KEPEMIMPINAN DAN KEPEMIMPINAN HINDU
Ida Bagus Gunadha
Kepemimpinan
Menurut Pamudji
(1995:5) kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” yang artinya bimbing
atau tuntun. Dari kata ini muncul kata kerja “memimpin” yang berarti menuntun
atau membimbing. Dari kata ini juga muncul kata “pemimpin”, yaitu orang yang
berfungsi memimpin atau orang yang membimbing atau menuntun. Sementara itu
keseluruhan proses yang dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam menjalankan
tugas membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan bawahannya untuk mencapai suatu
tujuan disebut dengan kepemimpinan.
Dalam sebuah organisasi, proses mencapai suatu tujuan
ternyata didalamnya sarat dengan aktivitas pelayanan sehingga dapat dikatakan
pemimpin adalah pelaksana dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik
dalam memberikan kebijakan maupun suatu keputusan. Triguna (2003) menegaskan
bahwa kepemimpinan (leadership)
memiliki sifat yang universal. Artinya, ditemukan dan diperlukan dalam setiap
kegiatan atau usaha bersama. Kepemimpinan akan ditemukan dalam berbagai
kesatuan sosial. Kepemimpinan terkait dengan kualitas kemampuan individu dalam
menciptakan hubungan harmonis antara pemimpin dengan pengikutnya.
Kepemimpinan adalah kata kerja, bukan kata benda. Kepemimpinan
adalah tindakan, bukan kedudukan. Kepemimpinan ditentukan oleh apa yang
dilakukan, bukan peran yang dijalankan (Nurachadijat-Fauzi, 2006:29). Menurut
Permadi (1992:11) kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku
orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun
kelompok. Kepemimpinan merupakan proses mendorong dan membantu orang lain untuk
bekerja sama secara antusias, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Gunadha, 2000:4).
Menurut Martini dan Namawi, pemimpin adalah orang yang
mampu mengendalikan bawahan, Kemampuan ini dituntut dari setiap pemimpin sebab
tanpa kemampuan tersebut, pemimpin sulit untuk melaksanakan tugas (Alex
S,1996:155). Ini berarti seorang
pemimpin harus mampu mengembangkan, mempengaruhi, dan mengendalikan bawahan.
Disamping itu seorang pemimpin dituntut selalu belajar untuk dirinya sendiri
berkaitan dengan peningkatan moral dan disiplin yang diteladani oleh
pengikutnya. Ini disebabkan seorang pemimpin berperan sebagai Pembina kelompok
yang dipimpin, menciptakan cara-cara yang gampang untuk membangunkan semangat
kerja atau memberi kesempatan serta kemungkinan orang-orang tersebut untuk
memahami apa yang harus dikerjakan dan dicapai, bagaimana caranya dan
syarat-syaratnya yang harus dipenuhi (Karjadi, 1981:20).
Sementara itu, menurut Wiratmaja (1995:27), kepemimpinan
atau leadership memerlukan sifat dan
syarat kelebihan dari yang memimpin terhadap yang dipimpin, yang antara lain
sebagai berikut :
(1)
Kelebihan
dalam mempergunakan rasio atau pikirannya.
(2)
Kelebihan dalam rohani.
(3)
Kelebihan dalam badani.
Kelebihan
dalam rohaniah adalah kelebihan dalam memiliki budi pekerti, seorang pemimpin
akan tetap menjadi pemimpin, apabila ia tetap mempertahankan kelebihannya
terhadap orang sekitarnya, memiliki keluhuran budi pekerti, moral yang baik,
kesederhanaan, keuletan. (Wiratmaja, 1995:27).
Menurut
Permadi (1992:20) kepemimpinan dalam suatu organisasi adalah sebagai berikut.
(1)
Menutupi
kekurang-lengkapan dan tidak sempurnanya pola organisasi.
Dunia terlalu beraneka-ragam, tidak mungkin organisasi
merumuskan segala sesuatu secara lengkap sempurna. Oleh karena itu pemimpin berfungsi untuk mengisi
kekurangan-kekurangan tersebut.
(2)
Mengatur
perubahan yang terus-menerus mengenai kondisi lingkungan.
Manusia ingin menyesuaikan terhadap setiap perubahan yang
terjadi dan dorongan tersebut menimbulkan kebutuhan untuk menguasai segala
sumber agar dapat mengatasi keadaan baru.
(3)
Menyempurnakan
dinamika intern organisasi. Oleh karena organisasi selalu tumbuh berubah dan
berkembang, maka perlu ada penyempurnaan susunan, kebijaksanaan, koordinasi dan
sebagainya.
Kepemimpinan yang baik adalah lingkungan
dimana hubungan-hubungan interpersonal berlangsung dengan baik (Suyono,
2001:41). Kepemimpinan dalam hal ini dapat ditekankan pada seorang pemimpin
secara efektif dapat mewujudkan hubungan yang telah terjadi terhadap
bawahannya. Berdasarkan penjelasan diatas dalam penulisan ini, yang dimaksud
dengan kepemimpinan adalah menurut pendapat Permadi dan dapat ditegaskan dengan
komponen-komponen berikut :
(1)
Mempunyai
kemampuan untuk mengisi kekurangan-kekurangan dalam satu organisasi.
(2)
Mengetahui kondisi lingkungan kerja.
(3)
Mampu
merumuskan sesuatu secara lengkap dan sempurna.
(4)
Menjalin koordinasi dengan bawahan.
(5)
Mampu mengambil keputusan untuk
kesempurnaan.
(6)
Memberi
rasa aman kepada bawahan dan lingkungan kerja.
Dari berbagai pengertian kepemimpinan di atas,
kepemimpinan memiliki beberapa makna sebagai berikut.
(1)
Kepemimpinan
selalu melibatkan orang lain sebagai pengikut.
(2)
Dalam
kepemimpinan terjadi pembagian
kekuatan yang tidak
seimbang antara pemimpin dan yang dipimpin.
(3)
Kepemimpinan adalah
kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan untuk mempengaruhi perilaku
orang lain.
(4)
Kepemimpinan adalah
suatu nilai (values),
suatu proses kejiwaan
yang sulit diukur.
Kepemimpinan Hindu
Kemampuan individual seoarang pemimpin dalam
melaksanakan kepemimpinannya melahirkan model atau gaya-gaya kepemimpinan.
Menurut Nagon (1994:126) gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan tepat, jika
bersikap otoriter terhadap anggota yang tidak terdidik dan kurang mampu,
sebaliknya sikap demokratis atau partisipatif cocok dimiliki pemimpin yang
membawahi anggota yang intelektual dan berpendidikan. Pimpinan otoriter
bersifat inisiatif tidak melibatkan tenaga kerja dalam proses pengambilan
keputusan one man show dan menyenangi
organisasi yang bersifat sentralistik. Pemimpin bersifat partisipatif lebih
meningkatkan aspek menusia dan kerja serta menyenangi system kerja yang desentralisasi
dan sering memberi delegasi wewenang. Ini menggambarkan tipe-tipe kepemimpinan
yang paling mungkin diberikan oleh seorang pemimpin kepada organisasi dan
masyarakat.
Hindu, sebagai agama tertua di dunia ternyata
telah memiliki pemikiran yang cemerlang tentang kepemimpinan. Salah satu tipe
pemimpin ideal yang direkomendasikan oleh Arthasastra
adalah Rajarshi. Secara harafiah
Rajarshi terdiri atas dua kata, Raja dan
Rshi. Raja berarti seorang pemimpin tertinggi dalam system monarki atau
kerajaan. Sementara itu rshi menunjuk
pada seseorang yang berkedudukan sebagai pendeta agama, atau orang yang
memiliki pengetahuan mendalam di bidang keagamaan. Dengan demikian Rajarshi adalah dua buah konsep yang
berbeda untuk membentuk sebuah kata baru sebagai satu kesatuan konseptual.
Dalam konteks pemimpin dan kepemimpinan, raja
dan rshi telah menjadi satu
kesatuan karakter yang memeribadi dalam diri seorang pemimpin (Radendra S,
2005:37).
Di zaman
kerajaan India Kuno, tugas seorang pemimpin (raja) adalah menciptakan sebuah
Negara yang sejahtera, sebagaimana tertuang dalam kitab Yajurveda yang diucapkan oleh Pendeta sebagai amanat sebelum
pelantikan raja dilakukan, sebagai berikut :
“Oh Tuhan, inilah kerajaan yang
mulia, jadilah engkau seorang raja yang menjalani undang-undang dan memberi
petunjuk kepada rakyat; tetaplah tabah dalam kedudukan; yang mulia adalah
seniman yang mengetahui kalau pertanian akan tumbuh subur, dan kemakmuran
Negara akan tetap tak tergoyahkan ; yang mulia tahu kalau rakyat akan menjadi
kaya, dengan demikian rakyat akan dapat menikmati kehidupan yang layak” (Rao,
2003:177).
Sementara itu, ajaran Parikesit yang tertuang dalam Atharvaveda
juga menyebutkan tentang nyanyian pujian terhadap raja menyatakan bahwa
pertanian dan perkebunan hendaknya berada dalam kondisi subur, perdamaian dan
kebahagaiaan memiliki kedudukan yang penting didalam suatu kerajaan, dan yang
namanya kelangkaan hendaknya tidak terjadi dalam kerajaan (Rao, 2003:178).
Pemimpin yang baik menurut Hindu adalah pemimpin yang
mampu memberikan tauladan, selalu mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikangrat), dan menghindari
kesenangan pribadi (agawe sukaning awak).
Hal ini ditegaskan dalam Arthasastra, bahwa kebahagiaan kepala Negara terletak
pada kebahagiaan rakyatnya, apapun yang menyebabkan dirinya senang hendaknya
tidak beranggapan bahwa itu yang baik, tetapi apapun yang membuat rakyat
bahagia itulah yang terbaik bagi seorang raja (Gunadha, 2003:vii).
Dalam menjalankan kepemimpinannya seorang pemimpin wajib
menjalankan konsep-konsep kepemimpinan Hindu yang telah dituangkan dalam kitab
suci. Berbagai kitab yang berisi tentang konsep-konsep kepemimpinan seperti : Nitisastra, Arthasastra, Manawadharmasastra,
Kakawin Ramayana, dan sebagainya memberikan petunjuk-petunjuk tentang cara
mengelola Negara dengan baik dan berorientasi pada tercapainya kesejahteraan
rakyat.
Terkait dengan penelitian ini maka ada dua konsep
kepemimpinan Hindu yang akan dibahas, yaitu Catur
Upaya Sandhi dan Asta Brata. Catur
Upaya Sandhi, yaitu Sama, Bedha, Dana
dan Danda. Sama bermakna bahwa seorang raja harus menjamin setiap warga
negaranya mendapatkan hak yang sama dalam hukum, hak yang sama untuk hidup dan
beraktivitas sesuai dengan swadharmanya,
termasuk juga hak-hak istimewa yang mungkin didapatkan karena kecakapannya. Bedha, bermakna bahwa seorang raja harus
bisa membedakan kawan dan lawan, teman dan musuh, untuk mengetahui hal-hal yang
dapat membahayakan kedaulatan bangsa dan negara. Dana, bermakna bahwa seorang raja harus mampu mengusahakan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memberikan penghargaan kepada yang
berjasa, memberikan sedekah bagi rakyat miskin, membantu negara lain yang
menderita kesusahan akibat bencana, dan sebagainya. Danda, bermakna bahwa seorang raja adalah penegak hokum yang
memiliki ketegasan dalam memberikan hukuman (punishment) kepada orang yang bersalah tanpa kecuali. Untuk
menjalankan keempat hal ini tentu seorang pemimpin harus memiliki karakter kuat
sehingga mampu melaksanakan tugas tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan
emosional yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dharma (Gunadha, 2006).
Di samping itu dalam Hindu dikenal juga sebuah konsep
yang disebut Astabrata. Astabrata sebagai delapan sifat mulia
para dewa dalam pandangan Hindu dianggap sebagai komponen yang memadai untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kedelapan komponen kepemimpinan menurut
astabrata sebagaimana dijelaskan
dalam Kakawin Ramayana dan kitab Manawa Dharmasastra adalah sebagai
berikut :
(1)
Indra Brata, yakni Hyang Indra dianggap mengadakan hujan di dunia caranya dengan
memberi atau menurunkan hujan kepada bumi sama rata, tidak boleh pilih kasih.
Artinya, seorang pemimpin harus mampu memberi kesenangan, mengayomi, dan
memberi kesejahteraan pada bawahan atau orang-orang yang dipimpin.
(2)
Yama
Brata, yakni Bhatara Yama dianggap menjadi dewanya atma neraka, mengatur, dan menghukum orang yang berbuat curang dan
memuji orang suci, jujur, dan setia. Artinya, seorang pemimpin harus mampu
berlaku adil dan tegas, menghukum atau memberi sanksi kepada yang salah dan
memberi penghargaan pada yang berprestasi.
(3)
Surya Brata, yakni tugas berat surya adalah tiap-tiap hari memanasi atau menerangi
seluruh alam karena panasnya seluruh isi dan penghuni alam ini dapat bergerak
atau tumbuh dengan baik. Oleh
karena terangnya mereka dapat berjalan dengan cepat tidak meraba-raba dalam
kegelapan. Artinya, seorang pemimpin harus mampu memberikan penerangan dan
kekuatan pada orang-orang yang dipimpin.
(4)
Chandra Brata, yakni tercermin dalam sifat-sifat bulan, tatkala bulan penuh (purnama)
semua penghuni dunia senang olehnya. Kias rakyat bahwa alam semesta ramah-tamah
dan menunjukkan muka yang tenang kepada rakyat atau pengikutnya, baik dalam
keadaan senang maupun kesusahan. Artinya, seorang
pemimpin harus dapat memberi kesejukan dan kenyamanan pada bawahannya.
(5)
Bayu
Brata, yakni sifat bayu (angin) ini tersebar keseluruh
pelosok penjuru dunia sampai kepada badan seluruh makhluk untuk memberi
kesejateraan hidupnya dengan tak dapat dilihat orang. Artinya, seorang pemimpin
harus memahami hal ikhwal orang-orang yang dipimpin.
(6)
Kuwera
Brata (Dana Brata), yakni Bhatara Kuwara dianggap dewa
kekayaan. Pemimpin harus mengikhtiarkan kekayaan harta benda untuk kemegahan
dan kemakmurannya dan seorang pemimpin harus berpenampilan simpatik dan rapi,
baik dalam penampilan maupun dalam bertutur kata.
(7)
Barurna
(Waruna Brata), yakni Bhatara Baruna dianggap dewa
yang bersenjatakan Naga Panca yang bertugas membasmi sekalian durjana dan
musuh. Artinya, pemimpin harus memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas
sehingga mampu mengendalikan bawahannya dengan kearifan dan kebijaksanaan.
(8)
Agni
Brata, yakni konsep kepemimpinan ini ditirukan sifatnya agni (api) yang selalu menyala dan
berkobar. Artinya, seorang pemimpin hendaknya mampu memotivasi dan membangkitkan
semangat bawahan.
Begitu pula dalam Kakawin Ramayana yang
termuat dalam Sloka 84, dan bagian terakhir dari ajaran Asta Brata, yaitu
sebagai berikut :
Nahan de sang natha kemita, iringkang bhumi subhaga,
Pararthasih yagong sakalara, nikang rat
wi nulatan,
Tuminghal yatna asing sawuwusikanang sasana tinut,
Tepet masih tar weruh kutima,
milaging bancana dumeh.
Artinya :
Demikian kewajiban
seorang raja untuk
melindungi dunia demi
untuk kemakmuran dan kebahagiaan rakyat. Seorang raja harus
selalu mengutamakan kepentingan-kepentingan rakyatnya dan segala
penderitaan rakyat harus dipikirkan. Segala ajaran-ajaran di dalam kitab-kitab
suci harus diikuti dengan seksama. Dengan demikian, rakyat akan tetap
mencintai raja dengan teguh, tidak mengenal kecurangan serta menjauhi penipuan,
itulah akibatnya.
“ Gunamanta sang Dasaratha
Wruh sira ring Weda, Bhakti Ring
Weda
Tar Malupeng Pitra Puja
Masih ta Sireng Swagotra kabeh ”
Sang Dasaratha adalah Pemimpin yang paripurna menurut Hindu. Sebagai
pemimpin hendaknya mengetahui isi Veda sebagai sumber dari semua pengetahuan,
baik pengetahuan kehidupan (gelar urip)
maupun pengetahuan rohani/spiritual (gelar
paraning dumadi). Pemimpin yang baik juga tidak pernah melupakan jasa-jasa
para pendahulu (tar malupeng pitra puja).
Dan pada puncaknya, pemimpin yang sempurna adalah yang welas-asih kepada
seluruh keluarga, rakyat, bangsa dan Negara.
Simpulan
Kepemimpinan Hindu senantiasa berorientasi kepada tujuan hidup sekala dan niskala, jagatditha dan moksa yaitu, terpeliharanya keseimbangan
hidup lahir dan batin. Ajaran kepemimpinan Asta
Brata merupakan pegangan bagi seorang pemimpin, sedangkan konsep Catur Upaya Sandhi merupakan landasan
operasionalnya. Inilah yang disebut sebagai pengetahuan kehidupan (gelar urip) dan pengetahuan spiritual (gelar paraning dumadi).
Daftar
Bacaan
Adia
Wiratmadja, G.K. 1995. Kepemimpinan
Hindu, Yayasan Dharma Naradha.
Anonim. Nitisastra (Praja
Niti) : Ilmu tentang
Kepemimpinan Dalam Agama
Hindu. Singaraja PGA Hindu Negeri.
Gunadha, Ida Bagus. 2006. Kepemimpinan Hindu
: makalah disampaikan dalam matrikulasi Program
Magister Ilmu Agama
dan Kebudayaan. UNHI Denpasar.
Karjadi M.
1981. Kepemimpinan. Bogor : PT. Karya
Nusantara Cabang Bandung.
Mahendra Oka. 2001.
Ajaran Hindu
Tentang Kepemimpinan : Konsep Negara
dan Wisesa. Manikgeni : Denpasar.
Manullang. M.
1992. Manajemen SDM, Gramedia :
Jakarta
Nurachdijan Nur – Ahmad Fauzi Dodi. 2006. Membangun Motivasi
Kepemimpinan.Jakarta Edesa Mahkota.
Pelly, Usman, Menanti,
Asih. 1994. Teori
- teori Sosial Budaya.
Jakarta : Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Parmadi K.
1992. Tuntunan Pemimpin dan Kepemimpinan : Jakarta.
Rai Sudharta
Tjok. 1993. Nasihat Sri Rama Sampai Masa
Kini. Upada Sastra.
Kakawin Ramayana, 1986. Oleh Dinas Pengajaran Propinsi Bali.
Ronald Nagon. 1994.
Pengembangan Produksi
dan SDM. PT. Raja Grafindo Persada Jakarta.
Sidharta, Tjok Rai. 2003.Slokantara Untaian Ajaran Etika, Teks Terjemahan dan Ulasan. Surabaya : Paramita.
Triguna, Ida Bagus Yudha. 2001.Niti Sastra dan Kita.
Makalah disampaikan di Kemenuh Gianyar tanggal 15
Juli 2001.
Triguna, Ida Bagus Yudha. 2003. ”Organisasi Kepemimpinan dan Niti Sastra”. Makalah pada Latihan Ketrampilan Organisasi. Badan Eksekutif
Mahasiswa STAHN Negeri Denpasar tanggal 26 – 29 November 2003.