari adanya pengkotak-kotakan secara hitam-putih dari pranata keagamaan. Kedua, perubahan dalam pranata sosial keagamaan cenderung ke arah pengukuhan status sosial. Hal ini berhubungan dengan sifat formalisme agama yang sebutkan di atas. Memang setiap pelaksanaan ritual (sekalipun dalam masyarakat bersahaja) tidak dapat dilepaskan dengan konteks ritus sebagai legalitas status. Upacara dimanfaatkan sebagai media mengukuhkan status sosial dan memformalitaskan, baik status maupun agama yang dianut. Ketiga, dalam kontradiktif antara rasionalisme bergandengan dengan materialisme berhadapan dengan spritualisme yang berpasangan dengan ritualisme akan terjadi proses tarik-menarik. Ditegaskan bahwa ini merupakan masalah penting yang sedang dialami oleh komunitas umat Hindu di Bali. Hal ini juga tampak dalam masyarakat Hindu di Jawa, Lampung, dan Lombok karena mereka senantiasa akan dihadapkan pada usaha untuk merasionalisasi, menguniversalkan, dan menjernihkan aspek agama. Akan tetapi tanpa disadari tindakan itu telah memangkas naluri pranata religius dan keseniannya. Pilihan akan bertambah banyak dan umat dihadapkan pada konflik kepentingan antara rasionalisme dan spritualisme.
Ini berarti bahwa Hindu yang semula adalah agama pada masa-masa selanjutnya menjadi inspirasi bagi perkembangan kebudayaan Bali, sebagaimana umumnya pada masa klasik bahwa kebudayaan ditentukan oleh agama (Magetsari dalam Ayatrohaedi, 1986:56). Kemudian, agama Hindu dan Kebudayaan Bali, baik disadari maupun tidak keduanya telah membentuk kepribadian orang Bali. Kepribadian ini terefleksi dalam cara hidup, pola hidup, dan gaya hidup orang Bali termasuk hasil-hasil karyanya sebagai kebudayaan. Ini juga yang menyebabkan orang Bali tidak bisa lepas dari hasil-hasil karyanya karena masyarakat Bali menjadi masyarakat Bali disebabkan oleh kebudayaan Bali. Ini sejalan dengan penjelasan Kusumohamidjojo (2000) bahwa suatu masyarakat menjadi “masyarakat yang itu” justru karena “kebudayaan itu”. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat selalu merupakan subjek dalam hubungannya dengan kebudayaannya. Kebudayaan dengan demikian dapat dipandang sebagai keseluruhan karya masyarakat, sekalipun pada saat yang bersamaan bisa disangkal bahwa kebudayaan juga membentuk kepribadian warga dari suatu masyarakat. Sebaliknya, masyarakat tidak dapat dibayangkan tanpa seluruh karyanya yang sekaligus membuatnya spesifik sehingga membedakannya dari masyarakat yang lain. Malahan mungkin tidak berlebihan, jika kebudayaan dipahami sebagai “kepribadian” dari suatu masyarakat. Ini berarti orang Bali juga secara sadar telah menciptakan nilai-nilai dan norma-norma bagi penataan kembali, baik bagi agama maupun kebudayaan Hindu. Proses ini berlangsung terus-menerus dan secara empiris-psikologis membentuk kepribadian orang Bali sebagai kekuatan dan pertahanan dari gempuran budaya luar. Untuk sampai kepada kemampuan ini masyarakat dan kebudayaannya mengalami pergulatan pemikiran dalam proses yang panjang karena terbentuknya kebudayaan suatu masyarakat memerlukan proses akulturasi terus-menerus sepanjang zaman sesuai dengan sejarahnya.
Pada zaman modern, industri pariwisata di Bali membuka pergaulan antaretnis dan antarbangsa dalam berbagai latar belakang agama, sosial, dan budaya. Walaupun demikian, intensitas dan otentisitas dialog kebudayaan baru dimulai (Triguna, 2002:1), apabila telah terjadi saling pengaruh antara berbagai unsur budaya yang disebut transformasi. Transformasi mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu sosok baru yang lebih mapan dan transformasi diandaikan sebagai suatu tahap akhir proses perubahan. Transformasi itu bergumul dalam suatu proses evolusioner yang saling mempengaruhi antarunsur dalam suatu ‘ideal tipe masyarakat yang dikehendaki’. Transformasi akan berlaga, baik secara fisik maupun psikis dan saling mempengaruhi di antara keduanya. Oleh karena itu tranformasi harus dilihat dalam rangka strategi kebudayaan untuk memenangkan masa depan dan strategi kebudayaan diperlukan untuk memberi arah dinamika kebudayaan itu sendiri. Berkaitan dengan eksistensi kebudayaan Bali tampak dari kuatnya unsur budaya lokal yang diperkaya oleh pengaruh Hindu melalui budaya Jawa dan India dan/atau budaya India melalui Jawa. Pengaruh inilah yang dapat diduga sebagai unsur penguat bagi pertahanan kebudayaan Bali dalam dinamika dan dialektika yang menyertainya.
Salah satu ciri dinamika kebudayaan adalah integrasi dan disintegrasi (Triguna, 2002:1). Integrasi digambarkan sebagai harmoni maksimal pada masing-masing unsur budaya, sedangkan disintegrasi mengandung pengertian sebaliknya. Dalam kerangka ini dinamika kebudayaan bukan saja linier, melainkan memiliki ritme. Pertama-tama berupa integrasi atau strukturasi kemudian, terjadi proses destrukturasi akibat ketidakmampuan kebudayaan menampung berbagai kebutuhan baru. Destrukturasi atau disintegrasi itu sendiri sekaligus dijadikan momentum untuk menghasilkan integrasi baru atau restrukturasi yang lebih luas. Disintegrasi itu sendiri merupakan keadaan krisis, namun dianggap sebagai suatu hal yang normal karena dalam strategi kebudayaan itu sendiri diperlukan adanya ketahanan. Untuk mempertahankan kebudayaan Hindu di Bali tentu ada suatu kekuatan yang bertindak untuk itu, yaitu lokal genius dan/atau identitas budaya Bali sebagai kekuatan dalam mengelola pengaruh kebudayaan luar. Untuk itu dapat diasumsikan ada satu spirit yang bertindak sebagai identitas kebudayaan Hindu di Bali dan yang mampu mengelola pengaruh kebudayaan asing. Mengingat begitu eratnya jalinan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali yang diekspresikan sebagai panca yadnya maka dapat diduga bahwa panca yadnya ini merupakan spirit yang bertindak sebagai daya tahan kebudayaan Bali. Inilah dimensi penting dari kajian ini, yaitu untuk mengetahui dan memahami eksistensi panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Hindu di Bali terutama dalam kaitannya dengan menyongsong masyarakat multibudaya.
2. Panca Yadnya sebagai Lokal Genius
Istilah “local genius” menurut Noerhadi Magetsari pertama kalinya diperkenalkan oleh Quaritch Wales (Ayatrohaedi, 1986:56). Dalam pengertian Quaritch Wales bahwa local genius adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Akibat dari hubungan itu terjadilah proses alkuturasi dan kebudayaan setempat menerima pengaruh kebudayaan asing. Menurut Magetsari (Ayatrohaedi, 1986:56) pengertian yang demikian diperoleh ketika Quaritch Wales mengamati hubungan yang terjadi pada waktu kebudayaan Indonesia menerima pengaruh dari kebudayaan India. Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa kebudayaan di Indonesia bagian barat menerimanya secara utuh sehingga terlihat sebagai meniru belaka kebudayaan India. Sebaliknya, di Indonesia bagian timur kebudayaan India itu hanya sebagai perangsang bagi perkembangan kebudayaan setempat. Dalam hal ini kebudayaan timur mampu mempertahankan salah satu unsur kebudayaannya, yaitu ragam hias geometris. Kemampuan inilah secara nyata dimaksudkan sebagai local genius.
Bosch lebih lanjut mengembangkan pengertian local genius (Magetsari dalam Ayatrohaedi, 1986:56) yang lebih menitikberatkan perhatiannya pada pelaku penerima kebudayaan itu. Menurut pandangannya proses penerimaan kebudayaan itu dilakukan oleh para pendeta Indonesia. Pendeta ini mula-mula pergi ke India menuntut ilmu kemudian, kembali ke Indonesia mengamalkan ilmu yang diperolehnya. Hasil-hasil yang bisa diamati sekarang, antara lain candi dan karya sastra. Ini alasan penting bagi Poespowardoyo (Ayatrohaedi, 1986:28) mengatakan bahwa hakikat local genius secara substansial menyangkut inti masalah budaya yang sedang kita hadapi dewasa ini. Ditegaskan bahwa local genius merupakan unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan, bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli.
