REVITALISASI MAKNA TUMPEK LANDEP
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN
Nanang Sutrisno
Pendahuluan
Di Bali, budaya dan agama
Hindu menjadi dua fenomena dalam satu realitas. Transformasi kebudayaan menuju
tradisi religius terjadi begitu apik dalam ruang Hinduisme yang menebarkan
aroma harmoni budaya dan agama. Fenomena budaya muncul sebagai ekspresi
kebenaran (satyam), kesucian (sivam), dan kebahagiaan (sundaram) menuju realitas absolut (Brahman). Berbasis persembahan suci (yajna), masyarakat Hindu di Bali
menyelaraskan gerak kehidupan adat dan budayanya menjadi kesatuan rasa (keindahan), agama (tradisi suci), dan
buddhi tepet (kebijaksanaan).
Ekspresi religius dalam aktivitas berkebudayaan inilah menjadikan agama Hindu
Bali begitu unik dan khas. Bukan merujuk kepada Veda, tetapi mengalir dari
Veda. Bukanlah agama yang hanya tekstual, tetapi agama yang dihayati dan
dilaksanakan dalam konteks sehingga nilai-nilai agama menginternal menjadi
kepribadian dan jati diri pemeluknya.
Perpaduan tradisi lokal dan
Hinduisme memang menjadi karakter khas Hindu Indonesia umumnya dan Bali
khususnya. Melalui proses dialektis yang panjang dan berliku maka agama Hindu
di berbagai daerah menunjukkan keunikan dan kekhasannya sendiri, tetapi
esensinya tunggal. Pandangan dialektis berpendapat bahwa kebudayaan lokal telah
memiliki kemampuan dan posisi yang sama kuat ketika berhadapan dengan
kebudayaan yang datang dari luar sehingga proses lahirnya kebudayaan baru
terjadi dalam proses dialogis yang panjang (Utama, 2003). Pertemuan antara
bentuk-bentuk kepercayaan asli Indonesia dengan Agama Hindu yang datang dari
India telah menghasilkan agama Hindu Indonesia. Proses interaksi ini terjadi
secara alkulturatif, di mana unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal
tanpa kehilangan kepribadian dasar kebudayaan lokal (Geria, 2000). Hal ini
sejalan dengan pernyataan Magetsari (1986) bahwa masuknya unsur India sebaiknya
dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan Hindu Indonesia dalam
kekhasannya.
Kearifan lokal ini terutama
nampak dalam aktivitas ritual sehingga sulit merujuk langsung keberadaannya
dalam tradisi Veda. Mengingat ritual merupakan sistem simbolis yang mengandung
makna berlapis sehingga untuk menemukan inti ajarannya diperlukan pengupasan
yang berlapis-lapis pula. Oleh karena itu, terburu-buru menolak tradisi ritual
yang tidak tersurat dalam Veda tentu bukanlah tindakan yang bijaksana. Sekali
lagi, Veda adalah mata air yang menjadi sumber aliran sungai kebijaksanaan yang
tak terhitung jumlahnya. Pada setiap aliran sungai ini Veda memberikan warna
sesuai dengan kondisi lingkungan alam, sosial, dan budaya masyarakatnya. Dengan
cara demikian Veda dapat hidup dimanapun, memberikan warna kehidupan
masyarakatnya, menumbuh-suburkan kebudayaan, dan akhirnya mengantarkan manusia
pada kesejahteraan dunia (jagadhita)
dan kebahagiaan tertinggi (moksa).
Sekali lagi, baik yang merujuk kepada Veda maupun yang mengalir dari Veda
sesungguhnya semua bersumber dan bermuara kepada Veda.
Bali mewarisi ritual keagamaan
yang beberapa di antaranya kental nuansa lokal. Adalah upacara tumpek yang hadir setiap Saniscara
Kliwon. Upacara tumpek hadir dari
pertemuan antara Panca wara, Sapta wara, dan
Pawukon dalam sistem kalender Hindu
(Jawa-Bali). Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem kalender Hindu Nusantara
dikenal beberapa istilah, seperti penanggal,
panglong, wewaran (dari eka wara hingga
dasa wara ), pawukon (berjumlah 30), dan sasih
(jumlah 12). Berbeda
dengan sistem kalender India yang hanya menggunakan sistem surya-candra (lunar-solar system). Singkatnya, sistem wewaran dan pawukon merupakan penanggalan khas Indonesia (Jawa-Bali) sehingga
upacara-upacara yang berlangsung dalam sistem ini juga, mencerminkan tradisi
lokal.
Menjadi persoalan adalah
bagaimana tradisi lokal ini dapat dikatakan sebagai upacara Hindu? Adakah
rujukan sastra yang otentik sehingga upacara tersebut tidak bertentangan dengan
Veda? Ini menjadi pertanyaan yang lumrah terjadi dalam diri umat Hindu karena
rujukan otentik dan literer memang dibutuhkan bagi pelaksanaan tradisi
religius. Oleh karena itu, penting mendapatkan jawabannya sehingga ritual
keagamaan tidak sekadar menjadi tradisi yang terberi (given), tetapi menjadi nilai yang bermanfaat kehidupan. Demikian
juga penting memahami nilai kearifan lokal dalam suatu ritual keagamaan
sehingga dapat diterapkan dalam konteks kekinian.
Transformasi Ajaran Veda dalam Tumpek Landep
Tumpek adalah bagian
dari Ācāra agama Hindu. Ācāra secara umum mencakup bidang yang sangat luas terutama berkaitan
dengan tradisi ritual. Ācāra agama
Hindu mencakup hal sebagai berikut : (1) ajaran tentang yadnya; (2) ajaran tentang hari-hari suci keagamaan; (3) ajaran
tentang tempat suci atau tempat-tempat pemujaan; dan (4) ajaran tentang orang
suci (Sudharta & Punyatmadja, 2001). Dalam Manawa Dharmasastra Bab II, sloka 6 dijelaskan mengenai ācāra agama sebagai berikut.
”Idanim
dharma pramanamyaha,
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam,
atmanastutirewa”.
Artinya:
Seluruh pustaka suci Veda (Sruti dan Smerti) merupakan sumber pertama dari Dharma, kemudian adat
istiadat, setelah itu tingkah laku
yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda; juga tata
cara kehidupan orang suci, dan akhirnya kepuasan pribadi.
Dalam hubungannya dengan
pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata ācāra
sering diberi awalan upa, yang
bermakna sekitar, sehingga kata upācāra
bermakna sekitar tata
cara pelaksanaan Agama Hindu. Dengan demikian maka ācāra Agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat upacara
(lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara
(prosesi), ucapan upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan
bunyi-bunyian upacara (instrumen).
Upacara Tumpek secara
khusus dibahas dalam Lontar Sundarigama. Untuk diketahui bahwa lontar
Sundarigama merupakan intisari dari ajaran wariga gemet. Hal ini tertulis dalam bait ke-3 yang berbunyi,
sebagai berikut.
“Um, ranak
si Purahita mekabehan, Siwa, Sogata, rengen pawarahkwe kita anakku, an Ling aji
Sundarigama, pakertin tikang pawitran, pangisining wariga gemet, pacatuning rat
bhawana, wastu wayang ning ngastuti, Sanghyang bunten ing wwang mahayu raga
sarira, dadi hawan ing krta nugrahanira Sang Hyang Maha Wisesa, tumurun ring
bhuwana, lwih tinemunia, rahayu hanrus ring Tribhuwana, palaning han dadi
wwang, mapageh ikang sundih aji, mening mahening kajagadhitan ta purahita
kabeh, bhyuh bala, byuh sisya, kadang apa lwir nia, nihan”
Artinya :
Wahai anakku para purahita semuanya, Siwa Budha, dengarkanlah nasehatku ini untukmu
anakku, bahwa ajaran Sundarigama merupakan
tuntunan pelaksanaan pesucian, inti dari wariga
gemet, bagi kehidupan dunia, wujud memuja Hyang Widhi Wasa dan menjadi
perantara bagi manusia untuk menyelamatkan dirinya, menjadi jalan tuntunan
dalam memohon nugraha Sang Hyang Wisesa. Ajaran ini diturunkan ke dunia dan
diberikan kepada manusia agar manusia dapat menikmati kebahagiaan kekal di atas
dunia. Makmurlah Negara karena menikmati keutamaan, yaitu keselamatan
terus-menerus di tri bhuwana (bhur, bwah, swah), inilah keutamaan yang
amat mulia bagi manusia, dan itulah yang menyebabkan langgengnya kesucian bagi
Negara dan rajanya. Keheningan dan kemurnian para purahita adalah kebahagiaan dunia, kemakmuran rakyat, para pelajar,
para saudara dan siapapun juga.
Artinya, tujuan utama dari
pelaksanaan hari-hari baik dan suci adalah untuk kebahagiaan semua makhluk (bhuta hita, sarwa prani hita). Dalam
bait ke-4, Lontar Sundarigama juga
dijelaskan bahwa “pada saat hari yang uttama
(kala wayutama) adalah waktu pesucian
para dewa-dewi, bhatara-bhatari, widyadara-widyadari, pitara-pitari. Beliau
beryoga semedi untuk kebahagiaan dunia maka manusia pun patut untuk ikut serta
melaksanakan pujawali untuk menyambut
cinta kasih yang akan dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara
yang disuguhkan kepada para Bhatara”. Dengan
demikian maka melalui persembahan bhakti pada Hyang Widhi Wasa tatkala
hari-hari suci adalah utama demi terciptanya keselamatan dan kebahagiaan dunia.
Pada dasarnya Hari Raya Tumpek adalah hari raya yang jatuh pada
hari Saniscara Kliwon. Adapun bentuk pemujaan dan perayaan disesuaikan dengan
Wuku yang mengikutinya sehingga akan lahir 6 (enam) jenis upacara Tumpek dengan maksud dan tujuan yang
berbeda satu dengan lainnya. Mengenai arti penting dari pelaksanaan upacara
Tumpek, seperti dijelaskan dalam
Lontar Sundarigama sebagai berikut.
”Saniscara
Kliwon ngaran, wekasing tuduh rikang wwang, haywa lali amusti Sang Hyang Maha
Wisesa, haywa deh, ndan haywa pisah, apasamana tumurun kertanira Sanghyang Anta
Wisesa ring rat kabeh.
Pangacinia
kayeng lagi, sedengnging latri tan wenang anambut karya, meneng juga pwa ya,
heningakna juga ikang adnyana malilian, umengetaken Sanghyang Dharma, mwang
kawyiadnyana sastra kabeh, mangkan telas kangetakna haywa sang wruhing tattwa
yeki tan mituhu, mwang alpa ring mami, tan panemwa rahayu ring saparania,
apania mangkana, wwang tan pakarti, tan payasa, tan pakrama, sania lawan sato,
binania amangan sega.
Yan
sang wiku tan manut, dudu sira Wiku, ranak ira Sanghyang Dharma”.
Artinya:
Hari Saniscara Kliwon dinamakan hari inti, hakikat
dari anugerah Hyang Widhi, yang diberikan kepada manusia. Oleh karenanya,
janganlah lupa menyembah Hyang Maha Wisesa, jangan menjauhkan diri, bahkan
janganlah sampai terpisah dengan Beliau. Sebab segala sesuatu yang ada ialah
karena turunnya kesempurnaan Hyang Widhi yang terus menerus dilimpahkan kepada
seluruh dunia. Jadi, cara pemujaan kepadaNya adalah sebagaimana biasa.
Sedangkan pada malam harinya, tidak dibenarkan
mengambil pekerjaan jasmani, melainkan hanya melakukan renungan suci, yakni mengheningkan
cipta dan diarahkan untuk menyadari Sanghyang Dharma. Lain daripada itu, juga
diarahkan kepada inti sari ajaran agama seluruhnya. Demikianlah semuanya agar
diingat-ingat, terutama harus disadari oleh orang yang mendalami tattwa. Apabila hal ini tidak
dilaksanakan, lebih-lebih jika malah dinodai, niscaya tidak akan mendapatkan
keselamatan di manapun nantinya berada, mengapa demikian?
Karena orang yang tidak melaksanakan Kerti, Yasa,
dan Karma (tindakan terpuji, pengabdian, dan perbuatan baik), dapatlah
disamakan dengan binatang, bedanya hanya karena ia memakan nasi.
Jika sang Wiku yang bijaksana tidak menuruti
ajaran ini, bukanlah dia disebut Wiku yang disayangi oleh Sanghyang Dharma.
Dari uraian Lontar
Sundaraigama di atas dapat digali beberapa keunggulan hari raya Tumpek. Pertama, hari ini adalah hari inti untuk
memohon anugerah Hyang Widhi bagi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Oleh
karena itu, wajib bagi umat Hindu untuk menghaturkan persembahan, melakukan
puja, sujud bhakti kepada kemuliaan dan kebesaran Hyang Widhi, Beliau yang
Mahapemurah dan pemberi anugerah keutamaan bagi kehidupan manusia. Kedua, malam hari Tumpek adalah malam
yang baik untuk melakukan renungan suci, tapa-brata-yoga-samadhi.
Hubungan transendental terus-menerus ditujukan kepada Sanghyang Dharma,
Kebenaran Abadi. Anugerah utama yang dimohon adalah supaya kehidupan manusia
senantiasa dituntun oleh dharma, demi
tercapainya tujuan tertinggi (purusa
artha), yakni moksartham jagadhita ya
ca itu dharma. Seperti dijelaskan dalam Sarasamuccaya, seloka 14 ”ikang dharma ngarania, henuning mara ring
swarga ika, kadi gatining perahu an hetuning banyaga nentasing tasik” (yang
disebut dharma adalah jalan menuju
sorga, seperti sebuah perahu yang digunakan nelayan untuk menyeberangi
samudera).
Ketiga, hari raya
Tumpek mengingatkan kembali pada keutamaan manusia dibandingkan makluk lainnya.
Keutamaan itu terletak pada kesanggupannya melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma
(tindakan terpuji, pengabdian, dan perbuatan baik), karena jika tidak
dilaksanakan maka tidak ada bedanya manusia dengan hewan. Ini merupakan pesan
moral dari pelaksanaan upacara Tumpek sehingga upacara ini begitu penting untuk
dilaksanakan dalam keberagamaan umat Hindu. Keempat,
upacara Tumpek memiliki kekuatan mengikat bagi umat Hindu untuk
melaksanakannya. Dalam tataran bhakti, ditegaskan
dengan perbedaan antara ”anugerah” dan
”hukuman” yang menjadi akibat dari
dilaksanakan atau tidaknya upacara ini. Bagi
yang melaksanakannya tentu anugerah pahalanya, tetapi jika tidak maka akan
diperoleh kenistaan dan kepapaan.
Keempat, Secara
filosofis Tumpek memiliki hakikat mendalam yang mesti dipahami secara
berjenjang dari ritual menuju tattwa. Penguasa
hari Saniscara adalah Bhatara Vasu atau Vasudewa, yakni Bhatara Wisnu sebagai
pemelihara eksistensi alam semesta. Sementara itu, Kliwon, dewanya Bhatara Siwa menempati posisi di tengah; Dengan
demikian hari Kliwon menempati poros
kosmis, baik di alam maupun diri manusia. Di sinilah bersthana Bhatara Siwa yang menjaga keseimbangan seluruh alam. Hari
raya Tumpek mempertemukan Bhatara Wisnu dengan Bhatara Siwa dalam satu titik
yang sama. Hari baik untuk melakukan persembahan dan pemujaan, maka tujuan bhakti tersebut sangatlah jelas, yaitu
untuk mendapatkan kasih dari Hyang Widhi (manusa
bhakti dewa asih). Dalam konteks spiritual, Tumpek merupakan hari yang istimewa untuk melakukan perenungan dan
permenungan mengenai hakikat diri sejati sehingga Sang Atman menyadari
kesejatiannya (matutur ikang atma ri
jatinia). Tumpek adalah hari yang utama untuk melakukan pemujaan kepada
Bhatara Siwa sebagai asal mula dan tujuan segala yang ada, sangkan paraning dumadi.
Menyimak uraian di atas jelas
bahwa Tumpek memiliki kedudukan, fungsi, dan makna yang penting bagi kehidupan
manusia dan semesta alam. Dalam struktur kesusasteraan Veda, Tumpek adalah tradisi religius (ācāra) yang memiliki kedudukan penting sebagai salah satu sumber
pelaksanaan ajaran Agama Hindu. Menjadi kewajiban bagi seluruh penganut
Siwa-Buddha untuk melaksanakan Hari suci Tumpek. Lain daripada itu bahwa dengan
menyadari hakikat Tumpek akan menuntun manusia pada kesadaran diri untuk
melaksanakan Kerti, Yasa, dan Karma, yakni karya nyata menciptakan
kebahagiaan masyarakat melalui pengabdian, pelayanan, dan tindakan.
Tumpek Landep adalah hari suci Hindu yang didasarkan
pada pertemuan wawaran dan pawukon dalam sistem kalender Jawa-Bali, yakni Saniscara Kliwon (Sabtu Kliwon) wuku Landep. Kata landep berarti tajam atau merupakan wuku
ke-2 dalam sistem pawukon. Bagi umat
Hindu, hari ini diyakini menjadi otonan atau
selamatan bagi semua senjata tajam, alat perang, peralatan dari besi, dan
sebagainya (Tim, 2002: 123). Dasar pelaksanaan upacara ini adalah Lontar Sundarigama, yang berbunyi
sebagai berikut.
“Kunang ring
wara Landep, Saniscara Kliwon, puja wali Bhatara Siwa, mwah yoganira Sanghyang
Paśupati, puja wali Bhatara Siwa tumpeng putih kuning adan-adanan, iwak sata
sarupania, grih trasibang, sedah wah, haturakna ring sanggar.
Yoga
Sanghyang Sri Paśupati, sesayut jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci,
daksina, peras, canang wangi-wangi, astawakna ring sarwa sanjata, lendepaning
prang.
Kalingania
ring wwang, denia paśupati, landeping idep, samangkana talaksanakna kang
japamantra wisesa Paśupati”
Artinya:
Pada hari Wuku Landep, Saniscara Kliwon (Sabtu
Kliwon) adalah hari pemujaan Bhatara Siwa dan hari yoganya Sanghyang Paśupati.
Adapun sarana untuk pemujaan Bhatara Siwa adalah tumpeng putih selengkapnya, lauknya
ayam sebulu-bulu, grih trasibang (ikan
asin dan terasi merah), sedah woh, dihaturkan
di Sanggar Pamujan (tempat pemujaan).
Sementara itu, untuk pemujaan Sanghyang Paśupati
dihaturkan, sesayut jayeng prang, sesayut
kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangi. Babantenan ini
ditujukan (di-ayab-kan) kepada semua
jenis senjata sehingga bertuah dalam perang.
Adapun hakikatnya dalam diri manusia, ialah
tajamnya pikiran (idep), untuk itu
laksanakanlah japa mantra untuk
mendapatkan anugerah Paśupati.
Dari uraian lontar tersebut dapat dipahami bahwa ista dewata yang dipuja dalam
pelaksanaan Tumpek Landep adalah
Bhatara Siwa dalam manifestasi-Nya sebagai Sanghyang Paśupati. Paśupati dalam teologi Hindu adalah
manifestasi Siwa sebagai Raja binatang (Paśu
= binatang; pati = raja). Akan
tetapi dalam praktik keagamaan Hindu di Indonesia, Paśupati juga berarti upacara pemberkatan, upacara untuk memberikan
tuah pada benda-benda pusaka untuk mendapatkan kekuatan magis (Tim, 2002:81).
Dengan demikian upacara Tumpek Landep tepat
dimaknai sebagai pemujaan kepada Sanghyang Paśupati untuk mendapatkan anugerah berupa tuah (kekuatan/sakti) bagi senjata tajam atau alat-alat
perang dan peralatan kehidupan manusia khususnya yang terbuat dari logam. Ini
sekaligus menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep bukanlah pemujaan kepada besi
sebagaimana pemahaman masyarakat yang keliru selama ini.
Pada kenyataannya pelaksanaan
upacara Tumpek Landep telah mengalami perubahan dalam pelaksanaannya sejalan
dengan perkembangan kehidupan manusia. Kata ”landep” yang berarti tajam
menunjuk pada alat-alat kehidupan yang telah digunakan manusia sejak dahulu
kala. Pada zaman berburu sudah dikenal beberapa senjata tajam yang terbuat dari
batu atau logam untuk tujuan perburuan. Kemudian, pada masa bercocok tanam juga
muncul peralatan-peralatan untuk bertani seperti, cangkul, sabit, dan
sebagainya. Upacara ini semakin mendapatkan signifikansinya pada zaman kerajaan
sehingga senjata tajam dan peralatan perang (landeping prang) menjadi objek utama dalam pelaksanaan Tumpek
Landep. Akan tetapi, sekarang ini momentum Tumpek Landep digunakan umat Hindu
untuk mengupacarai peralatan besi hasil teknologi modern seperti, mobil, sepeda
motor, dan komputer. Ini menandakan telah terjadinya pergeseran dalam
pelaksanaan Tumpek Landep dalam masyarakat Hindu. Namun pergeseran itu terjadi
pada tataran fisik, bukan pada substansi maknanya. Pertanda ini sekaligus
membuka peluang untuk melakukan reinterpretasi dan revitalisasi makna Tumpek
Landep sehingga keberadaannya dapat didialogkan dengan konteks kekinian.
Upaya menyelami kedalaman
makna Tumpek Landep dilakukan dengan menyimak kutipan lontar Sundarigama bahwa hakikat Tumpek Landep adalah mengasah
ketajaman pikiran (landeping idep). Landeping idep dipandang menjadi spirit
Tumpek Landep yang hendak dibangun sang
kawi melalui lontar tersebut.
Memahami spirit yang ingin dibangun sang kawi
dan memadukannya dengan konteks kekinian merupakan langkah hermeneutis yang
ditempuh untuk memaknai Tumpek Landep. Selain itu, dengan menggunakan Sundarigama sebagai landasan berpijak
untuk menyelami makna Tumpek Landep maka pemaknaannya tidak kehilangan sentuhan
otentik. Di sini lontar Sundarigama diposisikan
pada otensitasnya sebagai susastra Hindu
yang mengejewantahkan spirit ajaran suci Weda terutama mengenai ācāra agama.
Berkenaan dengan upacara
Tumpek Landep Seperti dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra (II, 6) bahwa ācāra agama merupakan salah satu sumber
ajaran agama Hindu.
Idhānim
dharma pramānamyāha
Wedo
‘khilo dharma mūlam
smrti
sile ca tadvidām
ācāra’scaiva sādhūnām
ātmanastustir
eva ca
Artinya:
Seluruh pustaka suci Veda merupakan sumber pertama
dari Dharma, kemudian adat istiadat,
lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran
suci Veda; juga tata cara kehidupan orang suci dan akhirnya kepuasan pribadi.
Uraian sloka
dalam Manawadharmasastra di atas menegaskan bahwa upacara Tumpek Landep memiliki
dasar sastra yang jelas. Selanjutnya,
sastra inilah yang menjadi sumber
kebenaran dari pelaksanaan Tumpek Landep sehingga melegitimasinya menjadi
sistem ritual Hindu yang otentik dan utuh. Sistem ritual yang utuh
setidak-tidaknya terbangun oleh (a) adanya sistem keyakinan yang mendasari
pelaksanaan upacara; (b) tata cara pelaksanaan upacara (dudonan atau eed); (c)
sarana ritual (upākāra); dan (d)
pelaku upacara. Dengan memahami setiap komponen dari sistem ritual tersebut
maka dapat digali keseluruhan makna dari ritual Tumpek Landep.
Tata Cara Pelaksanaan Tumpek Landep
Dalam hubungannya dengan
pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata ācāra
sering diberi awalan upa, yang
bermakna sekitar sehingga kata upācāra bermakna
sekitar tata cara pelaksanaan Agama Hindu. Dengan demikian ācāra agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat upacara
(lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara
(prosesi), ucapan upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan
bunyi-bunyian upacara (instrumen). Akan tetapi dalam pelaksanaannya upācāra agama Hindu terkadang
menunjukkan adanya perbedaan di berbagai daerah sesuai dengan sima atau drsta-nya masing-masing.
Ācāra dalam maknanya
sebagai kebiasaan memang memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata ”drsta”. Drsta berasal dari urat kata Sansekerta ”drs” yang berarti memandang atau
melihat. Kemudian, kata ”drsta” memiliki
makna konotatif yang sama dengan tradisi (Sudharma, 2000). Ācāra
atau drsta dibagi menjadi 5 (lima), yaitu : (1) sastra drsta berarti tradisi yang bersumber pada pustaka suci atau
sastra agama Hindu; (2) desa drsta berarti
tradisi agama yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu; (3) loka drsta adalah tradisi agama yang
berlaku secara umum dalam suatu wilayah; (4) kuna/purwa drsta berarti tradisi agama yang bersifat turun-temurun
dan diikuti secara terus menerus sejak lama; dan (5) kula drsta adalah tradisi agama yang berlaku dalam keluarga
tertentu saja (Sudharma, 2000). Perbedaan pelaksanaan ācāra
agama karena perbedaan drsta ini hendaknya tidak menjadi
masalah, tetapi sebaliknya menjadi kekuatan Hindu untuk menumbuh-kembangkan
lokal jenius di setiap daerah sehingga Hindu dapat tampil dengan karakter lokal
yang unik dan khas.
Berkenaan dengan pelaksanaan
upacara Tumpek Landep menurut isi lontar
Sundarigama di atas maka upacara ini difokuskan pada pemujaan Bhatara Siwa
dalam manifestasi-Nya sebagai Sanghyang Pasupati. Adapun tata cara
pelaksanaannya adalah sebagai berikut.
(a) Di Sanggar
Pamujan atau Sanggah/Merajan dihaturkan
tumpeng putih selengkapnya, lauknya ikannya ayam, grih trasibang (ikan asin dan terasi
merah), sedah, dan woh (buah-buahan). Banten ini dipersembahkan kepada Bhatara Siwa. Dengan pangastawa-nya sebagai berikut.
Om Namah
Siwaya sarwaya
Dewa-dewa ya wai namah
Rudraya bhuwanesaya
Siwa rupaya wai namah
(Siwa Stawa dikutip dari Pudharta,
2008:4)
(b) Pada sarana yang akan diupacarai (senjata,
alat-alat dari besi, mobil, motor, dan sebagainya) dihaturkan sesayut jayeng prang, sesayut kusuma yudha,
suci, daksina, peras, dan canang
wangi-wangi. Babantenan ini di-ayab-kan
kepada semua sarana tadi dengan puja
astawa dipersembahkan kepada Sanghyang Pasupati. Adapun pangastawa-nya sebagai berikut.
Om
Namaste Bhagawan Wisno
Namaste Bhagawan Hare
Namaste Bhagawan Krsna
Jagat raksa namostute
(Pasupati Stawa dikutip dari Pudharta,
2008:10)
Dalam praktik keberagamaan
Hindu nusantara yang tidak saja berasal dari etnis Bali maka tata cara
pelaksanaan Tumpek Landep dapat disesuaikan dengan kebudayaan daerah
masing-masing. Tradisi Jawa (kejawen) misalnya, juga mengenal ritual
membersihkan senjata pusaka seperti keris, tumbak, dan pedang pada tanggal 1
Suro. Di keraton Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) upacara ini
dilaksanakan secara besar-besaran dengan gelaran acara “Kirab Pusaka Kraton”. Ini menunjukkan bahwa tradisi yang sejenis
dengan Tumpek Landep sangat mungkin ditemukan dalam berbagai tradisi lokal.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika tradisi lokal tersebut tetap dilanjutkan
serta memadukannya dengan sentuhan khas Hinduisme sehingga tradisi ini melekat
dalam sanubari umat Hindu di seluruh Indonesia.
Fungsi dan Makna Tumpek Landep
Bagi manusia religius
keberadaan ritual memang begitu penting dalam kehidupannya. Melalui upacara
manusia religius membangun semangat baru dalam kehidupannya, juga
menggantungkan sebagian angan dan cita-citanya menuju kehidupan yang lebih baik
(Sugito,ed. 2007:36). Dalam mewujudkan angan dan cita-cita kehidupan tersebut
banyak jalan yang ditempuh manusia, sebagian rasional dan sebagian lainnya
adalah jalan mistis. Pendekatan rasional saja ternyata tidak selamanya mampu
membawa manusia pada realitas yang seiring sejalan dengan harapan sehingga
manusia juga memerlukan jalan mistis, salah satunya melalui ritual keagamaan (sacrificial).
Ritual diharapkan menjadi
kekuatan yang mampu menghubungkan manusia dengan Yang Gaib. Kehadiran spirit
Yang Gaib (para Dewa, Bhatara) diharapkan menjadi kekuatan yang mampu menuntun
dan mengarahkan manusia pada jalan yang benar menuju pencapaian tujuan
hidupnya. Selain itu juga kehadiran para Dewa diharapkan menjadi pemberi
anugerah keberhasilan atas usaha rasional yang telah dilakukan. Manungsa mung saderma nglampahi, Gusti
ingkang mungkasi (manusia yang sebatas menjalani, Tuhanlah yang menentukan
hasilnya), demikianlah manusia Jawa memaknai pentingnya kehadiran Yang Gaib
dalam kehidupannya sehingga aktivitas ritual penting dilaksanakan.
Dalam konteks Hindu, upacara
keagamaan dilakukan sebagai wujud karma
dan bhakti marga yang menghubungkan
manusia dengan Tuhan Sang Pencipta/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ajaran karma dan bhakti marga inilah yang menjadi spirit umat Hindu untuk
menghaturkan persembahan terbaik dari apapun yang mereka miliki tanpa motivasi
terhadap hasil yang berlebihan. Melalui jalan bhakti umat Hindu mengharapkan agar setiap gerak aktivitasnya
mendapatkan kasih dari Hyang Widhi (manusa
bhakti dewa asih). Dengan demikian segala
karma yang dikerjakan akan
mendapatkan pahala (phala) menurut
hukumnya sehingga kebahagiaan dunia (jagadhita) dan kebebasan absolut (moksa) sebagai tujuan tertinggi
diharapkan akan terwujud. Konsep bhakti dan
karma marga ini seperti dijelaskan dalam Bhagavadgita Adhyaya III, sloka 10, 11, dan 12, sebagai berikut.
Saha-yajñāh
prajāh srstvā,
puro’vāca
prajāpatih,
Anena
prasavi yadhvam,
eso
vo’stv ista kāmadhuk.
Artinya:
Pada awal penciptaan, Prajapati (Penguasa Semua
Makhluk) menciptakan manusia dan para dewa sambil menyampaikan sabda
“Berbahagialah engkau dengan kurban suci (yajna)
ini karena ia (yajna) akan menjadi kamadhuk yang menganugerahkan kepadamu
kebahagiaan dan tercapainya pembebasan”.
Devān
bhāvayatā’nena,
te devā bhāvayantu vah,
Parasparam
bhāvayantah,
Śreyah
param avāpsyatha
Artinya:
Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan
ini pula para Dewa memelihara dirimu. Dengan saling memelihara satu sama lain,
kamu akan mencapai kebahagiaan yang mahatinggi.
Istān
bhogān hi vo devā,
dāsyante
yajña bhāvitāh,
tair
dattān apradāyaibhyo,
yo
bhunkte stena eva sah.
Artinya :
Dipelihara oleh yajna, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kamu ingini.
Akan tetapi, ia yang hanya menikmati pemberian-pemberian ini tanpa menghaturkan
persembahan kepada-Nya, sesungguhnya ia adalah pencuri.
Pelaksanaan Tumpek Landep merupakan wujud yadnya umat Hindu kepada Siwa dalam
manifestasi-Nya sebagai Sanghyang Paśupati. Upacara ini menjadi media
persembahan, ucapan terima kasih, sekaligus permohonan kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Persembahan kepada Bhatara Siwa
yang telah menganugerahkan pikiran (idep)
kepada manusia sehingga mampu menggunakan cipta, rasa, dan karsanya untuk
mencipta berbagai alat-alat teknologi yang berguna bagi kehidupannya. Ucapan
terima kasih karena alat-alat kehidupan yang diciptakan telah memberikan
berbagai kemudahan bagi manusia untuk menyelesaikan persoalan hidupnya,
mendapat penghidupan yang layak, dan sebagainya. Ini menegaskan bahwa umat
Hindu bukanlah “pencuri” yang hanya begitu saja menikmati anugerah Tuhan yang
diberikan kepadanya. Kemudian, upacara ini juga berfungsi untuk memohon
anugerah Paśupati, yakni spirit yang
akan menuntun manusia untuk menggunakan setiap instrumen kehidupannya dengan
benar sehingga instrumen itu berfungsi dan bermanfaat bagi kehidupannya, bukan
sebaliknya menjadi penghancur kehidupan umat manusia.
Di samping fungsinya sebagai
wujud pengungkapan bhakti, momentum
pelaksanaan Tumpek Landep sesungguhnya adalah penyadaran kepada manusia
mengenai instrumen terpenting dalam kehidupannya, yaitu idep (daya pikir). Hindu meyakini bahwa keutamaan manusia
dibandingkan makhluk lainnya adalah pada idep-nya.
Dikatakan bahwa tumbuh-tumbuhan hanya memiliki kekuatan hidup (bayu), binatang memiliki bayu dan kemampuan berkomunikasi menurut
cara binatang (bayu dan sabda), sedangkan manusia di samping
memiliki bayu dan sabda, juga memiliki kemampuan berpikir (idep). Kemampuan berpikir (idep) inilah yang menjadikannya makhluk
termulia dibandingkan tumbuhan dan hewan. Upadeśa
juga menjelaskan bahwa manusia yang berasal dari kata “manu” berarti
makhluk berpikir. Jadi, memahami pikiran manusia adalah memahami hakikat
manusia itu sendiri, yakni kemanusiannya.
Menurut Poedjawijatna (1986:
54) dasar kemanusiaan adalah akal - budi dan kehendak (yang bebas)
manusia. Akal - budi adalah daya tahu
manusia dan kehendak adalah daya pilih manusia. Jadi, dapat dikatakan bahwa
yang memanusiakan manusia ialah daya tahu (budi) dan daya pilih (kehendak).
Karena kedua unsur ini disebut pribadi maka manusia mempunyai kepribadian. Untuk melakukan pilihan, manusia harus
tahu akan yang dipilih itu. Artinya, agar dapat memilih yang baik, budi
haruslah memiliki pengetahuan yang benar tentang baik dan buruk. Itulah
sebabnya, manusia susila (yang
bertindak menurut kemanusiaannya) ialah orang yang selalu memilih tindakan yang
menurut keyakinannya (penerangan budinya) adalah baik. Ini merupakan esensi
kemanusiaan yang tidak pernah berubah dalam perkembangannya.
Pengertian idep dalam konteks Tumpek Landep
tampaknya tidak tepat jika disamakan dengan manah
(pikiran) yang hanya identik dengan daya tahu manusia. Mengingat manusia
dalam dirinya juga memiliki kehendak dan ego yang menyempurnakan hakikat
kemanusiaannya. Kata ”idep” lebih tepat dijelaskan dalam terminologi ”citta” atau alam pikiran menurut ajaran Samkhya-Yoga. Seperti dijelaskan oleh Maharsi Patanjali bahwa :
”Citta atau
alam pikiran dibangun atas tiga komponen, yaitu manah, buddhi, dan ahamkara.
Manah ialah bagian dari alam pikiran yang mempunyai kemampuan merekam
kesan-kesan dunia luar yang diterimanya melalui indriya. Kesan-kesan itu
dibedakan dan dianalisa oleh buddhi. Atas
kecakapan buddhi inilah orang dapat
mengadakan reaksi terhadap kesan-kesan itu. Ahamkara
adalah rasa aku, rasa ego yang mengklaim semua kesan-kesan itu sebagai
miliknya” (Sura, 1985: 2).
Meskipun manah (pikiran), buddhi (budi),
dan ahamkara (ego) seolah-oleh
menjadi entitas yang berbeda, tetapi kerja ketiganya menuntut adanya kesatuan.
Ketika manah menangkap kesan maka buddhi mengidentifikasi dan menganalisis
kesan tersebut, sebelum kemudian ahamkara
menyadari bahwa kesan itu adalah rangsang yang ditujukan pada ke-aku-annya.
Inilah yang mengakibatkan manusia melakukan berbagai respon atas semua kesan
yang ditangkap oleh panca indera. Dari sekian banyak kesan yang ditangkap panca
indera, baik kesan dari dalam diri maupun dari luar diri sebagian daripadanya
adalah menyadarkan manusia pada kebutuhan hidupnya. Kebutuhan makan misalnya,
lahir dari kesan lapar yang direkam oleh manah,
kemudian dianalisis oleh buddhi hingga
akhirnya ahamkara menyatakan bahwa
”aku sedang lapar sehingga aku harus makan”. Demikianlah, melalui kerja idep inilah manusia menyadari bahwa
makan adalah kebutuhan hidup untuk mempertahankan eksistensinya.
Dalam pelaksanaannya Tumpek
Landep secara empiris ditujukan kepada senjata tajam dan alat-alat tekhnologi.
Sejalan dengan upaya manusia untuk mempertahankan eksistensinya maka alat-alat
inilah yang digunakan manusia untuk mempertahankan kehidupannya. Meskipun
demikian tidak dapat dipungkiri bahwa alat-alat ini juga lahir dari kerja
manusia itu sendiri yang bersumber dari kemampuan berpikirnya. Artinya,
sesungguhnya idep juga yang menjadi
penentu dari lahirnya berbagai alat teknologi yang berguna menopang kehidupan
manusia. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa senjata tajam dan alat-alat tekhnologi yang diupacarai dalam
Tumpek Landep tiada lain adalah simbol dari idep
itu sendiri. Kedua-duanya menjadi
instrumen penting manusia untuk mempertahankan eksistensi kehidupannya sehingga
melalui pemujaan kepada Hyang Pasupati keduanya diharapkan dapat memberi lebih
banyak manfaat bagi manusia dan kemanusiaannya.
Pemahaman terhadap makna
instrumen hidup ini penting juga untuk digali lebih lanjut di tengah-tengah
menguatnya pengaruh virus akal budi dalam kehidupan manusia modern. Meluasnya pengaruh virus akal- budi ke
seluruh pelosok dunia telah menghimpun sebagain besar manusia dalam komunitas
manusia rasional, yakni manusia yang mendewakan rasionalitas sebagai
satu-satunya sumber mendapatkan kebenaran. Positivisme dengan klaimnya bahwa
pengetahuan yang benar jika dan hanya jika rasional, empiris, dan berlaku umum
(Hadiwijono, 1980:111), semakin mengukuhkan posisi manusia sebagai sumber dari
kebenaran, yakni dengan keunggulan akal-budinya yang sekaligus membedakannya
dari makhluk lain. Oleh karena itu pemujaan yang berlebihan terhadap karya cipta
ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
modern.
Upaya manusia dalam menemukan
pengetahuan benar melalui pikirannya ternyata tidak selamanya berbuah manis.
Pengakuan bahwa eksistensi manusia ada pada pikirannya telah membawa manusia
modern semakin menjauh dari spiritualitas. Sebagaimana dinyatakan Radhakrisnan
(1987:9) bahwa kemanusiaan sekarang ini mengalami krisis terbesar sepanjang
sejarah umat manusia. Perkembangan sains dan teknologi tidak disertai dengan
kemajuan yang sama di bidang spiritualitas, bahkan spiritualitas makin rapuh
dibawa arus materialisme, hedonisme, pragmatisme peradaban modern. Kondisi ini
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan pada sisinya yang lain telah menyimpang dari
tuntutan aksiologisnya, yakni meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam
kemanusiaannya.
Oleh karena itu, upacara
Tumpek Landep mengajak manusia untuk kembali memahami hakikat pikirannya
sebagai bagian dari tubuh yang menjadi alat bagi sang jiwa sejati (atman) untuk mencapai pembebasan.
Dijelaskan dalam Bhagavadgita, II.22 bahwa
:
“Vasamsi
jirnani yatha vihaya
Navani grhnati naro parani
Tatha sarinani vihaya jirnany
Anyani samyati navani dehi”
Artinya:
“seperti halnya seorang mengenakan pakaian baru
dan membuka pakaian lama. Bagitu pula sang roh menerima badan-badan jasmani
yang baru dengan meninggalkan badan-badan lama yang tidak berguna”.
Penegasan
bahwa tubuh manusia, termasuk pikiran yang ada di dalamnya adalah pengetahuan
rohani yang hendak diajarkan oleh Sri Krishna melalui Bhagavadgita. Menurut
Bhagavadgita bahwa tubuh manusia seluruhnya adalah lapangan pengetahuan yang
penting dipelajari, dimengerti, dan dipahami sehingga manusia mampu menggunakan
tubuhnya (pengetahuannya) menjadi alat yang berguna bagi perjalanan sang atman menuju kebebasan abadi. Disebutkan dalam Bhagavadgita, Adhyaya XIII, sloka 6-7 sebagai berikut.
“Maha
bhutany ahankaro buddhir avyaktam eva ca
Indriyani dasaikam ca panca cendriya gocarah”
“Iccha
dvesah sukham duhkam sanghatas cetana dhrtih
Etat ksetram samasena sa vikaram udahrtam”
Artinya :
Lima unsur besar (panca mahabhuta), keakuan palsu (ahamkara), kecerdasan (buddhi),
yang tidak berwujud (avyaktam),
sepuluh indria (dasendriya) dan pikiran, lima objek indria,
keinginan, rasa benci, kebahagiaan, duka cita, jumlah gabungan, gejala-gejala
hidup, dan keyakinan-keyakinan -- sebagai ringkasan, semua unsur tersebut
merupakan lapangan kegiatan dan hal-hal yang saling mempengaruhi dari lapangan
kegiatan.
Upacara Tumpek Landep yang
selama ini dipahami sebagai otonan atau
pawedalan semua peralatan dari besi
selayaknya direfleksikan untuk memahami hakikat idep atau citta. Artinya,
untuk mendapatkan pengetahuan rohani yang benar adalah benar untuk memahami
terlebih dahulu seluruh kekuatan materi yang melingkupinya. Manusia yang
berkesadaran tentu adalah mereka yang mampu membedakan antara “yang rohani”
(hakikat) dan “yang materi” (instrumen/alat). Mengingat kegagalan dalam
membedakan kedua aspek ini akan membawa manusia pada belenggu dualisme paradoks
yang akan menghalangi sang atman menuju
pembebasan sejati (moksa).
Citta adalah hasil
evolusi pertama dari prakerti yang
merupakan gabungan dari buddhi, ahamkara,
dan manas. Citta memantulkan
kesadaran purusa sehingga citta menjadi sadar dan berfungsi dengan
bermacam-macam cara. Sedangkan purusa sendiri
menyamakan dirinya dengan citta akibat
dari kebodohan (awidya) sehingga
tampak mengalami semua perubahan dari citta.
Ketika citta berhubungan dengan suatu
objek maka melalui manah ia
mengetahui objek itu. Citta mengalami
perubahan-perubahan yang bermacam-macam dalam menyesuaikan diri dengan objek.
Bentuk perubahan citta dalam
menyesuaikan diri dengan objek ini disebut vrtti.
Bila citta diubah ke dalam suatu
jenis vrtti atau keadaan mental yang
mengamati maka roh dipantulkan pada keadaan ini dan mungkin menyatakan keadaan
itu keadaannya sendiri. Ia memandang dirinya mengalami kelahiran, kematian,
tidur, jaga, berbuat salah, berbuat benar, dan sebagainya. Meskipun roh pada
dirinya sendiri adalah bebas dari semua aktivitas badani, tetapi ia tampak
menjadi pelaku lima klesa atau sumber
kesedihan, sebagai berikut.
1. Awidya
berarti ketidaktahuan.
Akibat dari ketidaktahuan ini maka citta mendapatkan
pengetahuan yang salah, yaitu seperti menganggap yang bukan roh sebagai roh,
yang tidak kekal sebagai kekal, yang tidak suci sebagai suci;
2. Asmita
(sangka diri) yaitu
memandang roh sama dengan citta
sehingga lupa bahwa dirinya sendiri adalah purusa
yang murni;
3. Raga
berarti terikat pada
nafsu dan keinginan. Keterikatan ini menyebabkan manusia terus menerus melakukan aktivitas untuk memenuhi nafsu dan
keinginan itu sehingga terbelenggu oleh ikatan-ikatan karma dan membawanya pada kelahiran berulang-ulang (samsara);
4.
Dwesa berarti kebencian. Kebencian terjadi akibat keengganan untuk menderita. Kebencian
selalu muncul terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan;
5. Abbhinivesa
berarti rasa takut pada
kematian atau keinginan untuk terus menerus hidup.
Dengan memahami hakikat citta melalui pendalaman makna Tumpek
Landep maka citta diupayakan menjadi lebih tajam (landeping idep). Mengingat citta
yang tercerahi oleh pengetahuan rohani tidak akan lagi terpengaruh oleh
aktivitas triguna sehingga dirinya
menjadi suci murni dan tanpa perubahan. Cara satu-satunya untuk menghentikan
semua gerak citta ini adalah
melaksanakan yoga. Demikian dikatakan
oleh Maharsi Patanjali ”yoga citta vrtti
nirodhah” (membebaskannya dari
segala penderitaan dengan jalan menghentikan semua aktivitas citta). Ketika citta telah berada dalam keadaan
murninya maka purusa-pun tidak
dipantulkan lagi. Artinya, purusa terbebas
dari kesengsaraan karena telah menyadari dirinya sebagai diri yang sejati,
berbeda dengan pikiran (manas), ego (ahamkara), maupun buddhi. Inilah
yang disebut jivanmukta (Baba, 1982).
Uraian di atas menegaskan
bahwa upacara Tumpek Landep dibangun oleh sistem makna yang berlapis. Berangkat
dari ritual menuju tattwa; dari
pelaksanaan bhakti-karma menuju
pengetahuan rohani tertinggi (jnana-raja
yoga). Oleh karena itu, pelaksanaan upacara Tumpek Landep perlu
dipertahankan keberlanjutannya karena makna yang terkandung begitu dalam. Landeping idep yang diusahakan melalui
pemujaan dan pemusatan kontemplasi kepada Sanghyang Pasupati adalah tujuan
utama dari pelaksanaan upacara ini. Dengan penajaman idep ini diharapkan manusia memiliki kesadaran mengenai hakikat
rohani sehingga manusia tidak diperbudak oleh pengetahuannya sendiri.
Sebaliknya, dengan kekuatan pikirannya manusia dapat mencipta dan menggunakan
berbagai alat kehidupan hanya untuk menopang eksistensinya, dan sama sekali itu
bukan menjadi tujuan hidup.
Tumpek Landep dan Pengembangan IPTEK
Kehidupan modern yang ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menawarkan berbagai
kemudahan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Alat-alat teknologi
canggih begitu banyak tercipta sehingga hampir seluruh aktivitas manusia
mendapatkan pertolongannya. Masyarakat modern pun menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk berburu alat-alat tersebut, bahkan menjadikannya tujuan hidup
demi pemuasan nafsu-selera. Ketika instrumen telah menjadi tujuan maka
perlahan-lahan manusia kehilangan daya kreatifnya karena lebih senang
menempatkan dirinya sebagai konsumen. Di sinilah perlu adanya kesadaran baru
untuk menjadikan Tumpek Landep sebagai spirit pengembangan daya kreatif manusia
sehingga manusia mampu mencipta lebih banyak lagi instrumen yang mampu
menunjang kebutuhan hidupnya, bukan sebaliknya.
Daya kreatif manusia akan muncul apabila manusia
memahami kebutuhan hidup untuk menopang eksistensinya. Upaya pemenuhan
kebutuhan hidup inilah yang membuat manusia harus menciptakan berbagai macam
teknologi. Seiring dengan perkembangan pengetahuan manusia maka teknologi pun
berkembang menuju titik yang lebih maju. Misalnya, teknologi pertanian yang
dulunya hanya menggunakan cangkul dan sabit, kini telah digantikan oleh
traktor. Demikian pula semakin beragamnya jenis pekerjaan manusia juga menuntut
diciptakannya alat-alat teknologi yang beraneka macam pula. Demikian
sesungguhnya bahwa semakin manusia memahami kebutuhan hidupnya maka semakin
besar pula peluang manusia menjadi aktif-kreatif.
Penciptaan teknologi untuk menunjang pemenuhan
kebutuhan manusia sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu.
Mengingat pemenuhan kebutuhan manusia adalah bagian dari upaya manusia untuk
merawat tubuhnya sehingga tetap dapat digunakan oleh sang jiwa hingga
tercapainya kelepasan. Seperti dijelaskan dalam Katha Upanisad I, 3 sebagai
berikut.
“Atmanam rathinam viddhi, sariram rathamtu,
Buddhim tu
saredam viddhi, manah pragraham eva ca”
Artinya :
Ketahuilah
bahwa Sang pribadi (atman) adalah
Tuannya kereta, badan adalah kereta. Bahwa kebijaksanaan adalah kusir, dan
pikiran adalah tali kekangnya”.
Seloka ini menegaskan bahwa badan ibarat kereta
yang akan mengantarkan sang atman untuk
mencapai pembebasan. Agar kereta ini dapat berjalan menuju tujuannya maka
kereta itu harus kokoh dan kuat. Selain itu, juga diperlukan kusir yang
bijaksana dan tali kekang yang kuat sehingga laju kereta itu dapat dikendalikan.
Apabila kereta adalah badan maka kuda penariknya adalah indera manusia yang
dikendalikan oleh pikiran, sedangkan pikiran dikendalikan oleh kebijaksanaan.
Demikianlah perumpamaan badan manusia yang menjadi kereta dari sang atman haruslah dalam keadaan sehat dan
kuat sehingga badan ini tidak hancur sebelum sang atman mencapai tujuannya.
Perumpamaan ini juga dapat dijadikan spirit dalam
menyelaraskan arah perkembangan pengetahuan sehingga tidak bertentangan dengan
tujuan pengetahuan itu sendiri, yakni pemuliaan kemanusiaan. Artinya,
pengembangan IPTEK haruslah diarahkan untuk membentuk manusia yang berkualitas
secara jasmani maupun rohani serta tetap berada dalam kendali etika-moralitas.
Ini dapat diwujudkan apabila pengembangan IPTEK didasarkan pada upaya pemenuhan
kebutuhan hidup manusia, bukan untuk nafsu keserakahan. Seperti misalnya,
pembuatan senjata pemusnah massal betatapun canggihnya tekhnologi tersebut,
sama sekali tiada guna. Dengan demikian perkembangan IPTEK menurut spirit
Tumpek Landep haruslah dituntun oleh kebijaksanaan sehingga kreativitas
tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Selain menjadi spirit pengembangan IPTEK yang
tunduk pada nilai kemanusiaan, Tumpek Landep semestinya juga dapat menjadi
penyemangat kehidupan manusia untuk memenangkan persaingan pada berbagai bidang
kehidupan. Hal ini setidak-tidaknya dapat digali dari makna kalimat “sarwa sanjata landep ing prang” (semua senjata yang tajam dalam perang)
yang tertuang dalam kitab Sundarigama. Ungkapan ini bermakna bahwa kehidupan
manusia senantiasa berada dalam kondisi persaingan, baik secara material maupun
spiritual. Secara material bahwa manusia bersaing untuk memperebutkan
sumber-sumber kebutuhan yang terbatas sifatnya untuk memenuhi kebutuhan (baca:
keinginan) manusia yang tanpa batas. Sebaliknya, secara spiritual bahwa manusia
senantiasa mengalami pergulatan di dalam dirinya, antara kebaikan dan keburukan
sebagai akibat dari aktivitas triguna. Persaingan
ini akan dapat dimenangkan oleh manusia apabila ia memiliki senjata yang
tangguh (landep) dan berfungsi sesuai
dengan tantangan yang dihadapi.
Dalam ajaran Hindu, pengetahuan mengenai ilmu
perang dimuat dalam kitab dhanur veda.
Dhanur berarti panah dan veda berarti
pengetahuan. Konon, ilmu panah adalah puncak dari semua ilmu perang sehingga
kesempurnaan dari seorang Ksatriya diukur dari keberhasilannya menguasai ilmu
memanah. Panah adalah senjata jarak jauh yang ketepatannya diukur dari
ketajaman sang pembidik. Panah inilah sesungguhnya kekuatan pikiran manusia
yang mampu menembus ruang dan waktu. Untuk memenangkan semua pergulatan hidup
maka pikiran manusialah yang mesti diasah terus menerus dan Tumpek Landep
memberikan cara melakukan penyucian melalui pemujaan kepada Sanghyang Pasupati.
Dalam kitab Manawadharmasastra Bab V, sloka 109,
dijelaskan mengenai penyucian sebagai berikut.
”abdhir gatrani suddhayanti
manah
satyena suddhyati
vidyatapobhyam bhuttatma,
buddhir
jnanena suddhyati”
Artinya:
Tubuh
dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran (satya), jiwa disucikan dengan pelajaran
suci dan tapa brata, dan kecerdasan disucikan dengan pengetahuan yang benar (jnana).
Sloka ini menegaskan bahwa diri manusia harus
senantiasa disucikan, baik badan, jiwa, pikiran, maupun buddhinya. Diri yang
tersucikan, baik jasmani maupun rohani menjadi penentu kualitas diri manusia
sehingga siap menghadapi kehidupan yang penuh kontradiksi nilai dan norma.
Kekuatan diri ini juga menjadi syarat mutlak bagi manusia untuk memenangi
berbagai kompetisi dalam kehidupannya. Dalam hal ini manah dan buddhi sebagai
pembangun sistem pengetahuan manusia perlu diasah dan disucikan terus menerus
dengan kebenaran dan pengetahuan yang benar. Oleh karena itu pendidikan menjadi
bagian tak terpisahkan dalam pemaknaan terhadap upacara Tumpek Landep.
Pendidikan merupakan syarat mutlak
terbentuknya sumber daya manusia (SDM) yang handal untuk meningkatkan daya
saing bangsa. Mengingat hanya manusia berpengetahuan-lah yang akan survive dalam kehidupan ini. Sebagaimana
perkembangan teknologi dari masa ke masa menunjukkan hasil dari akumulasi
pengetahuan manusia dalam menyiasati kehidupannya, seiring dengan perubahan
alam-lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Menjadikan Tumpek Landep sebagai
spirit untuk peningkatan kualitas SDM dan daya saing bangsa merupakan langkah
maju yang perlu diapresiasi bersama. Ini sekaligus menegaskan bahwa upacara
Tumpek Landep bukanlah semata ritual yang terberi dan terwariskan, melainkan
ritual yang penuh visi ke depan. Seperti juga Hindu yang hadir di dunia untuk
membawa kedamaian dan kebahagiaan semua makhluk (sarwa prani hitangkara).
Penutup
Upacara Tumpek Landep yang hadir setiap Saniscara Kliwon wuku Landep adalah
pemujaan kepada Bhatara Siwa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Pasupati.
Tumpek Landep terutama menjadikan senjata dan semua peralatan yang terbuat dari
besi menjadi sthana Sanghyang
Pasupati. Upacara ini merupakan wujud bhakti
dan karma umat Hindu, baik
sebagai sarana pemujaan, ucapan terima kasih, sekaligus permohonan kepada Hyang
Widhi atas anugerah berupa peralatan dari besi yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Namun demikian makna Tumpek Landep adalah landeping idep, yakni mengasah kekuatan idep (citta) dan berpuncak pada pengetahuan rohani
mengenai pengendalian citta untuk
mencapai jivanmukta.
Dalam kehidupan masyarakat modern,
kekuatan citta yang terdiri atas
pikiran (manah), kecerdasan (buddhi), dan ego (ahankara) dapat diarahkan menjadi spirit dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK). Mengingat idep adalah potensi dasar manusia yang menjadikannya unggul, serta
dengannya manusia dapat survive dalam
kehidupan yang penuh kompetisi, serta kontradiksi nilai dan norma. Dengan
demikian Tumpek Landep tetap dilaksanakan oleh umat Hindu menjadi ritual untuk membangun
kesadaran idep secara
berkesinambungan dalam sistem makna yang selalu terbuka untuk didialogkan pada
setiap zaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Baba, Bangali. 1982. The Yoga Sutra of Patanjali. New Delhi:
Motilal Benarsidas.
Geria, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad
XXI. Denpasar.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:
Kanisius.
Magetsari, Noerhadi. 1986. Local Genius Dalam Kehidupan Beragama, dalam
Kepribadian Budaya Bangsa, Jakarta: Pustaka Jaya.
Pendit,
Nyoman S. 1994, Bhagavad Gita, Jakarta, P.T. Hanuman Sakti, Jakarta.
Radhakrishnan, S. 1987. The Present Crisis of Faith. New Delhi:
Orient Paperback.
Suamba, I.B.Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan
Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan
bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
Subagya, Rahmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar
Harapan.
Sudharma, I Made. 2000.
“Acara Agama Hindu”. Artikel.
Disampaikan dalam Pelatihan Pemangku dan Sarathi Banten, Kanwil Agama Prov.
Bali.
Sudharta & Punyatmadja,
2001. Upadesa. Surabaya: Paramita.
Sugito,ed. 2007. Jagat Upacara Mengungkap Realitas Sakral dan Profan. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan
Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta:
Qalam.
Sura, 1985. Samkhya. Stensilan.
Tim Penyusun. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar:
Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
Tim. 1989. Lontar Sundarigama: Teks dan Terjemahan. Pemerintah
Daerah Tk. II Kabupaten Badung.
Yasa, I Wayan Suka. 2006. Teori Rasa: Memahami Taksu, Ekspresi & Metodenya. Denpasar:
Penerbit Widya Dharma Bekerjasama dengan Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan
Universitas Hindu Indonesia Denpasar.
Zaehner, R.C. 1993. Kebijaksanaan Dari Timur: Beberapa Aspek
Pemikiran Hinduisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.