KAKAWIN SIWARÀTRI KALPA:
Wacana Estetika Tantra
I Wayan Suka Yasa
A. Úiwa-Ratri: Masalah Paradoks
Pada intinya, kita menghadapi dua
persoalan hidup yang bersifat paradoks. Manusia dihadapkan kepada dilema
memilah lalu memilih. Salah pilah dan salah pilih berarti celaka. Oleh karena
itu, kita perlu mengadakan usaha sadar melalui olah pikir dan olah rasa agar
dapat memilah dan memilih yang tepat. Pada abad silam Mpu Tanakung pun ternyata
mempersoalkan hal yang sama. Melalui Kakawin
Úiwaràtri Kalpa (KS) yang diperkirakan ditulis antara tahun 1466--1478M
(Teeuw, 1969:18). Beliau mengajak kita untuk bersama-sama belajar memecahkan
masalah hidup yang paradoks tersebut memalui yoga sastra. Masalah paradoksnya Mpu Tanakung adalah masalah yang
termaksud dalam judul Kakawin Úiwaràtri Kalpa, yakni oposisi
berpasangan antara Úiwa dengan Ràtri. Kata úiwa berarti kesejahtraan atau kemakmuran (Zoetmulder, 1995:1106).
Siwa tampaknya adalah kata penanda
yang dapat bermakna “siang, kesadaran, cinta kasih, kebajikan, kebenaran, tanpa
kekerasan, kedamaian, kebahagiaan, dan segala yang dipandang bernilai luhur
lainnya”. Sebaliknya, kata ràtri
berarti malam (Zoetmulder, 1995:931) adalah kata yang menandakan hal yang
dimaksud dengan “kealpaan, kebencian, kekerasan, kebiadaban, dan segala yang
dianggap bernilai rendah lainnya”.
Secara filosofis, dilema paradoks tersebut ternyata warisan
yang berasal dari azas purba semesta yang padanya secara potensial memang
mengandung sifat dualis. Menurut para penganut paham dwaita “dualis” azas purba itu ada dua, yakni azas Roh dan azas
Materi. Kedua azas inilah azas sebab yang dikenal sebagai pasangan beroposisi
(Zimmer, 2003:274). Lalu secara teologis úiwaistis, azas tersebut
dipersonifikasikan sebagai Bhaþàra Úiwa: personifikasi azas Roh atau hakikat
yang bersifat Sadar yang disebut Úiwa
Tattwa dengan atribut putih. Azas tersebut dioposisikan dengan Bhaþàri Uma
(Giriputri): personifikasi azas Materi atau hakikat yang bersifat Alpa yang
disebut Màya Tattwa (Ràtri) dengan
atribut hitam.
Azas dualis tersebut juga adalah benih yang memberi peluang
kepada kita untuk bebas memilih jalan hidup. Apakah memilih jalan hidup yang
disimbolkan putih atau memilih jalan hidup yang disimbolkan hitam atau jalan
alternatif lainnya. Sri Kåûóa dalam Bhagawadgìtà
(Bab VIII sloka 26) menyatakan seperti berikut.
Úukla-kåûóe gatì hi ete,
jagataá úàúvate mate,
ekayà yàty anàwåttim,
anyayàvartate punaá
Artinya:
Terang
dan gelap ini adalah dua jalan abadi yang di dunia ini dipandang sebagai jalan.
Yang pertama ditempuh, orang itu tidak akan kembali lagi. Tetapi, bila yang
kedua ditempuh orang akan kembali lagi.
Terang dan gelap, bila dikaitkan dengan konsep kiblat suci
Hindu, maka terang atau warna putih adalah atribut manifestasi Tuhan di kiblat
Timur yang dipahami sebagai Bhaþàra Iúwara; sementara warna hitam atau gelap
adalah atribut manifestasi Tuhan di kiblat Utara yang dipahami sebagai Bhaþàra
Wisnu. Dalam tradisi Hindu,
Timur dan Utara sama-sama dipandang sebagai kiblat suci. Akan tetapi, dalam
aspek dualis úiwaistik, Putih di Timur merupakan simbolik Puruûa atau Iúwara (Úiwa). Sebaliknya, hitam di Utara
merupakan simbol dari Úakti atau Prakåti. Úiwa-Úakti inilah pasangan dewata yang paling dimuliakan oleh
penganut paham Úiwa.
Úiwa-Úakti adalah
pasangan ideal mula kreatif. Pasangan cinta-kasih yang purna. Úiwa menurut lontar Tattwa Jnana adalah Jnàna
swabhawa wruh ‘Kesadaran’ yang dipersonifikasikan dengan gelar Bhaþàra Úiwa.
Sebaliknya, Úakti adalah Bhakti ‘Cinta-kasih’ yang
dipersonifikasikan dengan gelar Dewi atau Bhaþàri Uma. Segala yang tercipta
dipahami dan diyakini lahir dari yoga
samgama “perkawinan kosmis-Nya: Jnana+Bhakti ‘Kesadaran+Cinta”, yakni samgama
sakral antara Bhaþàra Úiwa dengan úakti-Nya,
Bhaþàri Uma (Giriputri). Samgama
sakral Tuhan, dengan demikian adalah pernyataan mula Karma ‘Kerja atau azas
Aktivitas Penciptaan Semesta’.
Samgama Hyang yang
Suci dalam kiblat disimbolkan dengan pertemuan kiblat Timur dengan kiblat Utara
yang lalu melahirkan kiblat Timur Laut. Warnanya abu-abu. Abu-abu adalah tanda
dan warna dasar dunia, dan terutama adalah warna dan tanda sifatnya manusia. Mustofa Bisri (2007:19) mengatakan:
“Ternyata dunia ini tidak diciptakan Tuhan hitam putih. Malahan di dunia ini
tidak ada hitam yang tidak berkemungkinan putih dan sebaliknya, tidak ada putih
yang tidak berkemungkinan hitam. Yang hitam bisa keputih-putihan, atau
tercampur putih, bahkan kadang-kadang tampak sangat putih. yang putih bisa
kehitam-hitaman, atau tercampur hitam, bahkan kadang-kadang tampak sangat
hitam”.