Berdasarkan pengertian tersebut selanjutnya lokal genius yang dimaksud dalam kajian ini adalah unsur-unsur kebudayaan Hindu dalam menerima pengaruh kebudayaan asing, dan mengelolanya kembali, serta yang menjadikan kebudayaan Hindu itu dinamis. Satu unsur dominan dalam kebudayaan Hindu di antara unsur-unsur kebudayaan Hindu yang lainnya adalah panca yadnya. Seperti dijelaskan di atas bahwa panca yadnya meletakkan harmonisasi antara manusia dan Tuhan, manusia dan leuhur (roh nenek moyang), manusia dan guru, manusia dan alam, serta manusia dan sesama. Ini merupakan isu sentral yang diletakkan pada tataran idealis yang hendak dicapai melalui konsepsi panca yadnya sehingga ditegakkan dalam keseluruhan aspek kehidupan sebagai kebudayaan. Apabila kebudayaan dapat dimaknai sebagai segala sesuatu yang dapat memperhalus budi maka berdasarkan landasan komitmen dan cita-citanya bahwa panca yadnya dapat dimaknai sebagai puncaknya, peradaban. Tegasnya, panca yadnya merupakan spirit kebudayaan Hindu sebagai identitas budaya Hindu di Bali.
Kebudayaan Bali menurut Swellengrebel (1960) dibentuk oleh unsur-unsur tradisi kecil, tardisi besar, dan tradisi modern. Tradisi kecil, yaitu tradisi yang berorientasi pada kebudayaan lokal mempunyai ciri-ciri, antara lain sistem ekonomi sawah dengan irigasi; kerajinan meliputi besi, perunggu, celup, dan tenun; pada pura terdapat sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara di pura. Tradisi besar, yaitu tradisi yang berorientasi pada agama dan kebudayaan Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali menampakkan ciri-ciri, antara lain kekuasaan pusat, kedudukannya adalah raja sebagai keturunan Dewa; adanya tokoh pedanda; adanya upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi orang yang meninggal; adanya sistem kalender Hindu-Jawa; pertunjukkan wayang kulit, dll (Geria, 2000:48). Sementara itu, tradisi modern, yaitu tradisi yang mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan, zaman kemerdekaan, sampai dengan era globalisasi sekarang ini. Ciri-cirinya, antara lain pendidikan massal; sistem agama dirasionalisasi, terkoordinasi, dan terkomunikasikan ke dalam maupun keluar, kerajinan bersifat produksi massal; adanya orientasi ke depan yang diintrodusir oleh berbagai departemen, dll. (Mc. Kean dalam Geria, 2000).
Interaksi antara tradisi kecil dan tradisi besar membuahkan kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan budaya ekspresif dengan dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas. Proses interaksi terjadi secara akulturatif di dalamnya unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa hilangnya kepribadian dasar kebudayaan lokal (Geria, 2000:3). Kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan kebudayaan luar inilah yang disebut dengan istilah Local Genious. Istilah ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Quarich Wales seperti dijelaskan di atas dan yang ia maksudkan dengan Local Genious adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan (Quarich Wales dalam Noerhadi Magetsari, 1986:56). Oleh karena itu masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan Hindu Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya (FDK.Bosch, 1983; Haryati Soebadio, 1983; Soekmono, 1984). Artinya, kebudayaan Bali ketika terjadinya proses akulturasi dengan kebudayaan India (Hindu) telah berada dalam posisi yang cukup kuat sehingga mampu beradaptasi dan tidak terjadi dominasi. Kemampuan ini dimungkinkan oleh upacara agama yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali, baik secara periodik maupun sesuai dengan keadaan dan kondisi tertentu yang kemudian lebih dikenal dengan istilah ”panca yadnya”.
Panca yadnya pada intinya adalah konsepsi bhakti, kasih kepada segala makhluk, yang dalam bahasa Bhagavadgita disebut advestam sarvam bhutanam. Eksistensi panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Hindu di Bali seperti tampak dalam dinamika dan dialektikanya pada kenyataan kehidupan dalam pengalaman empiris sehari-hari masyarakat Hindu di Bali. Panca yadnya merefleksikan sistem sosial-budaya yang disempurnakan dengan emosi keagamaan sehingga dengannya orang Bali menjadi masyarakat yang sosio-religius. Ini sekaligus menjadi identitas budaya Hindu di Bali, yaitu lokal genius. Kemudian, panca yadnya sebagai upacara keagamaan yang terdiri atas lima jenis yadnya, yaitu dewa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, bhuta yadnya, dan manusa yadnya dijelaskan seperti berikut di bawah ini.
Dewa yadnya pada dasarnya merupakan persembahan suci kepada Dewa Siwa (dalam Siwatattwa disebut Bhatara Siwa – Tuhan Yang Maha Esa). Dalam masyarakat Hindu di Bali dilaksanakan menurut perhitungan wuku, wewaran, dan sasih, seperti kajeng kliwon, purnama-tilem, tumpek, buda kliwon, buda cemeng, buda umanis, anggar kasih, dan sebagainya. Sementara itu, bentuk upacaranya bisa berupa piodalan di pura atau sanggah/marajan, ngenteg linggih atau mendem padagingan, melasti, dan lain sebagainya. Di samping itu, juga dilaksanakan dalam bentuk rarahinan, seperti galungan dan kuningan, tumpek (wayang, landep, bubuh, dan kandang), pagerwesi, saraswati, siwaratri, nyepi, dan lain sebagainya (Panitiya Tujuh Belas, 1986:171; Tim Penyusun, 2002:49; Nala dan Wiratmadja, 1993:177). Artinya, upacara dewa yadnya dilaksanakan berdasarkan pada keyakinan akan adanya Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang manifestasinya dalam bentuk dewa-dewa dan dewi-dewi, bhatara-bhatari. Dalam panca sradha keyakinan ini disebut Widhi Sradha. Jadi, dewa yadnya merupakan ekspresi dari keyakinan masyarakat Hindu di Bali akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengannya orang Bali melakukan hubungan kepercayaan dan spiritual yang harmonis dan selaras dalam penghayatan dan kesadaran penuh.
Pitra atau pitara berarti leluhur atau nenek moyang (Nala dan Wiratmadja, 1993:196). Dengan demikian pitra yadnya merupakan persembahan suci yang ditujukan kepada leluhur (pitra). Dalam masyarakat Hindu di Bali biasanya dilaksanakan setelah orang tua meninggal, yaitu mulai dari upacara ngaben sampai dengan upacara mamukur. Meskipun demikian pada dasarnya pitra yadnya adalah kewajiban anak kepada orang tuanya (sutakirtya), baik sementara orang tuanya masih hidup maupun setelah orang tua meninggal dunia (Tim, 2000:170). Menurut tradisi Hindu di India upacara ngaben dilaksanakan segera setelah seseorang meninggal, namun dalam tradisi Hindu di Bali upacara ngaben dilaksanakan dengan menggunakan perhitungan waktu, yaitu sasih, wuku, wewaran, tanggal panglong, dan dauh. Upacara ngaben juga disebut upacara sawa prateka yang tujuannya adalah melepaskan atman dari unsur-unsur panca maha bhuta (Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Setelah upacara ngaben (sawa prateka) dilanjutkan dengan upacara atma wedana, yaitu ngangseng, nyekah, memukur, maligya, dan terbesar adalah ngeluwer. Perbedaan upacara ini hanya dilihat dari tingkatan besar-kecilnya upacara (utama, madya, dan nista), sedangkan makna filosofisnya sama. Puncak dari pelaksanaan upacara atma wedana adalah dewa pitra pratistha atau nuntun ngelinggihang dewa hyang, yaitu upacara men-sthana-kan roh suci leluhur di kamulan. Artinya, upacara pitra yadnya dilaksanakan berasarkan keyakinan akan adanya Tuhan yang memanifestasikan diri-Nya sebagai leluhur (siwa pitaram rupam) sehingga Beliau juga disebut Bhatara Kawitan. Keyakinan ini dalam panca sradha disebut atman sradha, yaitu keyakinan akan adanya atman, roh, dan jiwa. Ekspresi dari keyakinan ini tampak sebagai upacara keagamaan ngaben dan mamukur dalam masyarakat Hindu di Bali. Jadi, pitra yadnya merupakan ekspresi dari keyakinan akan adanya atman yang oleh masyarakat Hindu di Bali dipahami sebagai roh dan jiwa individu.
