PESAN
KEBAJIKAN DALAM GEGURITAN BHAGAWADGITA[1]
I Wayan Suka Yasa & W.A. Sindhu Gitananda[2]
Abstrak
Ada
dua arus yang dialirkan oleh Djapa dalam kerja kreatifnya, yaitu arus
mempertahankan tradisi nyastra dan
arus mentransformasikan nilai teks Jawa Kuno ke dalam ranah sastra Bali
tradisional. Dalam rangka mempertahankan tradisi nyastra, Djapa menjadikan dirinya guru tradisi tersebut. Di situ
terjadi proses pembelajaran bahasa-sastra Jawa Kuno dan Bali. Di sisi lain,
dalam konteks mengalirkan teks, terjadi proses kreatif merebut makna dan
membahasakan kembali teks itu dengan bahasa Bali. Maka, dari proses kreatif ini
lahirlah karya-karya geguritan dan yang lainnya. Karya Djapa yang berjudul Geguritan Bhagawadgita kaya dengan pesan
kebajikan. Atas latar dilema moral yang berkecamuk dalam hati Arjuna, maka,
Kåûóa menuntunnya dengan cara mendialogkan topik etik-filosofis, antara lain,
tentang kemunafikan; kebenaran; kenafsuan; kewajiban; cinta kasih; dan
ketidakterikatan.
Kata
kunci: tradisi nyastra, kemunafikan, kebenaran, kenafsuan, kewajiban, cinta
kasih, dan ketidakterikatan.
PENDAHULUAN
Bhagawadgìtà yang menjadi babon Geguritan Bhagawadgìtà (selanjutnya
GBhg) adalah salah satu dari prasthana
traya ‘tiga serangkai kitab puncak Weda’ yang berisi intisari pengetahuan
suci Hinduisme. Para akademisi sepakat menyebutkan bahwa pengarang Bhagawadgita adalah Bhagawan Wiyasa.
Kitab ini diperkirakan dikarang pada abad kelima sebelum masehi (Radhakrshnan,
2009:220). Ada pula yang mengatakan bahwa masa kesejarahan Bhagawadgìtà (Mahàbhàrata)
dalam bentuknya yang sekarang dikenal berasal dari masa peradaban India tahun
400 SM — 400 M (Zimmer, 2009:594).
Dua kitab yang lainnya adalah Upaniûad (terdiri dari banyak kitab) dan Brahma Sùtra. Dalam sistem keyakinan Hindu tiga kitab dimaksud
adalah kitab otoritas. Dari tiga kitab itulah pemikiran besar Hinduisme
mengalir. Teksnya hidup sebagai wahyu, karena selalu memberi inspirasi para
pemikir dan spiritualis sepanjang sejarah Hinduisme. Ada tiga tangga puncak
pikiran filosofis yang dijabarkan di dalamnya, yaitu dvaita ‘paham dualis’, viûiûþhàdvaita
‘monisme terbatas’, dan advaita
‘monisme’. Ketiganya itu dikukuhkan menjadi ideologi pokok dalam sistem
keyakinan Hindu. Keberadaan dari tiga paham itu ibarat anak-anak tangga dharma yang menjadi pijakan penuntun
pendaki spiritual menuju Sang Diri (Narayana, 1996:21). Dvaita adalah anak tangga dasar, wisiûþhàdvaita tangga tengah, dan advaita tangga puncak, yaitu mencapai mokûa ‘kebebasan, kebahagiaan, kemanunggalan’. Bagi yang ingin
mencapai puncak spiritualitas, Hindu mengajak mereka untuk mendaki dari tingkat
dasar: dvaita. Oleh karena itu, Bhagawadgita memulai pencerahan dari bab
II dengan mengajarkan samkhya yoga ‘ajaran filsafat dualis’. Sementara
bab pertama adalah latar yang menjabarkan esensi permasalahan hidup.
Sebagai kitab puncak Hinduisme, Bhagawadgìtà berisi kristal-kristal pemikiran yang jangkauannya
sangat luas dan dalam, yaitu tentang metafisik dan sekaligus etik, Brahmawidya ‘ilmu realitas’ dan yogaúàstra ‘seni menggumuli realitas’.
Ajarannya disastrakan dalam bentuk sloka
‘puisi Sanskerta klasik’. Diyakini bahwa kebenaran yang dijabarkan di dalamnya
hanya dapat dipahami oleh mereka yang telah mempersiapkan diri dengan disiplin
yang ketat. Mahatma Gandhi (dalam Radhakrishnan, 2009:15), salah seorang
pemikir dan pejuang kemerdekaan India yang legendaris itu menyebut Bhagawadgàtà sebagai Gitaúàstra, yaitu nyanyian dharma yang mencerahi hidupnya. Katanya
memuji:
“Gitaúàstra yang masyhur ini merupakan
ringkasan poin-poin pokok keseluruhan ajaran Weda. Pemahaman ajaran Gita ini akan membawa kita pada kesadaran
semua cita-cita umat manusia. Dalam Bhagawadgìtà,
saya beroleh lipuran yang tidak saya dapatkan bahkan dalam Khotbah di Atas
Bukit. Ketika badai kekecewaan melanda dan saya tak kuasa melihat terang, saya
akan membaca Bhagawadgìtà. Saya akan
temukan satu atau dua syair. Dan senyum pun akan merekah meskipun jiwa masih
pengap dengan tragedi. Hidup saya sarat dengan tragedi eksternal. Tapi, berkat
ajaran Bhagawadgìtà, tragedi-tragedi
itu sama sekali tak meninggalkan bekas atau jejak yang tak terhapuskan dalam
diri saya”.
Dengan bahasa yang berbeda Radhakrishnan (2009:18), seorang
filsuf dan pendidik India yang hidup pada tahun 1986-1975, dalam esai pengantar
bukunya yang berjudul Bhagawadgìtà
(2009) berkomentar: “Karya agung ini membentangkan dengan akurat dan tajam
prinsip-prinsip penting keyakinan spiritual yang didasarkan pada fakta yang
kuat, yang dapat dibuktikan secara ilmiah dan imajinasi yang masuk akal. Dengan
sejarah panjang kekuatan spiritual, bahkan sampai saat ini karya agung ini
masih bisa berperan sebagai cahaya bagi umat manusia. Kita masih bisa
mendapatkan pencerahan dari kedalaman kebijaksanaannya. Kebijaksanaan yang
dibawa karya agung ini jauh lebih luas dan dalam daripada yang bisa disentuh
perang dan revolusi. Gita merupakan
faktor penentu yang penting dalam pembaharuan kehidupan spiritual dan memiliki
tempat yang istimewa di antara karya besar dunia”.
Bhagawadgìtà sesungguhnya telah
dipelajari oleh para arif Hindu di Nusantara melalui Bhisma Parwa bab XXIII sampai XL dalam Mahàbhàrata yang dibahasa-Jawakan pada zaman raja Dharmawangsa
Teguh Anantawikrama (abad ke-10 M). Akan tetapi, pada zaman kejayaan Hindu di
Nusantara, dalam sistem aguron-guron
di Bali, kepopulerannya diungguli oleh kitab Saracamuúcaya. Baru kemudian, dari sejak awal zaman kemerdekaan RI,
melalui para pelajar Bali yang belajar kebudayaan dan teologi ke India, Bhagawadgìtà semakin mendapat sambutan
yang luas -- tidak hanya di kalangan umat Hindu-- di Indonesia. Bentuk sambutan
itu, di samping dibaca, bagian-bagian tertentu dikutif dan diulas untuk
berbagai kepentingan, tetapi juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
antara lain oleh Ida Bagus Mantra (tt); Amir Hamzah (1981); Nyoman S. Pendit
(1986); I Gde Pudja (1981); Srila Prabhupada (1986); dan Yudhi Murtanto (2009);
Disarikan antara lain oleh Sri Narayana (1991) dengan judul Intisari Bhagawad Gita, Swami
Prabhavananda (1995) dengan judul Amanat
Bhagawadgita’ Tjok. Rai Sudharta (2001) dengan judul Ajaran Moral dalam Bhagawad Gìtà dan Bhagawadgita dalam Bhisma Parwa (2010); Selain itu juga disadur,
antara lain, dibahasa-prosakan dengan bahasa Kawi oleh I Made Menaka (1990)
dengan judul Bhagawadgita; Beberapa
bab, terutama bab karmayoga-nya
digubah pula menjadi geguritan dengan
judul Geguritan Bhagawadgita (1971)
oleh Ida Ketut Jlantik; dan secara keseluruhan digubah pula oleh I Wayan Djapa
dengan judul Geguritan Bhagawadgìtà
(2004).
Belajar dari pengalaman para pemikir besar terdahulu, Djapa
pun sampai pada simpulan bahwa Bhagawadgìtà
adalah úubha wacana ‘ucapan agung’
atau kesusastraan rohani yang merupakan unteng
panguning Weda (GBhg, 2004:ii) ‘inti pengetahuan Weda’. Djapa merasakan
bahwa betapa sulitnya menyimak dan membahasa-Balikan teks Bhagawadgìtà. Walaupun demikian, karena saking penting nilainya, ia
tetap bertekad menggubahnya kembali dalam bentuk peparikan. Simpulan tekadnya adalah “Puóya karma”
‘mempersembahkan kerja kreatif’. “Orang lain bisa kenapa saya tidak”.
Untuk mewujudnyatakan cita-cita sosial-religiusnya itu,
Djapa melakukan dua langkah kreatif. Langkah pertama adalah berusaha untuk
menghayati jiwa teks dengan membaca patelanan
pisan ‘secara sangat hati-hati’ dalam suasana hati suci. Dalam rangka itu
ia sekaligus membahasakan kembali teksnya ke dalam sebuah buku dengan judul: Bhagawadgìtà, Teks, Kosakata, dan terjemahan
(tt). Setelah itu baru dilaksanakan proses kedua, yaitu marik ‘menyadurnya’ ke dalam bentuk geguritan dengan judul Geguritan
Bhagawadgìtà (2004). Dalam konteks moral, beberapa pesan Bhagawadgita yang
ditransformasikan oleh Djapa kami
apresiasi sebagai berikut.
PEMBAHASAN
(a)
Arjuna dalam Dilema
Moral
Ketika pasukan Duryadana dan Paóðawa telah saling
berhadap-hadapan di Kuruksetra ‘medan
Kuru’ dengan tekad membunuh dan menang perang, Arjuna memohon kepada Sri
Krisna, kusir kereta perangnya, untuk mengendalikan kereta maju ke tengah
lapangan perang agar ia dapat mengetahui dengan jelas siapa musuh-musuhnya.
Kreûóa setuju dan memecut kuda kereta melaju ke tengah lapangan. Di situ di
tengah medan Kuru, Arjuna memangdang barisan musuh Pandawa. Ia melihat kakek
kesayangannya, Bhagawan Bhisma, berdiri tegak gagah perkasa dengan pakaian
kebesaran perang. Demikian pula guru pujaannya, Bhagawan Drona. Yang lainnya
lagi adalah paman dan sanak saudaranya. Mereka semua telah siap untuk tempur
menghadapi Pandawa. Melihat pemandangan itu, semangat perang Arjuna runtuh,
batinnya tertekan, dan badannya gemetar.
Ia sedih, ngeri, dan putus asa. Maka, ia berkata lirih:
Inggih Ratu Prabhu Kreûóa,
anggen sira ngrebut gumi, artha bhoga lan kasukan, sane katindihin mati, ring
tengahing yuda wiûþi, metoh jìwa dhana muwuh, guru yayah putra kakiang, paman
matua cucu malih, saling amuk, ngajak nyama kadang warga (GBhg, I, Sinom:29).
‘Ya
Tuanku, Prabhu Kreûóa. Untuk siapa merebut bumi, harta, makanan, dan
kesenangan? Kok demi itu, sampai hati mempertaruhkan nyawa di tengah medan
perang yang penuh bahaya ini? Untuk apa pula mempertaruhan jiwa melawan guru,
ayah, putra, kakek, paman, mertua, dan cucu. Mengapa kita harus saling
membunuh? Mengapa bermusuhan dengan keluarga, sahabat, dan wangsa?’
Bagi Arjuna, membunuh keluarga adalah tindakan amoral yang
sangat berdosa. Oleh karena itu, ia mengeluh penuh sesal: “Sampun tinas katon. doûa sané ageng pisan, nyedayang kulawarga”
(GBhg,I, Smarandana:34) ‘Sudah jelas
terlihat olehku, betapa berdosanya membunuh keluarga’. Karena, “Kula wargi rusak bhasmi, tetamian kula
warga, pacang sareng rusak reko, kula dharma yéning rusak, gantulaning kula
warga, janten pacang meséh laku, adharmané katuwutang” (GBhg, I, Smarandana: 35). ‘Jika keluarga rusak
binasa, warisan keluarga pun akan ikut rusak. Jika tatanan keluarga rusak, sisa
sanak keluarga jelas akan merubah tingkah laku, mencontoh tindakan amoral’. “Inggih Ratu Sri Nrepati, yéning adharma
punika, sampun ngodag warga reko, kula setri sareng rusak, saking rusaké
punika, waróa-sangkarané metu, sapunika Nàranàtha (GBhg, I, Smarandana: 36). ‘Ya Tuanku Raja. Jika
tindakan amoral telah merajalela dalam keluarga, para perempuan pun akan ikut
rusak. Dari rusaknya kaum perempuan, rusak pulalah keturunan. Demikianlah
Tuan’. “Munggwing sangkarané raris,
ngawinang mangguh duhkita, kadi nrakaloka reko, rinasa de kulawarga, taler olih kulaghna, leluhuré sareng runtuh,
pióða-udaka linupta” (GBhg, I, Smarandana: 37). ‘Rusaknya moral
keturunan itulah yang menyebabkan penderitaan. Bagaikan berada di alam Neraka.
Demikianlah penderitaan yang akan dirasakan oleh keluarga, terlebih-lebih oleh
orang yang membunuh keluarga. Leluhur pun ikut jatuh, bagaikan air
ditumpahkan’. “Uduh tuhu dahat tawah,
pamutusé sané kàmbil, purun negen mahàdoûa, lobha treûóa mangliput, mamuponin
ràjya-suka, nénten ajerih, manyédayang kulawarga” (GBhg, I, Ginada: 40).
‘Oh, betapa anehnya keputusan perang yang diambil ini. Berani menanggung dosa
besar, karena dipengaruhi oleh sifat tamak yang penuh ambisi untuk menikmati
kekuasaan. Maka itu, tidak takut membunuh keluarga’.
Arjuna berpikir jauh ke depan. Ia melihat akibat perang
Bhàrata yang akan meletus. Betapa besarnya penderitaan yang akan diderita oleh
seluruh wangsa Bhàrata. Hal itu semata-mata karena salah mengambil keputusan.
Sudah jelas bahwa perang itulah yang menjadikan dunia ini neraka. Perang akan
mengancurnya tatanan sosial. Akibat dari itu, masyarakat, perempuan, dan
generasi penerus akan bertindak amoral. Pendek kata, Arjuna berkesimpulan bahwa
tindakan amoral itulah yang sesungguhnya menjadikan dunia ini sebagai sebuah
neraka. Argumen Arjuna tersebut kedengarannya sangat didaktis dan logis.
Katanya menyimpulkan: “Lobha treûóa
mangliput” Ego yang membelenggu itulah penyebab utama tindakan amoral’. Ego
yang menggebu-gebu itulah yang menyebabkan orang kehilangan pertimbangan logis
lalu berlomba-lomba bertindak irasional dengan menghalkan segala cara, bahkan
sampai hati membunuh keluarga demi kekuasaan, harta, dan kenikmatan duniawi.
Tindakan irasional inilah yang berakibat mengerikan. Arjuna berkata: “Dosa sane ageng pisan, menyedayang kulawarga”
‘Membunuh keluarga (sesama) adalah dosa yang sangat besar’. Mengingat keputusan
yang berakibat mengerikan itu Arjuna balik bertanya menggugat keputusan perang:
“Napi awinanya raris, dosane tan ràryanan”
(GBhg, I, Smarandana:34) ‘Mengapa
kita tidak punya kebijaksanaan untuk menghentikan tindakan penuh dosa ini?’
Mengambil keputusan untuk berperang adalah sebuah kekeliruan yang besar.
Katanya: “Yéning manut manah titiang,
pacang becikan menawi, para putran Dhretaràûþra, sregep masanjata sampun, newek
déwék titiang nir-ayudha, ring smrabhùmi, titiang nénten maplawanan” (GBhg,I, Smarandana,41). ‘Menurut hemat pikiran saya, lebih baik para putra
Dhretaràûþra yang telah bersenjata lengkap itu menghujamkan senjatanya ke badan
saya. Saya tidak akan berperang melawan mereka di medan perang ini’.
Setelah berkata putus asa seperti itu, gendewanya jatuh dan
duduk tertunduk lesu di lantai kereta. Air mata Arjuna mengalir deras membasahi
pipi. Bukankah konflik batin yang dialami Arjuna itu merupakan cerminan konflik
batin umat manusia di berbagai belahan bumi sepanjang sejarah? Bukankah
belakangan ini, keselamatan alam, makhluk, dan peradaban umat manusia semakin
terancam dimana-mana? Maka, Sri Narayana (Dewan, 2011:1) mengatakan: “Saat ini
di mana-mana terdapat penderitaan akibat tindakan amoral. Pikiran manusia
perlahan-lahan menghancurkan kedamaiannya sendiri. Bahkan mereka yang tidak
bersalah telah menderita akibat beberapa dari mereka mengabaikan penggilan jiwa
di dalam diri mereka”.
(b) Jangan Munafik
Tidak ada akibat tanpa sebab. Konflik batin Arjuna di awal perang Bharata itulah yang menjadi
latar turunnya nyanyian ketuhanan yang disebut Bhagawadgìtà. Nyanyian ketuhanan adalah nyanyian
kebenaran-kebajikan-keindahan. Menyanyikan ketuhanan berarti melipur dan
mencerahi diri agar dapat menyelesaikan konflik. Salah satu sebab konflik
adalah sifat munafik: sebenarnya ia bodoh, tetapi berlagak arif bijaksana;
sebenarnya ia kotor penuh dosa, tetapi berlagak suci. Dan sifat munafik itulah
yang didramakan oleh Arjuna lewat ucapan dan perilaku sedihnya. Itulah plot
awal Bhagawadgìtà. Temanya adalah
kemunafikan. Sri Kreûóa lalu mengambil tugas sebagai “kusir”, pembimbing Arjuna
untuk dapat mengetahui kemunafikannya sehingga dapat sadar diri dan mau
melaksanakan swadharma ‘kewajiban
hidupnya’. Lanjut kisahnya sebagai berikut.
Mendengar keluh kesah Arjuna yang stres berat seperti itu,
Sri Kreûóa yang sedari tadi membiarkan Arjuna mengutarakan unek-uneknya lalu
menoleh pelan ke belakang. Ia menatap Arjuna dengan penuh kasih dan berkata
menegur: “Uduh déwa Sang Arjuna, sapunapi
jeg nungkalik, kayuné liput kaúmala, ring ayat jaga manglurug, boya solahing
ksatriya, tan pinuji, swarga kirti adoh bakat. Sampun adi jeg sumerah, maring kadurlaban ati, nénten patut ring i
déwa, durlaban kayuné tundung, dahat niûþa kojarannya, ndah matangi, duh déwa
Sang Parantapa” (GBhg, II, Ginada: 2-3). ‘O Dinda Arjuna, mengapa
pikiranmu tiba-tiba terbalik diselimuti keputusasaan ketika tiba waktunya untuk
berperang? Ini bukan sikap kesatria. Tidak terpuji. Pahala sorga sulit didapat.
Jangan Dinda tiba-tiba menyerah menghadapi kebimbangan hati. Hal ini tidak
pantas bagimu. Usirlah kebingunganmu yang sangat nista itu. Maka, bangkitlah o
Sang Parantapa’.
Himbauan Sri Kreûóa yang singkat itu, walaupun tegas
menyayat hati Arjuna karena mau ingkar dari sumpah perang ternyata belum dapat
menyadarkan Arjuna akan kewajibannya sebagai seorang kesatria. Terlebih-lebih
Arjuna merasa punya alasan yang sangat mendasar mengapa ia tidak ingin
berperang. Katanya: “Inggih Ratu doh para
titiang nyédayang, ðang gurun titiang sami, dahat singgihang titiang, diastun
titiang bhékûaka, becikan nika nawi, yan saihang, ring nyédayang guru tuwi” (GBhg, II, Dhurma:5). ‘Ya Tuan, mana mungkin saya membunuh mahaguru yang
sangat saya hormati itu? Sesungguhnya, walau pun saya binasa, lebih baik saya
yang dibunuh oleh mereka dibandingkan dengan saya yang membunuh guru’.
Alasan Arjuna itu tentu sangat sulit disanggah, karena
pernyataannya itu adalah aspek kebenaran yang didukung oleh argumen moral
teologis bahwa, membunuh guru adalah brahmaghna,
yaitu sebuah tindakan amoral yang dosanya tak terampuni (Sarasamuúcaya, 322). Akan tetapi, Sri Kreûóa adalah Kusir, Sang
penguasa kebenaran. Dalam konteks politik di Negeri Bhàrata, kekuasaan
kebatilan telah demikian merajalela. Terlebih-lebih sebelumnya Arjuna telah
ambil sumpah untuk menegakkan dharma
negara (Narayana, 1996:4) dan Kreûóa ditetapkan sebagai penasehat politik
Pandawa dari sejak awal. Bahkan, dalam rangka tegaknya dharma ia berkenan menjadi duta perdamaian. Kemudian, dari
pergaulannya dengan para pembesar Negeri Astina, terutama dari kegagalannya
sebagai duta sebelum keputusan perang diambil, Kreûóa mengetahui posisi lemah
orang-orang istimewa Hastina yang sebelumnya disayangi oleh Arjuna. Walaupun
guru dan kakek yang terhormat: Drona dan Bisma, kalau mereka memihak
orang-orang adharma ‘amoral’ dapat
dipandang sebagai musuh dharma.
Kewajiban seorang kesatria adalah berperang melawan musuh-musuh dharma, siapa pun ia. Dalam konteks ini
doktrin brahmaghna tidak berlaku. Guru
yang memihak adharma bukan lagi guru
namanya. Atas dasar itu, untuk mematahkan argumen Arjuna dan membangkitkan
kesadarannya akan realitas sejati dan kewajiban hidup, Kreûóa pertama-tama
mengkritisi kedangkalan wawasan berpikir Arjuna yang menjadikannya munafik,
sebagai berikut.
(c) Pahamilah Kebenaran
Keputusan perang Kuru diambil setelah jalan damai yang
diusahakan Pandawa telah mengalami jalan buntu. Persiapan perang pun telah
dilakukan secara matang. Lalu di saat genting, ketika perang hampir berkobar,
ketika Kreûóa, seorang raja besar telah bersedia mendudukkan dirinya sebagai
kusir, Arjuna tiba-tiba mengambil keputusan sebaliknya: tidak ingin angkat
senjata. Inilah yang mencengangkan. Di sinilah titik puncak kemunafikan Arjuna
kentara. Oleh karena itu, Kreûóa menegur keras: “Boya solahing ksatriya, tan pinuji” ‘Hai Arjuna, perilakumu ini
bukan tindakan seorang kesaria. Tidak terpuji’. Ingkar janji adalah tindakan
sangat tidak terpuji. Mithya wacana
namanya. Bagi kesatria, perang menegakkan kebenaran adalah kewajiban.
Membiarkan ketidakbenaran atau ketidakadilan merajalela adalah tindakan yang
sama sekali penuh dosa. Arjuna, sang perwira andalan Pandawa, karena alasan
bahwa musuhnya adalah sanak saudara, hendak membiarkan ketidakadilan itu
merajalela. Pandangan Arjuna itu sama dengan tebang pilih. Itulah tindakan yang
tidak adil, dan karena itu tidak terpuji. Kreûóa melihat kelemahan pendirian
Arjuna itu. Karena itu, ia menyangkal dengan bertanya seperti keheranan:“Sapunapi jeg nungkalik, kayuné liput kaúmala”
‘Bagaimana ini kok jadi terbalik (ingkar dari keputusan semula)? Pikiranmu kok
tiba-tiba diselimuti keputusasaan?’.
Kemunafikan itu disebabkan oleh pikiran yang diselimuti kaúmala. Kata kaúmala tidak hanya berarti keputusasaan, tetapi juga berarti
kotoran, najis, ketakutan. Apakah yang menyebabkan pikiran kotor? Dalam rangka
menjelaskan dan menyucikan kotoran pikiran itulah wacana Sri Kreûóa memenuhi
fungsi didaktisnya. Setrategi pencerahannya dimulai dengan membuka wawasan
Arjuna. Untuk itu, Kåûóa pertama-tama menyadarkan Arjuna bahwa ia sedang
dikuasai oleh kesadaran egonya. Kesadaran ego adalah kesadaran ilusif, bukan
kesadaran buddhi ‘intelek’, kesadaran
sejati. Maka Kåûóa berkata: “Bawos adi
kadi anak wicakûaóa, napi awinannya raris, wastu nyungsutang, sané tan sandang
sungsutang, wicakûaóa prajnyà buddhi, tan nyungsutang, sang maurip miwah mati” (GBhg, II, Durma:12). ‘Kata-katamu seperti kata orang bijaksana. Tetapi,
mengapa Dinda menyedihkan hal yang tidak patut disedihkan? Padahal orang yang cerdas
dan bijaksana, tidak menyedihkan yang hidup dan yang mati’.
Orang yang tidak memiliki wawasan spiritual yang dalam tidak
mengetahui dengan pasti mana yang abadi dan mana yang tidak abadi, mana yang
benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana tindakan
yang bijaksana dan yang tidak bijaksana. Oleh karena itu, orang menjadi
dikuasai oleh kesadaran ego. Radhakrishnan (2009:127) setelah mempelajari Bhagawadgìta (II, sloka: 14-15)
berkomentar bahwa kesadaran egolah yang merasakan dua kutub yang saling
berlawanan, seperti suka duka, panas dingin itu. Kesadaran ego akan tetap
berlangsung demikian, selama orang terikat pada aspek guna hidup, tubuh,
pengetahuan duniawi, dan tindakan untuk mengejar pahala.
Ciri orang berkesadaran ego adalah pikirannya kacau, tidak
tetap pendirian, mengejar kesukaan sensual, dan menyedihkan yang tidak patut
disedihkan. Oleh karena itu, orang yang berkesadaran ego tidak akan pernah
merasakan kebahagiaan. Akan tetapi, jika orang mau masuk ke dalam dirinya, mau
olah keadasaran di tataran lebih halus berikutnya, yaitu ketika pikiran bebas
dan tidak menaruh minat-hasrat serta membenamkan diri ke dalam kesejatian, maka
ia akan menjadi orang yang lapang hati menerima apapun yang terjadi. Sri Kreûóa
mengatakan:
“Ida sang sudhìréng manah, nénten bingung
maring indiké puniki, patemuning sarwa wastu, wetu manggih suka duhka, panas
tis atep belas ya pinangguh, maka sami nénten nitya, tampénin punika sami. Uduh
dewa Sang Arjuna, sang tan obah ngarepin saluwir indik, dhìra pageh jroning
kayun, ngarepin i suka duhka, janten raris sang dira kadi puniku, kabawosang
sampun kangkat, manggih kalepasan” (GBhg, II, Pangkur: 15-16).
‘Orang
yang teguh pendirian, tidak dibingungkan oleh masalah ini (duniawi). Karena,
pergaulan dengan yang bersifat badaniahlah yang menyebabkan orang merasakan
suka duka, panas dan dingin. Semua itu datang pergi. Semua itu tidak abadi.
Oleh karena itu, terimalah semua itu (apa adanya). O Arjuna, orang yang tidak
goyah menghadapi semua masalah hidup, pemimpin yang teguh pendirian menghadapi
suka duka, dan dengan tegas dikatakan bahwa, orang bijaksana seperti itulah
yang pantas mencapai kehidupan abadi’.
Kesadaran yang terbenam dalam kesajatian adalah kesadaran
yang tercerahi. Orang yang memiliki kesadaran seperti itulah yang disebut orang
bijaksana oleh Kreûóa. Dan dengan wacana itu Sri Kreûóa baru mulai membuka
wawasan Arjuna. Ia tegas menyatakan bahwa orang yang bijaksana tidak akan
berpikir dan berperilaku ambigu. Orang yang bijaksana adalah orang yang
berkarakter dhìra ‘teguh memegang
prinsip yang dilandasi kebenaran’. Apakah kebenaran itu? Untuk menjelaskan hal
itu, Sri Kreûóa memulai ajarannya dengan mengajarkan kebenaran dvaita ‘dualis’ menurut filsafat Samkhya, yakni kemampuan memilah dan
memilih yang tepat dengan andalan pramana
‘berpikir empirik-logis yang didukung oleh wahyu’. Tanpa kemampuan pramana, moral dan iman orang akan mudah
goyah. Oleh sebab itu Kreûóa berkata: “Patut
pisan kinaweruhan, sang malinggih jeroning angga puniki, nika langgeng ya
satuwuk, nénten sida winaúanan, réhning mùla nénten winaúa puniku, sira ugi tan
nyidayang, pacang ngardi mangda bhasmi. Patut
taler kinaweruhan, napi luwir genah sang diri malinggih, nénten langgeng sami
iku, sang diri langgeng setata, apraméya nénten winaúa puniku, awinan déwa
gibrasang, durusang mangadu jurit” (GBhg, II, Pangkur:18-19). ‘Inilah yang (pertama-tama) patut diketahui. Sang
jiwa yang bersemayam di dalam badan ini bersifat abadi. Ia tidak dapat dibinasakan.
Karena memang ia tidak dapat binasa. Maka, siapakah yang dapat membuat agar ia
musnah? Ini juga yang juga pantas diketahui. Apapun wujud yang ditinggali oleh
sang jiwa, semua itu tidak langgeng. Ketahuilah, sang jiwa itu selalu langgeng,
tidak dapat dipikirkan, dan tidak dapat dibinasakan. Oleh karena itu, hai
Arjuna, berperanglah’.
Ada dua realitas yang pertama-tama patut diketahui, yaitu
realitas sejati yang adanya abadi dan realitas yang tidak sejati yang sifatnya
relatif. Realitas sejati adalah atman
‘roh’. Sedangkan realitas yang bersifat relati adalah badan. Roh ada dalam
badan. Kåûóa berkata: “Angganing nyaluk
busana, sané anyar minakàdi, busanané sané lawas, buwuk kesét kutang raris,
kadi punika sang diri, nyaluk angga sané wahu, sasampuné puput ninggal, angga
sané lawas keni, réhning buwuk, jìrna nanà tan paguóa” (GBhg, II,
Sinom:23). ‘Seperti halnya orang memakai pakaian yang baru. Pakaian yang lama
dan sobek lalu dibuang. Demikianlah halnya sang diri memakai badan yang baru
setelah meninggalkan badan yang lama, karena sudah lusuh, sobek, dan rusak,
tidak dapat digunakan lagi’.
Dari pengandaian tersebut perhatian Arjuna diarahkan untuk
memahami dan berpegang teguh semata-mata pada roh, yaitu dirinya yang sejati.
Karena hanya roh itulah yang adanya abadi. Badan ini bersifat relatif, ibarat
pakaian yang jika sudah tua, sakit-sakitan, dan tidak berguna lagi untuk
kepentingan hidup haruslah dibuang, diganti dengan pakaian yang baru. Mengapa
membebani sang diri dengan sesuatu yang tidak berguna lagi bagi dirinya? Oleh
karena itu, yang tidak berguna itu sebaiknya diabaikan saja. Kreûna mengatakan,
kelirulah ia yang menganggap badannya sebagai dirinya yang sesungguhnya. Mereka
yang menganggap badannya sebagai sang diri adalah orang yang berkesadaran badani.
Anak nyastra mengatakan: “Atmané di kulit” ‘rohnya ada di kulit’.
Ciri-ciri mereka adalah mementingkan diri (badannya) sendiri. Baginya,
kekuasaan, Harta, dan berbagai bentuk nikmat indrawi adalah pemenuh hasrat yang
dipandangnya memberi kebahagiaan. Oleh karena itu, mereka mau bersusah payah,
bahkan sampai mempertaruhkan nyawa dengan menghalalkan segala cara demi
mendapatkan pernik-pernik kesukaan indrawi yang dianggapnya memberi kemegahan.
(d) Kendalikan Kàma-mu
Kesadaran badani yang dibiarkan berkembang biak dalam diri,
seperti telah disinggung di atas, sesungguhnya adalah sumber kedukaan. Karena
itu, penting untuk diketahui bahwa kodrat hasrat duniawi adalah keakusan.
Hasrat tidak akan pernah merasa puas walau pun telah diikuti keingiannya berkali-kali.
Kesadaran badani, dibangun oleh indriya
‘indera’. Indriya memiliki kekuatan wiûaya ‘daya magnetik duniawi’ yang
sangat kuat. Ia memberi tawaran instan yang menjanjikan kenikmatan berupa
objek-objek material yang menawan. Wiûaya
itulah yang ngarad kayun ‘menarik
pikiran’ agar selalu terangsang untuk memenuhi selera indriya. Oleh karena itu, orang arif mengatakan, malanglah ia yang
terjebak oleh guna-guna indriya-nya
sendiri. Maka Kåûóa berkata: “Sang dhyàya
wiûaya iku, ngawinang kabhanda raris, antuk gegulak wiûaya, sanggané ya ngardi
mentik, kàmané tan wénten liyan, kàma ngardi krodha mentik.Krodhané ngentikang
bingung, bingung ngardi élinge rujit, élingé benyah punika, ngardi prajnyàné ya
lisik, prajnyàné yan sampun ical, ngardi patita ya pasti” (GBhg, II,
Ginanti: 68-70). ‘Orang yang suka menikmati objek indera dengan sendirinya ia
terjebak dan diikat oleh hukum kenikmatan. Pertemuan indera dengan objek
kesukaannya itulah yang menyebabkan munculnya nafsu selera. Nafsu selera (yang
tidak terpenuhi) tiada lain menyebabkan munculnya kemarahan. Kemarahan itu lalu
memunculkan kebingungan. Kebingungan menyebabkan kesadaran kita rusak.
Kesadaran yang kacau itu lalu menjadikan orang kehilangan kebijaksanaan. Jika
kebijaksanaan itu hilang, sudah pasti menyebabkan orang jatuh’.
Jatuh dalam dimensi spiritual berarti kehilangan kualitas
diri, yaitu durguna ‘bermoral rusak’
sehingga disebut durjana ‘orang
jahat’. Orang menjadi amoral karena avidya
‘tidak memiliki pengetahuan spiritual’. Dalam Mahàbhàrata, orang yang avidya
dan amoral diwayangkan oleh raja Dhristarastra ‘raja Astina yang buta’ dan
putra mahkotanya Duryadana yang egois, kikir, haus kuasa, dan pemarah. Orang
yang avidya dan bermoral rusak inilah
yang menjadi sumber kekacauan dunia. Oleh sebab itu, Kreûóa mengimbau Arjuna
agar tidak menjadi orang yang amoral. Caranya, pertama-tama ketahuilah
kebenaran atau kembangkan daya budi. Hanya dengan mengetahui kebenaran saja
orang dapat “ngalangkungin alas sripit,
alas moha punika” (GBhg, II, Sinom: 54) ‘melewati hutan belantara, yaitu
hutan kebingunan itu’. Kedua, ketahuilah bahwa kàma ‘hasrat duniawi, ego’ yang tidak terkendali adalah sumber
utama yang menjadikan orang terpenjara oleh berbagai bentuk kemalangan.
Menyadari epek buruk kàma
itu, maka orang yang budiman selalu berusaha “mamitetin né kasengguh sarwa kàma gatan manah” (GBhg, II, Pucung: 57) ‘mengendalikan yang disebut
segala jenis keinginan untuk mepuaskan indera’. Dengan kata lain, “mangedohin ugi, inggih punika sarwa rasaning
wiûaya” (GBhg, II, Pucung:65) ‘berusaha menjauhkan diri dari rasa nikmat
sensual’.
Akan tetapi kenyataannya, sangatlah sulit melepaskan diri
dari pengaruh kàma. Oleh karena itu,
Sri Kreûóa berkata: “Uduh adi Kuntì sùnu,
yadyastun sang prajnyà buddhi, ébeking kerta wiwéka, jroning mitet indriya
úakti, nanghing indriya punika, ngarad kayun ida sahi. Sang mrajaya indriyéku, maring Ingsun
manggeh bhakti, prajnyà pratiûþha ngaran, mangda adi tatas uning” (GBhg, II, Ginanti: 66-67). O, Adinda putra Kuntì, walaupun orang cerdas yang
menguasai berbagai ilmu sekalipun (sangatlah sulit) mengendalikan indriya yang sangat sakti itu. Indriya-nya sendiri akan selalu
menarik-narik pikirannya. (Oleh karena itu), orang yang berusaha keras untuk
mengalahkan kàma berbakti dengan
sepenuh hatinya kepada Tuhan. Orang cerdas yang berbakti kepada tuhan disebut prajnyà pratiûþha. Itulah hal yang juga
patut Dinda ketahui’.
Kekuatan kàma
sangatlah berjaya. Orang cerdik pandai sekali pun akan kesulitan mengatasinya.
Agar dapat mengatasinya, Kreûna mengajarkan jalan bhakti kepada Arjuna: “Sang
mrajaya indriyéku, maring Ingsun manggeh bhakti” Untuk dapat mengalahkan kàma berbaktilah dengan sepenuh hati
kepada Tuhan’. Himbauan mendalam inilah yang diwayangkan oleh Bhagawan Wyasa
dengan mencontohkan lakon Arjuna menjadikan Kreûóa sebagai kusir keretanya.
Dalam konteks spiritual, menjadi kusir itu berarti menjadi pengendali pikiran
dan atau keinginan. Hal itu dinarasikan sebagi berikut. Arjuna walaupun ia
adalah tokoh yang cerdas, menguasai berbagai disiplin ilmu, tetapi dalam hal
mengendalikan kàma-nya, ia merasa
tidak mampu. Oleh sebab itu, dikisahkan bahwa pada masa menggalang sekutu untuk
persiapan perang Bhàrata, Arjuna datang ke Dwarawati untuk memohon Kreûóa agar
berkenan menjadi kusir kereta perangnya. Katanya memohon: “Kau yang mulia, aku
menginginkanmu. Aku tidak menginginkan yang lainnya di dunia ini. Aku
menginginkanmu untuk menjadi sais keretaku”.
Mendengar permohonan yang mengesankan itu, Kreûóa menguji:
“Betapa bodohnya dirimu temanku! Mengapa engkau memilih aku, aku yang tidak
bersenjata dibandingkan dengan pasukanku yang sangat kuat? Mengapa Dinda tidak
memilih mereka? Ah, pikiranmu dikaburkan oleh berbagai kejadian belakangan ini
Arjuna”.
Arjuna yang cerdas itu tahu bahwa dirinya sedang diuji oleh
sahabat dan sekaligus gurunya. Oleh karena itu, ia menjawab sambil tertawa:
“Ketika tali kekang kuda-kuda di tanganmu, mengapa aku harus gelisah? Bila tali
kekang kereta kehidupanku berada di tanganmu, mengapa aku harus gelisah tentang
kematian dan apa peduliku dengan yang terjadi di medan perang? Dalam badai
kehidupan kami, kami seperti perahu yang terperangkap dalam badai. Dan
Engkaulah nakoda yang mampu mengendalikan perahu itu ke tepian. Kami
memilikimu. Di mana ada dharma disana
ada kemenangan; di mana Kreûóa berada di sana ada kebenaran” (Subramaniam,
2003:370).
Jadi, kata kunci untuk
dapat mengendalikan daya
sakti kàma adalah bhakti kepada Tuhan. Cara agar dapat bhakti adalah dengan pertama-tama
mengembangkan kesadaran buddhi
sehingga memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang kebenaran atau
spiritualitas yang ada sublim di dalam segala wujud yang relatif ini. Dan
dengan kesadaran buddhi itulah orang
dapat mencapai tahap sthita prajnà,
yaitu “tuûþa àtmani wantah” (GBhg,
II, Pucung: 58) ‘puas dalam kesadaran rohani yang murni’. Cirinya orang sthita prajnà adalah “buddhi kukuh tan sungsut kalaning kéwuh, nora girang suka, luput
saking ràga tali, nénten takut, miwah nénten konggwan krodha” (BGhg, II, Pucung: 59) ‘teguh dalam
kesadaran buddhi, yaitu tidak sedih
ketika ditimpa duka, tidak girang ketika mendapat suka, tidak takut, dan tidak
pemarah.
(e) Laksanakanlah Kewajibanmu
Wujud bhakti dalam
bentuk tindakan adalah “maprawretti
mapangancan buddhi prajnà” (GBhg,
II, Ginada: 40) ‘beraktivitas dengan
berpedoman pada kesadaran buddhi’.
Mengapa harus bekerja dan mengapa harus bekerja dengan kesadaran buddhi? Sri Kreûóa memberi jawaban
ontologis atas pertanyaan tersebut dengan cara bertanya menantang: “Sapasiraké nyidayang, tan makarya jeg
manengil, yadiastun ajebos pisan, réhning manusané sami, nénten sida
mangelidin, prakriti-ja guóa iku, sane maksa ya makarya, réhning manusané sami,
nénten luput, saking gegulak triguóa” (GBhg, III, Sinom: 5). ‘Siapakah yang mampu tidak bekerja atau diam walau dalam
sekejap sakali pun? Sebab, setiap orang tidak dapat menghindari sifat alam
material yang memaksanya untuk bekerja. Kodrat triguóa ‘tiga sifat dasar alam’ itulah yang menyebabkan semua orang
tidak dapat membebaskan dirinya’.
Semakna dengan
pernyataan itu, Narayana (1991:1) menyatakan bahwa manusia harus
melakukan suatu karma sejak saat
bangun tidur hingga saat tidur lagi. Dengan kata lain, sesungguhnya orang telah
beraktivitas dari lahir hingga mati. Orang tidak dapat duduk tanpa melakukan karma. Tidak seorang pun mampu
menghindar dari keadaan yang sulit ini.
Jangankan manusia, Tuhan pun bekerja. Tanpa bekerja keharmonisan alam
semesta beserta segala isinya ini tidak akan eksis, tidak akan dapat
dipertahankan. Apa yang dinyatakan oleh Narayana itu sesungguhnya telah dinyatakan oleh Sri
Kreûóa di zaman Bharata: “Jagaté pacang
winaúa, yening Ingsun tan nuwonin, niyata-karma punika, janten raris kadi
Ingsun, manados sangkara kartà, sane jagi, ngardi sarwa bhùta bhraûþa
(GBhg, III, Ginada: 24). ‘Dunia ini
akan hancur jika Aku (Tuhan) tidak bekerja. Dan jelas bahwa karena itu, Akulah
yang menjadi sumber kekacauan dan membuat semua makhluk musnah’. Oleh karena
itu, “Uduh déwa Sang Arjuna, durusang
margiang ugi, niyata karma punika, dwaning
ya becikan raris, timbang ring akarma wyakti, réhning anggané puniku,
nénten sida kapiara, yéning nénten mapakardi, mula patut, lumaksanang niyata
karma” (GBhg, III, Sinom: 8).
‘Hai Dinda Arjuna, lakukan segera kewajibanmu. Sebab bekerja lebih baik
ketimbang tidak bekerja. Diri ini tidak akan dapat dipelihara jika tidak
bekerja. Telah ditetapkan (sebagai kebenaran) bahwa, orang wajib untuk
melaksanakan tugas hidupnya’.
Vivekananda (1973:6) mengatakan bahwa, semua ini telah
ditentukan oleh hukum karma. Tiada
seorang akan memperoleh sesuatu kecuali ia memang berhak mendapatkannya; inilah
hukum yang abadi. Manusia bekerja dengan berbagai tujuan. Tidak ada pekerjaan
yang tidak dengan motif. Banyak orang menginginkan kemasyhuran, kekuasaan,
uang, dan berbagai bentuk kenikmatan lainnya. Yang lain lagi bekerja untuk
memperoleh sorga. Arjuna pun menyatakan tujuannya memilih Kreûóa sebagai
sahabat, guru, dan kusir hidupnya adalah untuk kemasyhuran. Katanya: “Aku akan
termasyhur di masa depan sebagai manusia yang mana Tuhan mengendalikan keretaku
di medan perang. Namaku akan abadi, karena itu Engkau akan bernama
Pàrthasarathi. Dunia akan tahu bahwa Kreûóa memihak Pàóðawa. Itulah yang aku
inginkan”.
Akan tetapi, bagaimana caranya untuk menghindari nasib buruk
akibat melakukan kerja yang keliru?
Mantra (tt:69) mengatakan bahwa jalan yang benar dalam banyak hal sukar
ditentukan. Kebimbangan muncul karena diakibatkan oleh perkembangan cita-cita yang
sering kali dihalangi oleh tradisi-tradisi dan hal itulah yang menggangu rasa
kesadaran sendiri. Oleh karena itu, Kreûóa menyarankan agar orang mengerti
seluk beluk karma: “Sujatinnya tuhu dahat sengka pisan, mangda
seken tatas uning, ring ne madan karma, mawinan juwa tatasang, napi artos karma
wadi, miwah wikarma, lantur akarmané malih” (GBhg, IV, Durma: 17). ‘Sesungguhnya sangat sulit agar dapat mengetahui dengan
jelas tentang itu yang disebut karma.
Oleh karena itu, hendaknya diketahui apakah arti karma, wikarma, dan akarma itu?’
Karma artinya perbuatan, wikarma artinya perbuatan yang
terlarang, dan akarma artinya tidak
melakukan perbuatan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang yang mengetahui karma yang benar adalah “sang nyidayang seken mangaksi akarma,
jeroning karma kinardi, miwah ngeton karma, wenten jeroning akarma, nika anak
prajnà buddhi, tan binandha, dyastu imput maprawreti” (GBhg, IV, Durma:
18). ‘orang yang dapat melihat dengan jelas bahwa akarma ‘tidak melakukan perbuatan’ ada di dalam karma ‘tindakan’ dan sebaliknya, melihat
karma ‘tindakan’ di dalam akarma ‘tidak melakukan perbuatan’
adalah orang yang arif bijaksana. Ia tidak diikat oleh akibat kerja walaupun
sibuk bekerja.
Pernyataan yang bersifat filosofis itu tentu sulit
dimengerti andaikata Kreûóa tidak dijelaskan lagi makna istilah karma-akarma itu dengan syair
berikutnya: “Sang setata imput jeroning
pakaryan, sakéwanten tan tinali, antuk wohing karya, karma bandana tastas,
genin panguningé masmi, dé sang prajnàn, paóðita ya kawastanin (GBhg, IV:
19). ‘Orang yang selalu sibuk dalam pekerjaannya, tetapi tidak diikat oleh
pahala kerjanya berarti belengguh hukum karma-nya
telah dipupus hangus dengan api kebijaksanaan oleh orang yang cerdas. (Orang
yang mampu berbuat demikian itulah) disebut orang yang bijaksana. Jika
demikian, karma-akarma adalah bekerja
tanpa mementingkan pahala kerja. Sepi ing
pamrih rame ing gawe ‘sibuk bekerja dengan tidak mempedulikan hasilnya’
merupakan himbauan kunci Bhagawadgita.
Mengapa?
Kerja sudah pasti berpahala, entah baik atau buruk,
tergantung visi dan cara kerja kita masing-masing. Jika telah secara potensial
bahwa dalam kerja ada hasil kerja lalu apa perlunya membuang-buang energi
memikirkan hasil kerja. Jika program kerja: visi-misi-tujuan kerja telah
dipastikan dengan benar dan baik, maka kini tinggal melaksanakan apa yang
diprogramkan. Vivekananda (1991) mengatakan bahwa, tugas kita adalah memusatkan
perhatian pada cara kerja dan melaksanakan kerja itu secara konsisten, bukan
pada hasil kerja. Oleh karena itu,
Arjuna, setelah diberi penjelasan yang panjang lebar tentang hakikat dan
kearifan hidup, berkali-kali disarankan untuk melaksanakan kewajibannya: “Sujàtinnya banget pisan ya becikan,
swadharmané kinardi, inggian tan sampurna, timbang ngaryén paradharma, padem
jroning swadharméki, kantun becikan, paradharmane kinardi” (GBhg, III,
Durma: 35). ‘Sesungguhnya jauh lebih baik melaksanakan kewajiban sendiri
walaupun tidak dapat diselesaikan dengan sempurna, ketimbang melaksanakan
pekerjaan orang lain. Mati dalam melaksanakan kewajiban sendiri jauh lebih baik
ketimbang (mati) dalam melaksanakan pekerjaan orang lain.
Melaksanakan paradharma
‘pekerjaan orang lain’ merupakan bagian dari wikarma ‘perbuatan yang dilarang’. Karena, jika mengerjakan
pekerjaan orang lain bebarti melalaikan kewajiban sendiri. Melalaikan kewajiban
berarti tidak menghargai waktu. Dikatakan bahwa waktu adalah Kalaswarùpa ‘perwujudan Tuhan’. Dengan
demikian, mengabaikan waktu berarti melalaikan Tuhan. Melalaikan Tuhan berarti
menjadi buta, kehilangan, dan tidak mempunyai rasa pada ilmu pengetahuan (Bhg,
III:32). Lalu, jika sebagian besar anggota masyarakat berperilaku demikian,
maka terjadilah kekacauan sosial dan perilaku seperti itulah yang disebut adharma.
Hal ini dicontohkan oleh laku Arjuna. Ia adalah seorang kesatria. Kewajiban
utama seorang kesatria adalah bela negara dan melindungi rakyat dengan dan
dalam dharma. Tetapi karena merasakan
bahwa tugas kesatria itu berat, Arjuna ingin berubah profesi, ia ingin menjadi brahmana pertapa. Sikap dan perilaku
yang ingkar dari swadharma ‘kewajiban
sendiri’ seperti itulah yang dikritik oleh Sri Kreûóa dengan mengajarkan karma yoga ‘jalan kerja yang
membebaskan’. Katanya: “Pakaryané
kamargian, wantah yajnané patitis, yéning boya nggén mayajnya, ngawinang jagat
puniki, tinegul karma bandhani, nguleng Ida Hyang Sinuhun, niyata karmané
margiang, mukta-sangga ya dulurin, kéto tuhu, uduh déwa Sang Arjuna” (GBhg,
III, Sinom:9). ‘Melaksanakan kerja
hanya dengan tujuan yadnya. Jika
kerja bukan untuk yadnya, menyebabkan
dunia ini (orang) diikat oleh hukum karma.
Oleh karena itu, laksanakanlah kewajibanmu dengan memusatkan perhatian kepada
Tuhan dan bebaskan diri dari kepentingan pribadi. Demikianlah kerja yang benar,
o Arjuna’.
Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya ‘kurban suci’ demi ajegnya dharma, orang tetap terikat oleh hukum karma.
Jalan satu-satunya untuk dapat bebas dari hukum karma adalah mendarmabaktikan kerja kepada dan atas nama Tuhan demi
kesejahtraan dan kebahagiaan masyarakat. Jadi, itulah yang dimaksud dengan karma yoga. Dan bebas dari hukum karma adalah pahala utama dan tujuan
kerja yang sesungguhnya. Sri Kresna menegaskan: “Anàúritaá karmaphalaý kàryýkarya karoti yah, sa saýyàsì ca yogì ca na
niragnir na cà ‘kriyaá” (Bhg, VI:1). ‘Orang yang bekerja menurut dharma-nya sendiri tanpa terikat pada
hasil kerjanya adalah sa÷yàsìn atau yogin ‘orang yang mencapai kebebasan’.
Dan ia bukanlah orang yang tidak menyalakan api suci, terlebih-lebih tidak
melakukan pekerjaannya’.
(f) Kasihilah Semua Makhluk
Laku hidup dalam tataran karma yoga ‘kerja yang membebaskan’ tidaklah
mungkin dicapai tanpa rasa bhakti
‘cinta kasih’ yang dijiwai oleh kesadaran tattwam
asi ‘Engkau adalah aku sendiri’. Tat
‘Engkau’ adalah Tuhan, yaitu prinsip yang menopang, mengontrol jiwa, seperti jiwa
menopang tubuh. Radhakrishnan (2009:25) mengatakan Tuhan dan jiwa adalah satu.
Bukan karena keduanya sama, tetapi karena Tuhan mendiami dan ada dalam jiwa.
Dialah antaryamin ‘penuntun batin’
yang tinggal jauh di kedalaman lubuk jiwa dan demikianlah prinsip kehidupan
jiwa. Sri Kåûóa berkata: “Sang sampun
sida andulu, sarwa-bhùtani àtmani, sarwa bhùta sthamàtmànam, sampun jagra ring
diri, sarwatra sama daæúana, wénten jroning sarwa murip” (GBhg, VI, Ginanti:29). ‘Ia yang sudah mampu melihat semua makhluk ada dalam
Tuhan dan Atman ‘Tuhan’ di dalam
semua makhluk adalah orang yang telah sadar diri. Maka, di mana pun ia melihat
yang sama, yaitu melihat Tuhan ada di dalam segala yang hidup’.
Atas dasar itu, maka di tataran sosial tattwam asi diberi arti engkau adalah aku. Engkau adalah
saudara-saudara kita, yaitu sesama manusia dan bahkan makhluk hidup lainnya. Ia
yang memiliki kesadaran persaudaraan semesta inilah yogin, yaitu orang yang mengasihi dan karena itu dikasihi Tuhan.
Sri Kreûóa mengatakan: Adweûþa sarwabhùtànàm
‘Jangan membenci semua makhluk’, sayangilah mereka. Sri Kåûóa berkata: “Irihatine wus matinggal, métriné wantah
kagisi, karuóa ya dulurannya, maring sarwa bhùta sami, tan rumasa jroning ati,
manrewénang sarwa wastu, tan kongguhan ahamkàra, jroning suka duhka kalis,
muwuh guluk, oneng mawéh pangampura. Muwuh
bhaktiné kalintang, matiti yoga kinardi, santuûþa jeroning manah, maka miwah
mitet diri, mapangancan kelan ati, manah lan buddhi puniku, suleng maring
Ingsun wantah, subhaktiné ngilis ngatih, sang kadìku, sesayangan ingsun.
Ingsung yukti sayang pisan, maring luputing ajerih, tan kahanan runtag resah,
maring suka duhka kalis, turin nénten pisan naenin, ngardi anak liyan kéwuh,
nénten sida kaobahang, antuk sapasira ugi, ring kadìku, Ingsun yukti sayang
pisan (GBhg, XII, Sinom: 12-14).
‘Ia yang telah meninggalkan sifat iri hati, ia yang hanya berpegang pada métri ‘ramah’ dan karuóa ‘sayang’ kepada semua makhluk, ia yang tidak merasakan dalam
hatinya memiliki segala sesuatu, ia yang tidak dibelenggu oleh keakuan, ia yang
bebas dari suka-duka dan pikirannya terfokus, ia yang senang memaafkan, ia yang
sangat berbakti, ia yang selalu berusaha bertitian yoga, ia yang selalu merasa
puas dan mengendalikan diri dengan berpedoman pada perasaan kasih, ia yang
perasaan dan pikirannya hanya terpusat pada-Ku, ia yang baktinya terfokus
menyatu pada-Ku, orang yang seperti itulah Aku cintai. Aku juga sangat kasih
kepada orang yang tidak pengecut, tidak gentar dan resah, bebas dari suka-duka,
yang sama sekali tidak pernah membuat orang lain susah, berpendirian teguh,
tidak tergoyahkan oleh siapun juga. O Arjuna, kepada orang yang seperti itu Aku
sangat sayang’.
(g) Bebaskan Diri Dari Keterikatan
Keterikatan adalah wujud halus dari kecanduan akan rasa
nikmat. Kecanduan adalah buah dari kàma
‘nafsu; ego’. Seperti telah disebutkan sebelumnya, orang yang berkesadaran ego
selalu ingin memiliki, menguasai, dan menikmati berbagai bentuk kenikmatan
duniawi. Karena ditagihan rasa nikmat,
maka pikiran, perkataan, dan perbuatannya sepenuhnya menjadi terfokus
agar dapat memiliki, menguasai, dan menikmati segala hal yang dipandangnya
dapat memberi rasa nikmat itu. Rasa nikmat yang menyebabkan orang kecanduan
itulah yang disebut wiûaya. Efek dari
ketagihan itu diterangkan: “Sang dhyàya
wiûaya iku, ngawinang kabandha raris, antuk gagulak wiûaya, sanggane ya ngardi
mentik, kàmane tan wenten lian, kàma ngardi krodha mentik. Krodhane ngentikang bingung, bingung ngardi
elinge rujit, elinge benyah punika, ngardi parajnyane ya lisik, prajnyane yan
sampun ical, ngardi patita ya pasti (GBhg, II, Ginanti: 68-69). ‘Dengan memikirkan objek-objek indera, maka orang
dibelenggu oleh berbagai guna nikmat sensual. Pertemuan antara indera dengan
objeknya, tiada lain melahirkan keinginan. Dari keinginan lahirlah kemarahan. Kemarahan
itu melahirkan kebingungan. Kebingungan menyebabkan ingatan rusak. Ingatan yang
rusak menyebabkan daya nalar rusak. Jika daya nalar sudah rusak, maka pastilah
itu yang menyebabkan kehancuran’.
Karena ketagihan, maka waktu hidup orang yang berkesadaran
ego habis hanya semata-mata demi rasa nikmat itu. Orang yang kecanduan, walau
pun seandainya segala objek duniawi yang dianggapnya dapat memberikan rasa
nikmat telah diperoleh dan dinikmatinya, toh ia tetap saja tidak merasa tidak
puas. Keinginan itu ibarat api disiram minyak. Semakin banyak disirami minyak
semakin besar kobarannya. Maka, setelah memperhatikan berbagai wujud kegilaan
masyarakat dalam memburu rasa nikmat
duniawi, Mpu Kanwa (Arjuna Wiwàha,
V:8) sampai pada simpulan: “Apan yan
wàswàsên nidan-idan iking ràt putusana, amet
bhoga swargàdi katêmu yayàtah kasakitan, anghel dening pancendriya sadigawe
mogha wulangun, mungêng tan wruh yyarwaknya wuta têkaping ràga wiûaya”.‘Sebab jika aku perhatikan,
simpulannya, sungguh gilalah orang-orang di dunia ini. (Perhatikanlah, mereka
sama-sama sibuk) berusaha untuk mendapatkan sandang, pangan, dan kenikmatan
lainnya. Walau pun itu diperoleh semua, toh mereka tetap saja menderita. Payah,
oleh karena (sibuk melayani keinginan) kelima inderanya. Salah pandang, maka
mereka linglung terbius. Bingung, karena mereka tidak menyadari dirinya buta.
Mereka dibutakan oleh rasa nikmat sensual’.
Kesukaan masing-masing indera itu berbeda-beda. Indera mata
ingin selalu melihat yang cantik dan lebih cantik lagi; indera penciuman ingin
selalu mencium yang harum dan yang lebih harum lagi; indera peraba selalu ingin
meraba yang halus dan yang lebih halus lagi; indera pencecap salalu ingin
mencecap yang enak dan yang lebih enak lagi; dan indera pendengaran selalu
ingin mendengar suara yang merdu dan yang lebih merdu lagi. Demikian
seterusnya, semakin berlipat gulipatlah keinginan itu bila dibiarkan merajalela
dalam diri. Orang yang merelakan dirinya sebagai pelayan keinginan itu, bagi
Mpu Kanwa, sesungguhnya adalah orang yang sadigawe
‘berpandangan keliru’ atau wuta
‘buta’, yaitu dibutakan oleh ràga wisaya
‘nafsu inderawi’. Dan karena itu, mereka menjadi trêsneng wisaya ‘kecanduan nikmat duniawi’. Jadi, orang buta
dimaksud adalah orang yang lupa daratan, yaitu orang yang tidak menyadari bahwa
ri tattwanya màya, sahana-hananing bhàwa siluman (Arjuna Wiwàha, V:9c-d) ‘pada hakikatnya dunia inderawi itu bersifat
màya: segala sesuatu yang berwujud
ini sesungguhnya adalah siluman (bukan sesuatu yang sebenarnya)’.
Sadigawe adalah ajnana ‘ketidaktahuan, kebodohan’, yaitu
memandang sesuatu yang bukan sebenarnya sebagai yang sebenarnya, mengira tubuh
sebagai diri yang sejati adalah pangkal yang menjadi orang menderita (Baba,
2002:75). Artinya, ajnana itulah mengantarkan orang memasuki pintu neraka. Sri
Kåûóa mengingatkan Arjuna (GBhg, Smarandana,
XVI:21): “Wenten tigang dwara menga,
manekedang sang atma ring kawah weci, bacakannya durus rungu, kàma krodha miwah lobha, maka tatiga patut
tinggalang puniku, mangda tan tumibeng kawah, keto dewa Sang Kiriti”. ‘Ada tiga pintu gerbang yang mengantar
sang jiwa masuk neraka. Perhatikanlah hal itu, yaitu kàma ‘nafsu’, krodha ‘marah’, dan lobha ‘tamak’. Ketiganya itu sepatutnya ditinggalkan agar tidak
jatuh ke kubangan neraka. Demikianlah, hai Arjuna’. Agar Arjuna tidak terjebak
di jalan setan: kàma, krodha, dan lobha itu, maka Sri Kåûóa bertindak
sebagai sais ‘sang penuntun’ yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan
Arjuna. Ia tegas mengimbau: Tasmàd etat
trayam tyajet (BHg, XVI:21d) ‘Hai Arjuna, orang arif bijaksana meninggalkan
ketiganya itu’. Dengan kata lain, jika ingin selamat dan berbahagia,
tinggalkanlah keterikatan. Akan tetapi, bagaimanakah caranya? Sri Kåûóa (GBhg,
XVI, Pangkur:22-24) memberi jawaban: “Janma
sane manyidayang, luput saking tigang dwara tamah iki, nenten mari ipun
ngwangun, àtmanah úréyah punika, sasampun àtmanah úréyah linaku, sida manggih
paramagata, keto dewa Sang Kiriti. Sang
ninggalang widhiúàstra, nuli ipun jenek maring kàma wretti, nika anggen ipun
rurung, sajeroning malaksana, salaminnya nenten mangguh siddhi ipun, maka miwah
sadia, napi malih paramagati. Rehning
kadi punika, mula patut sakancan Pustaka Suci, dados titi lan panuntun,
sajeroning mastikayang, karya-karya mangda nenten salah suduk, matiti sastra
widhana, swadharmane kinardi. ‘Orang yang berhasil lepas dari tiga gerbang
kegelapan itu selalu berusaha berbuat baik untuk sang jiwa. Setelah berbuat
demi kebaikan jiwa, maka ia mencapai tempat yang tertinggi. Demikianlah, hai
Arjuna’. ‘Orang yang meninggalkan sastra suci, lalu ia senang mengumbar nafsu, kàma itu yang dijadikannya jalan untuk
melakoni hidup, maka, selama hidupnya, ia tidak akan pernah memperoleh
keberhasilan dan kesejahtraan, apalagi mencapai tujuan hidup yang tertinggi’.
Oleh karena itu, hai Arjuna, sungguh tepatlah sastra suci ini dijadikan jalan
penuntun untuk memastikan agar tidak salah arah dalam bekerja. Jadi,
laksanakanlah kewajibanmu dengan merlandaskan sastra suci’.
PENUTUP
Ada dua arus yang dialirkan oleh
Djapa dalam kerja kreatifnya, yaitu arus mempertahankan tradisi nyastra dan arus mentransformasikan
nilai teks Jawa Kuno ke dalam ranah sastra Bali tradisional. Dalam rangka
mempertahankan tradisi nyastra, Djapa
menjadikan dirinya guru tradisi tersebut. Di situ terjadi proses pembelajaran
bahasa-sastra Jawa Kuno dan Bali. Di sisi lain, dalam konteks mengalirkan teks,
terjadi proses kreatif merebut makna dan membahasakan kembali teks itu dengan
bahasa Bali. Maka, dari proses kreatif ini lahirlah karya-karya alih aksara,
terjemahan, peparikan (geguritan), ketusan, dan yang lainnya. Karya Djapa yang berjudul Geguritan Bhagawadgita kaya dengan pesan
kebajikan. Atas latar Arjuna dalam dilema moral, maka, Kåûóa menuntunnya
memalui dialog dengan topik etik-filosofis, antara lain, tentang kemunafikan;
kebenaran; kenafsuan; kewajiban; cinta kasih; dan ketidakterikatan.
Daftar Kepustakaan
Baba, Bangali. 1990. The
Yogasùtra of Patanjali. Delhi: Motilal manarsidass Publishers Private
Limited.
Baba, Sri Satya. 1996. Intisari
Bhagawadgita. Jakarta: Yayasan Sri Satya Sai Indonesia.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Huxlyey, Aldous. 2001. Filsafat
Perennial. Yogyakarta: Qalam.
Lal. P. 1994. Mahabharata.
Jakarta: Pustakajaya.
Mantra, Ida bagus. 2006. Bhagawadgita.
Denpasar: Pemda Bali.
Mehta, Rohit. 2005. Panggilan
Upanisad Bertemu Tuhan dalam Diri. Terj. Tjok Rai Sudharta. Denpasar: Sarad.
Menaka, I Made. 1990. Bhagawadgita.
Singaraja: Yayasan Kawi Sastra Mandala.
Panitia Penyusun. 1980. Upadesa. Jakarta: Ditjen Bimbingan Masyarakat hindu
dan Budha Departemen Agama R.I.
Pendit, I Nyoman S., 1986. Bhagavadgita. Jakarta: Dharma Nusantara.
Pudja, I Gde. 1981. Bhagawadgita
(Pancama Weda). Jakarta Maya Sari.
Radhakrishnan. 1953. The
Principal Upanisads. (Terj. 1989). Jakarta: Parijata.
Subramaniam, Kamala, 2003. Mahàbhàrata. Surabaya: Pàramita.
Sura, I Gede. 2006.
Úiwa Tattwa. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.
Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwàha Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan
di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Yasa, I Wayan Suka. 2008. Brahmawidya: Studi Teks Tattwa Jnana. Denpasar: Widya Dharma.
Zimmer, Hienrich, 2003. Sejarah
Filsafat India. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Zoetmulder, P.J, 1983. Kalangwan
Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
---- dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia 1 dan 2. Jakarta: Media Pustaka Utama.