Timur Laut, karena terlahir
dari perpaduan dua kiblat suci dengan sendirinya juga suci. Kiblat suci Timur
Laut ini sesuai benar dengan sifat kemanusiaannya manusia. Tetapi juga
sekaligus kiblat yang adil untuk menandai keberadaan Tuhan. Adil karena tidak
melecehkan aspek feminim Tuhan sebagai azas Materi dan tidak juga terlalu
mengagung-agungkan aspek maskulin Tuhan sebagai azas Roh. Keduanya sama agung
dan purna manunggal yang disebut Sang Hyang Ardanareúwari “Ia Yang Tunggal
menunjukkan eksistensi-Nya sebagai dua azas”. Adil juga sebagai orientasi
hidup: Sakala-niskala. Tidak
semata-mata duniawi, tidak juga semata-mata rohani. Timur Laut dengan demikian
menandakan ide sintesis mistik suci: Úiwa-Úakti.
Úiwa menadakan hal yang idealis, yang
niskala, sementara Úakti menandakan hal yang realis, yang sakala.
Mpu Tanakung tampaknya akrab
dengan makna dan fungsi samgama
kosmis dimaksud. Kalau tidak, paham apakah yang mendasari Mpu Tanakung
menalarkan kisahnya. Bahwa Si Lubdhaka dengan memakai kåûóambara kancuga
“pakaian hitam kebiru-biruan” berburu (dari arah Barat Daya) mendaki menyusuri
hutan gunung ke arah Timur Laut. Barat Daya adalah kiblat yang dipandang
sebagai alam binatang atau alam bagi yang bersifat binatang. Lalu
dipertentangkan dengan kiblat Timur Laut, kiblat alam para dewa atau yang
bersifat dewa.
Dipandang dari sudut kiblat,
tampaklah bahwa perjalanan berburu Si Lubdhaka menyarankan makna tentang hidup
manusia yang wajar alami dan berkembang menurut peradaban. Artinya, kisah
tersebut melukiskan perkembangan manusia dengan kemanusiaannya. Bahwa manusia,
dari sejak dini telah berjuang melalui proses pembelajaran untuk selalu
berusaha mendewasakan dirinya sehingga menjadi manusia purna: beradab.
Menurut keyakinan Hindu, pada
mulanya kita dalam keadaan awidya
“tidak tahu. Awidya dapat juga
berarti “keliru mengelola hidup”. Karena tidak tahu, maka kita lebih banyak
dikuasai oleh naluri yang bersifat rajas
“egois” dan tamas “suka senang dan
malas-malasan, berpikiran gelap”. Sifat rajas dan tamas inilah yang dipandang sebagai
sifat binatang. Kita yang bersifat binatang adalah manusia biadab. Manusia
biadab adalah kita yang pàpa “egois,
berdosa, dan sengsara”. Jadi, pàpa
inilah masalah klasik bagi kita yang ingin beradab.
Manusia, siapa pun ia yang
normal: sadar dan kreatif, pastilah memiliki sifat ingin tahu. Jika kita tahu
dan merasakan keberadaan diri dalam keadaan
pàpa “sengsara”, maka secara
naluriah pula pasti ingin hidup bahagia. Didorong oleh keingin-tahuan itu, kita
menjadi kreatif berusaha, terutama berusaha mencari sebab mengapa hidup pàpa. Oleh karena itu, kita lalu
berusaha pula untuk mengatasinya. Jawaban mendetail, mendasar, dan logis atas
semua masalah hidup itulah yang disebut widya
“pengetahuan, kebenaran, kesadaran. Widya
dapat juga berarti “pandai mengelola hidup”.
Hidup bahagia adalah hidup
ideal. Ia yang dapat hidup ideal inilah disebut manusia puóya “berlimpah berkah dan penuh kemurahan hati”. Kesadaran-kebahagiaan inilah idaman.
Karena idaman, tentu belum diraih dan dengan demikian juga masalah. Maka
singkatnya, pàpa dan puóya juga dengan sendirinya adalah
masalah paradoks yang berkaitan erat dengan awidya
dan widya.
Benar, masalah tersebutlah
yang menjadi benih klasik kisahnya manusia seperti kisah hidup Si Lubdhaka, si
pemburu itu. Barangkali karena tergelitik oleh dilema dan perburuan manusia
itu, maka Mpu Tanakung berikhtiar untuk menjawab persoalan dimaksud dengan
mengajukan masalah: bagaimana caranya agar manusia yang pàpa “penuh dosa” dapat menjadi manusia puóya “berlimpah berkah”?
Setelah diadakan dialog dengan
Mpu Tanakung melalui karyanya, maka kemungkinan simpul-simpul jawaban Mpu
Tanakung atas masalah klasik tersebut dapat dibahasakan kembali sebagai
berikut. “Untuk dapat menjadi manusia ideal yang berlimpah berkah kasih sayang,
pertama-tama yang utama bagi kita adalah usaha. Kita haruslah tekun berusaha
hidup bajik menurut darma masing-masing. Orang yang tekun berusaha itulah yang
aku simbolkan dengan Si Lubdhaka berburu. Dalam konteks duniawi, Berburu
berarti berusaha berbuat bajik untuk mendapatkan: (1) dharma “karakter luhur dan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan
duniawi maupun pengetahuan rohani”; (2) artha
“sarana-prasarana hidup”; dan (3) kàma
“nikmat hidup, karena hidup penuh jasa baik”. Sedangkan dalam konteks
spiritual, berburu berarti berusaha menyublimasi atau meruwat sifat binatang
kita masing-masing dengan cara mulat
sarira “mawas diri”. Tujuan terluhurnya adalah untuk mendapatkan mokûa “kelepasan, kebahagian rohani”.
Menyublimasi berarti menghaluskan emosi menjadi rasa utama. Di sisi lain,
sejalan dengan hal tersebut pikiran kasar pun perlu diasah juga dengan ilmu
pengetahuan supaya menjadi daya budi yang unggul. Cara efektif yang aku
sarankan adalah melakukan dhyana:
masuk ke dalam hati sanubari melalui usaha mental yang tertuntun secara
sistematis. Berkontemplasi dari tataran psikologis “mental” ke tataran
estetik-religius “rohani”. Dengan laku tekun sedemikian rupa itulah kita baru
dimungkinkan untuk dapat menundukkan sifat binatang: ego, rasa enggan, dan suka
nikmat sensual itu. Efek olah rasa dan olah budi tersebut adalah menjadikan
semakin benderangnya sifat satwam
“terang, penuh kasih, suci”. Sifat dewa itu, akan tumbuh dengan sendirinya
menjadi karakter utama kita para pencinta ke-Úiwa-an “kesadaran, peradaban”. Untuk ikhtiar suci itu, aku
menawarkan kalpa “aturan suci yang
dapat dijadikan pedoman pelaksanaan upacara ruwatan pada hari puja Úiwaràtri”.