Rsi yadnya merupakan pesembahan suci kepada para rsi atau sulinggih. Termasuk dalam upacara rsi yadnya adalah upacara rsi bhojana, yaitu upacara penghormatan kepada sulinggih atau pandita dengan menyuguhkan makanan yang disajikan dengan sangat terhormat (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Upacara rsi bhojana biasanya dirangkaikan dengan upacara-upacara besar misalnya, upacara maligya baligya, karya agung di pura sad kahyangan, dan sebagainya. Di samping itu, upacara rsi yadnya juga dapat diwujudkan dalam tindakan melayani pandita, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun saat beliau memimpin upacara. Malahan mendalami kitab-kitab suci yang disusun oleh para maharsi, juga merupakan bentuk implementasi dari ajaran rsi yadnya (Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Jadi, upacara rsi yadnya merupakan ekspresi penghormatan kepada para rsi atau orang-orang suci atau guru karena jasa-jasa beliau memberikan pengetahuan dan pelayanan rohani kepada manusia.
Bhuta yadnya bermakna memelihara kesejahteraan alam. Akan tetapi dalam masyarakat sering dimaknai sebagai persembahan suci kepada makhluk-makhluk bawah atau kekuatan-kekuatan negatif dengan tujuan agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dalam tradisi Hindu di Bali upacara bhuta yadnya dilaksanakan sehari-hari misalnya, segehan dan saiban. Di samping itu, juga dilaksanakan, baik secara berkala maupun fakultatif. Secara berkala dilaksanakan berdasarkan perhitungan wuku, sasih, dan tahun dengan berbagai macam dan tingkatannya misalnya, tawur kesanga, tawur panca bali krama, tawur eka dasa ludra. Secara fakultatif misalnya, upacara caru yang dirangkaikan dengan upacara-upacara yadnya lainnya, seperti caru pengruwak karang, caru dalam kaitannya dengan membuat tempat suci, caru dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara yadnya lainnya, dan lain sebagainya. Malahan, upacara bhuta yadnya juga dilaksanakan karena berhubungan dengan suatu kejadian misalnya, caru dilaksanakan setelah seseorang menderita musibah (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52).
Manusa yadnya merupakan rangkaian upacara yang dilaksanakan sejak bayi dalam kandungan sampai menikah. Upacara manusa yadnya tergolong dalam sarira samskaran, yaitu peningkatan kualitas diri manusia. Upacara upacara bayi dalam kandungan, antara lain upacara nelubulanin (saat kandungan berumur tiga bulan), upacara pagedong-gedongan. Upacara bayi lahir sampai menikah, antara lain upacara embas rare (bayi baru lahir), upacara kepus pusar (putusnya tali pusar), upacara tutug kambuhan (bayi berumur 42 hari), upacara nyambuti (bayi berumur 105 hari), upacara ngotonin (bayi berumur 210 hari), upacara meningkat dewasa (ngeraja swala atau menek kelih), mapandes (potong gigi), dan upacara pawiwahan (pernikahan). Selain itu, dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas rohani ada beberapa upacara manusa yadnya, antara lain mawinten, mapodgala, dan madiksa. Jadi, upacara manusa yadnya merupakan ekspresi keyakinan bahwa setiap tahapan hidup manusia mempunyai makna pendewasaan dan pematangan diri menuju kesempurnaan (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Kesempurnaan bagi manusia Bali adalah pencapaian moksa, yaitu penghentian kelahiran.
Pelaksanaan kelima jenis yadnya tersebut tidak pernah tanpa melibatkan banyak orang (masyarakat) karena kenyataannya tidak ada upacara yadnya dalam masyarakat Hindu di Bali yang dapat dilaksanakan secara normal dan sempurna tanpa melibatkan banyak orang. Di samping pemimpin upacara (pamangku dan/atau sulinggih), tukang banten, dan penyelenggara upacara yang umumnya melibatkan keluarga besar (dadia), bahkan krama banjar juga berpartisipasi dalam pelaksanaan sebuah upacara yadnya (Sukarma, 2004). Proses yang demikian itu, baik disadari maupun tidak bahwa masyarakat Hindu di Bali telah terhimpun dalam sebuah sistem dan struktur sosial yang permanen. Kelakuan berpola dalam sistem dan struktur sosial yang di dalamnya berisi nilai dan norma serta perilaku dalam perspektif sosiologi disebut pranata sosial.
Pranata sosial (social institution) menurut Triguna (1989:5) dapat diartikan sebagai kelakuan berpola (pattern of behavior) dari orang-orang Hindu dalam situasi dan kondisi kebudayaannya. Pengertian kelakuan berpola mengandung arti bahwa kelakuan yang sama akan kembali dimunculkan manakala seorang individu dihadapkan pada stimulus yang sama dalam situasi yang sama. Berlandaskan pada batasan itu menurut Triguna (1989:5) dalam komunitas Hindu ada beberapa pranata yang menonjol dilaksanakan yang disebabkan oleh ritus yang bersifat ekspresif seperti berikut.
(1) Kinship institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, seperti sistem perkawinan dan sistem pengasuhan anak.
(2) Economic institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk hidup, berproduksi dan menimbun kekayaan.
(3) Aestetic and recreation institutions, pranata ini berhubungan dengan hasrat untuk memenuhi tuntutan diri terhadap seni.
(4) Religious institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, seperti prosesi, upacara, pantangan, dan ilmu gaib.
(5) Group institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan berkelompok.
Setidak-tidaknya melalui lima pranata sosial tersebut masyarakat Hindu Bali mengekspresikan panca yadnya sebagai sistem budaya sekaligus merupakan identitas budaya Bali. Identitas budaya inilah yang berfungsi melakukan pertahanan budaya dari pengaruh kebudayaan asing dengan mengadaptasikannya ke dalam budaya Bali melalui pembangunan nlai-nilai baru dan penghacuran nilai-nilai lama secara silih berganti. Ini berarti pergeseran nilai dan norma dalam hubungannya dengan kebudayaan telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Mengingat setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi (Triguna, 2002:11). Dalam pengalihan itu terjadi proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanisme yang disebut peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modifacation) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum (Triguna, 1999:4). Usaha penyesuaian itu ditegaskan mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan. Sebaliknya, manusia juga berusaha menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka. Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah maka dalam upaya pengadaptasian itu manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan secara dinamis. Jika manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya kurang relevan maka cara itu akan diganti dengan yang dianggap lebih cocok, setelah melalui mekanisme pemahaman, penafsiran, dan sosialisasi. Secara teoretis proses itu melalui tiga tahap, yakni strukturasi, destrukturasi, dan restrukturasi.
Mekanisme pemahaman, penafsiran, dan sosialisasi melalui tiga tahapan tersebut berlangsung dalam suatu interaksi sosial-budaya secara terus-menerus dalam sistem dan struktur pengetahuan yang mantap. Dalam interaksi itu melalui tahapan-tahapan (1) perilaku adaptasi yang melalui proses penyesuaian, menentukan pilihan-pilihan, dan apabila dipandang perlu melakukan penolakan atas atribut lain; (2) menentukan strategi tindakan dengan mempertimbangkan dimensi rasional, mekanisasi, dan pertimbangan kelangsungan masa depan; (3) membuat strategi adaptasi mencakup pemahaman, penafsiran, dan pembentukan tindakan khas (Triguna, 1999:4). Melalui tahapan-tahapan interaksi inilah panca yadnya sebagai sistem budaya melakukan pertahanan budaya sehingga panca yadnya mampu bertahan sebagai identitas budaya Bali dan sekaligus mampu melakukan proteksi terhadap gempuran budaya asing. Panca yadnya dalam hal ini telah mampu membangun sistem moral bagi masyarakat Hindu di Bali yang setidak-tidaknya telah menjadi filter bagi pengaruh negatif dari informasi yang masuk melalui berbagai macam jaringan. Walaupun pada kenyataannya tidak ada lembaga adat apapun yang bisa menyaring dan menghentikan informasi melalui internet misalnya, tetapi setidak-tidaknya secara mental dan moral masyarakat telah terlindungi dari pengaruh negatif informasi tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pertahanan mental dan moral merupakan strategi penting dalam melakukan adaptasi budaya dalam masyarakat multikultur, seperti di Indonesia. Dengan kata lain, panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Bali telah mampu mengantarkan masyarakat Bali dalam menyongsong masyarakat multibudaya.
Simpulan
Pada dasarnya dari uraian di atas dapat dipahami bahwa masyarakat Hindu di Bali sesungguhnya mengalami ketegangan sosio-budaya yang disebabkan oleh terbukanya pergaulan antaretnis, sosial, politik, budaya, dan agama. Dalam konteks ini pengaruh hubungan antarbudaya tidak dapat dihindari berlangsung secara intens dalam suasana aman dan nyaman. Mengingat asimilasi dan akomodaksi dalam akulturasi berlangsung dalam kondisi ideal yang menurut Gramsi disebut hegemoni dan dominasi (budaya) secara silih berganti tanpa pernah memasuki wilayah kesadaran (budaya). Kondisi demikian sedang melanda masyarakat beragama, tidak saja Hindu, melainkan semua umat beragama pada setiap bangsa dan pada setiap zaman. Ini disebabkan oleh terbukanya akses informasi yang secara langsung memasuki setiap rumah tangga tanpa pernah ada kekuatan apapun yang mampu membendungnya, selain moral. Dalam rangka inilah panca yadnya sebagai sistem budaya dan identitas budaya Bali rupanya mampu memainkan perannya dalam memberikan tatanan moral bagi praktik-praktik kehidupan dalam berbagai aspek dan skalanya. Untuk itu panca yadnya, baik sadar maupun tidak telah membangun paling sedikit lima pranata sosial penting yang berfungsi melakukan pengelolaan terhadap pengaruh kebudayaan asing. Pranata sosial ini juga menjadi identitas budaya Bali yang mampu menyamarkan pengaruh budaya asing melalui strategi adaptasi budaya yang berlangsung secara dinamis.
Mekanisme peningkatan adaptasi atau adaptasi dengan modifikasi dalam budaya Bali melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum yang dilakukan dalam interaksi sosio-budaya secara terus-menerus. Berlandaskan pada spirit panca yadnya, interaksi itu berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu pertama, perilaku adaptasi yang melalui proses penyesuaian budaya asing ke dalam budaya Bali, menentukan pilihan-pilihan unsur budaya asing, dan apabila dipandang perlu melakukan penolakan atas atribut-atribut budaya asing. Kedua, menentukan strategi tindakan dengan mempertimbangkan dimensi rasional, mekanisasi, dan pertimbangan kelangsungan masa depan. Ketiga, membuat strategi adaptasi mencakup pemahaman, penafsiran, dan pembentukan tindakan khas. Dalam proses ini terjadi penghancuran unsur-unsur budaya Bali, membangunnya kembali, pemilihan unsur-unsur budaya asing disesuaikan dengan dinamika budaya Bali, dan pemantapan nilai-nilai ini berlangsung secara terus-menerus sehingga senantiasa selaras dan seimbang dalam pemenuhan kebutuhan, baik individu maupun sosial. Ini sejalan dengan salah satu dari asumsi teori fungsionalisme-struktural bahwa masyarakat selalu berada dalam keadaan keseimbangan dan keteraturan (the other and equilibrium). Walaupun dengan mengabaikan peranan sejarah dan konflik, tetapi model pertahanan budaya seperti ini telah menempatkan panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Bali dan sekaligus memberikan pemahaman tentang praktik-praktik sosial yang berlandaskan pada paham masyarakat multibudaya.
Daftar Bacaan
Adian, Donny Gahral, 2002, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra.
Astra, I Gde, Semadi, Aron Meko Mbete, Ida Bagus Puja Astawa, I Nyoman Darma Putra, 2003, Guratan Budaya dalam Perspektif Multi Kultural, Denpasar : Kerja sama Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, dan CV Bali Media.
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.
Bosch, FDK, 1983, Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia, Jakarta: Bhratara.
Geria, I Wayan, 2000, Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Denpasar: Percetakan Bali.
Hendro Puspito, 1986, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Koentjaraningrat, 1986, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI-Pres
Kusumohamidjojo, Budiono, 2000, Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT. Grasindo.
Mukti Ali,1998, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Nala, I Gusti Ngurah dan I.G.K. Adia Wiratmadja, 1993, Murddha Agama Hindu, Denpasar: Upada Sastra.
Noerhadi Magetsari,1986, Local Genius Dalam Kehidupan Beragama, dalam Kepribadian Budaya Bangsa, Jakarta: Pustaka Jaya.
Panitya Tujuh Belas, 1986, Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan, Jakarta: Yayasan Mertha Sari.
Sukarma, I Wayan, 2004, Tesis: “Humanisme Dalam Brahmavidya dan Tradisi Hindu di Bali”, Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.
_________, 2004, Dasar-dasar Moralitas Dalam Bhagavadgitha (Jurnal: Dharmasmrti, Oktober 2004), Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.
_________, 2004, Spirit Manusa Yadnya Dalam Membangun Suputra (Jurnal: Dharmasmrti, April 2004), Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.
Takwin, Bagus, 2001, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta: Jalasutra.
Tim, 2000, Panca Yadnya, Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama Propinsi Bali.
Triguna, IBG Yudha, 1999, “Strategi Adaptasi Budaya” (Modul Teori Adaptasi Budaya), Jakarta: Dikdasmen.
_________, 1989, Makalah: “Sosiologi Hindu Dharma”, Denpasar: UNHI.
________,.2002. “Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi” (Makalah Dialog Budaya Regional, 28-29 Oktober). Yogyakarta: Direktorat Tradisi dan Kepercayaan.
________,2002. Hindu dan Modernitas: Refleksi Sosiologi Agama terhadap Fenomena Spiritualitas. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Agama. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
________,2002. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural (Makalah). Denpasar: Balai Kajian.
Wesnawa, Ida Bagus Putu, 2004, Revitalisasi Kebudayaan Hindu Untuk Ketahanan Masyarakat Bali, Denpasar: Sekretariat DPRD Bali.
* Penulis adalah pengajar di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar.
MENYONGSONG MASYARAKAT MULTIBUDAYA
Oleh
I Wayan Sukarma
Abstract
Hindhuism and Balinese culture are two phenomena and one reality, i.e. the personality of Balinese people. This integrity of personality is at the same time also a cultural identity expressed thorough panca yadnya. Through this panca yadnya Balinese people manifest harmonious relations with God(s), ancestors, nature, teacher, and other people. It is the chained unity of these five relations that can be regarded as their local genius, serving as the spirit of Hindu culture in the face of cross-cultural interactions, either between ethnic groups or between nations. With all this Hindu culture can probably preserve, stand, and develop in the dynamics, dialectics, and interpretations that follow, through a process of continuous structuration, deconstruction, and restructuration.
Key words: Panca Yadnya, Local Genius, and Hindu Culture
1. Pendahuluan
Masuknya Hindu di Indonesia menorehkan warna khusus bagi perkembangan norma-norma dan pola kehidupan masyarakat Indonesia. Tradisi kejawen misalnya, diduga memiliki unsur ajaran Hindu. Pengaruhnya yang langsung terlihat adalah kebudayaan dan agama Hindu di Bali (Takwin, 2003:38). Hindu sebagai agama dan kebudayaan dalam masyarakat Hindu di Bali merupakan dua fenomena dari satu realitas. Jalinan kedua fenomena tersebut sulit dipisahkan karena keduanya hadir bersamaan dalam sistem budaya masyarakat yang lebih dikenal sebagai adat istiadat. Mengingat bagi Hindu kebenaran nilai universal terletak pada pengalaman langsung mengenai nilai tersebut. Seseorang tidak cukup mengetahui ilmu agama, tetapi merasakan kebenaran-kebenaran kitab suci dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dengan demikian agama adalah praktik dan disiplin tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Beragama bukan di tempat suci saja, melainkan di mana saja (Wesnawa, 2004:51). Ini sebabnya Hindu Bali digunakan sebagai sistem pemikiran, sistem ucapan, dan sistem tindakan oleh masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Artinya, baik disadari maupun tidak Hindu telah menjadi identitas, bahkan kepribadian orang Bali yang menyebabkan kebudayaan Bali bertahan dalam berbagai gelombang pemikiran. Inilah lokal genius. Sejalan dengan penjelasan Haryati Soebadio (Ayatrohaedi, 1986:18-19) bahwa pengertian local genius secara keseluruhan meliputi dan mungkin malahan dapat dianggap sama dengan apa yang dewasa ini dikenal dengan culture identity dan yang diartikan sebagai identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa, yang mengakibatkan bangsa bersangkutan menjadi lebih mampu menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang mendatanginya dari luar wilayah sendiri sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya.
