AGAMA DALAM PRAKSIS BUDAYA
I Wayan Budi Utama
Pendahuluan
Agama secara normatif terlalu
jauh dari hasrat untuk melakukan penekanan-penekanan, baik inter maupun
antarumat beragama karena selain mengutamakan religi agama juga mengajarkan
etiket dan manganjurkan moralitas. Ini menunjukkan bahwa agama adalah sumber
nilai dan norma moral penting dalam berbagai praktik kehidupan manusia. Oleh
karena itu di Indonesia kebebasan dalam keberagamaan sungguh-sungguh dijamin
oleh undang-undang, bahkan umat beragama diberikan kebebasan dalam menjalankan
berbagai praktik agama. Akan tetapi fenomena keberagamaan belakangan ini
menunjukkan adanya kecenderungan semakin menajamnya persoalan-persoalan
keagamaan khususnya menyangkut tekanan-tekanan yang dialami oleh agama-agama
tradisional dari kelompok agama mainstream. Padahal agama tradisional telah
terbukti memainkan peranan penting bagi kehidupan manusia sejak berabad-abad
lalu. Agama tradisional telah dijadikan pedoman tingkah laku dalam mewujudkan
kesadaran kolektif kelompok masyarakat dan dengannya keteraturan dan
keseimbangan sistem dan struktur masyarakat dapat dipertahankan.
Pertanyaannya, mengapakah
terjadi hal seperti ini di negeri yang konon sangat religius? Apakah sebenarnya
fungsi agama dalam praksis budaya? Permasalahan tersebut akan menjadi topik
pembahasan dalam tulisan ini dengan pendekatan sosiologis. Dalam pendekatan ini
diasumsikan bahwa agama selalu dikontekstualisasikan oleh penganutnya dengan
kebudayaan dalam berbagai praktik sosial. Dengan demikian agama diposisikan
dalam kedudukannya sebagai agama masyarakat.
Agama dan Persoalan Kemanusiaan
Agama adalah keyakinan yang bersumber pada ajaran-ajaran suci yang
diwahyukan Tuhan untuk memberikan tuntunan bagi manusia dalam menjalani hidup
dan kehidupan di dunia sehingga mampu mencapai kebahagiaan jasmani/duniawi dan
kebahagiaan rohani/surgawi. Tujuan hidup tersebut menjadi penting untuk
diketahui dan dipahami secara seksama sebab ia akan menjadi landasan utama umat
manusia dalam berbagai aktivitasnya. Mengapakah harus berangkat dari landasan
agama? Agama dalam bentuk apapun selalu muncul sebagai kebutuhan ideal umat
manusia. Oleh karena itu peranan agama sangat menentukan dalam setiap
kehidupan, dan tanpa agama manusia tidak akan hidup sempurna. Peranan agama
menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia karena agama terkait dengan
kebudayaan dalam masyarakat sehingga agama dan masyarakat saling mempengaruhi
(Utama, 2006:2). Ini berarti ide tentang kesempurnaan hidup sangat tergantung
kepada agama karena ajarannya yang diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercaya
sedemikian rupa. Mengingat kebenaran agama yang adalah kebenaran wahyu sehingga
di dalamnya tidak dibenarkan adanya dialog tentang keyakinan benar, tetapi
kepercayaan (religious).
Agama berisi ajaran-ajaran tentang kebenaran yang tertinggi dan mutlak
tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia
dan di akhirat (setelah mati). Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi
bagian dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan, dan
menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol dari tindakan-tindakan para
anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai
kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Dalam hal ini agama sebagai sumber moral
tidaklah mungkin mengandung kesalahan-kesalahan ataupun keburukan-keburukan
yang dapat menyebabkan manusia (penganutnya) bertindak ke arah yang kontra
produktif terhadap kesempurnaan hidupnya. Dengannya agama menjadik pedoman bagi
seluruh nilai kesempuranaan hidup yang layak diperebutkan dan perjuangkan dalam
segala lini kehidupan karena
hanya dengan demikian agama benar-benar menjadi milik sebuah masyarakat. Ini
sebabnya agama benar-benar dapat hidup dalam setiap hati masyarakat sebagai
pembakar semangat sosial dan pewarna bagi keindahan kebudayaan suatu masyarakat
yang layak disebut sebagai masyarakat beradab.
Akan tetapi ketika agama mengaktualisasi dalam kehidupan para pemeluknya
maka keberagamaan terintegrasi ke dalam sistem nilai sosial budaya, dan wujud
kebudayaan fisik yang kemudian bersentuhan melalui proses sosial dengan
elemen-elemen sosial budaya lainnya. Secara sosiologis agama dalam realitas
kehidupan akan bersentuhan pula dengan
pemenuhan kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat fisik-biologis, sosial,
ekonomi, dan politik, maupun kebutuhan-kebutuhan integratif yang menyangkut
hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu keinginan untuk
hidup beradab, bermoral, tenteram, dan damai. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa keberagamaan itu saling terkait antara hal-hal yang bersifat normatif
dengan dimensi kehidupan yang bersifat praksis aktual, baik pada level
individual maupun kolektif. Agama dalam hal ini memiliki posisi sentral
terutama berkaitan dengan pembentukan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
dalam praktiknya tidak jarang ditemukan saling beberturan antara yang satu
dengan yang lain. Agama diharapkan mampu menjadi pendamai dalam paradoksal
kehidupan nilai dan norma dalam tataran yang paling sublim karena selain agama
manusia tidak lagi memiliki keyakinan tempat menyandarkan nilai kehidupan yang
terakhir.
Dengan demikian keberagamaan bukanlah keterpisahan secara total antara
sistem gagasan berupa ide-ide dan praktiknya dalam dunia empiris berupa
pengalaman-pengalaman. Melainkan antara keduanya merupakan kesatuan ide dan
praktik dalam bentuk pengabdian diri secara terus-menerus yang mengantarkan
penganutnya kepada ketenangan dan kedamaian (hati). Mengingat fenomena
keagamaan bukan semata-mata tentang ide yang normatif, tetapi juga menyangkut
tindakan keagamaan dalam konteks sosial budaya. Malahan agama memperoleh arti
dan maknanya yang tertinggi justru dalam praktiknya dan bukan hanya dalam
pikiran karena berpikir tidak pernah eksis di dalam tradisi. Di dalamnya sistem
tindakan mendapat nilai yang seluas-luasnya karena beragama berarti bertindak
menurut agama dan bukan hanya berpikir dan berkata-kata menurut agama, apalagi
tentang agama. Dalam hal ini tidak dapat dihindari haruslah diandaikan bahwa
agama fungsional dalam sistem dan struktur berpikir dan bertindak manusia yang
senantiasa menjaga integritas kepribadian penganutnya. Jadi, agama merupakan
faktor yang menentukan sistem dan struktur tindakan sosial dan kebudayaan dalam
berbagai lapangan kehidupan manusia sehingga agama diharapkan mampu memecahkan
persoalan hidup manusia dan kemanusiaan.
Fungsi Agama
Agama berkaitan dengan
usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri
dan keberadaan alam semesta. Selain itu, agama juga dapat membangkitkan
kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri.
Meskipun perhatian ditujukan kepada adanya suatu dunia yang tidak dapat dilihat
(akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan
sehari-hari di dunia. Agama seringkali bersifat paradoks, di satu sisi agama
dijalani sebagai jalan penjamin menuju keselamatan, cinta, dan perdamaian;
sementara itu, di pihak lainnya agama justru menjadi sumber penyebab dan alasan
bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia. Mungkin, ungkapan yang menyatakan
bahwa manusia akan hidup lebih baik dan tertib serta bahagia, jikalau hidupnya
tanpa agama, seolah-olah benar adanya. Oleh karena agama orang bisa saling
mencinta, tetapi atas nama agama pula orang bisa saling membunuh dan
menghancurkan (Sindhunata, 2003:13). Sampai di sini agama tampaknya plin-plan
terhadap eksistensi manusia, agama menyebabkan kebahagiaan dan agama juga
menyebabkan kesengsaraan; atau agama yang menyebabkan dan menciptakan kedamaian
dan kelestarian, tetapi agama juga yang menyebabkan peperangan dan kehancuran.
Oleh karena itu seolah-olah agama memiliki kepribadian ganda (doubel
personality), yang satu lembut dan melankolis, sedangkan yang lain kasar dan
keras.
Berkaitan dengan kepribadian
yang kedua, agama sebagai yang bersifat kasar dan keras, beberapa catatan
sejarah menunjukkan bahwa agama telah menjadi pemicu permusuhan di beberapa
tempat, tetapi harus pula diakui bahwa agama telah berhasil memberikan nilai
dan arti bagi kehidupan umat manusia. Apabila demikian keadaannya dapatkah
agama diharapkan membantu manusia dalam mengatasi berbagai problem
kehidupannya? Untuk menjawab pertanyaan
ini jawaban sesungguhnya kembali kepada keinginan manusia itu sendiri, apakah
manusia akan membiarkan terjadinya pembusukan terhadap agama ataukah mereka
akan mengembalikan agama pada fungsinya. Dalam hal ini agama adalah
“instrumens” bagi manusia untuk mewujudkan keinginannya, tetapi keinginan
manusia selalu berubah-berubah sehingga agama juga mengalami perubahan sesuai
dengan keinginan manusia. Jadi, agama sesungguhnya tidak pernah mencapai
perkembangannya yang final sehingga agama seolah-olah tidak memiliki tujuan
yang pasti. Dalam hal ini manusia bersikap munafik terhadap agama (nya) sehingga
terjadi pembusukan dan pertukaran peran secara silih berganti sepanjang waktu,
yakni pada saat tertentu manusia membutuhkan agama, sedangkan pada saat lain
agama memerlukan manusia.
Hal ini menurut Kimball
(seperti dikutip Sindhunata, 2003) ada lima hal atau tanda yang bisa membuat
agama busuk dan korup – menyimpang dari fungsinya?. Pertama, apabila suatu
agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan
satu-satunya. Kedua, adalah ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan mereka. Ketiga,
apabila agama mulai ganderung merindukan zaman ideal, lalu bertekad
merealisasikannya pada zaman sekarang. Keempat, apabila agama tersebut
membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara”. Kelima,
apabila agama tidak segan-segan memekikkan perang suci. Walaupun demikian,
cukup satu saja di antara kelima penyebab pembusukan agama itu ada di dalam
masyarakat penganut suatu agama sudah cukup untuk menghancurkan sesama dan
anatarumat beragama. Apalagi kelima-limanya maka kiamatnya segalanya kehidupan
sosial suatu masyarakat sebab kelima klaim pembusukan agama itu merupakan
simbol kehancuran tatanan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Misalnya, dengan mengatakan
bahwa “agama saya adalah agama yang mutlak benar dan satu-satunya”, dengan kata
lain saya hendak mengatakan bahwa “agama orang lain sama sekali tidak memiliki
kebenaran, atau agama orang lain adalah agama yang salah”. Dapat dibayangkan
betapa saya telah menutup kemungkinan-kemungkinan lain yang akan memberi saya
kebenaran tentang kebenaran-kebenaran yang telah dengan sengaja saya tolak
sebelum kebenaran itu datang. Menutup diri dari kemungkinan memperoleh
kebenaran yang lain merupakan sikap pembodohan (pembusukan) dari dalam.
Sebaliknya, dapat dibayangkan berbagai kemungkinan yang buruk (busuknya) reaksi
dari lingkungan eksternal, yaitu dari para penganut agama yang lain, dari
berbagai perspektif agama yang lain. Ini merupakan model kehancuran kebenaran
(agama) yang paling dasyat yang paling mungkin dibayangkan.
Paparan itu kiranya bisa
menyadarkan umat beragama, baik secara institusional maupun individu untuk
bercermin ke arah mana penghayatan keagamaannya sedang bergerak. Apabila
indikasi-indikasi tersebut telah semakin menonjol dalam kalangan umat beragama,
bisa diasumsikan bahwa institusi keagamaan telah gagal dalam perannya sebagai
mediator dalam menyampaikan ajaran-ajaran kesucian agama kepada para
pemeluknya. Indikasi-indikasi di atas secara jelas telah menunjukkan bahwa hal
itu sangat bertentangan dengan fungsi agama yang sesungguhnya dalam
masyarakat. Dikatakan demikian karena
manusia dan masyarakat pada hakikatnya mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu
demi kelangsungan hidup dan pemeliharaannya sampai batas minimal. Sementara
itu, agama berfungsi memenuhi sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu,
meskipun kadang-kadang terdapat ketidakcocokan dalam cara memenuhi kebutuhan
tersebut. Agama diyakini mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan manusia
tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Pertama, agama telah membantu
mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban-kewajiban
sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan
sikap-sikap anggota masyarakat dan menetapkan isi dari kewajiban-kewajiban
sosial mereka. Dalam hal ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem
nilai sosial yang terpadu dan utuh. Sangatlah sulit bagi manusia untuk dalam
jangka waktu yang cukup lama tetap bersepakat mengatur tingkah laku mereka
sesuai dengan bermacam-macam larangan dan perintah yang satu sama lainnya tidak
bertalian. Banyak krisis disiplin dalam masyarakat, seperti disiplin sekolah,
lalu lintas cenderung menjadi gagal ketika penegakan disiplin itu semata-mata
ditekankan dengan menggunakan kekuatan fisik. Di samping itu banyak contoh
telah menunjukkan bahwa masyarakat tidak dapat dipertahankan keutuhannya dalam
jangka waktu yang panjang jika hanya menggunakan kekuatan fisik. Dari dimensi
ini, kemampuan menghargai norma dan nilai sosial budaya merupakan hal penting
yang mutlak dilakukan kepada umat beragama.
Apabila masyarakat diharapkan
tetap stabil dan tingkah laku sosial masyarakat bisa tertib dan baik maka
tingkah laku yang baik harus ditata dan dipolakan sesuai prinsip-prinsip
tertentu yang relatif diterima dan disepakati bersama. Prinsip-prinsip dasar
tersebut berkaitan dengan tujuan-tujuan atau sasaran utama tingkah laku sosial
manusia. Tujuan-tujuan semacam itu disebut dengan nilai-nilai. Pada saat
nilai-nilai suatu masyarakat dapat diintegrasikan dalam suatu tatanan atau
sistem yang berarti, pada saat itulah anggota masyarakat dapat bersatu menuju
ke satu arah dalam tingkah laku mereka, dan hal ini mungkin tidak akan pernah
terwujud dengan sempurna. Nilai-nilai yang dipegang dan dipedomani dalam suatu
masyarakat biasanya berjenjang dan berstruktur. Dalam hirarki ini agama
menduduki jenjang yang tertinggi meskipun seringkali tidak disadari oleh
masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agama dalam hal ini adalah
sebagai pengintegrasi nilai-nilai yang dipegang oleh suatu masyarakat.
Kedua, agama juga memainkan
peranan penting dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat
adat istiadat. Sikap mengagungkan dan rasa hormat terutama yang berkaitan
dengan adat istiadat (sistem moral) yang berlaku. Berhubungan erat dengan
perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri
(Nottingham, 1992:36). Sebagaimana dimaklumi bahwa masyarakat Hindu Bali
dikenal memiliki dan menjunjung tinggi adat istiadatnya. Mungkin sering kali
muncul pertanyaan apa yang menyebabkan adat istiadat itu memiliki kekuatan
memaksa sehingga orang mau melaksanakannya? Ada satu hal yang menjadi kunci
jawaban dari pertanyaan itu adalah adanya nilai-nilai agama yang memberi roh
bagi pelaksanaan adat istiadat itu. Dengan adanya norma-norma agama
memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengan norma-norma tersebut.
Namun penyesuaian dengan norma-norma tersebut akan lebih memiliki kekuatan
memaksa, apabila hal itu disertai dengan ganjaran-ganjaran. Ganjaran dan
hukuman sosial (sanksi sosial) tersebut sampai taraf tertentu masih diakui
dalam semua norma sosial, hanya saja kebanyakan orang mau menyesuaikan diri
dengan norma-norma itu karena pernah menerima sanksi atau cemohan dari
teman-temannya. Jika norma-norma tersebut dikaitkan dalam kerangka yang sakral
maka sanksinyapun dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat sakral. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa agama telah memberikan dasar yang kuat bagi
penetapan norma-norma sosial dalam masyarakat sehingga norma-norma sosial itu
mempunyai kekuatan memaksa untuk menata perilaku masyarakat. Dengan menempatkan
agama sebagai norma tertinggi sebagai pola rujukan tingkah laku, ganjaran yang
diterimapun tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga dunia yang lain, selain
dunia nyata ini.
Ini berarti peranan agama dalam masyarakat
harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang mempersatukan, baik dalam pemikiran
maupun tindakan. Dengan kata lain agama telah menciptakan ikatan bersama
termasuk dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Agama juga berfungsi sebagai pelestarian nilai-nilai yang sakral sehingga
memungkinkan nilai-nilai tersebut dapat ajeg terhadap perubahan-perubahan yang
selalu terjadi pada masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini agama dimanfaatkan untuk
mewadahi norma dan nilai yang menata sistem dan struktur sosial dalam suatu
masyarakat. Agama menjadi ide yang diidolakan pada setiap tindakan sosial
sehingga masyarakat senantiasa berada dalam keseimbangan dan keteraturan sistem
dan struktur yang mantap. Kondisi ini dapat diharapkan memunculkan kehidupan
sosial yang tenteram dan damai yang di dalamnya fungsi agama menjadi penting
dan dominan. Dengan begitu agama pada gilirannya sungguh-sungguh menempatkan
dirinya sebagai pengatur lalu lintas kewajiban-kewajiban sosial melalui
perintah dan larangannya dan di dalamnya warga dan masyarakat tidak dapat
menolaknya. Ini sebabnya pada waktu belakangan ini sejak abad ke-20 agama
menjadi objek menarik bagi kalangan ilmuan dan budayawan.
Hal ini sebagaimana diungkapkan
oleh Robertson (1988:xvii) bahwa salah satu gejala intelektual yang paling
menarik pada abad ke-20 adalah besarnya minat untuk mempelajari agama, dan pada
suatu ketika terdapat kesesuaian pendapat secara luas bahwa kepercayaan agama
sebagaimana difahami secara tradisional, secara mencolok makna intrinsiknya
bagi sebagian besar warga masyarakatat modern. Memperhatikan perkembangan studi
agama-agama dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan
yang pertama bersifat teophosentris, yaitu menelaah agama sebagai seperangkat
ajaran-ajaran dari Tuhan yang tercantum dalam kitab-kitab suci. Agama dipandang
sebagai seperangkat keyakinan yang sakral dan mutlak, yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam
lingkungan di mana ia berada. Studi agama seperti ini bersifat sangat normatif
atau dengan kata lain menggunakan pendekatan yang bersifat tekstual. Pada
dimensi ini agama diletakkan sebagai standar moral dan acuan sopan santun
tingkah laku sosial budaya. Agama dalam hal ini dipandang sebagai pusat-pusat
orientasi nilai yang memiliki kebenaran analistis-ideologis.
Sementara
itu, pendekatan kedua, agama ditelaah sebagai kenyataan yang bersifat
sosio-historis yang tumbuh dan berkembang dalam pengalaman perilaku para
pemeluknya. Dalam pendekatan ini agama lebih dimaknai dalam konteks kehidupan
dan kebudayaan para pemeluknya. Pendekatan ini lebih bersifat kontekstual atau
lebih bersifat empirik. Di dalam praktik ini kebenaran agama secara tekstual
mendapatkan nilai tertingginya karena kebenaran agama lebih ditekankan pada
praktiknya dan bukan hanya dalam kebenaran normatifnya. Walaupun tidak setiap
kebenaran secara normatif selalu sama dengan kebenaran agama secara praksis
dalam kehidupan sosial karena pada kenyataannya tidak ada ide yang eksis dalam
realitas empiris. Akan tetapi setidak-tidaknya agama memiliki dua dimensi
penting bagi manusia, yakni menata pemikiran dan sikap manusia dan juga menata
tindakannya dalam berbagai aspeknya. Secara tekstual agama menata pemikiran
manusia sehingga secara kontekstual ia tidak tersesat dalam dunia pengalaman
yang sarat dengan kontradiksi nilai dan norma. Perpaduan antara agama sebagai
kebenaran tekstual dan kontekstual merupakan ideologi tertinggi dari sebuah
cita-cita keberagamaan dalam setiap masyarakat manusia.
Walaupun
demikian, kedua pendekatan ini sepertinya berlawanan arah dengan segala
kemungkinan yang akan terjadi kelak karena pada kenyataannya tidak pernah ada
kebenaran subjektif sekaligus objektif. Oleh karena itu, bisa jadi muncul
dekonstruksi terhadap ajaran-ajaran agama yang selama ini telah dianggap mapan,
namun tidak tertutup kemungkinan akan terjadi proses dialektis yang akan
menghasil sesuatu yang mengantarkan agama pada situasi yang lebih mendunia
tanpa kehilangan maknanya. Proses ini nampaknya sedang berlangsung terus dalam
dinamika pemikiran para pemerhati masalah-masalah agama. Namun demikian harapan
yang melekat pada proses itu adalah pertama, agama yang mengandung pesan-pesan
moral yang bersifat fundamental tersebut dapat digali dan dikembangkan sehingga
menjadi nilai-nilai aktual yang dapat memberikan pencerahan bagi kehidupan umat
manusia. Dengan demikian studi-studi keagamaan dapat memperkuat sraddha (sistem
keyakinan) umat, bukan sebaliknya, malahan memperlemah keyakinan terhadap
sraddha tersebut. Kedua, studi keagaman juga diharapkan lebih fungsional dalam
membantu manusia mengahadapi problema-problema kehidupan yang semakin sulit
saat ini. Mengingat begitu banyaknya persoalan hidup yang muncul dari aspek
kehidupan lainnya sehingga diharapkan keagamaan tidak menambah persoalan itu.
Ketiga, studi-studi agama diharapkan dapat mempersempit jurang fanatisme sempit
yang memungkinkan terciptanya keharmonisan dalam masyarakat yang multiagama dan
multikultural.
Perkembangan
terakhir tentang kehidupan beragama di Bali menunjukkan fenomena menarik dari
perspektif studi-studi keagamaan. Gejala pertama, yaitu semakin gencarnya para
tokoh agama untuk mensosialisasikan ajaran agama dalam kehidupan aktual
masyarakat Bali, baik pada aspek-aspek kehidupan sehari-hari maupun dalam
hal-hal yang lebih bersifat fondamental. Simak saja materi-materi yang
disampaikan oleh Ida Pedanda Made Gunung melalui Dharma Wacana di Bali TV
ataupun melalui tulisan-tulisan agama di media cetak Bali Post. Kedua, adanya
kecenderungan meningkatnya pengamalan ajaran agama melalui kegiatan-kegiatan
ritual, serta pendalaman aspek-aspek agama melalui kelompok-kelompok
kepentingan khusus, seperti maraknya sekaa santi. Ketiga, semakin luasnya
kecenderungan untuk melakukan kegiatan-kegiatan emansipatoris, seperti “ngayah
sareng-sareng” yang dikoordinir oleh media cetak Nusa dengan kegiatan sosial
religius di lingkungan tempat-tempat suci di Bali. Perkembangan positif
tersebut paling tidak memberikan indikasi bahwa kekawatiran akan munculnya
sekularisme, hedonisme, materialisme telah menjadi kekuatan penyeimbang yang
berarti sehingga akan terjadi masyarakat equilibrium di Bali.
Dari paparan di atas kiranya
dapat dipahami bahwa agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi
sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum
norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku
agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Nilai adalah daya pendorong
dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang. Oleh
karena itu nilai menjadi penting dalam kehidupan seseorang sehingga tidak
jarang pada tingkat tertentu orang siap untuk mengorbankan hidupnya demi mempertahankan
nilai-nilai yang mereka pegang dan yakini benar. Bom bunuh diri misalnya,
merupakan kasus nyata mengenai dominannya peran agama dalam membentuk ideologi
seseorang atau kelompok. Secara konsepsual ataupun pada kenyataan empiris
menunjukkan bahwa seseorang yang tersentuh ideologinya ia akan sanggup
mengorbankan segalanya termasuk nyawa demi memperjuangkan ideologi tersebut.
Hal ini banyak dibuktikan dalam penerapan teori konflik di daerah-daerah rawan
perseteruan eksistensi, seperti di Poso dan Maluku misalnya. Akan tetapi dalam
kasus yang lebih sederhana di Bali misalnya, terjadinya kasus adat dan agama,
perselisihan antarbanjar ataupun desa. Dalam hal ini termasuk perselisihan
dalam pembagian warisan dalam sebuah keluarga, di mana nilai warisan yang
diperebutkan akhirnya jauh lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan demi
memperoleh keadilan – perjuangan ideologi.
Dilihat dari fungsi dan peran
agama dalam memberikan pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk sistem
nilai, motivasi maupun pedoman hidup maka pengaruh yang paling penting adalah
sebagai pembentuk kata hati (Ishomuddin, 2002: 36). Agama juga mempunyai
pengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu
aktivitas karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama
dinilai mempunyai unsur kesucian serta ketaatan yang tinggi. Dalam hal ini
agama dapat berperan sebagai motivator dan inspirator bagi tindakan seseorang.
Sementara agama sebagai nilai etik membimbing manusia untuk bertindak sesuai dengan
norma-norma sehingga dapat memilah mana yang boleh dilakukan dan mana yang
harus dihindari sesuai ajaran agamanya masing-masing, atau dengan kata lain
agama bisa menjadi etos kerja masyarakat pemeluknya. Nilai-nilai etik agama
membuat orang berkewajiban mentaati, baik aturan-turan maupun
perundang-undangan yang berlaku, dan mendorong orang untuk memenuhi
kewajibannya membayar utang atau pajak, serta mendorong orang untuk memberika
dana punia kepada yang membutuhkan. Agama juga memberikan harapan kepada
pemeluknya, sebab orang yang melaksanakan ajaran agama dengan baik banyak
didorong oleh akan adanya harapan tentang pengampunan atau kasih sayang dari
Tuhan/Hyang Widhi Wasa. Ajaran-ajaran agama yang berisikan tentang kebahagiaan
akhirat di samping kebahagian dunia menjadi kekuatan sendiri bagi manusia dalam
menghadapi dinamika kehidupan di dunia yang tidak selamanya sesuai dengan
harapan. Banyak hambatan dan tantangan dapat muncul dalam kehidupan manusia dan
ketika pendekatan rasional telah mengalami jalan buntu maka agama hadir
menawarkan harapan.
Ini berarti agama menjadi
upaya terakhir bagi perjalanan nalar manusia dalam mencari dan menemukan
kebenaran. Pada tingkat ini agama menjadi rujukan tertinggi bagi cita-cita
kemanusiaan sebab kekuatan akal dan kemampuan nalar, ternyata tidak selalu
memuaskan kebutuhan manusia tentang kebenaran. Pada kenyataannya tidak semua
dimensi kehidupan manusia dapat dipahami hanya dengan mengandalkan akal dalam
kerangka rasionalitas sebab menurut pandangan psikoanalisis bahwa kesadaran
manusia ibarat gunung es (Hall, 1980).
Kekuatan akal hanya mampu menggapai puncaknya saja sebagai kesadaran
konvensional, sedangkan kesadaran alamiah manusia secara potensial tersimpan
sebagai ketaksadaran. Boleh jadi, apa yang dimaksudkan oleh Freud sebagai
dimensi ketaksadaran (bawah sadar) adalah dimensi religiusitas manusia menurut
Eliade, dan yang oleh Gryson disebut sebagai Kesadaran Universal atau Realitas
Tertinggi. Pada dimensi inilah agama memainkan perannya terutama dalam upayanya
memahami manusia yang multidimensional (Fudyartanto, 2005).
Simpulan
Agama dengan demikian
berfungsi ganda dan itu sangat tergantung pada para penganutnya. Agama dapat
berfungsi positif sesuai dengan ajarannya ketika ajarannya dipraktikkan dalam
kehidupan sebagai pedoman tingkah laku yang baik dan benar. Dalam hal ini agama
menjadi pedoman tingkah laku etis bagi pemeluknya. Sebaliknya, agama akan
berfungsi negatif, yaitu keluar dari ajarannya ketika penafsiran ajarannya
dilakukan untuk kepentingan kelompok untuk mendominasi kelompok lainnya dalam
arti sempit. Ini berarti agama sangat terbuka untuk ditafsir dan dipahami
sesuai dengan penganutnya, tempat di mana agama itu dipraktikkan, dan saat
agama itu digunakan oleh penganutnya. Agama dalam hal ini akan selalu hidup
dalam kontekstualisasinya.
Agama dengan demikian tetap
memiliki berbagai keterbatasan tergantung pada aktor di belakangnya dan situasi
yang mendukungnya serta tujuan pelakunya. Dalam hal tujuan-tujuan agama tidak
selalu dan selamanya sejalan dengan tujuan-tujuan penganutnya, karena itu
selalu terjadi adaptasi dan penyesuian-penyesuaian tujuan sesuai dengan
perkembangan tujuan manusia yang selalu berubah-ubah seturut dengan
kebutuhannya. Jadi, dalam konteks sosial agama dilaksanakan sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai penganutnya dan bukan selamanya agama
dijadikan pedoman tingkah laku. Agama selalu dinegosiasikan dalam konteks
tindakan, ruang, dan waktu yang menyertainya. Jadi, agama memperoleh nilai dan
makna yang tertinggi pada tingkat praksisnya, baik dalam kehidupan sosial
maupun budaya dalam masyarakat penganutnya. Demikianlah setiap agama bagi
penganutnya merupakan sebuah disiplin tindakan karena menurut Swami Rama (2002)
pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan yang diperoleh dalam pengalaman
langsung. Di dalamnya kebenaran agama mendapat tempat yang paling mulia bagi
kehidupan manusia.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah, Amin. 2005. Kitab Suci Agama-Agama.
Jakarta : Teraju.
Abdullah, Irwan. 2006. Konstrukdi dan Reproduksi Kebudayaan.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Abdullah, Taufik (ed). 2006. Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
Abdulsyani. 2002. Sosiologi: Skematika, Teori dan
Terapan. Jakarta : PT Bumi Aksara
Ali,
Muhammad. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural : Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Fudyartanto.
2003. Psikologi Kepribadian Timur. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
King,
Richard. 2001. Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme : Sebuah Kajian
tentang Perselingkuhan Antara Rasionalitas dan Mistik. Qalam : Yogyakarta
Rama,
Swami. 1984. Perenial Psychology of The Bhagavad Gita. Pensylvania :
Himalayan International Institut
Rama, Swami. 2005. Hidup dengan Para Rsi Himalaya. Surabaya : Paramita
Ramsted, Martin (ed). 2003. Hinduism In Modern Indonesia ( A minority
Religion Between Local, National and Global Interest). London
& New York
: Routledge Curzon.
Roberts, Tyler T. 2002. Spiritualitas Posreligius: Pendekatan Hermeneutis
Transfigurasi Agama dalam Praksis Filsafat Nietzsche. Yogyakarta
: Qalam
Robertson, Roland. 1980. Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta : Rajawali
Sindhunata (ed). 1999. Mengenang YB Mangunwijaya : Pergulatan Intelektual
dalam Era Kegelisahan. Yogyakarta: Kanisius
Sindhunata (ed). 2000. Membuka
Masa Depan Anak-anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogjakarta:
Kanisius
Sindhunata. 2006. Kambing
Hitam, Teori Rene Girard. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.