Demikianlah isi renungan
kontemplatif Mpu Tanakung yang sejauh
ini dapat dipahami. Wacana sastra yang penuh makna spiritual itu
kemudian diabstraksi dalam kalimat singkat, lalu ditetapkan oleh Mpu Tanakung
sebagai judul karyanya: Kakawin Úiwaràtri
Kalpa.
B. Úiwa Tattwa: Paham
Ketuhanan dan Yoga Mpu Tanakung
Mpu Tanakung
berkata: wruh ngwang nisphala ning mangö
jênêk alanglang i kalangên ikang
pasir wukir (KS, I:21) “Aku tahu, percuma saja menikmati keindahan, jika
hanya melanglang buana lalu terpesona menikmati keindahan pemandangan
pesisir-gunung”. Analog dengan wacana itu Mpu Tanakung boleh jadi bermaksud
menyapa kita: “Percuma saja Anda menikmati Kakawin
Úiwaràtri, jika hanya terpesona
menikmati lapis-lapis kulitnya saja yang berupa wirama, jalan cerita, dan permainan bunyi atau kata-kata yang
membangun kakawin-ku itu. Hikmah Úiwaratri baru mungkin tersingkap
manakala Anda berhasil mengupas lapis-lapis tanda yang aku narasikan menjadi
kisah Si Lubdhaka. Dan, bila Anda ingin tahu kedalaman makna kisah itu, inilah manggala “syair kunci” berirama Ràgakusuma “bunga cinta” untuk pembuka
tabir tanda-tanda bermakna kisahku itu”. Mpu Tanakung lalu bersenandung seperti
berikut.
Sang
Hyang ning Hyang amùrtti niûkala siràti kinênyêp ing akabwatan langö,
sthùlàkàra sira pratiûthita haneng hådaya kamala madhya nityaúa,
dhyàna
mwang stuti kùþamantra japa mudra linêkasakên ing samangkana,
nghing
pinrih-prih i citta ni nghulun anugrahana tulusa digjayeng langö.
Artinya:
Dewatanya para dewa yang berwujud niûkala, Beliaulah yang sesungguhnya
selalu menjadi pusat renunganku dalam mencari pengalaman estetik. Namun dalam
wujud nyata, Beliau selalu aku muliakan di dalam padma hatiku. Untuk itu, aku
melakukan dhyana, stuti, kutamantra, japa, dan mudra.
Dan yang menjadi tujuan citaku semogalah Beliau berkenan menganugerahi aku jaya
dalam pengalaman estetik.
Manggala KS, dengan demikian
adalah jalan bagi kita untuk masuk ke pembahasan aspek Brahma widya “pengetahuan ketuhanan" yang terkandung dalam Kakawin Úiwaràtri Kalpa. Dari pembacaan
makna judul, kaitannya dengan manggala
dan pokok narasi Si Lubdaka di atas, dapat dipahami bahwa Mpu Tanakung tampak
bermaksud menghimbau kita, para pembaca karyanya, agar giat berburu sattwa.
Kata sattwa
berarti makhluk hidup atau binatang; dapat juga berarti sifat murni atau
kebaikan (Zoetmulder, 1995:1056). Dalam konteks spiritual arti yang kedualah
yang lebih diacu, yakni berburu kebajikan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan digjayeng langö “kejayaan hidup: hidup
bahagia”. Pengalaman hidup bahagia adalah pengalaman estetik, pengalaman akan
rasa indah, yakni indahnya hidup, indahnya akrab dengan lingkungan hidup. Pengalaman
estetik, di samping sebagai tujuan, juga sesungguhnya adalah sarana dan jalan
yang efektif untuk (1) muktang kleúa
“melebur pàpa, dosa”. Dan (2) dengan
leburnya pàpa berarti dapat muliheng niraúraya “mencapai pengalaman
religius; kembali ke alam kelepasan”.
Lalu mengapa olah laku Mpu
Tanakung disebut laku yoga sastra
yang bersifat religius? Karena, yang menjadi inti gita-pujanya memusat
terkontemplasi kepada Sang Hyang. Sang Hyang-nya Mpu Tanakung dipahami dan
barangkali dialaminya sendiri dalam dua murti
“perwujudan”: niûkala “tanpa wujud”
dan sekaligus juga sthulakara (sakala) “berwujud”.
Sang Hyang dalam
wujud-Nya yang niûkala berarti Tuhan
dalam wujudnya yang tidak berwaktu (Yasa, 2004:61). Artinya, Ia tidak berwujud.
Tidak berwujud dan tidak berwaktu berarti nirguóa
“tidak bersifat dan dengan demikian berkeadaan tidak terbatas”. Tidak bersifat
berarti bebas nilai, yakni bebas dari tiga sifat prakåti yang disebut triguna:
satwam “terang”-rajas “aktif”-tamas
“gelap”.
Sang Hyang yang niûkala ini mengingatkan kita akan
konsep Tuhan Yang Transenden. Dalam upaniûad
disebut Nirguóa Brahman dan dalam
lontar-lontar Úiwaistik disebut Sang
Hyang Paramaúiwa. Ia Yang Transenden dimaksud adalah tujuan terutama yang
sesungguhnya diburu oleh Mpu Tanakung melalui yoga sastra “kontemplasi dengan sarana dan jalan seni bahasa”. Dan
yang dimaksud mencapai tujuan adalah menemukan-menghayati-dan mengalami ke-úiwa-an:
“kebenaran-kebajikan-keindahan”.
Akan tetapi, Mpu Tanakung
menyadari betul bahwa Ia Yang Transenden ini tidak dapat dipikirkan dan
dirasakan. Kesadaran yang diwacanakannya pada baris satu manggala tersebut merupakan kesadaran yang bersifat adwaita “monisme, non-dualis”. Dan hal
itu tentu sangat sulit dicapai. Sarat pencapaiannya adalah diam total dalam yoga:
samadhi “kemanunggalan”. Diam total
berarti tidak bergerak, tidak berpikir, dan sekaligus tidak merasakan. Keadaan
diam yang dalam ini adalah keadaan yang paradoks dengan kemanusiaannya manusia.
Kemanusiaannya manusia adalah bergerak, aktif berburu memburu makna atau itu
yang dipandangnya bernilai melalui proses kreatif: berpikir, merasakan,
berbicara, dan olah laku.
Oleh karena itu, dalam praktek
estetik-spiritualnya, Mpu Tanakung mengawali keberangkatannya berburu makna
menuruti kemanusiaanya sendiri, yakni dengan melakukan perjalanan spiritual
yang kontemplatif menuju ranu “danau”
di tengah hutan dan di situ, di tengah ranu ia menemukan lingga. Adakah itu berarti tirthayatra
“perjalanan suci untuk menemukan air suci dan dengan demikian, sekaligus mendapat
pengalaman spiritual?” Dalam tirthayatra
itu Mpu Tanakung bersenandung tentang keindahan. Keindahan alami lembah bukit
pegunungan. Di situ dan selama perjalanan itu, ia sekaligus berpikir-merasakan
kehadiran Ilahi: berpikir Tuhan yang dapat ia pikirkan; merasakan Tuhan yang
dapat ia rasakan; dan menyenandungkan kebesaran Tuhan yang dapat ia katakan.
Sekali lagi, kemanusian Mpu
Tanakung yang kreatif itulah yang menjadi alasan mengapa ia lebih memilih
menghadirkan Tuhannya turun ke tataran manusia dengan sifat-Nya yang manusia
dewa, yakni dalam wujud-Nya yang sakala-niskala
“nyata-rohani”: berpribadi dan praktis. Senandungnya menyambung dan menurunkan
makna baris pertama, syairnya: Sthùlàkàra
sira prathistita haneng hådaya kamala madhya nityasa “Namun dalam rangka cipta sastra, wujud-Nya yang
berpribadilah yang aku pilih. Untuk
itu, Beliau selalu aku hadirkan. Aku muliakan Ia sebagai Tuhan yang bertahta di
hati sanubariku yang bagaikan kembang padma ini”.
Proses ritual menurunkan Tuhan
dari alam niûkala “transenden” ke
alam sakala-niskala
“imanen-transenden” ke hati inilah yang disebut ngrêdana atau nyraya
“memuja dengan tujuan untuk memohon berkah taksu
atau restu”. Tuhan turun ke
tataran kemanusiaannya manusia ini merupakan prosesi yang bersifat tantris.
Prosesi sakral yang kemudian dalam narasi kakawin-nya
ditandai dengan pembayangan konsep sandhi
“pertemuan” kiblat, yakni membayangkan pergeseran kiblat Timur ke Utara untuk
bertemu dengan Ia yang juga bergeser dari kiblat Utara ke Timur. Di situ, pada satu titik, yakni di tengah
antara Timur dan Utara terjadilah perkawinan kosmis. Perkawinan itu adalah lila “permainan” Tuhan yang kemudian
membuahkan segala yang menjadi.
Tuhan yang berpribadi ini
segera pula mengingatkan kita akan paham Tuhan Yang Imanen, yakni paham bagi ia
yang meyakini keberadaan Tuhan yang berpribadi; paham bagi ia yang meyakini
Tuhan dapat berpribadi dalam berbagai perwujudan; paham bagi ia yang meyakini
Tuhan dapat hadir di mana-mana; dan paham bagi ia yang meyakini Tuhan dapat dihadirkan
melalui doa yang tulus. Keyakinan ketuhanan dan laku spiritual Mpu Tanakung
dimaksud ternyata dibenarkan Sri Kåûóa. Katanya kepada Arjuna (Bhagawadgita bab 12,sloka 5) seperti
berikut.
Kleúo
‘dhikataras teûàm, avyaktàsakta-cetasam,
avyaktà
hi gatir duáka÷, dehavadbhir avàpyate
Artinya:
Sungguh sangat sulit untuk memusatkan pikiran
kepada Ia Yang Tak Berwujud, Yang Tak Termanifestasikan itu. Pastilah sukar,
karena orang terikat oleh wujud jasmani ini.
Sekali lagi, Mpu Tanakung
menyadari betul kemanusiaannya yang kurang lebih sama dengan manusia lainnya.
Karena, bagaimana pun juga, terefleksi bahwa pikiran manusia cenderung terikat
oleh nama-rupa “nama dan bentuk”. Dan
wujud yang paling mengikat manusia adalah badan jasmani, diri kita sendiri.
Oleh karena keterikatan pikiran kepada wujud, selaras dengan kodrat manusia,
maka Mpu Tanakung memilih wujud untuk dipakai umpan memancing pikiran.
Tujuannya, agar pikiran lebih mudah dapat ditarik, dikonsentrasikan, dan
dikontemplasikan. Akan tetapi kini, wujud yang dipakai umpan mancing bukan lagi
wujud duniawi, melainkan wujud sakral.
Jadi, disitu terbayang ada
proses pergumulan pemikiran. Bergumul mengalihkan perhatian pikiran.
Mengalihkan pikiran yang semula cenderung lebih memikirkan obyek nikmat yang
bersifat duniawi yang ada di luar diri, kini dialihkan ke obyek nikmat yang
lebih halus yang ada di dalam diri. Bagi Mpu Tanakung itulah jalan kuno
yang praktis. Oleh karena itu, ia lalu
selalu berusaha menghadirkan-Nya. Hadir berarti Tuhan berkenan mawujud,
berkenan berstana, berkenan dimuliakan, dan berkenan pula melimpahkan anugerah.
Akan tetapi, hadir yang diharapkan bukanlah kehadiran yang hadir di luar diri
seperti kehadiran Tuhan bagi para penganut paham dwaita “dualis”. Namun, hadir di dalam, yakni di tengah, di pusat, di hati nurani.
Kehadiran-Nya di hati sanubari inilah yang dimaksudkan dengan kehadiran sakala-niskala “nyata-rohani”, yakni
kehadiran keyakinan menurut penganut paham wasisthàdwaita
“monisme terbatas”.
Dalam terminologi Hindu, Tuhan
Yang Imanen disebut Saguóa Brahman
“Tuhan yang penuh daya-guna; Tuhan Yang Berkepribadian; Tuhan yang Kuasa atas prakreti-Nya”. Dalam sejumlah lontar tattwa yang sampai kini diwarisi di
Bali, Ia Yang Berkepribadian ini disebut Sang
Hyang Sadaúiwa. Kepribadian-Nya disebut caduúakti
“empat daya sakti”: (1) jnàna sakti
“Mahatahu”; (2) kriyaúakti
“Mahakarya, Mahakreatif”; (3) wibhuúakti
“Mahasempurna, Mahakaya”; dan (4) prabhuúakti
“Mahakuasa”. Ciri adikuasa-Nya yang tiga disebut trilocana “bermata tiga”: (a) dùraúrawana
“dapat mendengar segala suara, yang jauh pun yang dekat”; (b) dùrasarwajñà “mengetahui segala pikiran
makhluk, yang jauh pun yang dekat”, dan (c) dùradarúana
“dapat melihat segala, yang jauh pun yang dekat”. Ciri keagungan Tuhan yang
delapan disebut aûþasiddhi atau aûþaiúwarya (Wåhaspati Tattwa: sloka 14). Jadi, Tuhan yang saguóa inilah yang dimohon oleh Mpu Tanakung untuk hadir. Dan dalam
cerita Kakawin Úiwaràtri Kalpa (pupuh
29:4), ciri-ciri ke-Úiwa-an
tersebutlah yang dianugerahkan oleh Bhaþàra Úiwa kepada Si Lubdhaka Roh.
Keberhasilan menghadirkan
Tuhan di dalam hati sanubari, berarti berhasil mendapat anugerah berupa taksu. Taksu sebagai hasil yoga
sastra adalah daya pengalaman estetik-religius “digjayeng langö”. Laku yoga sastranya Mpu Tanakung adalah laku
seorang bakta “abdi yang tulus” yang
suka bersenandung me-wirama-kan kakawin cetusan nuraninya. Nurani yang
penuh rasa bakti. Cetusan nurani berarti wahyu atau prana yang mengejawantah ke luar diri melalui gerbang mulut sang
pujangga. Lalu itu “wahyu” dicatat dan dimekarkan dalam rupa cipta sastra. Dan
senandung bakti Mpu Tanakung yang kita bicarakan ini bernarasi tentang kisah
seorang tokoh. Tokohnya bukan tokoh konvensional: sang atau dang atau hyang, orang besar atau manusia dewa
seperti yang umum banyak dikisahkan pada zamannya. Tetapi tokoh inkonvensional:
si, yakni orang jelata, seorang
pemburu dari suku terasing dan miskin yang diberinya nama Si Lubdhaka.
Puncak senandung sujud
baktinya dapat kita nikmati kembali dalam narasi cerita Si Lubdhaka. Di situ
terdapat dua syair ber-wirama Ràga Kusuma (pupuh 33) seperti berikut.
Om sêmbah ning anàúraye carana pangkaja
bhuwanapatiki tinghali,
wàhyàwahya
panêmbahi ngwang i kiteka satata kinabhaktyan i
nghulun, byaktàbyakta kiteng saràt kita hurip ning ahurip agawe
halàhayu, sang manggêh pinakeûþi ning mahalilang manah anilarakên daúendriya.
Ring
dikûàdi niwåty atìta pinakàntanika kita wiúeûa tan kalen,
yan
ring weda kitàwak ing pranawa mantra taya lêwiha len sake kita,
mùrtyàmùrti
kitàtisùkûma saka ring tanu kita maganal sakeng agöng,
munggw
ing sthàwara janggamàdi kita kewala paran ing angungsi úùnyata.
Artinya:
Om, sembah hamba yang tiada berpelindung ini pada
kaki padma-Mu Hyang Bhuwanapati, saksikanlah,
Lahir-batin sujud bakti hamba kepada-Mu. Engkaulah
satu-satunya Tuhan yang selalu hamba puja.
Engkau nyata-tidak nyata di dunia, Engkau jiwa
dari yang hidup, Engkaulah pencipta baik-buruk.
Engkaulah yang Langgeng menjadi pusat renungan,
yang menyucikan pikiran, yang melenyapkan sepuluh nafsu.
Dalam dikûa
dan yang lainnya, dalam nirwåti, dari
awal sampai akhir, Engkaulah penguasanya tiada lain.
Dalam Weda Engkau berwujud Pranawa Mantra, tidak ada yang lebih utama dari-Mu, Tuhanku.
Engkau berwujud-tak berwujud, Engkau sangat sukma,
Engkau jiwa dalam badan, Engkau lebih besar dari yang besar.
Engkau ada pada tumbuh-tumbuhan, binatang, dan
yang lainnya. Engkaulah yang menjadi tujuan orang yang mencari sunyata.
Dalam cerita Si Lubdhaka, dua
syair tersebut adalah pujastuti Bhaþàra Yama
kepada Bhaþàra Úiwa. Dalam dua syair itu tampak terangkum pandangan dunia dan
orientasi estetik-spiritual sang penyair, Mpu Tanakung, yang terus ia turunkan,
yakni turun dari tataran wasisithàdwaita
“monisme terbatas” ke tataran dwaita
“dualis”. Maksudnya, Itu yang berstana di hati sanubarinya dimohon pula untuk
berkenan mewahyukan diri-Nya ke luar dari diri sang pujangga. Sehingga dengan
demikian, Ia lebih dapat dinikmati sebagai sebuah drama hidup laku bakti: kaula-Gusti, sebagai berikut.
Di hadapan Tuhan ia adalah abdi
yang anàúraya “merasa tak
berpelindung”, maka aúraya “mohon
belas kasih” dengan cara memuja yang etis di carana pangkaja Bhuwanapati
“kaki padma Sang Hyang Penguasa Semesta”. Sembahyangnya adalah bakti yang tulus
wahyàwahya “lahir-batin”. Di situ,
dalam syair itu dilukiskan dua pribadi: (1) pribadi kecil yang memuja: Bhaþàra Yama (terbayang Mpu Tanakung
yang merasakan dirinya kecil dan tak berarti di hadapan Tuhan), dan (2) Pribadi
Agung: Sang Hyang Bhuwanapati atau Bhaþàra Úiwa yang dihayatinya Esa, purna
dengan keagungan-Nya.
Secara teologis, hal tersebut melakonkan konsep kaula-Gusti, konsep pemikiran penganut paham dwaita atau rwabhineda
“dualisme”. Analog kisahnya seperti yang diwejangkan oleh Sri Narayana (Druker,
1988:57-58;80-81; Vivekananda, 2006:113) bahwa ada seorang pemuja rindu Tuhan.
Saking rindunya maka ia datang ke hadapan Tuhan. Di situ, di tempat yang
dipandangnya suci itu, Tuhan dirasakannya duduk di singgasana kebesaran-Nya.
Sementara ia mendekat dengan laku tunduk pasrah, lalu di situ ia duduk etis di
bawah dekat kaki padma Tuhan. Dengan laku sungkem
“tunduk” ia kemudian mengucapkan pengakuan: “Ya Tuhan hamba ini abdi-Mu”.
Konstan pikiran dan perasaannya demikian: Tuhan dirasakannya hadir, tetapi
berjarak dengan dirinya, yakni ada di hadapannya. Ia dapat dilihat dan dapat
pula diajak berdialog. Maksudnya, penganut dwaita
suka mengadakan jarak antara dirinya dengan Tuhannya.
Itulah keyakinan yang praktis
bagi Mpu Tanakung. Praktis, karena tidak menyebabkan dirinya pangling. Oleh
karena itu pula, ia dengan mudah dapat diam kontemplatif. Diam dalam kondisi
yoga seperti yang disarankan oleh baris tiga bait manggala dimaksud. Ketika dalam keadaan demikian, Tuhan tidak lagi
dihayatinya berada semata-mata di luar dirinya. Tuhan tidak lagi berjarak
dengan dirinya. Tetapi kini, Tuhan telah menyatu dalam dirinya, dan di situ
selalu dirasakannya nyata hadir. Hadir di hati sanubarinya. Walau demikian, di
situ ia tetap membayangkan adanya dua pribadi: pribadi dirinya sebagai pemuja
dengan Ia yang dipujanya.
Secara aksiologis, hanya
sembah yang tulus seperti itulah yang memungkinkan turunnya anugerah atau
mendapat tanggapan Tuhan. Mpu Tanakung berkata: rika-n sinahuran têkap Trinagaràntaka ring ujar arùm manohara “maka, dalam keadaan itulah
bakti itu baru ditanggapi oleh Sang Penguasa Tiga Alam dengan sabda halus-manis
membahagiakan”. Pujastuti ini mengingatkan kita akan pujastuti Arjuna (Mpu Kanwa) dalam Kakawin Arjuna Wiwaha yang dilagukan dengan wirama Mrêdu Komala (pupuh 10:1-2) “irama yang merdu semanis madu”
seperti berikut.
Om
sêmbah ning anàtha tinghalana de Triloka úaraóa,
wàhyàdhyatmika
sêmbah i nghulun i jöng ta tan hana waneh,
sang
lwir agni sakeng tahên kadi minyak sakeng dadhi kita,
sang
sàkûàt mêtu yan hana wwang amutêr tutur pinahayu.
Wyàpi
wyàpaka sàrining paramatattwa durlabha kita,
iccàntà
nghana tan hana ganal alit lawan hala hayu,
utpatti
sthiti lìóaning dadi kitàta kàraóanika,
sang
sangkan paraning sàrat sakala niûkalàtmaka kita.
Artinya:
Om sembah bakti hamba yang tak berpelindung ini,
saksikanlah o Penguasa Triloka.
Lahir-batin sembah hamba pada kaki padma-Mu, tiada
lain.
Keberadaan-Mu bagai api dari kayu, bagai minyak
dari susu.
Engkau nyata hadir, manakala ada orang memutar
kesadaran dengan usaha suci.
Engkau meresap-melingkupi segala, intisari Hakikat
Teragung yang sulit dicapai.
Seturut kehendak-Mulah ada-tiada, kasar-halus,
serta baik-buruk ini.
lahir-lestari-dan lenyap segala yang menjadi,
Engkaulah penyebabnya.
Engkaulah Sang asal-tujuan alam semesta, Engkau
hakikat sakala-niskala.
Lagu pujastuti yang tulus dan indah seperti itu, pada intinya
mengandung: (1) pengakuan akan keberadaan diri sang pemuja; (2) wacana
kemuliaan Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya yang di dalamnya terkandung
paham ketuhanan yang dianut sang pujangga; dan (3) permohonan. Seperti halnya
Mpu Tanakung, Mpu Kanwa pun dengan tandas menyatakan bahwa pujastuti seperti yang dilakukan oleh Arjuna itulah yang
sesungguhnya baru dapat disebut sebagai bakti yang tulus. Karena Arjuna,
seperti yang dikisahkan dalam Kakawin
Arjuna Wiwaha bahwa ia: pertama-tama, terbukti mampu mengatasi
nafsu: tidak tergoda oleh rayuan tujuh bidadari yang kecantikannya sorgawi; kedua, terbukti cerdas dan teguh
pendirian, memilik wawasan yang luas: mampu berdialog dengan Indra dengan
argumen cita-cita kesejahtraan duniawi dalam wawasan spiritual yang mendasar; ketiga, ia terbukti berani dan cekatan
dalam ilmu menurut darmanya (kewajiban sebagai seorang kesatria: bercita-cita
menyejahtrakan dunia): ia perang tanding dengan Úiwa yang menjelma sebagai
pemburu. Dan pada akhirnya, ia baru sadar bahwa pemburu tangguh lawan
tandingnya itu bukan pemburu sembarangan, tetapi adalah Sang Junjungan yang
menjadi tujuan tapanya. Oleh karena itu Arjuna dengan serta-merta sujud
menghaturkan gitapuja. Atas semua keunggulan Arjuna itu, pantaslah tapanya sinahuran Paramàrtha Úiwa “ditanggapi
oleh Ia yang menjadi tujuan utama, yaitu Bhaþàra
Úiwa”. Sinahuran berarti mendapat
anugerah penampakan dan wahyu. Wahyu adalah pencerahan spiritual. Anugerah yang
diperoleh Arjuna sama dengan hikmah Úiwaràtri
yang diterima Si Lubdhaka: sama dengan
Úiwa.
Untuk menjadi seorang bakta “penganut ajaran bhakti”, atau menjadi sang kawi-wiku yang tulus seperti itu
sangatlah sulit. Perintang utamanya adalah diri sendiri yang sering hilap dan
silau oleh pesona duniawi. Hilap karena salah anggapan dan menistakan diri
sebagai abdi Sang Ego.
Berbeda terbaliklah anggapan
kita itu dengan anggapan orang arif. Beliau justru memandang Sang Ego sebagai
musuh diri, sebagai makhluk yang bersifat binatang. Oleh karena itu, Sang Ego
sering dilukis dalam sastra sebagai binatang. Ia yang tidak jagra “waspada” kepada sifat binatangnya
tentu akan menjadi korban. Anggapan seperti itulah yang boleh jadi menjadi
acuan inspirasi, maka Mpu Tanakung melukiskan Si Lubdhaka memburu binatang.
Analog dengan hal tersebut,
maka wacana berburu binatang tersebut mencitrakan makna berburu jejadian Sang
Ego. Bagi peminat pengalaman spiritual, agar tidak tergelincir jatuh dalam
perjalanan, sepatutnyalah melakukan jagrabrata
“mawas diri, awas terhadap kehadiran segala penghalang dalam perjalanan”.
Penghalang utamanya bernama Sang Ego. Semestinya sejak dini kita harus sudah
sadar bahwa Sang Ego tersebut semata-mata merupakan makhluk jejadian. Ia adalah
penjelmaan dari enam emosi atau sifat dasar manusia yang disebut sadwarga: (1) kàma “ambisi, nafsu”, (2) krodha
“dengki, marah”, (3) lobha “rakus”,
(4) mada “mabuk”, (5) irsya “iri, sirik”, dan (6) moha “bingung”.
Membiarkan Sang Ego
berkembang, beranak pinak dalam diri berarti membiarkan diri untuk gagal hidup.
Gagal hidup berarti bunuh diri. Karena, membiarkan diri hidup terikat, diikat
dan disiksa oleh Sang Ego. Sang Ego yang dimanjakan sebagai raja dalam diri
akan cenderung menjerumuskan pemujanya ke perbuatan pàpa “penuh dosa” yang disebut àtàtayi.
Àtàtayi berarti pembunuhan
(Zoetmulder, 1995:75). Segala perbuatan keji disebut àtàtayi. Ada enam perbuatan keji, sisebut sadàtàyi (Úlokantara,
sloka 25).
Kini semakin jelaslah makna
pesan orang bijak yang bernama Mpu Tanakung. Bahwa segala derita yang kini
sedang kita alami sesungguhnya berasal dari ambisi kita yang berlebihan,
beragam dan keliru kelola itu. Merekalah yang menjadikan kita babi buta.
Merekalah yang mendorong-gairahkan kita untuk memburu citarasa suka yang
dijanji-janjikan oleh Sang Ego. Mereka, ambisi kita yang keliru kelola itu pula
yang menyebabkan kita pangling tumimbal lahir semata hanya untuk menjadi abdi
setia Sang Ego. Kenyataan hidup kita yang demikianlah yang dikatakan oleh Mpu
Tanakung sebagai orang yang berada dalam keadaan ràtri “kegelapan” atau orang yang berada dalam keadaan awidya “tidak berkesadaran”.
Oleh karena itu orang suci
bilang, bila kita ingin hidup bahagia, bila kita tidak ingin lagi terjebak oleh
jejaring suka-duka Sang Ego, kita harus melakukan usaha keras untuk membalik
kesadaran. Usaha keras untuk membalik kesadaran inilah yang disebut tapabrata, yakni berusaha keras untuk
melakukan penyangkalan diri. Menyangkal keberadaan Sang Ego sebagai raja dalam
diri. Mengapa? Karena ia bukanlah raja yang sesungguhnya. Lalu mangapa pula
kita mau merelakan diri menjadi budaknya. Atas kesadaran itu, kini kita harus
berusaha keras untuk menguak, mengoyak-koyak jejaring gaib Sang Ego yang berupa
citarasa suka-duka itu.
Kini barulah kita tahu dan
mulai terbersit kesadaran bahwa Sang Ego tersebut ternyata semata kulit yang
selama ini membungkus Sang Jati Diri. Untuk mendapat isi, kulitnya haruslah
dikupas, dibuang, dan dibiarkan hilang. Untuk mengajarkan penyangkalan diri
semacam itulah sang guru sastra-spiritual yang bernama Mpu Tanakung mau
bersusah payah menggubah kakawin
dengan mengisahkan laku hidup Si Lubdhaka. Artinya, dengan metode bercerita,
para peminat hidup bahagia diajar dan dihimbau untuk tekun berjuang memburu
binatang yang disebut Sang Ego. Kita dihimbau untuk memperhatikan makna
ketekunan Si Lubdhaka mengawasi kehadiran binatang buruan
Dikisahkan bahwa sepanjang
hidupnya Si Lubdhaka mengabdikan diri untuk terus-menerus menjadi penyelidik,
lalu membidik, dan menghujam binatang buruannya dengan panah. Panahnya ternyata
adalah panah dhyana, yakni daya
kosentrasi spiritual yang tajam.
Sampai suatu hari Si Lubdaka
tidak lagi berhasil menemukan binatang buruan di hutan. Itulah pertanda bahwa
di hutan belantara dirinya tidak ada lagi sifat binatang. Sang Ego sudah
kehilangan muka. Daya siluman sensualnya sudah kehilangan rasa pesona.
Akibatnya, tumbuhlah niat spiritual yang ditandakan dengan kisah Si Lubdhaka
naik pohon maja dan duduk awas di campangnya. Artinya, Si Lubdhaka berhasil duduk
yoga mengharmonikan budi dengan rasa hatinya. Oleh karena itu, Lingga pun dilihatnya. Dan kepada lingga
itulah pikirannya terkonsentrasi. Daun maja,
yaitu sari-sari sastra agama pun dipetik dan dipersembahkan untuk dapat jagra “sadar diri”. Sadar diri, dengan
demikian adalah nikmat Úiwaràtri.
Begitulah sekiranya pesan Mpu Tanakung.
Secara epistemologis, yoga
sastra itulah jalan kuno yang kembali ditawarkan oleh Mpu Tanakung sebagai
jalan yang efektif untuk muktang kleúa
“meruwat ego”. Jalan kuno dimaksud jelas tersurat dalam manggala kakawinnya. Jalan yang disarankan boleh jadi adalah jalan
pengalamannya sendiri. Karena, orang suci pantang omong kosong. Yang
diomongkan, semata adalah yang diyakini dan dialaminya. Katanya: dhyana mwang stuti kùþamantra japa mudra
linekasakên ing samangkana “Dalam usahaku untuk mendapatkan pengalaman
estetik-religius, aku melakoni yoga: (1) Dhyana
“meditasi”; (2) stuti “mengidungkan
gitapuja”; (3) kùþa mantra
“mengucapkan mantra utama”; (4) japa
“mengulang-ulang nama Tuhan”; dan (5) mudra
“melakukan olah raga atau tari spiritual”. Tidak hanya ia, para suci Hindu
lainnya pun, dari zaman ke zaman selalu berkesimpulan dan menyarankan jalan
yang senada.
Secara aksiologis, ada tiga
wacana penting yang tampaknya secara runut diformulasikan oleh Mpu Tanakung
dalam karyanya: Kakawin Úiwaràtri Kalpa.
Wacana dimaksud adalah (1) akabwatan
Langö “berusaha mendapat pengalaman estetik” di baris awal kakawin; (2) muktang kleúa “ruwat dari dosa”; yang disambung dengan wacana (3) muliheng niraúraya “kembali pulang ke
asal: mencapai kelepasan; mencapai pengalaman religius” di bagian epilog
kakawin.
Tiga wacana tersebut menarik
untuk dicermati, karena ketiga wacana tersebut mengisyaratkan tiga tujuan utama
Mpu Tanakung menggubah kakawin. Bahwa menggubah syair indah adalah tujuan
pertama yang sekaligus dapat dijadikan sarana dan jalan untuk mencapai tujuan
kedua, yakni untuk menghibur diri karena bhràntàmet
panêmunya ringrang i manahnya lot kasih harêp “gelisah mencari pelipur hati
yang bingung dipanglingkan oleh pikiran yang memelas dan banyak harap”.
Jadi, itulah ke-pàpa-an dirinya yang ingin ia ruwat
dengan yoga sastra; dan dengan ruwatnya dosa, berarti mendapat bekal untuk
mencapai tujuan akhir, yakni mencapai kelepasan. Sekali lagi katanya: Muktyang kleúa silunglunganya muliheng
niraúraya juga “Harapanku, mudah-mudahan dengan merangkai kata menjadi
syair Úiwaràtri ini aku dapat bebas
dari penderitaan. Dan makakawin
“menggubah-melagukan syair” adalah bekal yang dapat mengantarkan aku dapat kembali
ke alam Úiwa: moksa” (Úiwaràtri, pupuh 38:2).
C. Simpulan
Di balik
kisah Úi Lubdhaka terkandung makna yang mencitrakan pengalaman estetik-religius
seorang kawi penganut paham Úiwa-Úakti
“Úiwa-Ràtri” bernama Mpu Tanakung.
Secara ontologis, teks mewacanakan perburuan spiritual berjenjang bergerak dari
paham dwaita “dualis”-ke wasisthàdwata “monisme terbatas”-lalu
berakhir diterminal akhir di paham adwaita
“monisme”. Secara epistemologis, konsep-konsep paham Úiwa-Úakti ditransformasikan dengan metode bercerita: Tattwa kasatwayang “kebenaran keyakinan
diceritakan” menjadi kisah Si Lubdaka. Dan secara aksiologis, bagi penganut
yang taat melaksanakan brata Úiwaratri mendapat rahmat Bhaþàra Úiwa:
"sama dengan Úiwa".
RENUNGAN
Aúucir
wà úucir wàpi,
sarwa
kàma gato’pi wa
cintayed
Dewam Iúànam
sabàhyàbhyantaraá
úuciá
[Úiwastawa,
mantra 7]
Orang, apakah ia suci atau tidak suci,
diliputi oleh segala nafsu sekalipun,
bila ia tekun bhakti kepada Dewa Úiwa,
Ia menjadi suci lahir-batin.
Daftar Bacaan
Agastia, Ida Bagus Gde.
1982. Kakawin ÚiwaràtriKalpa.
Denpasar: Wyasa Sanggraha.
---. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan
Dharma Sastra.
---. 1997. Memahami Makna Úiwaràtri. Denpasar.
Yayasan Dharma Sastra.
---. 2001. Siwaratri Kalpa Karya Mpu Tanakung. Terjemahan. Denpasar: Yayasan Dharma
Sastra.
Arsana, I Gusti Ketut Gde, dkk. 1985. Fungsi Upacara Úiwaratri di Bali.
Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bagus. Lorenss. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS
Debroy, Bibek 2000. Padma Purana. Surabaya: Paramita.
Druker.A, 1988. Intisari Bhagawadgita. Surabaya:
Paramita.
Jendra, I Wayan. 2006.
Intisari Upanisad. Denpasar: Panakom.
Junsai. Art-ong. 1988. Pendidikan
Nilai-nilai Kemanusiaan untuk Jaman Baru. Jakarta: Sri Sathya Sai Centre.
Jlantik, Ida Ketut. 1982. Geguritan Sucita (Jilid I, II, III). Disebarkan oleh I Ketut Repet dan Dewa
Puji. Denpasar: CV Kayumas.
Hooykaas. C. 1964. Àgama Tìrtha Five Studies In Hindu-Balinese
Religion. Amsterdam: NV Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij Amsterdam.
Kadjeng, I Nyoman dkk.
1997. Saracamuscaya. Jakarta: Hanuman Sakti.
Kasturi, N. tt. Pancaran Kasih Ilahi. Jakarta: Komite
Penerbit Buku Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.
----, 1987. Sabda Sathya Sai 1. Jakarta: Sanathana
Sarathi.
Kusuma. Ida Bagus Wijaya.
2004. “Implementasi Cerita Luddhaka dalam Pelaksanaan Brata Úiwaratri”. Tesis.
Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu
Indonesia.
Mantra, Ida Bagus. 1995. Bhagawadgita Alih Aksara dan Terjemahan.
Denpasar: Pemerintah Daerah
Tingkat I Bali.
Mehta, Rohit. 2005. Bertemu Tuhan Dalam Diri. Denpasar:
Sarad.
Poerwadarminta. W.J.S,
1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Prabhupada, Om Wisnupada
A.C. Bhaktivedanta. 1986. Bhagavad-Gìtà
Menurut Aslinya. Jakarta Pusat:
International Societty For Kåûóa Conscioussness.
Suamba, IBP. 1999. Úiwa Sahasra-Nama (Seribu Nama Úiwa) dalam
Úiwa Puràóa. Denpasar: Yayasan
Dharma Sastra.
Suarka. I Nyoman, 2007.
“Kidung Tantri Piúàcarana: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Pendekatan
Semiotik”. Disertasi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sumardjo, Jakob. 2007. Jeihan Ambang waras dan Gila. Bandung:
Jeihan Institute.
Soebadio, Haryati. 1985.
Jnànasiddhànta. Jakarta: Djambatan.
Teeuw.a, 1983. Membaca dan Menilai Karya Sastra.
Jakarta: Gramedia.
----, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori
sastra. Bandung: Pustaka Jaya.
Vivekananda, 2006. Suara Kebangkitan. Jakarta:One Earth.
Warna, I Wayan dkk. 1994. Úiwaràtrikalpa. Denpasar Dinas Pendidikan Propinsi Dati I Bali.
----. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Dinas
Pendidikan Dasar Propinsi Bali Dati I Bali.
----. 1990. Arjuna Wiwaha. Denpasar: Dinas Pendidikan
Dasar Propinsi Bali Dati I Bali
Yasa, I Wayan Suka dkk.
2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar:
Widya Dharma.
----, 2006. Teori Rasa: Memahami Taksu, Ekspresi & Metodenya.
Denpasar: Widya Dharma.
----. 2007. “Úiwaràtri:
Mari Mulat Sarira Memburu Rahmat Úiwa”. Makalah. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama
Universitas Hindu Indonesia.
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan. Jakarta: Djembatan.
Zoetmulder, P.J dan S.O.
Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna- Indonesia I&2.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama’