REINKARNASI
Wacana Surga-Bumi-Neraka
I Wayan Suka Yasa
Abstrak
Keyakinan
manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari sejarah yang tertulis. Bagi
orang suci Hindu, reinkarnasi itu disebabkan oleh perbuatan kita masing-masing.
Perbuatan pasti berpahala. Oleh karena itu, perbuatan adalah akar nasib kita. Perbuatan baik berpahala surga. Sebaliknya
perbuatan buruk berpahala neraka, baik dalam arti filosofis atau pun teologis.
Pahala perbuatan yang telah habis dinikmati meninggalkan bekas. Bekas pahala
perbuatan inilah yang menjadi benih karakter dasar kita. Bagi mereka yang
sadar, kelahiran kembali ke dunia ini sesungguhnya adalah proses penyempurnaan
diri, yaitu belajar mengembangkan karakter baik dengan berbuat bajik. Dan
perbuatan bajik akan mengantarkan kita mencapai kesempurnaan hakiki, apabila
kita dapat membebaskan diri dari pahala kerja dengan prinsip niskama karma, yaitu bekerja tanpa
pamrih atau bekarja dengan penuh kasih atas nama dan demi Tuhan.
Kata
KUnci: Reinkarnasi dan Surga-Bumi-Neraka
Prawacana
Menurut Paul Roland (2013: 15) ada bukti fisik yang kuat bahwa
keyakinan manusia pada reinkarnasi mungkin lebih tua dari sejarah yang
tertulis. Lebih dari 12.000 tahun lalu, suku-suku Zaman Batu biasa mengubur
orang mati dalam posisi seperti bayi dalam kandungan bersama barang pribadinya
sebagai antisipasi bagi kelahiran kembali mereka di dunia selanjutnya. Bahkan
penemuan paling awal, mereka yang disebut orang “primitif” di daerah terpencil
Afrika, Asia, Australia, dan Amerika telah mengenal lingkaran kematian dan
kelahiran kembali dalam seni, ritual, dan adat mereka. Hal tersebut dinyatakan
dengan kultus animisme, gagasan bahwa semua bentuk kehidupan, dari tumbuhan
hingga manusia dijiwai oleh daya hidup universal. Keyakinan ini menjadi lebih
formal dengan berdirinya peradaban pertama di Mesopotamia dan Mesir Kuno
sekitar tahun 3300 Sebelum Masehi.
Dinyatakan pula bahwa bangsa Yunani Kuno sangat serius
dalam memandang pertanyaan mengenai kehidupan setelah kematian. Pyithagoras,
ahli matematika dan kebatinan Yunani yang hidup pada abag ke-6 SM, menyatakan
bahwa ia telah berkali-kali hidup, termasuk menjadi kesatria dalam perang
Troya, nabi, petani, pedagang, dan bahkan ia pernah lahir sebagai perempuan
pelacur. Plato (427-347SM), seorang pemikir Yunani yang legendaris, melukiskan
keyakinannya tentang reinkarnasi dalam bukunya: Phaedrus, jiwa dapat mencapai kesempurnaan melalui suatu proses
pemurnian atau kelahiran kembali. Bahwa yang terendah dari tahap kelahiran adalah sebagai tiran dan pencuri. Sedangkan
ia yang menjalani hidup dengan baik secara perlahan-lahan terangkat ke tingkat
yang lebih tinggi. Pada peringkat selanjutnya berturut-turut orang lahir
sebagai atlit atau tabib; lalu lahir kembali menjadi para politikus dan para sarjana; penguasa
yang arif dan kesatria. Akhirnya jiwa yang tercerahkan mungkin dilahirkan
kembali ke dalam tubuh seorang filsuf, seniman atau seorang ahli estetika
sebelum kembali kepada kematian menuju padang kebahagiaan yang kekal.
Pernyataan Plato tersebut mengingatkan kita akan konsep catur warna, yaitu empat golongan
masyarakat menurut karakter dan pekerjaan profesional mereka dalam tradisi
religius Hindu. Lalu bagaimanakah teks dan orang suci Hindu mewacanakan
reinkarnasi?
Wacana
I.