Hindu sebagai agama terdiri atas tiga kerangka dasar, tattwa, susila, dan acara (Sudharta dan Oka Puniatmadja, 2001). Tattwa merupakan landasan filosofis ajaran agama dan sekaligus digunakan sebagai pandangan hidup (analitis dan eksistensial). Susila merupakan landasan dan pedoman moral meliputi ajaran tentang tingkah laku (nilai-nilai dan norma-norma moral). Acara merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan beragama meliputi tradisi aktivitas-aktivitas hidup keagaman (upacara dan apakara). Walaupun demikian, dalam pengalaman empiris ketiga kerangka dasar ajaran tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan. Ini juga yang menimbulkan kesulitan untuk membedakan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan karena keduanya begitu padu dalam kehidupan sosial budaya sebagai adat istiadat (Sukarma, 2004). Mengingat Hindu adalah agama yang lebih menekankan pada disiplin tindakan maka dharma adalah karma (aktivitas); dan dalam tindakan tidaklah mungkin memisahkan antara dasar komitmen dan tujuan dari tindakan. Sebagaimana pikiran tidak melakukan pemisahan terhadap momen yang sedang berlangsung dalam pengalaman karena tindakan tidak pernah lepas dari ruang dan waktu. Boleh jadi, ini merupakan landasan bagi pelaksanaan panca yadnya karena pada kenyataannya tidak pernah ada satu jenis yadnya dari panca yadnya dilaksanakan tersendiri secara terpisah. Panca yadnya yang terdiri atas lima jenis yadnya selalu hadir dalam setiap pelaksanaan salah satu daripadanya. Tentu penekanannya selalu pada satu jenis yadnya yang hendak dilaksanakan. Panca yadnya dengan demikian merupakan kesatuan yang integeral sehingga tidak mungkin melaksanakan salah satu daripadanya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya selalu tampil salah satu jenis yadnya yang lebih dominan sebagai fokus dari yadnya yang hendak dilaksanakan. Pada kenyataan empiris dalam kehidupan sehari-hari pelaksanaannya juga selalu berada dalam lingkaran sistem religi yang sama, yaitu menyangkut emosi keagamaan, sistem ritus dan upacara, alat-alat ritus dan upacara, pemimpin dan penganut yang melaksanakan ritus dan upacara, tempat ritus dan upacara, dan selalu ada unsur yang mengandung nilai sakral atau profan (Sukarma, 2004).
Panca yadnya dalam lontar Agastya Parwa dijelaskan terdiri atas dewa yadnya, rsi yadnya, pitra yadnya, bhuta yadnya, dan manusa yadnya. Pada prinsipnya dewa yadnya adalah persembahan kepada Dewa Siwa, Tuhan; pitra yadnya adalah persembahan kepada pitra, roh nenek moyang, leluhur; rsi yadnya adalah menghormati pendeta, guru; bhuta yadnya adalah mensejahterakan tumbuhan-tumbuhan, alam; dan manusa yadnya adalah memberikan makanan kepada masyarakat, manusia (Nala dan Adia Wiryatmadja, 1993; Tim Penyusun, 2000; Putra, 2002; dan Sura, 2004; Sukarma, 2004). Jadi, melalui panca yadnya masyarakat Hindu di Bali, baik sadar maupun tidak telah menjalin hubungan harmonis dengan Tuhan, leluhur, guru, alam, dan sesama (Sukarma, 2004). Ini sebabnya masyarakat Hindu di Bali memiliki watak sosial-religius sebagaimana tampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan desa pakraman yang dicirikan oleh kahyangan tiga atau kahayangan desa (Sirtha dalam Astra, 2004).
Dalam dua dasa warsa terakhir menurut Triguna (1989:6) masyarakat Hindu telah banyak mengalami perubahan. Jikalau dilihat dari perspektif sosiologi agama maka perubahan itu menjadi wajar sebagai ciri suatu dinamika. Pertama, semakin tampak bahwa perubahan dalam pranata keagamaan berhubungan dengan semakin rasional dan formalisme kehidupan keagamaan. Rasionalisme komunitas yang tampak dari derasnya tuntutan akan tafsir agama yang kontekstual, sedangkan formalisme agama dapat diamati dari adanya pengkotak-kotakan secara hitam-putih dari pranata keagamaan. Kedua, perubahan dalam pranata sosial keagamaan cenderung ke arah pengukuhan status sosial. Hal ini berhubungan dengan sifat formalisme agama yang sebutkan di atas. Memang setiap pelaksanaan ritual (sekalipun dalam masyarakat bersahaja) tidak dapat dilepaskan dengan konteks ritus sebagai legalitas status. Upacara dimanfaatkan sebagai media mengukuhkan status sosial dan memformalitaskan, baik status maupun agama yang dianut. Ketiga, dalam kontradiktif antara rasionalisme bergandengan dengan materialisme berhadapan dengan spritualisme yang berpasangan dengan ritualisme akan terjadi proses tarik-menarik. Ditegaskan bahwa ini merupakan masalah penting yang sedang dialami oleh komunitas umat Hindu di Bali. Hal ini juga tampak dalam masyarakat Hindu di Jawa, Lampung, dan Lombok karena mereka senantiasa akan dihadapkan pada usaha untuk merasionalisasi, menguniversalkan, dan menjernihkan aspek agama. Akan tetapi tanpa disadari tindakan itu telah memangkas naluri pranata religius dan keseniannya. Pilihan akan bertambah banyak dan umat dihadapkan pada konflik kepentingan antara rasionalisme dan spritualisme.
Ini berarti bahwa Hindu yang semula adalah agama pada masa-masa selanjutnya menjadi inspirasi bagi perkembangan kebudayaan Bali, sebagaimana umumnya pada masa klasik bahwa kebudayaan ditentukan oleh agama (Magetsari dalam Ayatrohaedi, 1986:56). Kemudian, agama Hindu dan Kebudayaan Bali, baik disadari maupun tidak keduanya telah membentuk kepribadian orang Bali. Kepribadian ini terefleksi dalam cara hidup, pola hidup, dan gaya hidup orang Bali termasuk hasil-hasil karyanya sebagai kebudayaan. Ini juga yang menyebabkan orang Bali tidak bisa lepas dari hasil-hasil karyanya karena masyarakat Bali menjadi masyarakat Bali disebabkan oleh kebudayaan Bali. Ini sejalan dengan penjelasan Kusumohamidjojo (2000) bahwa suatu masyarakat menjadi “masyarakat yang itu” justru karena “kebudayaan itu”. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat selalu merupakan subjek dalam hubungannya dengan kebudayaannya. Kebudayaan dengan demikian dapat dipandang sebagai keseluruhan karya masyarakat, sekalipun pada saat yang bersamaan bisa disangkal bahwa kebudayaan juga membentuk kepribadian warga dari suatu masyarakat. Sebaliknya, masyarakat tidak dapat dibayangkan tanpa seluruh karyanya yang sekaligus membuatnya spesifik sehingga membedakannya dari masyarakat yang lain. Malahan mungkin tidak berlebihan, jika kebudayaan dipahami sebagai “kepribadian” dari suatu masyarakat. Ini berarti orang Bali juga secara sadar telah menciptakan nilai-nilai dan norma-norma bagi penataan kembali, baik bagi agama maupun kebudayaan Hindu. Proses ini berlangsung terus-menerus dan secara empiris-psikologis membentuk kepribadian orang Bali sebagai kekuatan dan pertahanan dari gempuran budaya luar. Untuk sampai kepada kemampuan ini masyarakat dan kebudayaannya mengalami pergulatan pemikiran dalam proses yang panjang karena terbentuknya kebudayaan suatu masyarakat memerlukan proses akulturasi terus-menerus sepanjang zaman sesuai dengan sejarahnya.
Pada zaman modern, industri pariwisata di Bali membuka pergaulan antaretnis dan antarbangsa dalam berbagai latar belakang agama, sosial, dan budaya. Walaupun demikian, intensitas dan otentisitas dialog kebudayaan baru dimulai (Triguna, 2002:1), apabila telah terjadi saling pengaruh antara berbagai unsur budaya yang disebut transformasi. Transformasi mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu sosok baru yang lebih mapan dan transformasi diandaikan sebagai suatu tahap akhir proses perubahan. Transformasi itu bergumul dalam suatu proses evolusioner yang saling mempengaruhi antarunsur dalam suatu ‘ideal tipe masyarakat yang dikehendaki’. Transformasi akan berlaga, baik secara fisik maupun psikis dan saling mempengaruhi di antara keduanya. Oleh karena itu tranformasi harus dilihat dalam rangka strategi kebudayaan untuk memenangkan masa depan dan strategi kebudayaan diperlukan untuk memberi arah dinamika kebudayaan itu sendiri. Berkaitan dengan eksistensi kebudayaan Bali tampak dari kuatnya unsur budaya lokal yang diperkaya oleh pengaruh Hindu melalui budaya Jawa dan India dan/atau budaya India melalui Jawa. Pengaruh inilah yang dapat diduga sebagai unsur penguat bagi pertahanan kebudayaan Bali dalam dinamika dan dialektika yang menyertainya.
Salah satu ciri dinamika kebudayaan adalah integrasi dan disintegrasi (Triguna, 2002:1). Integrasi digambarkan sebagai harmoni maksimal pada masing-masing unsur budaya, sedangkan disintegrasi mengandung pengertian sebaliknya. Dalam kerangka ini dinamika kebudayaan bukan saja linier, melainkan memiliki ritme. Pertama-tama berupa integrasi atau strukturasi kemudian, terjadi proses destrukturasi akibat ketidakmampuan kebudayaan menampung berbagai kebutuhan baru. Destrukturasi atau disintegrasi itu sendiri sekaligus dijadikan momentum untuk menghasilkan integrasi baru atau restrukturasi yang lebih luas. Disintegrasi itu sendiri merupakan keadaan krisis, namun dianggap sebagai suatu hal yang normal karena dalam strategi kebudayaan itu sendiri diperlukan adanya ketahanan. Untuk mempertahankan kebudayaan Hindu di Bali tentu ada suatu kekuatan yang bertindak untuk itu, yaitu lokal genius dan/atau identitas budaya Bali sebagai kekuatan dalam mengelola pengaruh kebudayaan luar. Untuk itu dapat diasumsikan ada satu spirit yang bertindak sebagai identitas kebudayaan Hindu di Bali dan yang mampu mengelola pengaruh kebudayaan asing. Mengingat begitu eratnya jalinan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali yang diekspresikan sebagai panca yadnya maka dapat diduga bahwa panca yadnya ini merupakan spirit yang bertindak sebagai daya tahan kebudayaan Bali. Inilah dimensi penting dari kajian ini, yaitu untuk mengetahui dan memahami eksistensi panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Hindu di Bali terutama dalam kaitannya dengan menyongsong masyarakat multibudaya.
2. Panca Yadnya sebagai Lokal Genius
Istilah “local genius” menurut Noerhadi Magetsari pertama kalinya diperkenalkan oleh Quaritch Wales (Ayatrohaedi, 1986:56). Dalam pengertian Quaritch Wales bahwa local genius adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Akibat dari hubungan itu terjadilah proses alkuturasi dan kebudayaan setempat menerima pengaruh kebudayaan asing. Menurut Magetsari (Ayatrohaedi, 1986:56) pengertian yang demikian diperoleh ketika Quaritch Wales mengamati hubungan yang terjadi pada waktu kebudayaan Indonesia menerima pengaruh dari kebudayaan India. Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa kebudayaan di Indonesia bagian barat menerimanya secara utuh sehingga terlihat sebagai meniru belaka kebudayaan India. Sebaliknya, di Indonesia bagian timur kebudayaan India itu hanya sebagai perangsang bagi perkembangan kebudayaan setempat. Dalam hal ini kebudayaan timur mampu mempertahankan salah satu unsur kebudayaannya, yaitu ragam hias geometris. Kemampuan inilah secara nyata dimaksudkan sebagai local genius.
Bosch lebih lanjut mengembangkan pengertian local genius (Magetsari dalam Ayatrohaedi, 1986:56) yang lebih menitikberatkan perhatiannya pada pelaku penerima kebudayaan itu. Menurut pandangannya proses penerimaan kebudayaan itu dilakukan oleh para pendeta Indonesia. Pendeta ini mula-mula pergi ke India menuntut ilmu kemudian, kembali ke Indonesia mengamalkan ilmu yang diperolehnya. Hasil-hasil yang bisa diamati sekarang, antara lain candi dan karya sastra. Ini alasan penting bagi Poespowardoyo (Ayatrohaedi, 1986:28) mengatakan bahwa hakikat local genius secara substansial menyangkut inti masalah budaya yang sedang kita hadapi dewasa ini. Ditegaskan bahwa local genius merupakan unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan, bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli.
Berdasarkan pengertian tersebut selanjutnya lokal genius yang dimaksud dalam kajian ini adalah unsur-unsur kebudayaan Hindu dalam menerima pengaruh kebudayaan asing, dan mengelolanya kembali, serta yang menjadikan kebudayaan Hindu itu dinamis. Satu unsur dominan dalam kebudayaan Hindu di antara unsur-unsur kebudayaan Hindu yang lainnya adalah panca yadnya. Seperti dijelaskan di atas bahwa panca yadnya meletakkan harmonisasi antara manusia dan Tuhan, manusia dan leuhur (roh nenek moyang), manusia dan guru, manusia dan alam, serta manusia dan sesama. Ini merupakan isu sentral yang diletakkan pada tataran idealis yang hendak dicapai melalui konsepsi panca yadnya sehingga ditegakkan dalam keseluruhan aspek kehidupan sebagai kebudayaan. Apabila kebudayaan dapat dimaknai sebagai segala sesuatu yang dapat memperhalus budi maka berdasarkan landasan komitmen dan cita-citanya bahwa panca yadnya dapat dimaknai sebagai puncaknya, peradaban. Tegasnya, panca yadnya merupakan spirit kebudayaan Hindu sebagai identitas budaya Hindu di Bali.
Kebudayaan Bali menurut Swellengrebel (1960) dibentuk oleh unsur-unsur tradisi kecil, tardisi besar, dan tradisi modern. Tradisi kecil, yaitu tradisi yang berorientasi pada kebudayaan lokal mempunyai ciri-ciri, antara lain sistem ekonomi sawah dengan irigasi; kerajinan meliputi besi, perunggu, celup, dan tenun; pada pura terdapat sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara di pura. Tradisi besar, yaitu tradisi yang berorientasi pada agama dan kebudayaan Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali menampakkan ciri-ciri, antara lain kekuasaan pusat, kedudukannya adalah raja sebagai keturunan Dewa; adanya tokoh pedanda; adanya upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi orang yang meninggal; adanya sistem kalender Hindu-Jawa; pertunjukkan wayang kulit, dll (Geria, 2000:48). Sementara itu, tradisi modern, yaitu tradisi yang mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan, zaman kemerdekaan, sampai dengan era globalisasi sekarang ini. Ciri-cirinya, antara lain pendidikan massal; sistem agama dirasionalisasi, terkoordinasi, dan terkomunikasikan ke dalam maupun keluar, kerajinan bersifat produksi massal; adanya orientasi ke depan yang diintrodusir oleh berbagai departemen, dll. (Mc. Kean dalam Geria, 2000).
Interaksi antara tradisi kecil dan tradisi besar membuahkan kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan budaya ekspresif dengan dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas. Proses interaksi terjadi secara akulturatif di dalamnya unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa hilangnya kepribadian dasar kebudayaan lokal (Geria, 2000:3). Kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan kebudayaan luar inilah yang disebut dengan istilah Local Genious. Istilah ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Quarich Wales seperti dijelaskan di atas dan yang ia maksudkan dengan Local Genious adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan (Quarich Wales dalam Noerhadi Magetsari, 1986:56). Oleh karena itu masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan Hindu Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya (FDK.Bosch, 1983; Haryati Soebadio, 1983; Soekmono, 1984). Artinya, kebudayaan Bali ketika terjadinya proses akulturasi dengan kebudayaan India (Hindu) telah berada dalam posisi yang cukup kuat sehingga mampu beradaptasi dan tidak terjadi dominasi. Kemampuan ini dimungkinkan oleh upacara agama yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali, baik secara periodik maupun sesuai dengan keadaan dan kondisi tertentu yang kemudian lebih dikenal dengan istilah ”panca yadnya”.
Panca yadnya pada intinya adalah konsepsi bhakti, kasih kepada segala makhluk, yang dalam bahasa Bhagavadgita disebut advestam sarvam bhutanam. Eksistensi panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Hindu di Bali seperti tampak dalam dinamika dan dialektikanya pada kenyataan kehidupan dalam pengalaman empiris sehari-hari masyarakat Hindu di Bali. Panca yadnya merefleksikan sistem sosial-budaya yang disempurnakan dengan emosi keagamaan sehingga dengannya orang Bali menjadi masyarakat yang sosio-religius. Ini sekaligus menjadi identitas budaya Hindu di Bali, yaitu lokal genius. Kemudian, panca yadnya sebagai upacara keagamaan yang terdiri atas lima jenis yadnya, yaitu dewa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, bhuta yadnya, dan manusa yadnya dijelaskan seperti berikut di bawah ini.
Dewa yadnya pada dasarnya merupakan persembahan suci kepada Dewa Siwa (dalam Siwatattwa disebut Bhatara Siwa – Tuhan Yang Maha Esa). Dalam masyarakat Hindu di Bali dilaksanakan menurut perhitungan wuku, wewaran, dan sasih, seperti kajeng kliwon, purnama-tilem, tumpek, buda kliwon, buda cemeng, buda umanis, anggar kasih, dan sebagainya. Sementara itu, bentuk upacaranya bisa berupa piodalan di pura atau sanggah/marajan, ngenteg linggih atau mendem padagingan, melasti, dan lain sebagainya. Di samping itu, juga dilaksanakan dalam bentuk rarahinan, seperti galungan dan kuningan, tumpek (wayang, landep, bubuh, dan kandang), pagerwesi, saraswati, siwaratri, nyepi, dan lain sebagainya (Panitiya Tujuh Belas, 1986:171; Tim Penyusun, 2002:49; Nala dan Wiratmadja, 1993:177). Artinya, upacara dewa yadnya dilaksanakan berdasarkan pada keyakinan akan adanya Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang manifestasinya dalam bentuk dewa-dewa dan dewi-dewi, bhatara-bhatari. Dalam panca sradha keyakinan ini disebut Widhi Sradha. Jadi, dewa yadnya merupakan ekspresi dari keyakinan masyarakat Hindu di Bali akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengannya orang Bali melakukan hubungan kepercayaan dan spiritual yang harmonis dan selaras dalam penghayatan dan kesadaran penuh.
Pitra atau pitara berarti leluhur atau nenek moyang (Nala dan Wiratmadja, 1993:196). Dengan demikian pitra yadnya merupakan persembahan suci yang ditujukan kepada leluhur (pitra). Dalam masyarakat Hindu di Bali biasanya dilaksanakan setelah orang tua meninggal, yaitu mulai dari upacara ngaben sampai dengan upacara mamukur. Meskipun demikian pada dasarnya pitra yadnya adalah kewajiban anak kepada orang tuanya (sutakirtya), baik sementara orang tuanya masih hidup maupun setelah orang tua meninggal dunia (Tim, 2000:170). Menurut tradisi Hindu di India upacara ngaben dilaksanakan segera setelah seseorang meninggal, namun dalam tradisi Hindu di Bali upacara ngaben dilaksanakan dengan menggunakan perhitungan waktu, yaitu sasih, wuku, wewaran, tanggal panglong, dan dauh. Upacara ngaben juga disebut upacara sawa prateka yang tujuannya adalah melepaskan atman dari unsur-unsur panca maha bhuta (Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Setelah upacara ngaben (sawa prateka) dilanjutkan dengan upacara atma wedana, yaitu ngangseng, nyekah, memukur, maligya, dan terbesar adalah ngeluwer. Perbedaan upacara ini hanya dilihat dari tingkatan besar-kecilnya upacara (utama, madya, dan nista), sedangkan makna filosofisnya sama. Puncak dari pelaksanaan upacara atma wedana adalah dewa pitra pratistha atau nuntun ngelinggihang dewa hyang, yaitu upacara men-sthana-kan roh suci leluhur di kamulan. Artinya, upacara pitra yadnya dilaksanakan berasarkan keyakinan akan adanya Tuhan yang memanifestasikan diri-Nya sebagai leluhur (siwa pitaram rupam) sehingga Beliau juga disebut Bhatara Kawitan. Keyakinan ini dalam panca sradha disebut atman sradha, yaitu keyakinan akan adanya atman, roh, dan jiwa. Ekspresi dari keyakinan ini tampak sebagai upacara keagamaan ngaben dan mamukur dalam masyarakat Hindu di Bali. Jadi, pitra yadnya merupakan ekspresi dari keyakinan akan adanya atman yang oleh masyarakat Hindu di Bali dipahami sebagai roh dan jiwa individu.
Rsi yadnya merupakan pesembahan suci kepada para rsi atau sulinggih. Termasuk dalam upacara rsi yadnya adalah upacara rsi bhojana, yaitu upacara penghormatan kepada sulinggih atau pandita dengan menyuguhkan makanan yang disajikan dengan sangat terhormat (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Upacara rsi bhojana biasanya dirangkaikan dengan upacara-upacara besar misalnya, upacara maligya baligya, karya agung di pura sad kahyangan, dan sebagainya. Di samping itu, upacara rsi yadnya juga dapat diwujudkan dalam tindakan melayani pandita, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun saat beliau memimpin upacara. Malahan mendalami kitab-kitab suci yang disusun oleh para maharsi, juga merupakan bentuk implementasi dari ajaran rsi yadnya (Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Jadi, upacara rsi yadnya merupakan ekspresi penghormatan kepada para rsi atau orang-orang suci atau guru karena jasa-jasa beliau memberikan pengetahuan dan pelayanan rohani kepada manusia.
Bhuta yadnya bermakna memelihara kesejahteraan alam. Akan tetapi dalam masyarakat sering dimaknai sebagai persembahan suci kepada makhluk-makhluk bawah atau kekuatan-kekuatan negatif dengan tujuan agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dalam tradisi Hindu di Bali upacara bhuta yadnya dilaksanakan sehari-hari misalnya, segehan dan saiban. Di samping itu, juga dilaksanakan, baik secara berkala maupun fakultatif. Secara berkala dilaksanakan berdasarkan perhitungan wuku, sasih, dan tahun dengan berbagai macam dan tingkatannya misalnya, tawur kesanga, tawur panca bali krama, tawur eka dasa ludra. Secara fakultatif misalnya, upacara caru yang dirangkaikan dengan upacara-upacara yadnya lainnya, seperti caru pengruwak karang, caru dalam kaitannya dengan membuat tempat suci, caru dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara yadnya lainnya, dan lain sebagainya. Malahan, upacara bhuta yadnya juga dilaksanakan karena berhubungan dengan suatu kejadian misalnya, caru dilaksanakan setelah seseorang menderita musibah (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52).
Manusa yadnya merupakan rangkaian upacara yang dilaksanakan sejak bayi dalam kandungan sampai menikah. Upacara manusa yadnya tergolong dalam sarira samskaran, yaitu peningkatan kualitas diri manusia. Upacara upacara bayi dalam kandungan, antara lain upacara nelubulanin (saat kandungan berumur tiga bulan), upacara pagedong-gedongan. Upacara bayi lahir sampai menikah, antara lain upacara embas rare (bayi baru lahir), upacara kepus pusar (putusnya tali pusar), upacara tutug kambuhan (bayi berumur 42 hari), upacara nyambuti (bayi berumur 105 hari), upacara ngotonin (bayi berumur 210 hari), upacara meningkat dewasa (ngeraja swala atau menek kelih), mapandes (potong gigi), dan upacara pawiwahan (pernikahan). Selain itu, dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas rohani ada beberapa upacara manusa yadnya, antara lain mawinten, mapodgala, dan madiksa. Jadi, upacara manusa yadnya merupakan ekspresi keyakinan bahwa setiap tahapan hidup manusia mempunyai makna pendewasaan dan pematangan diri menuju kesempurnaan (Nala dan Wiratmadja, 1993:196; Panitiya Tujuh Belas, 1986:170; Tim Penyusun, 2002:52). Kesempurnaan bagi manusia Bali adalah pencapaian moksa, yaitu penghentian kelahiran.
Pelaksanaan kelima jenis yadnya tersebut tidak pernah tanpa melibatkan banyak orang (masyarakat) karena kenyataannya tidak ada upacara yadnya dalam masyarakat Hindu di Bali yang dapat dilaksanakan secara normal dan sempurna tanpa melibatkan banyak orang. Di samping pemimpin upacara (pamangku dan/atau sulinggih), tukang banten, dan penyelenggara upacara yang umumnya melibatkan keluarga besar (dadia), bahkan krama banjar juga berpartisipasi dalam pelaksanaan sebuah upacara yadnya (Sukarma, 2004). Proses yang demikian itu, baik disadari maupun tidak bahwa masyarakat Hindu di Bali telah terhimpun dalam sebuah sistem dan struktur sosial yang permanen. Kelakuan berpola dalam sistem dan struktur sosial yang di dalamnya berisi nilai dan norma serta perilaku dalam perspektif sosiologi disebut pranata sosial.
Pranata sosial (social institution) menurut Triguna (1989:5) dapat diartikan sebagai kelakuan berpola (pattern of behavior) dari orang-orang Hindu dalam situasi dan kondisi kebudayaannya. Pengertian kelakuan berpola mengandung arti bahwa kelakuan yang sama akan kembali dimunculkan manakala seorang individu dihadapkan pada stimulus yang sama dalam situasi yang sama. Berlandaskan pada batasan itu menurut Triguna (1989:5) dalam komunitas Hindu ada beberapa pranata yang menonjol dilaksanakan yang disebabkan oleh ritus yang bersifat ekspresif seperti berikut.
(1) Kinship institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, seperti sistem perkawinan dan sistem pengasuhan anak.
(2) Economic institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk hidup, berproduksi dan menimbun kekayaan.
(3) Aestetic and recreation institutions, pranata ini berhubungan dengan hasrat untuk memenuhi tuntutan diri terhadap seni.
(4) Religious institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, seperti prosesi, upacara, pantangan, dan ilmu gaib.
(5) Group institutions, yaitu pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan berkelompok.
Setidak-tidaknya melalui lima pranata sosial tersebut masyarakat Hindu Bali mengekspresikan panca yadnya sebagai sistem budaya sekaligus merupakan identitas budaya Bali. Identitas budaya inilah yang berfungsi melakukan pertahanan budaya dari pengaruh kebudayaan asing dengan mengadaptasikannya ke dalam budaya Bali melalui pembangunan nlai-nilai baru dan penghacuran nilai-nilai lama secara silih berganti. Ini berarti pergeseran nilai dan norma dalam hubungannya dengan kebudayaan telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Mengingat setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi (Triguna, 2002:11). Dalam pengalihan itu terjadi proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanisme yang disebut peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modifacation) melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum (Triguna, 1999:4). Usaha penyesuaian itu ditegaskan mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan kehidupannya dengan lingkungan. Sebaliknya, manusia juga berusaha menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka. Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah maka dalam upaya pengadaptasian itu manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan secara dinamis. Jika manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya kurang relevan maka cara itu akan diganti dengan yang dianggap lebih cocok, setelah melalui mekanisme pemahaman, penafsiran, dan sosialisasi. Secara teoretis proses itu melalui tiga tahap, yakni strukturasi, destrukturasi, dan restrukturasi.
Mekanisme pemahaman, penafsiran, dan sosialisasi melalui tiga tahapan tersebut berlangsung dalam suatu interaksi sosial-budaya secara terus-menerus dalam sistem dan struktur pengetahuan yang mantap. Dalam interaksi itu melalui tahapan-tahapan (1) perilaku adaptasi yang melalui proses penyesuaian, menentukan pilihan-pilihan, dan apabila dipandang perlu melakukan penolakan atas atribut lain; (2) menentukan strategi tindakan dengan mempertimbangkan dimensi rasional, mekanisasi, dan pertimbangan kelangsungan masa depan; (3) membuat strategi adaptasi mencakup pemahaman, penafsiran, dan pembentukan tindakan khas (Triguna, 1999:4). Melalui tahapan-tahapan interaksi inilah panca yadnya sebagai sistem budaya melakukan pertahanan budaya sehingga panca yadnya mampu bertahan sebagai identitas budaya Bali dan sekaligus mampu melakukan proteksi terhadap gempuran budaya asing. Panca yadnya dalam hal ini telah mampu membangun sistem moral bagi masyarakat Hindu di Bali yang setidak-tidaknya telah menjadi filter bagi pengaruh negatif dari informasi yang masuk melalui berbagai macam jaringan. Walaupun pada kenyataannya tidak ada lembaga adat apapun yang bisa menyaring dan menghentikan informasi melalui internet misalnya, tetapi setidak-tidaknya secara mental dan moral masyarakat telah terlindungi dari pengaruh negatif informasi tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pertahanan mental dan moral merupakan strategi penting dalam melakukan adaptasi budaya dalam masyarakat multikultur, seperti di Indonesia. Dengan kata lain, panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Bali telah mampu mengantarkan masyarakat Bali dalam menyongsong masyarakat multibudaya.
Simpulan
Pada dasarnya dari uraian di atas dapat dipahami bahwa masyarakat Hindu di Bali sesungguhnya mengalami ketegangan sosio-budaya yang disebabkan oleh terbukanya pergaulan antaretnis, sosial, politik, budaya, dan agama. Dalam konteks ini pengaruh hubungan antarbudaya tidak dapat dihindari berlangsung secara intens dalam suasana aman dan nyaman. Mengingat asimilasi dan akomodaksi dalam akulturasi berlangsung dalam kondisi ideal yang menurut Gramsi disebut hegemoni dan dominasi (budaya) secara silih berganti tanpa pernah memasuki wilayah kesadaran (budaya). Kondisi demikian sedang melanda masyarakat beragama, tidak saja Hindu, melainkan semua umat beragama pada setiap bangsa dan pada setiap zaman. Ini disebabkan oleh terbukanya akses informasi yang secara langsung memasuki setiap rumah tangga tanpa pernah ada kekuatan apapun yang mampu membendungnya, selain moral. Dalam rangka inilah panca yadnya sebagai sistem budaya dan identitas budaya Bali rupanya mampu memainkan perannya dalam memberikan tatanan moral bagi praktik-praktik kehidupan dalam berbagai aspek dan skalanya. Untuk itu panca yadnya, baik sadar maupun tidak telah membangun paling sedikit lima pranata sosial penting yang berfungsi melakukan pengelolaan terhadap pengaruh kebudayaan asing. Pranata sosial ini juga menjadi identitas budaya Bali yang mampu menyamarkan pengaruh budaya asing melalui strategi adaptasi budaya yang berlangsung secara dinamis.
Mekanisme peningkatan adaptasi atau adaptasi dengan modifikasi dalam budaya Bali melalui proses pemahaman dan penafsiran ke arah tingkat abstraksi yang berlaku umum yang dilakukan dalam interaksi sosio-budaya secara terus-menerus. Berlandaskan pada spirit panca yadnya, interaksi itu berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu pertama, perilaku adaptasi yang melalui proses penyesuaian budaya asing ke dalam budaya Bali, menentukan pilihan-pilihan unsur budaya asing, dan apabila dipandang perlu melakukan penolakan atas atribut-atribut budaya asing. Kedua, menentukan strategi tindakan dengan mempertimbangkan dimensi rasional, mekanisasi, dan pertimbangan kelangsungan masa depan. Ketiga, membuat strategi adaptasi mencakup pemahaman, penafsiran, dan pembentukan tindakan khas. Dalam proses ini terjadi penghancuran unsur-unsur budaya Bali, membangunnya kembali, pemilihan unsur-unsur budaya asing disesuaikan dengan dinamika budaya Bali, dan pemantapan nilai-nilai ini berlangsung secara terus-menerus sehingga senantiasa selaras dan seimbang dalam pemenuhan kebutuhan, baik individu maupun sosial. Ini sejalan dengan salah satu dari asumsi teori fungsionalisme-struktural bahwa masyarakat selalu berada dalam keadaan keseimbangan dan keteraturan (the other and equilibrium). Walaupun dengan mengabaikan peranan sejarah dan konflik, tetapi model pertahanan budaya seperti ini telah menempatkan panca yadnya sebagai lokal genius kebudayaan Bali dan sekaligus memberikan pemahaman tentang praktik-praktik sosial yang berlandaskan pada paham masyarakat multibudaya.
Daftar Bacaan
Adian, Donny Gahral, 2002, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra.
Astra, I Gde, Semadi, Aron Meko Mbete, Ida Bagus Puja Astawa, I Nyoman Darma Putra, 2003, Guratan Budaya dalam Perspektif Multi Kultural, Denpasar : Kerja sama Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, dan CV Bali Media.
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.
Bosch, FDK, 1983, Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia, Jakarta: Bhratara.
Geria, I Wayan, 2000, Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Denpasar: Percetakan Bali.
Hendro Puspito, 1986, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Koentjaraningrat, 1986, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI-Pres
Kusumohamidjojo, Budiono, 2000, Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT. Grasindo.
Mukti Ali,1998, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Nala, I Gusti Ngurah dan I.G.K. Adia Wiratmadja, 1993, Murddha Agama Hindu, Denpasar: Upada Sastra.
Noerhadi Magetsari,1986, Local Genius Dalam Kehidupan Beragama, dalam Kepribadian Budaya Bangsa, Jakarta: Pustaka Jaya.
Panitya Tujuh Belas, 1986, Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan, Jakarta: Yayasan Mertha Sari.
Sukarma, I Wayan, 2004, Tesis: “Humanisme Dalam Brahmavidya dan Tradisi Hindu di Bali”, Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.
_________, 2004, Dasar-dasar Moralitas Dalam Bhagavadgitha (Jurnal: Dharmasmrti, Oktober 2004), Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.
_________, 2004, Spirit Manusa Yadnya Dalam Membangun Suputra (Jurnal: Dharmasmrti, April 2004), Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.
Takwin, Bagus, 2001, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta: Jalasutra.
Tim, 2000, Panca Yadnya, Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama Propinsi Bali.
Triguna, IBG Yudha, 1999, “Strategi Adaptasi Budaya” (Modul Teori Adaptasi Budaya), Jakarta: Dikdasmen.
_________, 1989, Makalah: “Sosiologi Hindu Dharma”, Denpasar: UNHI.
________,.2002. “Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi dalam Menghadapi Era Globalisasi” (Makalah Dialog Budaya Regional, 28-29 Oktober). Yogyakarta: Direktorat Tradisi dan Kepercayaan.
________,2002. Hindu dan Modernitas: Refleksi Sosiologi Agama terhadap Fenomena Spiritualitas. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Sosiologi Agama. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
________,2002. Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan Bali dalam Dinamika Multikultural (Makalah). Denpasar: Balai Kajian.
Wesnawa, Ida Bagus Putu, 2004, Revitalisasi Kebudayaan Hindu Untuk Ketahanan Masyarakat Bali, Denpasar: Sekretariat DPRD Bali.
* Penulis adalah pengajar di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar.