GLOBALISASI DAN RELIGIUSITAS
ORANG BALI:
Perspektif Evolusionisme
I Wayan Suka Yasa
I Fenomena Berketuhanan Krama
Desa di Bali
Tuhan
bagi krama desa di Bali adalah Ida Bhatara-Bhatari. Ia adalah Raja dan
Ratu Yang Maha Suci dan Agung dari alam Luhur, Luhuring akasa. Krama
Bali menyatakan dirinya sebagai abdi: kaula,
panjak, atau damuh Ida
Bhatara-Bhatari. Ketika upacara yadnya ngusabha Desa misalnya, Ida
Bhatara-Bhatari dimohon hadir untuk menyaksikan, menerima, menikmati, dan
manganugrahkan berkah-Nya. Dalam rangka itu, sebelum menghadirkan-Nya, krama desa ngaturang ayah, membaktikan
kerja untuk mempersiapkan berbagai jenis jenis upakara, sesajen dalam berbagai bentuk dan fungsinya: Upakara penyambutan, penyucian, linggastana,
sesayut, rayunan, rantasan dan
lain-lainnya. Pura dan lingkungan desa diasrikan. Masing-masing angkul-angkul rumah dihias dengan penjor
dan umbul-umbul yang seragam. Pendeknya, semuanya disakralkan.
Menjelang
hari puncak upacara, Ida Bhatara
undangan, telah diiring dan distanakan di suatu pelinggih di tempat upacara diselenggarakan. Kemudian bersama-sama
diiring dengan riang melis ke segara. Sebagian krama lanang-istri sibuk di pewaregan
mempersiapkan lawar, nasi yasa
dan lain-lainnya untuk menjamu para pemedek
yang akan nunas paica. Pada hari
puncak karya, semua krama desa, juga
para undangan lainnya dalam busana adat yang khas tangkil dengan cerianya
hendak membaktikan diri, siap menyambut
kehadiran Ida Bhatara-Bhatari. Dalam
rangka itu para sulinggih, sang
manggalaning yadnya diiringi oleh para pemangku,
srati, tapakan memohon kehadiran dan perkenan-Nya untuk diwujud-nyatakan
dengan pralingga. Maka, Ialah yang
hadir berstana pada perwujudan itu. Ida
Bhatara-Bhatari hadir dengan segala kebesaran-Nya diiringi oleh para
pengiring-Nya. Kehadirannya disambut menurut tuntunan “protokoler yang baku”
sesuai dengan lontar dan atau dresta setempat.
Pada
hari puncak itu, suasana di tempat upacara menjadi demikian ramai-hidmat,
bernuansa religius-magis: Kulkul dikentung,
gong ditabuh, penari mamendet, juru gemblung makidung, para srati
sibuk menyuguhkan sesajen, dupa dan pasepan
mengepul, sulinggih mapuja, pemangku masee, tapakan dalam berbagai perwujudan masolah, ada yang kerauhan,
bendesa adat sibuk, lewat pengeras
suara mengatur eed karya. Akhirnya,
setelah Ida Bhatara-Bhatara dijamu
sebagaimana layaknya menyambut tamu terhormat, sebelum Beliau kembali ke
alam-Nya, krama desa serempak
sembahyang dengan mengucapkan puja
Trisandhya, lalu dilanjutkan dengan kramaning
sembah. Sebagai akhir persembahyangan bersama, masing-masing warga lalu
mendapat berkah berupa tirta, bija
dan lungsuran Ida Bhatara-Bhatari.
Kemudian dilanjutkan dengan upacara penutup, nyineb karya. Di jaba pura,
tajen pun digelar.
II Dinamika Sosio-religius Hindu Bali
Belakangan,
setelah anak-anak desa Bali mengenyam pendidikan modern, lahirlah pemuda dan
tokoh-tokoh kritis yang lebih mengagungkan akal ketimbang rasa. Mereka mulai
mempertanyakan makna logis tradisi ritual itu. Bagi mereka yang lebih
progresif, berkesimpulan bahwa, ternyata banyak hal yang meragukan. Bahkan naif dan tanpa makna. Bhatara-Bhatari pun dipandang tak jelas
akar teologisnya. Baginya, tradisi gugon
tuon yang dianggap sebagai akar aktivitas religius itu lebih baik segera
ditinggalkan. Kita harus kembali ke Veda, katanya.
Pandangan
mereka terhadap aktivitas ritual itu, secara sosiologis ternyata membawa
rumitan dan dampak yang cukup serius. Organisasi keagamaan pun pecah menjadi dua. Di satu sisi mempertahankan
kemapanan tradisi Bali tradisional. Di sisi lain mengedepankan Hindu modern.
Akibatnya, masing-masing kubu saling bersaing untuk merebut pengaruh, mencari
makna, dan memformulsi kembali akar peradaban religius Bali.
III. Latar dan Perkembangan Pandangan Religiusitas Masyarakat Hindu Bali
Untuk
memahami makna aktivitas religius yang belakangan ini tampak marak, sebagai
tercontoh dalam aktivitas masyarakat dalam menyukseskan upacara Ngusaba Desa sebagai yang dideskripsikan
di atas, ada baiknya dengan pertama-tama memahami latar belakang budaya
tradisional Bali. Dari sisi ini diharapkan ada pemahaman tentang sistem relegi
masyarakat Bali dalam dinamika religiusnya.
Dari
perspektif kebudayaan, renik-renik ritus agama Hindu Bali --yang sesungguhnya,
dalam kenyataannya demikian rumit dan memerlukan banyak tenaga, materi dan
waktu itu-- adalah warisan yang berasal dari perpaduan dua tradisi, yaitu
tradisi kecil yang dipermulya oleh tradisi besar. I Wayan Geriya (2000:3),
berdasarkan rumusan Swellengrebel menjelaskan bahwa tradisi kecil menunjukkan
dominannya karakteristik kolektifisme. Tradisi besar memperlihatkan dominannya
karakteristik religiusitas dan estetika. Interaksi antara tradisi kecil dengan
tradisi besar membuahkan kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan budaya
ekpresif dengan dominannya nilai-nilai religus, estetika dan solideritas.
Proses interaksi berlangsung secara akulturatif, dimana unsur-unsur asing
diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa hilangnya kepribadian dasar kebudayaan
lokal. Pembentukan kebudayaan Bali tradisional yang bertumpu pada tradisi kecil
dan tradisi besar berlangsung secara damai. Proses pembudayaannya pun ke dalam
masyarakat Bali berlangsung secara adaptif, fleksibel.
Lebih
lanjut tradisi modern yang memperlihatkan karakteristik dominannya ciri-ciri
kekuasaan, ekonomi, Iptek, individualisme (Alisyahbana, l981), interaksinya
dengan kebudayaan Bali tradisional, di satu sisi menunjukkan proses integrasi
adaptif dan di sisi lain juga menunjukkan dialektik antagonistik. Berbagai
benturan budaya muncul dalam berbagai kasus dengan membawa dampak negatif
seperti: fenomena distorsi, degradasi, demoralisasi, sampai dengan berbagai
pelecehan kultural (Geriya, 2000:3). Ke tiga tradisi yang membangun wajah kebudayaan Bali pasca
agraris tersebut sekaligus juga menerangkan tahap-tahap perkembangan intelektual
masyarakat Bali pada umumnya. Auguste Comte yang disebut-sebut sebagai tokoh
yang pertama-tama menggunakan istilah sosiologi mengemukakan bahwa, ada tiga
perkembangan intelektual masyarakat yaitu tahap teologis, tahap metafisik dan
tahap pengetahuan positif (Soeprapto,2002:67).
IV Tiga Perkembangan Pandangan Religius
Masyarakat Bali
Masyarakat
Bali tahap teologis. Hal ini dapat dicermati dari sikap religius dan harapan
masyarakat ketika meraka bersama-sama ngaturang
ayah sebagai ungkapan rasa baktinya kepada Bhatara-Bhatari junjungannya sebagai tercontohkan di depan. Menurut
anggapan mereka, Bhatara-Bhatari itu
ada di luhur ing akasa, di atas
langit. Melalui upacara agama Beliau dimohon hadir dan berstana di pura. Bhatara yang distanakan di pura Dalem
berbeda dengan yang berstana di pura Puseh. Berbeda pula dengan yang berstana
di pura Desa. Ada dewa dan ada dewi. Ada yang berkeluarga, masenetonan dan ada pula yang bermusuhan. Ada yang pelit, ada yang
dermawan. Ada mitos-mitos magis-religius yang melatari wibawa kedewataannya.
Nama-namanya pun nama lokal: Ida ratu
gede Macaling, dewa Ayu Mas, Ratu Biyang, Ratu Macongol dan lain-lain. Kepada Bhatara-Bhatari inilah
masyarakat menghaturkan bakti dengan mempersembahkan hasil pertanian pada akhir
panen dalam bentuk upacara Ngusaba Desa
dengan harapan keselamatan desa
seterusnya. Jadi tradisi masyarakat ini menandakan pola prilaku warisan tradisi
kecil yang menganut paham dinamisme-politeistik.
Masyarakat
Bali tahap metafisik. Di antara krama desa itu tentulah ada anggota masyarakat
yang gemar nyastra, maka disebut anak nyastra. Menurut tradisi,
orang-orang inilah yang mencari tahu dan “tahu” memaknai tradisinya. Mereka
pada umumnya adalah orang yang dituakan di desa
pakraman-nya. Dari mereka masyarakat mendapat jawaban atas
persoalan-persoalan sosial religius. Ketika anak
nyastra ini ditanya misalnya: “siapa sih sesungguhnya Bhatara-Bhatari itu”. Maka masyarakat akan mendapat jawaban yang
dikutif dari lontar rujukan yang ia kuasai. Jawabnya antara lain: “Menurut
lontar Bhuwanakosa dan lonar tattwa
lainnya, Beliau sesungguhnya adalah Bhatara
Siwa dengan sakti-Nya, Dewi Uma. Siwa tattwa dan Maya Tattwa.
Cetana dan Acetana, Purusa dan Prakreti, Azas kesadaran dan azas
kealpaan. Lumrah disebut Sang Hyang Rwabhineda.
Tetapi sesungguhnya Ia adalah Ardanareswari.
Satu yang tampak dalam perwujudan setengah laki-setengah wanita. Adanya tunggal
dan Maha Kuasa, maka disebut Sang Hyang
Titah atau sang Hyang Tuduh.
Beliau memiliki banyak nama: di pura Desa Beliau disebut Bhatara Brahma sakti-Nya Bhatari
Saraswati, di pura dalem Beliau disebut Bhatara
Siwa (Rudra) saktiNya Dewi Durgha,
di pura Puseh disebut Bhatara Wisnu
sakti-Nya Bhatari Laksmi atau Dewi Melanting. Oleh karena itu perbawa Bhatara-Bhatari itu, memurut lontar
Jnana Siddhanta disebut “eka-aneka
swalaksana Bhatara”, artinya laksana Bhatara-Bhatari
itu esa tetapi juga aneka. Dari penjelasan tokoh masyarakat ini dapat dipahami
bahwa ia memaknai tradisi religiusnya berdasarkan paham Siwa Siddhanta, sebagai agama yang dianut di Bali. Jadi tradisi
kecil mendapat pemulyaan dari tradisi besar. Inilah salah satu model akar lokal
genius tradisi Bali tradisional.
Masyarakat
Bali tahap pengetahuan positif. Mereka yang digolongkan pada tahap ini adalah
putra-putra Bali terpelajar. Ketika mencari makna religius ritus agama
masyarakatnya, ia akan memecahkan persoalan secara sistematis,
objektif, empirik dan verivikatif. Yang lebih maju dan arif, akan berfilsafat
dan mengakui otoritas kitab suci agama Hindu. Semisal, formulasi ajaran agama
Hindu akan dipolakan:
Subjek/Objek Teori Metode Sasaran Tujuan
Catur Panca Catur Trikaya Catur
Asrama Sradha Marga Parisudha Purusartha
Semisal
tentang ketuhanan ia akan merujuk Veda atau lontar otoritas: Tuhan baginya
adalah satyam sivam sundharam: atau sat cit ananda:
kebenaran-kebajikan-keindahan. Kemudian memberi argumen bahwa Tuhan adalah realitas trans-empirik. Ia hanya
dapat dipahami melalui fenomena-Nya dan dari simbol-simbol agama. Tuhan dalam
tiga dimensi-Nya dapat dimengerti melalui pemaknaan atribut-Nya, misal: trisula atau trikona atau arca Siwa
dalam tiga wujudnya yang terkenal dengan gelar Trimukha. Hal itu dapat pula dipolakan sebagai berikut:
Sat/satyam ananda/sundaram =
=Kebenaran keindahan =
=Buddhi/Intelek Rasa /estetika
Cit/Sivam/Moral
Dalam
aplikasinya azas itu diwujudkan dalam karya budaya-agama. Ajaran tentang
kebenaran agama diwujudkan dalam bentuk lontar tattwa. Ajaran tentang moral agama diwujudkan dalam lontar sesana, pun dalam wujud prilaku bajik, trikaya parisudha. Sedangkan tentang
estetika diwujudkan dalam berbagai karya seni: sastra agama antara lain itihasa, purana, kakawin, syair-syair pujian yang disebut pujastawa, seni pertunjukan, karya-karya patung, arca, lukisan
religius. Dalam bentuk ritual agama, rasa
agama ini dituangkan dalam bentuk banten
atau upakara-upacara agama.
3.b. 3 prilaku menyimpang yang menggoyahkan sendi
religiusitas masyarakat Bali.
Corak
kebudayaan global lebih mengedepankan intelektual dan materialistis belakangan
ini jelas semakin gencar mempengaruhi pola pikir masyarakat Bali. Bawa Atmaja
(2001:19) menjelaskan bahwa Pengaruh kebudayaan barat lewat penerapan sistem
pendidikan kolonial maupun kontak sosial yang terjadi dalam masyarakat memiliki
beberapa ciri, antara lain adalah sifat netral terhadap agama. Bahkan, ada
kecendrungan mengabaikan kebudayaan spirtitual dan sebaliknya lebih
mengutamakan kebudayaan material. Hal ini mengakibatkan ketidak keseimbangan
sendi-sendi budaya religius masyarakat Bali, baik pada tataran kognisi maupun
pada tataran komunitas. Ini terlihat dari prilaku menyimpang yang dapat dipilah
menjadi beberapa aspek sebagai berikut.
Kesukaran
simantik adalah berkisar pada ketidakpahaman terhadap sor-singgih basa Bali. Keduibahasaan dalam berkomunikasi antara
masyarakat Bali, dari berbahasa Bali-indonesia, menjadi berbahasa
Indonesia-Bali. Bahkan lebih jauh, sejumlah putra Bali telah meninggalkan
bahasa Bali sebagai bahasa ibu, baik dalam berkomunikasi antar keluarga maupun
dengan orang lain.
Konversi
agama. Ada kecendungan bahwa komitmen sejumlah orang Bali terhadap sistem nilai
religius Hindu Bali mengendor. Kemudian mereka mencari nilai-nilai baru yang
menjadi anutannya, lalu membentuk kelompok-kelompok baru dimana mereka
bergabung untuk memperoleh rasa aman.
Menguatnya budaya konsumen. Ini
terlihat dari semakin besarnya ketergantungan masyarakat Bali terhadap pasar
guna memenuhi kebutuhan mereka akan barang-barang guna memenuhi kebutuhan hidup
gaya barat.
V Penutup
Demikianlah perkembangan dan jenis-jenis
pemikiran religius masyarakat Hindu Bali. Dinamikanya dalam ide, sikap dan
prilaku orang Bali masing-masing terpola dalam dirinya menurut dominan citra
rasio timur dan atau rasio barat. Sesungguhnya, pandangan Aguste comte tentang
perkembangan intelektual baik tahap
religius, tahap metafisika dan tahap pengetahuan positif kurang tepat untuk
menggenralisasi perkembangan religiusitas masyarakat Bali. Karena sebagai
diungkapkan oleh Arkoun (Dalam Bawa atmaja. 2001:247) bahwa dalam setiap
masyarakat sesungguhnya selalu terdapat gejala rasional irasional dan anti
rasional. Dalam masyarakat manapun selalu ada kelompok yang berpegang teguh
pada penalaran rasio-ilmiah, ada kelompok yang percaya pada kebenaran intuitif,
dan ada juga yang percaya pada kekuatan-kekuatan gaib di luar diri manusia.
Sebenarnya gejala gejala itu bukan merupakan taha-tahap dari perkembangan
pemikiran manusia, tetapi merupakan jenis-jenis pemikiran manusia yang ada dalam setiap masyarakat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Atmaja. Nengah Bawa, 2001:
Reformasi Ke Arah Kemajuan Yang sempurna dan Holistik. Paramita. Surabaya.
Bagus. Lorens. 2002.
Kamus Filsafat.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Geriya. I Wayan,
2000. Transformasi Kebudayaan Bali memasuki Abad XXI. Dinas Kebudayaan Propinsi
Bali.
Kumbara. Anom, 2003.
“Bahan Kuliah Teori Sosial” Praogram Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi
Denpasar.
Parimartha. I Gede,
2003. Pemahaman Lintas Budaya Nusantara Dan Internasional. Dalam sarati Vol.
l0. februari 2003.
Soeprapto. H.R. Riyadi, 2002. Interaksionisme
Simbolik. Averroes Press.
Triguna. Yudha, 2002.
“Konsepsi sakral pada Masyarakat Bali” makalah yang disampaikan dalam seminar
Listibya 20 Des. 2002.
_____________ 2003. “Akar teori Konflik” Bahan kuliah
Pragram magister Ilmu Agama dan kebudayaan Unhi Denpasar.