Reinkarnasi
Reinkarnasi dalam bahasa Sanskerta dikenal dengan istilah punarbhàwa. Istilah tersebut terdiri
atas dua kata, yaitu punar ‘lagi’ dan
bhàwa ‘wujud, bentuk’. Punarbhàwa berarti berbentuk lagi atau
mengambil wujud kembali. Dalam arti umum, punarbhàwa
berarti menitis berulang kali ke dunia. Sri Kåûóa (Bhagawadgita, II:27;) berkata: Jàtasya
hi dhruwo måtyur dhruwaý janma måtasya ca ...‘Apa yang lahir kematian
adalah pasti, dan sebaliknya, bagi yang mati kelahiran adalah pasti’. Awyaktàdini bhùtani wyaktamadhyàni bhàrata
awyaktanidhanàny ewa...‘Segala ciptaan ini pada mulanya tidak berwujud;
Setelah lahir dia berwujud; dan pada akhirnya kembali tidak berwujud kembali’.
Sebagai seorang awatara ‘penjelmaan
Tuhan’, demi melindungi darma, Kåûóa (Bhagawadgita
IV:5) menyatakan diri-Nya telah lahir berulang kali ke dunia. Katanya kepada Arjuna:
Bahùni me wyantìtàni janmàni tawa
càr’juna
Tàny ahaý weda sarwàni na twaý
wtha paraýtapa.
‘Banyak
kehidupan yang telah-Ku jalani demikian pula kau Arjuna.
Semua
kalahiran itu Aku ketahui. Akan tetapi, hai Arjuna, engkau tidak
mengetahuinya’.
Kelahiran Tuhan
disebut ngawatara, yaitu lahir
kembali atas kehendak-Nya untuk menegakkan darma. Sebaliknya, kelahiran makhluk
disebut punarbhàwa, yaitu kelahiran
karena keterikatan pada berbagai kesan objek duniawi. Kesan-kesan objek duniawi
itulah yang membelenggu roh seseorang sehingga ia kehilangan kesadaran
murninya. Kehilangan kesadaran murni berarti mengalami kealpaan. Oleh karena
itu, orang, seperti halnya Arjuna, tidak dapat menyadari kelahirannya yang
sesungguhnya telah berlangsung berulang kali.
Dikatakan bahwa akibat dari keterikatan pada pahala
perbuatan di masa lalu itulah yang membawa roh seseorang menitis kembali ke
dunia. Wasana ‘kesan pahala
perbuatan’ di masa lalu itulah yang menjadi benih karakter seseorang pada
kelahiran kini. Sri Narayana (1991:51) mengatakan ada tiga jenis wasana,
yaitu (1) wasana keduniawian membuat
manusia menginginkan kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan kemegahan; (2) wasana kecendikiawanan mendorong manusia
sehingga ingin terkenal sebagai ahli yang tiada bandingannya dan ingin agar
setiap saingan dalam bidangnya terkalahkan; dan (3) wasana jasmani, yaitu kecenderungan jasmani membuat manusia
menginginkan badan yang indah, kuat, kokoh, kulit mulus dan tak pernah cacat
oleh kerut-merut serta mengeras. Ketiga wasana
itu membelenggu kita pada roda samsara
dan menambatkan pada dunia ini.
Selama orang belum memiliki kesadaran murni selama itu
pula orang akan terikat oleh hukum punarbhàwa.
Segala yang lahir kematian adalah pasti dan segala yang mengalami kematian,
selama belum mempunyai kesadaran murni, pasti pula lahir kembali. Demikianlah
hukum bagi setiap yang lahir dan itulah siklus hidup. Hidup berulang dalam
siklus lahir hidup mati sesungguhnya adalah hidup yang sengsara atau hidup
dalam penderitaan. Oleh karena itu, punarbhàwa
juga disebut dengan istilah samsara.
Bagaimanakah asal-usulnya, maka segala makhluk mengalami punarbhàwa? Dalam lontar Tattwa
Jñàna, asal mula punarbhàwa itu
dijelaskan sebagai berikut.
Ri pamanggih ikang Pradhàna lawan
Puruûa ika ta yan pànak citta lawan guóa. Citta ngaran ganal ning Puruûa. Guóa
ngaranya dadi ning Pradhàna [....] Guóa tiga
prabhedanya, mapalenan lwirnya, satwa, rajah, tamah, yeka sinangguh triguóa [....] Ikang satwa, rajah, tamah rumakêt irikang
citta, yeka nimitta ning àtma patêmah-têmahan.
‘Akibat
pertemuan Pradhàna ‘benih wujud;
benih gen’ dengan Puruûa ‘roh’
lahirlah citta ‘pikiran’ dan guóa ‘gen atau sifat’. Pikiran adalah
wujud kasar dari roh. Sebaliknya, sifat adalah wujud kasar dari benih materi. Guóa itu dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu satwa, rajah, dan tamah. Tiga
sifat itu disebut triguóa. Melekatnya
satwa, rajah, dan tamah itu pada citta ‘pikiran’ itulah yang menjadi sebab àtma ‘roh’ itu mengalami penjelmaan berulang kali’.
Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa penyebab orang
mengalami punarbhàwa adalah karena citta ‘pikirannya’ telah menyelubungi triguóa. Oleh karena itu, Wiwekananda (1991:12) mengatakan, bahwa
dalam diri setiap orang terkandung triguóa
‘tiga partikel’, yaitu guóa satwam
‘gen yang bersifat terang, keseimbangan’, rajas
‘gen yang bersifat aktif’, dan tamas
‘gen yang bersifat gelap, malas’. Satu waktu guóa tamas mempengaruhi
diri seseorang, maka dia menjadi malas. Pikirannya tumpul, tidak bersemangat,
dan terikat oleh berbagai pikiran lemah; Lain waktu guóa rajas yang muncul,
maka dia aktif dan penuh gagasan; Dan ada pula kalanya guóa satwam yang muncul,
maka dia menjadi demikian tenang dan berperilaku penuh pertimbangan.
Demikianlah ketiga guóa itu mempengaruhi
sehingga perilaku orang berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Dominannya kesan salah satu guóa itu dalam diri seseorang dengan sendirinya guóa itu pula yang menjadi kekhasan yoni ‘karakternya’. Wiwekananda
(1991:36) mengatakan bahwa apa adanya kita sekarang ini ditentukan oleh samskara ‘bekas-bekas perbuatan, ucapan,
dan pikiran’ kita yang lampau. Kesan-kesan dominan itulah yang kemudian menjadi
watak bawaan. Bahwa ada orang berwatak lembam, tidak bersemangat, pikirannya
buntu, dan malas; Yang lain lagi berwatak keras, kasar, kaku, banyak kinginan,
menggebu-gebu, dan tidak fokus dalam bekerja; Sebaliknya, ada pula orang yang
berwatak sabar, sopan, berwawasan luas, terampil dan fokus dalam bekerja. Atas
dasar dominan pengaruh masing-masing guóa
itu pada diri manusia, maka yoni
‘karakter’ orang pun dikelompokkan atas tiga jenis: (1) yoni buddhi satwa, yaitu orang berkarakter dewa dengan ciri-ciri
keluhuran, antara lain: beriman, gemar belajar, berani berkurban, penyayang,
sabar, sopan santun, suka keindahan; (2) yoni
buddhi rajah, yaitu orang berkarakter raksasa dengan ciri-ciri keegoisan,
antara lain: agresif, pemarah, suka mengumbar nafsu seks, loba, sirik, dan haus
kuasa; dan (3) yoni buddhi tamah,
yaitu orang berkarakter binatang dengan ciri-ciri kebinatangan, antara lain:
berpikiran tumpul, pemalas, uring-uringan, gemar makan makanan busuk, suka
mabuk-mabukan, dan suka bikin keonaran.
Dalam Bhagawadgita
(XVI:3-4) karakter orang dibedakan menjadi dua: (1) karakter dewai sampad, yaitu karakter buddhi satwa. Ciri-ciri adalah
berkarakter dewa: kuat pendirian, suka memaafkan, tawakal, suci, tidak
membenci, dan tidak sombong. Sebaliknya, (2) karakter asuri sampad, yaitu karaketer buddhi
rajah dan tamah. Ciri-cirinya
adalah berkarakter raksasa: tekebur, sombong, suka membangga-banggakan diri,
pemarah, dan bodoh.
Dijelaskan pula bahwa orang yang gemar memupuk karakter dewai sampad akan menjadi orang yang
berbudi luhur dan cenderung semakin meluhurkan dirinya. Oleh karena itu, ia
mendapat badan yang lebih luhur dan sampai akhirnya ia mencapai kelepasan.
Sebaliknya, orang yang suka memupuk karakter asuri sampad, yaitu suka
melalaikan kewajiban dan gemar memupuk segala sifat yang buruk akan mengalami
kemerosotan moral dan menjadi semakin tidak berdaya oleh sifat buruknya. Maka,
dalam kelahiran berikutnya ia mendapat badan yang kurang berkualitas. Demikian
seterusnya, ia menjadi semakin terjebak pula dalam berbagai jenis penderitaan (Bhagawadgita, XVI:5-6). Maka Mpu Kanwa (Arjuna Wiwàha, 12:5) bersyair tentang
perilaku orang yang berkarakter asuri
sampad:
Hana mara janma tan papihutang
brata yoga tapa,
Angêtul aminta wàrya sukha ning
widhi sahasika,
Binalikakên purih nika lêwih
tinêmunya lara,
Sinakitan ing rajah tamah
inaóðêhan ing prihari.
‘Ada
orang yang tidak berpiutang brata, tapa, dan yoga.
Tak
tahu malu minta keberuntungan, perkenan Tuhan dengan memaksa.
Dibalikkanlah
keadaannya, berlipat gandalah ia mendapat derita.
Karena
disakiti oleh ego dan kemalasannya, maka ia semakin tertindih kesedihan’.
Begitulah sifat orang yang berkarakter asura ‘raksasa’. Guóa rajah dan tamah yang menjadikannya suka memaksakan
kehendak. Ia suka memohon tanpa didasari oleh tapa-brata ‘usaha keras
menurut darma sendiri’ dan yoga
‘bakti kepada Tuhan’. Oleh karena itu, ia semakin ditindih oleh penderitaan. Ia
menderita, bukan karena Kehendak Tuhan, tetapi karena dideritakan oleh rajah-tamah ‘sifat buruknya sendiri’.
Agar tidak jatuh menderita, Mpu Kanwa (Arjuna
Wiwàha, 12:6) menyarankan jalan karma
yoga lewat syairnya:
Kadi hana pùrwakarma dinalih sang
akarya hayu,
Ulah apagêh magêgwana rasàgama
buddhi têpêt,
Ya juga sudhìra munggu ri manah
nira sang nipuóa,
Karaóa nikang sukhàbhyudaya
niûkala yan katêmu.
‘Contoh,
adalah ajaran purbakarma yang
ditanggap oleh orang arif.
Perilaku
yang teguh berpegang pada rasa, agama dan buddhi yang tepat.
Hanya
itulah yang sungguh-sungguh kuat ada dalam pikiran orang arif.
Maka,
ia memperoleh bahagia lahir batin, bila itu ketemu’.
Dengan syair itu Mpu Kanwa menandaskan pentingnya arti karma ‘perbuatan’. Karma haruslah dijadikan yoga
‘jalan’ untuk mencapai sukhàbyudaya-niûkala
‘kebahagiaan lahir-batin’. Agar karma
menjadi yoga, orang harus (1)
mencerdaskan perasaannya supaya menjadi rasa
‘daya rasa’; (2) mencerdaskan daya pikirannya supaya menjadi buddhi têpêt ‘daya budi’; dan (3)
melatih perilakunya supaya menjadi àgama
‘perilaku bermoral’. Tanda orang arif adalah daya rasa, daya budi, dan perilaku
bermoral, telah menjadi bersinerji menjad daya hidupnya, maka ia berhasil
memperoleh kebahagiaan. Mpu Kanwa (Arjuna
Wiwàha, 12:7) kembali menegaskan pendiriannya:
Syapa kari tan têmung hayu
masàdhana sarwa hayu,
Nyata katêmwaning hala masàdhana
sarwa hala,
Têwas alisuh manangúaya purakrêta
tàpa tinùt,
Sakaharêpan kasiddha maka darúana
Paóðusuta.
‘Siapakah
ia yang tidak memperoleh kebahagian bila telah bersaranakan segala yang bajik?
Dia
pasti memperoleh duka karena bersaranakan segala yang tidak baik.
Bahayalah
bagi orang yang menyangsikan ajaran karma.
Lalu apakah yang patut dipedomani lagi?
Maka,
segala cita-cita baik dapat tercapai dengan mencontoh perilaku bajik Arjuna’.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa, faktor utama yang
menyebabkan orang mengalami penderitaan dan tumimbal lahir adalah karena
perilakunya. Perilaku seseorang semata-mata ditentukan oleh pikirannya.
Dikatakan bahwa yad bhàwam tad bhawati
‘bagaimana berpikir demikianlah ia menjadi’. Mpu Kanwa (Arjuna Wiwàha, 7:2) mengatakan sakatilingan
ing ambêk tan wirthan dadi kapitùt ‘apa yang menjadi fokus pikiran, tidak
bisa tidak, pasti itu diperoleh’. Maka, dalam lontar Wåhaspati (16) dijelaskan:
Ikang citta hetu nikang àtmà an
pamukti swargga, citta hetu ning àtmà tibeng naraka, citta hetu nimittanyan
pangdadi triyak, citta hetunyan pangjanma manusa, citta hetunyan pamanggihakên
kamokûan mwang kalêpasan.
‘Pikiran
itulah yang menyebabkan roh menikmati surga; pikiran yang menyebabkan roh jatuh
ke neraka; pikiran yang menyebabkan roh menjelma menjadi binatang; pikiran yang
menyebabkan roh menjelma menjadi manusia; dan pikiran pula yang menyebabkan roh
mencapai kebahagiaan dan kelepasan’.
II.
Swarga - Bhumi - Naraka
Swarga ‘surga’ sesungguhnya
adalah tujuan sementara yang ingin dicapai oleh orang yang berbuat bajik.
Secara filosofis surga adalah keadaan suka atau senang yang sedang dinikmati
oleh seseorang. Keadaan suka itu tidaklah bersifat langgeng. Karena di balik
suka ada duka. Keadaan duka itulah yang disebut naraka ‘neraka’. Suka adalah pahala perbuatan bajik. Sebaliknya,
duka adalah pahala perbuatan buruk.
Lalu, apa hubungannya dengan nasib? Ada orang bernasib
baik atau sebaliknya banyak pula ada orang bernasib buruk? Bhagawan Wararuci (Úaracamuúcaya: 498-199) menjelaskan:
Tar kêna sininggahan ikang sukha
duhka ngaranya pangawaúan ing widhiwaúa, kàraóa ning sarwabhàwàn panêmu sukha
duhka. Ikang widhi ngaranika, pùrwakarma tinutnya, sêngkêrnya ikang pùrwakarma
niyatanya, jàtinya ikang pakàwak hala, lawan hayu,...
‘Suka-duka
itu sungguh tak dapat kita hindari, karena itu adalah pengawasan atas kuasa widhi. Widhi itulah sebab, maka segala makhluk mengalami suka-duka. Yang
disebut widhi adalah purwakarma ‘perbuatan terdahulu’. Itulah
yang diikuti (berakibat suka dan duka). Jika telah sampai batas waktunya
memetik buah perbuatannya terdahulu (di Surga atau Neraka), maka menitislah ia,
entah dalam wujud dan karakter baik atau buruk.
Untuk lebih memperjelas pemahaman kita, Wiwekananda (1991:37) telah menerangkannya dengan sangat
baik. Inti wacananya ialah, bahwa watak bawaan setiap orang itu ditentukan oleh
jumlah keseluruhan dari bekas-bekas perbuatan, ucapan, dan pikirannya di masa
sebelumnya. Bila kesan-kesan itu banyak yang baik, maka orang itu menjadi
berwatak baik. Sebaliknya, jikalau banyak kesan jahatnya, maka orang itu
menjadi bertabiat jahat. Jika orang terus-menerus mendengarkan hal-hal yang
buruk, memikirkan tentang kejahatan, dan melakukan perbuatan-perbuatan jahat,
maka pikiranya penuh dengan kesan-kesan jahat. Kesan-kesan yang demikian, tanpa
disadarinya, menjadi sangat mempengaruhi pikiran, perkataan, dan perbuatannya.
Nyatalah bahwa kesan-kesan buruk itu terus bekarja dan akibatnya pastilah
buruk. Orang yang berbuat demikian kemudian dikenal sebagai orang jahat, dan ia
sendiri dibuat menjadi semakin tidak berdaya oleh kesan-kesan perbuatan
jahatnya. Jumlah keseluruhan dari kesen-kesan itu dengan sendirinya menciptakan
motif yang kuat untuk mendorong yang bersangkutan melakukan kejahatan. Artinya,
dirinya sendiri telah menjadi mesin yang dikendalikan dan dipaksa oleh
kesan-kesan hidupnya sendiri untuk terus melakukan perbuatan jahat. Demikian
pula sebaliknya, apabila orang selalu memikirkan dan mengerjakan hal-hal yang
baik, maka seluruh memorinya dipenuhi oleh kesan-kesan kebaikan. Kesan-kesan
itu dengan sendirinya pula mengendalikannya untuk selalu mengusahakan
kebajikan. Dengan kata lain, apabila orang itu telah melakukan sekian banyak
kebajikan, baik dalam pikiran, perkataan, maupun dalam tindakannya, maka timbullah
kekuatan besar untuk selalu berbuat bajik, sekalipun ia dicela dan diarahkan
agar mau berbuat buruk. Akan tetapi, karena pikirannya telah terpenuhi oleh
kesan-kesan baik, maka ia tidak diijinkan oleh pikirannya sendiri untuk berbuat
buruk atau segera disadarkan oleh batinnya sendiri untuk tidak bertindak buruk.
Jadi, kesan-kesan baiknya sendiri menariknya untuk kembali pada kebaikan.
Demikianlah kesan-kesan baik dan buruk itu berperan membentuk watak seseorang.
Duryodana adalah anak yang memiliki gen buruk yang
bersambut dengan ego (sifat iri, munafik, kikir, dan haus kuasa) orang tuanya,
Dristharastra. Sejak kecil ia lekat dan diasuh oleh Sakuni, pamannya yang
berwatak jahat. Akibat pengaruh pergaulannya dengan pamannya itu, terpupuklah
gen buruk Duryodana. Oleh karena itu, ia menjadi gemar dan bangga dengan
perilaku jahatnya. Dalam perjalanan waktu, walaupun ia telah dinasehati
berulang kali dengan berbagai cara oleh para sesepuh kerajaan Hastina, seperti
Bhisma, Kripa, Gandari, Widura, dan Drona, watak dan perilaku Duryadana toh
tetap buruk, malahan semakin menjadi keras kepala. Oleh sebab kelakuan buruknya
yang telah sekian banyak menumpuk, maka ketika perang Bharata berlangsung ia
tidak dapat menolak nasib buruknya. Betapa sedihnya ia menyaksikan sahabat dan
saudara-saudaranya (yang semula dikiranya akan menyebabkan pihaknya menang
perang dan digjaya sebagai penguasa Hastina) berguguran di medan perang Kuru.
Dan pada akhir perang Duryodana pun dibuat demikian menderita oleh nasibnya.
Sebelum mati, ia menjadi demikian menderita menahan rasa sakit dan marah.
Betapa tidak, pahanya yang terkutuk itu remuk bersimbah darah, hancur digodam gada Bhima, musuh bebuyutan yang
sering diolok-oloknya sejak kecil. Dan sedihnya, dalam keadaan terkapar
bersimbah darah seperti itu, ia ditinggal pergi begitu saja oleh keluarganya,
Paóðawa dan Sri Kåûóa.
Demikian sebaliknya, Yudiûþhira, putra sulung Kunti. Ia
adalah titisan Dewa Dharma. Lalu karena sejak kecil menerima bimbingan para
tetua Astina dan guru-gurunya yang arif, ia menjadi berwatak baik. Suatu
ketika, pada waktu perang Bharata, Yudiûþhira dihadapkan pada situasi sulit.
Drona tidak dapat ditundukkan dengan senjata sakti sekalipun kecuali dengan
tipudaya. Maka, untuk dapat mengalahkannya, Sri Kåûóa, penasehat politik
Paóðawa, mendesak Yudiûþhira agar mau berkata bohong dengan mengatakan Aswatama
telah mati (yang sebenarnya belum mati). Walaupun didesak dengan berbagai
pertimbangan logis politik perang, Yudiûþhira tetap tidak mau dan tidak mampu
berkata bohong. Demikianlah kekuatan kesan baik itu jika telah membatin dalam
diri seseorang.
Secara teologis, pahala perbuatan baik atau buruk itu,
tidak saja dinikmati di dunia ini, tetapi di alam roh setelah orang meninggal
dunia. Alam roh itu ada tiga: Swarga,
Neraka, dan Mokûa. Jika di Mrêtyuloka
‘bumi’ ini adalah tempat orang ber-karma dan
menikmati wasana ‘nasib’ baik atau
buruk akibat purwakarma ‘perbuatannya
di masa lalu’, maka di Swargaloka, Narakaloka, dan Mokûaloka adalah tempat sang roh menikmati pahala perbuatan yang
dilakukannya di dunia. Dalam lontar Tattwa
Jñàna dikatakan bahwa bhùwana agung ‘alam semesta’ memiliki 14 (empat
belas) alam. Tujuh alam atas disebut saptaloka,
berturut-turut ke atas yaitu Bhurloka
‘bumi’, Bhwahloka ‘antariksa’, Swahloka ‘surga Dewa Indra’ Mahaloka ‘alam rohani Dewa Rudra’, Janaloka ‘alam rohani Dewa Wiûóu’ Tapaloka ‘alam rohani Dewa Brahma’ dan Satyaloka ‘alam rohani Dewa Úiwa’.
Bhurloka ‘bumi’ dipandang sebagai
tempat orang ber-karma, berbuat baik
atau buruk, dan tempat menikmati nasib akibat perbuatan masa lalu; Bhwahloka adalah antariksa, alam yang
dicapai segera setelah orang meninggal dunia. Di alam ini ia menerima keputusan
pengadilan rohani apakah ia menerima hukuman atau ganjaran atas segala
perbuatannya di dunia; Swahloka diyakini
sebagai surga, yakni tempat roh menerima ganjaran perbuatan bajiknya; Mahàloka, Janaloka, Tapaloka, dan Satyaloka
adalah alam mokûa atau kelepasan,
yakni alam bagi roh orang yang telah berhasil membebaskan diri dari hukum karmaphala: bebas dari pahala perbuatan
baik atau buruk (lihat Avalon’s, 1997:22). Sebaliknya, tujuh alam
berturut-turut ke bawah disebut saptapatala,
yaitu Patala, Waitala, Nitala, Mahàtala,
Sutala, Talatala, dan Rasatala.
Di dasar saptapatala berkobar-kobalah
api Naraka yang disebut Kalàgni Rudra. Tujuh alam bawah inilah
yang diyakini sebagai Naraka, yaitu
tempat roh menerima siksa akibat perbuatan buruknya di dunia.
Dalam kitab Swarga
Rohanika Parwa dikisahkan bahwa Yudiûþhira setelah mendengar berita bahwa
Sri Kåûóa telah kembali ke alam rohani-Nya, segera sadar bahwa telah tiba
waktunya untuk meninggalkan hidup duniawi. Setelah menobatkan Parikesit sebagai
raja Astina, ia mengajak adik-adik dan permaisurinya untuk melakukan perjalanan
suci untuk menyambut kematian. Dalam perjalanan menyusuri pegunungan Himalaya,
satu persatu, Drupadi, Nakula, Sahadewa, Arjuna, dan Bhima jatuh meninggal.
Yudiûþhira tidak peduli. Ia terus berjalan dengan pandangan lurus terpusat ke
depan. Tiba di suatu tempat, ia dijemput oleh penguasa Surga untuk diajak masuk
Surga.
Setibanya di Surga dilihatlah Duryadana menikmati
kemegahan surgawi. Yudiûþhira heran dan berpikir: “Mengapa para penjahat itu
dapat masuk Surga? Dimanakah adik-adikku dan para sahabatku?” Dewa Indra
merasakan ketidaknyamanan hati Yudiûþhira. Walaupun begitu Indra tetap
menyarankan agar Yudiûþhira sudi bergabung untuk menikmati kemewahan surgawi.
Yudiûþhira menolak. Ia hanya mau menikmati kemewahan Surga hanya jika bersama
leluhur, kerabat setia, saudara, istri, dan anak-anaknya yang telah meninggal.
Untuk itu, ia memohon kepada Indra agar diantar ke tempat di mana adik-adik,
istri, dan kerabatnya kini berada.
Karena Yudiûþhira bersikeras, diantarlah ia ke suatu
tempat melalui lorong yang gelap, pengap, dan mengerikan. Tiba di suatu tempat,
terdengarlah teriakan kerabatnya memanggil-manggil dengan suara yang memilukan.
Mereka mengelu-ngelukan nama Yudiûþhira agar segera menolongnya. Singkat
cerita, ketika Yudiûþhira menginjakan kaki di tempat dari mana suara-suara
sedih itu datang terjadilah keajaiban. Tempat yang semula gelap dan menjijikkan
itu mendadak sontak menjadi Surga, terang dengan segala kemewahan surgawi.
Demikian sebaliknya, Surga di mana Duyadana bersama kerabatnya mendadak sontak
menjadi Neraka.
Dari cerita perjalanan Yudiûþhira ke alam rohani itu kita
mendapat pelajaran, bahwa bagaimana pun culasnya Duryadana dan kerabatnya,
sekali waktu pernah juga berbuat baik. Demikian sebaliknya, bagaimana pun
bajiknya perbuatan Paóðawa beserta kerabatnya, sekali waktu pernah pula berbuat
buruk. Kedua pahala perbuatan itu, mau tidak mau, harus diterima. Bagi yang
lebih sedikit karma baiknya, terlebih
dahulu menerima pahala perbuatannya di Surga. Setelah itu ia harus menerima
pahala perbuatan buruknya di Neraka.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pahala
perbuatan yang telah dinikmati itu meninggalkan wasana ‘kesan-kesan’. Kesan-kesan dominan inilah yang menjadi gen
atau karakter dasar. Nah, yang lahir dengan membawa kesan buruk dominan
dikatakan sebagai kelahiran asuri sampad,
yaitu roh yang lahir dari alam asura
‘raksasa’ atau Naraka.
Demikian sebaliknya, ia yang lebih sedikit perbuatan
buruknya, seperti yang dikisahkan dalam kitab Swarga Rohanika Parwa, terlebih dahulu memetik buah perbuatannya di
Neraka. Selanjutnya, setelah selesai waktu menerima siksa Neraka, barulah sang
roh memetik buah karma baiknya di
Surga. Kesan-kesan pahala perbuatan baiknya yang dominan ini menjadi gen
karakternya ketika ia lahir lagi ke dunia. Kelahiran dengan gen baik disebut
kelahiran dewai sampad ‘kelahiran
dengan gen kedewataan’.
Lahir kembali ke
dunia sebagai manusia sesungguhnya merupakan kesempatan emas. Karena hanya
dengan tubuh manusia, sang jiwa dapat menolong dirinya sendiri dengan berbuat
bajik. Berbuat bajik berarti berusaha merubah nasib. Maka, Bhagawan Wararuci
(Úaracamuúcaya, 4) menyatakan:
Apan iking dadi wwang, uttama
juga ya, nimitta ning mangkana, wênang ya tumulung awaknya sangkeng sangsàra,
makasàdhanang úubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang.
‘Menjelma
menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama. Dikatakan demikian, karena
dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan sengsara dengan berbuat bajik.
Demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia’.
Perbuatan bajik
akan menjadikan kita mencapai kelepasan apabila dapat meningkatkan kualitas úubhakarma ‘perbuatan bajik yang masih
mengharapkan pahala’ menjadi niskama
karma ‘perbuatan bajik yang sepi dengan pamerih’. Hanya niskama karma yang dapat mengantarkan
orang mencapai mokûa. Maka Sri Kåûóa
(Bhagawadgita, II:49,48) berulangkali berseru:
Dùreóa hy awaraý karna
buddhiyogàd Dhanaýjaya
Buddhau úaraóam anwiccha kåpaóàá
phalàhetawaá.
‘Pekerjaan
yang dilakukan dengan keinginan jauh lebih rendah daripada melaksanakannya
dengan kebijaksanaan, yaitu bekerja dengan tidak terganggu oleh pikiran akan
hasilnya. O Arjuna, bertindaklah dengan bijaksana. Celakalah mereka yang
melaksanakan perbuatan dengan mengikatkan diri pada hasilnya’.
Yogaûþhaá kuru karmàói sanggaý
tyaktwà Dhana÷jaya
Siddhyasiddhyoá samo bhùtwà
samatwam yoga ucyate
‘Pusatkan
pikiran dalam yoga. Lakukan kewajibanmu O Arjuna. Bebaskan dirimu dari
keterikatan dengan pikiran yang sama dalam sukses dan kegagalan. Karena, yoga
itu adalah keseimbangan pikiran’.
Sanwacana
Bagi orang suci Hindu, kelahiran
berulang kali itu disebabkan oleh perbuatan kita masing-masing. Perbuatan pasti
berpahala. Oleh karena itu, perbuatan adalah akar nasib kita. Perbuatan baik
berpahala surga. Sebaliknya perbuatan buruk berpahala neraka, baik dalam arti
filosofis atau pun teologis. Pahala perbuatan yang telah habis dinikmati
meninggalkan bekas. Bekas pahala perbuatan inilah yang menjadi benih karakter
dasar kita. Bagi mereka yang sadar, kelahiran kembali ke dunia ini sesungguhnya
adalah proses penyempurnaan diri, yaitu belajar mengembangkan karakter baik
dengan berbuat bajik. Dan perbuatan bajik akan mengantarkan kita mencapai
kesempurnaan hakiki, apabila kita dapat membebaskan diri dari pahala kerja
dengan prinsip niskama karma, yaitu
bekerja tanpa pamrih atau bekarja dengan penuh kasih atas nama dan demi Tuhan.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Avalon’s, Arthur.1997. Mahànirwàna
Tantra. Denpasar: Upada Sastra.
Kadjeng, I Nyoman dkk. Úaracamuúcaya.
Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali.
Mantra, Ida Bagus. Tt. Bhagawad
Gita Alih Bahasa dan Penjelasan. Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali.
Narayana, Sri Sathya. 1991. Meditasi. Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai.
----,1996. Intisari
Bhagawad Gita. Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.
Roland, Paul. 2013. Reinkarnasi.
Tangerang Selatan: Karisma Publishing Group.
Sura, I Gede. 1990. Sumber
Acuan Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Departemen Pendidikan Agama Hindu.
Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjuna Wiwàha. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
Yasa, I Wayan Suka. 2007. Brahma Widya: Teks Tattwa Jñàna. Denpasar: Lemlit Universitas Hindu
Indonesia.
----------.2010. Rasa
Daya Estetik Religius Geguritan Sicita. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia.
Vivekananda, Swami.1991. Karma Marga. Jakarta: hanuman Sakti.
Zoetmulder, P.J. 2004. Kamus
Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.