IDENTITAS MANUSIA BALI:
Perspektif Adat, Agama, dan
Budaya
Ida Bagus Gunadha
1. Pendahuluan
Bali adalah sebuah pulau kecil
dengan luas wilayah 5.632,86 km² dan dihuni lebih-kurang tiga juta
orang penduduk. Berbeda dengan pulau lainnya di Indonesia, Bali tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah
sehingga dari segi ekonomi Bali ini tidak memiliki daya tawar yang tinggi di
tingkat nasional. Demikian halnya dalam bidang politik, jumlah pemilih Bali
yang tidak lebih dari tiga juta jiwa dengan sembilan wakil rakyat di DPR dan
empat orang anggota DPD, bukanlah jumlah yang signifikan untuk dapat
mempengaruhi situasi perpolitikan nasional. Akan tetapi, Bali dengan keindahan
alam dan budayanya menjadikannya sebagai
pusat perhatian dunia. Ibarat pepatah mengatakan ”kandik ulung di natah sing ada nak ningeh, kewale jaum ulung di peken
Badung pedingehan kanti ke Australia” (Kapak jatuh di halaman rumah tiada
yang mendengar, tetapi jarum jatuh di Pasar Badung suaranya terdengar sampai di
Australia).
Sebagai sebuah pulau kecil,
lukisan alam Bali tampak begitu mempesona sehingga menjadi arena perburuan para
penikmat keindahan. Laut, gunung, sungai, danau, hutan, sawah, dan ladang
menghiasi Bali dan merajut sebuah simfoni alam yang indah dan eksotik. Lukisan
alam ini semakin dipercantik oleh warna-warni kehidupan sosial-budaya
masyarakat Bali yang dipenuhi dengan ritual-ritual untuk mengharmoniskan
kehidupan mereka dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lingkungannya. Oleh
karena itu, berbagai julukan yang diberikan kepada Bali seperti pulau surga (the paradise island), pulau seribu pura
(the island with thousand temple),
pulau dewata (the Gods island), atau paginya dunia (the morning of the wolrd), tampaknya
bukan sesuatu yang berlebihan.
Namun demikian, fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa Bali telah
berubah. Wajah Bali masa kini tidak lagi secantik Bali tempoe doeloe. Sebuah kejutan ditulis oleh Bawa Atmadja (2005)
bahwa Bali pulau seribu pura sudah tak seindah penampilannya. Sementara
bangunan-bangunan suci berdiri dengan megahnya, ritual keagamaan yang semakin
marak, serta tingginya intensitas ceramah keagamaan, di sisi lain kafe
remang-remang, prostitusi ilegal, dan tindakan kriminalitas lainnya juga
semakin menjamur. Wajah Bali yang dahulu dilukis dengan religiusitas,
keramah-tamahan masyarakat, dan pesona alaminya, kini mulai menampakkan sisi
gelapnya seiring berjalannya waktu. Lebih celaka lagi, fenomena paradoks
tersebut hadir dalam satu wilayah yang sama, yakni desa pakraman. Padahal, desa
pakraman merupakan wadah berlangsungnya segala aktivitas adat, budaya, dan
agama masyarakat Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu.
Fenomena di atas menunjukkan manusia Bali dewasa ini sedang mengalami
kegamangan dan kebingungan di tengah gelombang perubahan yang berlangsung
begitu cepat dan rumit. Daya tahan kebudayaan pun makin rapuh di tengah kuatnya
terjangan globalisasi dan modernisasi. Identitas Bali secara kultural menjadi
makin kabur di tengah benturan kebudayaan global. Memang tak dapat dipungkiri
bahwa globalisasi dan modernisasi telah menghegemoni dan mendominasi dunia
sehingga tidak ada satu bangsa pun yang dapat menolaknya. Sebagaimana telah
diramalkan oleh Francis Fukuyama dalam The
End of History And The Last Man (2002)
bahwa ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang menjadi pemenang
dalam perang dingin akan menjadi akhir dari sejarah manusia. Oleh karena itu,
kebertahanan budaya Bali saat ini tergantung pada kesiapan orang Bali dalam
menyikapi globalisasi dan modernisasi.
Tantangan masyarakat Bali
dalam menangkal pengaruh negatif budaya global dewasa ini memang semakin berat,
terutama jika dikaitkan dengan pengembangan industri pariwisata Bali. Budaya
global yang antara lain ditandai dengan terbukanya akses pergaulan antaretnik
dan antarbangsa, serta tingginya mobilitas penduduk mengakibatkan masuknya
berbagai macam kebudayaan asing ke Bali. Malahan, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa sebagian orang Bali lebih tertarik dan justru ngotot
mengadopsi budaya dari luar. Sistem nilai budaya dari luar, bahkan dipakai
sebagai ukuran untuk menggeser budayanya sendiri yang telah diwariskan oleh
leluhur. Ini merupakan persoalan yang dilematis
karena di satu sisi sektor pariwisata telah menjadi primadona dan tulang-punggung
perekonomian Bali, sebaliknya budaya tourism
menawarkan berbagai ekses negatif yang secara laten dapat meruntuhkan
sendi-sendi kebudayaan Bali. Oleh karena itu, faktor kemanusiaan dan
entitas budaya lokal tidak dapat diabaikan dalam pengembangan kepariwisataan di
Bali. Dengan kata lain kehidupan masyarakat Bali tidak boleh tercerabut dari
akar budayanya hanya karena penekanan segi komersial dari kepariwisataan (tourism).
Pada dasarnya, uraian di atas
menunjukkan bahwa masyarakat Bali sesungguhnya tengah mengalami ketegangan
sosio-budaya yang disebabkan oleh terbukanya pergaulan antaretnis, bangsa,
sosial, politik, budaya, dan agama. Ketegangan semakin memuncak ketika
masyarakat lokal semakin terpinggirkan dengan semakin derasnya arus pendatang.
Kekalahan penduduk lokal ini sekaligus menjadi indikator perubahan karakter
orang Bali sebagai berikut. Pertama, akibat
ketidaksiapan dan ketidakmampuan penduduk lokal dalam bersaing dengan pendatang
(new comers), terutama dalam
perebutan sektor-sektor ekonomi. Kedua, persaingan
dan pemilahan antara penduduk asli
(pribumi) dan pendatang melalui katagorisasi beroposisi (binary opposition) telah membentuk
karakter orang yang penuh dengan perasaan curiga, terlebih-lebih lagi sikap itu
dijustifikasi melalui simbol-simbol kultural. Ketiga, perubahan karakter orang Bali juga dipengaruhi oleh proses
moneterisasi. Keempat, banyak
institusi sosial dan kultural mulai tidak mampu memerankan fungsi-fungsi
manifes, justru cenderung hanya menjadi media untuk menghidupkan “keagungan
fisikal masa lalu”. Dan kelima, sekalipun
wacana mengenai pentingnya kebudayaan sebagai “panglima” pembangunan Bali,
tetapi dalam implementasinya alokasi biaya untuk bidang ini belum sesuai dengan
wacana dan harapan (Triguna, 2004:11). Di samping faktor eksternal tersebut,
perubahan karakter orang Bali juga disebabkan oleh dorongan internal yang
senantiasa ingin berubah. Sebagaimana ungkapan orang bijak bahwa yang hakiki
adalah perubahan itu sendiri.
Dalam menghadapi guncangan perubahan yang begitu cepat dan hebat, maka
orang Bali harus menemukan kembali identitas dirinya untuk membangun pijakan
budaya yang kuat. Tuntutan penguatan budaya itu, bahkan kini semakin relevan di
tengah guncangan globalisasi. Tanpa penguatan kebudayaan, orang Bali akan kehilangan
kekuatan untuk mempertahankan jati dirinya dalam menghadapi penetrasi budaya
global yang begitu ganas. Sementara itu, budaya tidaklah statis, tetapi dinamis
dan terbuka untuk perubahan sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.
Nilai-nilai yang baik dari luar dapat saja dan perlu diadopsi sesuai dengan
sistem nilai budaya Bali.
2. Historis
Membentuk Identitas Kebudayaan Bali
Kebudayaan Bali sekarang ini
merupakan buah dari proses historis yang cukup panjang. Pelacakan terhadap
sejarah kebudayaan Bali dari data arkeologis menunjukkan bahwa manusia Bali
telah mengembangkan kebudayaannya sejak zaman prasejarah, yakni masa meramu,
berburu, bercocok tanam, dan puncaknya terjadi pada masa perundagian. Masa
perundagian ditandai dengan mulai munculnya sistem hidup berkelompok, serta
munculnya kepercayaan dan konsep-konsep keagamaan yang sifatnya religius-magis.
Keyakinan terhadap adanya hidup setelah kematian, adanya roh leluhur, dan
gunung sebagai alam arwah merupakan bentuk-bentuk religi asli Bali di masa itu.
Kepercayaan masyarakat primitif yang berkarakter religius-magis menjadi medan
yang memungkinkan terjadinya dialog dengan agama Hindu yang datang dari India
(Ardhana dalam Ayatrohaedi, 1986).
Namun demikian, perubahan
besar dalam kebudayaan Bali boleh dikatakan terjadi setelah adanya kontak
antara kebudayaan lokal dengan agama Hindu yang sekaligus membawa Bali ke zaman
sejarah. Dalam hubungan antara dua kebudayaan ini, tampaknya masyarakat Bali
cukup selektif dan kritis sehingga memungkinkan terjadinya sebuah dialog.
Proses dialogis yang terjadi melahirkan bentuk agama Hindu Bali yang unik dan
khas dengan karakter-karakter lokal, serta membedakannya dengan agama Hindu di
tanah kelahirannya, India. Kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan
kebudayaan luar inilah yang kemudian dikenal dengan istilah local genious. Istilah ini untuk pertama
kalinya diperkenalkan oleh Quarich Wales untuk menjelaskan kemampuan kebudayaan
setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan
itu berhubungan (Magetsari, 1986:56). Uraian ini menegaskan bahwa manusia Bali
sesungguhnya memiliki karakter yang kuat ketika berhadapan dengan kebudayaan
asing sehingga eksistensi budaya lokal tetap dapat dipertahankan.
Dalam perkembangan selanjutnya
kebudayaan Bali terus-menerus berproses secara dialektis dan transformatif
sehingga menampilkan bentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini. Hal ini
sejalan dengan pendapat Swellengrebel (1960) bahwa kebudayaan Bali dibentuk
oleh unsur-unsur tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern. Tradisi kecil, yaitu tradisi yang berorientasi pada
kebudayaan lokal mempunyai ciri-ciri, antara lain sistem ekonomi sawah dengan
irigasi; kerajinan meliputi besi, perunggu, celup, dan tenun; pada pura terdapat sistem ritual dan upacara
keagamaan yang sangat kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara di pura. Tradisi besar, yaitu tradisi
yang berorientasi pada agama dan kebudayaan Hindu dalam kehidupan masyarakat
Bali menampakkan ciri-ciri, antara lain kekuasaan yang pusat kedudukannya
adalah raja sebagai keturunan Dewa; adanya tokoh pedanda; adanya upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi orang yang meninggal; adanya sistem kalender
Hindu-Jawa; pertunjukkan wayang kulit, dll (Geria, 2000:48). Sementara itu, tradisi modern, yaitu tradisi yang mencakup
unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan, zaman kemerdekaan, sampai
dengan era globalisasi sekarang ini. Ciri-cirinya, antara lain pendidikan
massal; sistem agama dirasionalisasi, terkoordinasi, dan terkomunikasikan ke
dalam maupun keluar, kerajinan bersifat produksi massal; adanya orientasi ke
depan yang diintrodusir oleh berbagai departemen, dll. (Mc. Kean dalam Geria,
2000). Dari proses tersebut dapat dipahami bahwa interaksi antara tradisi kecil
dan tradisi besar membuahkan kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan budaya
ekspresif dengan dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas.
Sebaliknya, pertemuan kebudayaan Bali tradisional dengan tradisi modern
ditandai dengan terintegrasinya nilai-nilai modern dalam kebudayaan Bali,
seperti rasionalisasi dan komersialisasi budaya.
Sejarah juga menunjukkan bahwa
masyarakat Bali adalah masyarakat yang terbuka dalam menerima kehadiran etnik
lain. Hubungan antara Bali dan masyarakat luar, baik melalui hubungan politik
maupun ekonomi atau perdagangan di masa lampau telah menjadikan masyarakat Bali
sebagai masyarakat multietnik. Ini menyebabkan masyarakat Bali saat ini bukan
lagi masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat yang heterogen. Malahan, heterogenitas
tersebut merambah hampir semua lini kehidupan masyarakat meliputi bidang
ekonomi, agama, sosial-budaya, dan sebagainya.
Meskipun etnik Bali (beragama
Hindu) merupakan kelompok etnik dominan, tetapi dalam kenyataannya memberikan
ruang gerak dan kebebasan kepada etnik lain sebagai etnik minoritas untuk
mengembangkan kebudayaannya. Hal ini tampak dari rasa persaudaraan yang terjadi
antaretnik yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal budaya Bali. Walaupun
diberikan kebebasan dalam mengembangkan kebudayaannya kelompok etnik minoritas
tampaknya juga menyesuaikan diri dengan budaya dominan (Bali). Hal ini tampak
dalam membuat bangunan tempat suci, seperti mesjid dengan mengadopsi unsur
budaya Hindu arsitektur Bali yang tampak dari atap mesjid bertumpang satu
(Stutterheim, 1927:114; Pijper, 1947:275-276). Di berbagai wilayah di Bali
etnik pendatang menjadi anggota sekaa subak, bahkan ada yang menjadi
pengurus. Hubungan antaretnis yang menunjukkan adanya saling menghargai di
antara kelompok-kelompok etnik bahkan sudah terjadi jauh sebelumnya. Hal ini
dapat dibuktikan di Pura Batur Kintamani, Bangli. Di pura ini disamping menjadi
tempat pemujaan dari etnik Bali yang beragama Hindu, di lingkungan pura juga
terdapat tempat pemujaan bagi kelompok etnik keturunan Cina. Istilah Ciwa-Budha yang dikenal dalam masyarakat
Bali juga menjadi bukti adanya perpaduan antara agama-agama yang pernah
berpengaruh di Bali di masa yang lampau.
Kedatangan etnis lain di Bali,
baik yang tetap mempertahankan identitas kelompoknya maupun yang mengadopsi
kebudayaan Bali dapat beradaptasi dan berintegrasi dalam kehidupan masyarakat
Bali yang mayoritas. Dengan demikian, hubungan antaretnis menjadi bagian tak
terpisahkan dari identitas manusia Bali, baik secara individu maupun kolektif,
yakni manusia Bali yang mempunyai sifat permisif dan toleran terhadap agama dan
kebudayaan lain serta mampu hidup bersama dalam keberagaman.
Melihat perjalan sejarah
tersebut, kebudayaan Bali sekarang ini merupakan hasil dari pertemuan
antarbudaya yang terjadi secara dialogis-transformatif, yakni antara kebudayaan
lokal dan kebudayaan asing yang datang belakangan. Dominannya nilai-nilai
religius, estetis, dan solidaritas dalam kebudayaan Bali tradisional selama
berabad-abad telah membentuk karakter manusia Bali. Nilai tersebut
diekspresikan dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu yang didasari oleh tattwa-susila-acara, dalam aktivitas
berkesenian, dan tingginya rasa persaudaraan dalam konteks panyama-brayan. Ketiganya hidup subur dalam aktivitas di desa pakraman.
3. Menemukan
Identitas Manusia Bali Dalam Desa
Pakraman
Identitas berarti
ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada sesuatu
sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan sesuatu yang
lain. Terkait dengan kebudayaan, identitas merupakan ekspresi eksistensi budaya suatu kelompok. Identitas
etnik misalnya, dapat ditentukan oleh faktor-faktor material budaya, seperti
makanan, pakaian, perumahan, peralatan, dan faktor-faktor nonmaterial seperti
bahasa, adat istiadat, kepercayaan, cara berpikir, sikap, dan lain-lain
(Liliweri, 2005:48). Akan tetapi, identitas budaya tidak datang sendiri,
melainkan dibentuk atau dibangun oleh sebuah interaksi dinamis antara konteks
(dan sejarah) dan construct. Oleh
karena itu, sifatnya situasional dan bisa berubah, disusun dalam hubungannya
dengan sejumlah other (Maunati,
2004). Mengikuti definisi ini, maka identitas dibentuk atau dibangun melalui
sebuah proses yang terus-menerus menjadi. Selanjutnya, identitas menentukan
keberbedaan suatu kelompok dengan kelompok lainnya dalam suatu masyarakat yang
multikultur.
Namun demikian merumuskan
identitas manusia tidak lebih mudah daripada merumuskan identitas kelompok,
mengingat manusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal dan
monopluralistik. Oleh karena itu, identitas manusia harus dilihat dari
kesalinghubungan antara manusia yang multidimensional, paradoksal dan
monopluralistik dengan nilai-nilai yang dianut atau pedoman hidupnya. Pada akhirnya
identitas manusia, baik secara individu maupun kolektif ditentukan oleh adanya
perpaduan antara keunikan-keunikan yang ada pada dirinya dengan implementasi
nilai-nilai yang dianutnya dalam sikap dan perilaku kehidupannya. Apabila nilai
adalah inti dari kebudayaan yang diekspresikan dalam sistem tindakan dan artefak-artefak budaya, maka identitas
manusia berhubungan erat dengan identitas kebudayaannya. Dengan demikian
identitas manusia Bali harus dibahas dalam kerangka psikologis-kulturalis,
yakni bagaimana kebudayaan Bali menjadi spirit sekaligus menjadi pedoman sikap
dan perilaku orang Bali dalam kehidupannya, baik sebagai individu maupun
kelompok.
Manusia Bali, dalam hal ini
bukanlah setiap orang yang dilahirkan, dibesarkan, atau berdomisili di Bali; bukan
juga orang yang menggunakan atribut-atribut kebudayaan Bali; yang dapat
berbahasa Bali dengan fasih; juga bukan semua orang yang beragama Hindu.
Identitas manusia Bali, justru dicerminkan dalam sikap dan perilaku
kesehariannya, serta tata-caranya berinteraksi dalam masyarakat yang lebih
luas. Di zaman global yang ditandai dengan tingginya mobilitas penduduk dan
makin terbukanya interaksi lintas etnis, maka identitas manusia Bali tetap
dapat dipertahankan dalam ruang dan waktu apapun. Komunitas migran di luar Bali
misalnya, dengan jelas dapat dilihat identitas ke-Bali-annya jika mereka tetap
melaksanakan budaya Bali dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya, orang Bali yang
tidak lagi menggunakan kebudayaan Bali sebagai panduan sikap dan perilakunya,
maka ia telah kehilangan identitasnya sebagai manusia Bali.
Di atas telah diuraikan bahwa
identitas manusia Bali dapat ditentukan dari cara seseorang mengekspresikan
nilai budaya Bali dalam kehidupannya. Akan tetapi masih dibutuhkan
kehati-hatian dalam merumuskan kebudayaan Bali yang dapat mewakili semua daerah
yang ada di Bali. Mengingat budaya Bali di masing-masing daerah menunjukkan
ciri-ciri yang bervariasi, unik, dan khas. Antropolog pada umumnya membedakan
dua bentuk masyarakat Bali akibat kuat-lemahnya pengaruh kebudayaan Hindu-Jawa
(Majapahit) pada zaman dahulu, yakni masyarakat Bali Aga dan Bali Majapahit (wong
Majapahit).
Masyarakat Bali Aga adalah masyarakat yang kurang
sekali mendapat pengaruh kebudayaan Hindu Jawa. Mereka umumnya tinggal di
daerah pegunungan dalam kelompok-kelompok terpisah seperti masyarakat Tenganan
(Karangasem), Trunyan (Bangli), Sembiran, Julah, Sidatapa, Pedawa, dan Tigawasa
(Buleleng). Masyarakat kelompok ini juga menyebut diri sebagai masyarakat Bali Mula. Masyarakat Bali Aga yang tidak tunduk terhadap
penguasa Majapahit cenderung mengisolir diri sehingga mereka menjadi kelompok
masyarakat yang terpisah-pisah di antara masyarakat pendatang baru. Walaupun
secara umum dikelompokkan dalam satu kelompok Bali Aga, mereka memiliki berbagai perbedaan, seperti sistem
penguburan, ritual keagamaan, dan struktur kepemimpinan adat (Bagus dalam
Koentjaraningrat,ed. 1988:286).
Sementara itu, orang Bali
Majapahit merupakan bagian paling besar dari penduduk Bali dan pada umumnya
menempati daerah-daerah dataran. Masyarakat ini hidup dalam ikatan desa pakraman yang dicirikan dengan
adanya kahyangan tiga dan
pengelompokan masyarakat dalam sistem kasta
khas Bali, yakni tri wangsa dan jaba wangsa. Mengenai perbedaan antara
masyarakat Bali Aga dan Bali Majapahit, setidak-tidaknya dapat
juga dirujuk dari pendapat Liefrinck bahwa masyarakat Bali Aga mencirikan sebuah desa tradisional yang disebutnya
“republik mikro”, yang bersifat demokratis, otonom, egaliter, dan memiliki
sifat religius. Sementara itu, Bali
Majapahit meskipun desa adatnya memiliki ciri yang serupa, tetapi pengaruh
sistem kerajaan masih cukup kuat dalam kehidupan masyarakatnya misalnya, sistem
puri-panjak, siwa-sisya, dan juga sor-singgih basa.
Meskipun terdapat perbedaan
antara masyarakat Bali Aga dan Bali Majapahit, namun keduanya sama-sama
terintegrasi dalam sebuah desa adat atau desa
pakraman. Oleh karena itu, desa
pakraman beserta nilai-nilai yang ada di dalamnya merupakan identitas
kebudayaan Bali, yang dalam pelaksanaannya di masing-masing daerah memiliki
perbedaan-perbedaan dalam kerangka desa-kala-patra.
Kehidupan di Desa pakraman pada
intinya mencakup upaya-upaya masyarakat untuk mendapatkan kebahagiaan (sukerta) melalui tiga hubungan harmonis,
yakni dengan Tuhan (sukertaning parahyangan),
dengan sesama manusia (sukertaning
pawongan), dan dengan alam dan lingkungannya (sukertaning palemahan). Ketiga hubungan inilah yang sesungguhnya
menjadi landasan kebudayaan Bali, sehingga manusia Bali dapat dirumuskan
identitasnya sebagai manusia yang religius, menjunjung tinggi persaudaraan (panyamabrayan) dan kebersamaan (paras-paros, sagilik-salunglung sabayantaka),
dan yang mencintai alam dan lingkungannya.
4. Agama Hindu
Bali Sebagai Identitas Religius Manusia Bali
Irwan Abdullah (2006:107)
menegaskan bahwa globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam
kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan
memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan
mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan
sifat relatif suatu praktik sosial. Malahan cara-cara orang mempraktikkan agama
juga mengalami perubahan, bukan karena agama mengalami proses kontekstualisasi
sehingga agama melekat (embedded) di
dalam masyarakat, tetapi juga karena budaya yang mengkontekstualisasikan agama
itu merupakan budaya global dengan tata nilai yang berbeda. Dalam konteks ini
khususnya dalam fenomena keberagamaan ditandai dengan adanya transformasi
sistem pengetahuan, sistem nilai, sistem tindakan keagamaan.
Modernisasi dan
globalisasi yang disemangati oleh kapitalisme dan liberalisme, menyebabkan
setiap pemeluk agama bebas mendefinisikan agama sesuai dengan keinginannya.
Oleh karena itu agama tidak lagi menjadi sumber nilai dan norma yang dibagi bersama sebagai pedoman perilaku
kolektif dalam kehidupan sosial dan budaya. Melainkan keberagamaan lebih
merupakan rekognisi agama melalui proses kontruksi, dekontruksi, rekontruksi
yang lebih bersifat individual dalam penafsiran dan pemahaman secara
terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat kontemporer seorang
individu atau kelompok dengan mudah dapat meracik agamanya berdasarkan
pengetahuan keagamaannya. Agama telah menjadi urusan privat sehingga setiap
individu dapat meninggalkan agama lama dan beralih ke bentuk-bentuk keagamaan
baru untuk mengisi kekosongan rohaninya.
Fenomena keagamaan di Bali
dewasa ini menunjukkan bermunculannya aliran-aliran yang menjadikan
”spiritualitas” sebagai tema sentralnya. Mulai dari aliran yang sifatnya lokal
seperti Dharma Murti, Sandhi Murti, Cakra
Naga Siwa Sampurna (yang
menekankan mistis Bali: Kanda Pat),
sampai aliran-aliran yang diadopsi dari luar Indonesia, misalnya Falun Dafa/Falun Gong, Sai Baba, Hare
Krisna, Brahma Kumaris, Ananda Marga,
dan lain sebagainya.
Aliran-aliran tersebut
sebagian berintegrasi dengan keagamaan masyarakat lokal (baca: Hindu Bali),
sebagian netral, dan sebagian lainnya ”menentang” agama lokal. Bentuk
penentangan terhadap agama Hindu Bali dimunculkan dalam wacana-wacana misalnya,
”Hindu Bali tidak memiliki landasan spiritual yang kuat karena hanya
mengutamakan banten”, ”Hindu Bali bertentangan dengan
Weda”, atau ”Hindu Bali memberatkan masyarakat”. Ini artinya, Hindu Bali telah
mengalami redefinisi yang beranekaragam sesuai dengan pengetahuan masing-masing
individu. Malahan, tidak sedikit yang menyatakan bahwa agama Hindu Bali sudah
tidak relevan lagi dengan keagamaan masyarakat modern yang menginginkan
efektivitas, efisiensi, dan kemudahan-kemudahan lainnya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila masyarakat yang tidak mampu berafiliasi ke agama Hindu Bali,
mencari idola-idola spiritual baru yang dipandang dapat memenuhi kehausan
religiusnya.
Bagi masyarakat Bali yang
memeluk agama Hindu, maka India segera menjadi idola untuk memenuhi kehausan
spiritual mereka karena secara faktual India adalah tempat lahirnya agama
Hindu. Oleh karena itu setiap bentuk keagamaan apa pun yang bernuansa India
segera mendapatkan tempat di hati umat Hindu di Bali. Akibatnya terjadi ”migrasi”
keagamaan dari ”Hindu Bali” ke ”Hindu India”, dengan intensitas yang berbeda.
Bagi sebagian masyarakat, Hindu Bali tetap dianut dan Hindu India menjadi
pengisi kekosongan ruang rohani yang tidak didapatkannya selama ini.
Sebaliknya, ada yang benar-benar meninggalkan cara-cara beragama Hindu Bali dan
digantikan dengan bentuk keagamaan baru, misalnya dengan bhajan, agni hotra, dan lain sebagainya.
Masyarakat Bali pada dasarnya
memang memiliki sikap terbuka terhadap masuknya kebudayaan-kebudayaan lain.
Namun demikian, sejarah masuknya agama Hindu ke Bali pada masa silam
menunjukkan hal yang sangat berbeda dengan fenomena masuknya sampradaya belakangan ini. Masuknya
agama Hindu ke Bali pada masa lalu terjadi secara dialogis sehingga identitas
budaya lokal tidak dihilangkan, melainkan dipermulia. Kepercayaan lokal seperti
adanya kehidupan setelah kematian dipermulia dengan ajaran punarbhawa dalam agama Hindu. Oleh karena itu, agama Hindu hidup
dan kebudayaan Bali menjadi dua fenomena dari satu realitas. Jalinan kedua
fenomena tersebut sulit dipisahkan karena keduanya hadir bersamaan dalam sistem
budaya masyarakat yang mentradisi dalam adat istiadat. Artinya, baik disadari
maupun tidak Hindu telah menjadi identitas, bahkan kepribadian orang Bali yang
menyebabkan kebudayaan Bali bertahan dalam berbagai gelombang pemikiran.
Sebaliknya, masuknya sampradaya ke
Bali justru menunjukkan bahwa orang Bali telah kehilangan jenius lokal yang
selama ini menjadi filter bagi masuknya kebudayaan asing. Kebanggaan dalam
menggunakan identitas Hindu India menjadi satu indikator bahwa orang Bali mulai
mengalami kegamangan identitas keagamaannya.
Hindu Bali dimaksudkan di sini
adalah agama Hindu yang dilaksanakan dalam koridor kebudayaan Bali. Di sini
perlu ditegaskan bahwa dengan menggunakan kata ”Hindu”, maka Hindu Bali
mengakui dan mengamalkan ajaran Catur
Veda Samhita sebagai kitab suci. Hindu sebagai agama terdiri atas tiga
kerangka dasar, tattwa, susila, dan acara. Tattwa merupakan landasan filosofis ajaran agama, yakni bersumber
pada siwa-buddha tattwa; susila merupakan landasan dan pedoman
moral meliputi ajaran tentang tingkah laku (nilai-nilai dan norma-norma moral);
dan acara merupakan
kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan beragama meliputi tradisi
aktivitas-aktivitas hidup keagaman (upacara
dan upakara). Ketiga kerangka ajaran
tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan dan secara riil dapat dilihat dalam
aktivias keagamaan masyarakat Hindu Bali di wilayah desa pakraman. Dalam pengalaman empiris, agama Hindu Bali
dilaksanakan dalam bentuk Panca
Mahayadnya, yakni dewa yadnya, rsi
yadnya, pitra yadnya, manusa yadnya, dan bhuta yadnya, baik sehari-hari (nitya
karma) maupun secara insidental (naimitika
karma).
Merujuk pada uraian di atas
dapat dirumuskan ciri-ciri agama Hindu Bali yang sekaligus menjadi identitas
religius manusia Bali antara lain, (1) bersumber pada siwa-buddha tatwa; (2) memiliki keterikatan dengan kahyangan tiga; (3) melaksanakan Panca Mahayadnya; (4) menggunakan upakara (banten) sesuai dengan tradisi yang bersumber pada kitab suci Hindu
dan lontar-lontar yang ada di Bali;
(5) dalam lingkup keluarga dicirikan dengan adanya sanggah atau kemulan; dan
(6) menjadikan etika Hindu sebagai pedoman dalam bersikap dan berprilaku.
Dengan demikian, agama Hindu Bali memiliki karakter khas yang membedakannya
dengan agama Hindu di wilayah yang lain.
Dalam rangka membangun
identitas dan jati diri manusia Bali, agama Hindu Bali penting untuk tetap
dipertahankan eksistensinya dari gempuran budaya global. Mengingat secara
eksistensial, keberadaan agama Hindu Bali tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan Bali itu sendiri. Menghilangnya eksistensi agama Hindu Bali maka
dapat dipastikan kebudayaan Bali pun akan menghilang, mengingat hampir semua
aktivitas kebudayaan Bali dikaitkan dengan aktivitas keagamaan dalam konsep ngayah. Agama Hindu Bali menjadi sistem
nilai dan norma yang diimplementasikan dalam sistem tindakan dan sistem sosial,
serta diwujudkan dalam bentuk material-material budaya yang agung dan
mempesona. Bali tanpa desa pakraman,
Bali yang tanpa pura, Bali yang tanpa
yadnya, Bali yang telah hilang
keramah-tamahan penduduknya, adalah sebuah kehilangan besar bagi masyarakat
dunia.
5. Simpulan dan
Rekomendasi
Dari perspektif
adat, identitas manusia Bali adalah manusia yang kokoh dalam mempertahankan
tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur selama berabad-abad. Dari perspektif
budaya, identitas manusia Bali adalah manusia yang aktif-kreatif dalam
mencipta, memelihara, dan mengembangkan kebudayaannya sesuai dengan nilai-nilai
agama Hindu dan mencerminkan sikap mempersembahkan yang terbaik. Dari
perspektif agama, identitas manusia Bali adalah manusia yang menjadikan agama
Hindu Bali sebagai identitas religiusnya.
Identitas manusia
Bali dari perspektif adat, budaya, dan agama secara keseluruhan tercakup dalam
kehidupan di desa pakraman. Manusia
Bali, baik secara individu maupun kelompok adalah manusia yang religius, yang
mengutamakan persaudaraan (panyamabrayan)
dan kebersamaan dalam perbedaan (paras-paros
sarpanaya, sagilik saguluk salunglung sabayantaka), terbuka dengan
kehadiran orang/etnis lain, dan manusia yang menginginkan hidup serasi,
selaras, dan seimbang dengan alam dan lingkungannya.
Agama Hindu dan
kebudayaan Bali, merupakan kesatuan yang membentuk identitas manusia Bali. Namun
demikian, gempuran budaya global yang serta merta berpengaruh pada perubahan
orientasi masyarakat Bali menempatkan manusia Bali dalam kegamangan identitas.
Oleh karena itu direkomendasikan beberapa alterrnatif untuk menggugah kembali
kesadaran orang Bali terhadap identitas dirinya, sebagai berikut.
(1)
Wacana Ajeg Bali sebagai wacana
yang populer belakangan ini, harus mendapatkan maknanya sebagai upaya penguatan
identitas diri manusia Bali. Di samping itu, Ajeg Bali harus mendapatkan makna praktisnya sebagai strategi
kebertahanan masyarakat lokal terhadap masuknya kebudayaan asing, baik yang
disebabkan oleh kepariwisataan atau derasnya arus pendatang. Oleh karena itu
diperlukan keberanian masyarakat Bali untuk menjaga parahyangan, pawongan, dan palemahan
Bali dari serbuan investor dan pertumbuhan penduduk urban. Tentunya dengan
cara-cara yang diplomatik dan jauh dari kesan kekerasan.
(2)
Dalam konteks keberagamaan, masuknya berbagai aliran keagamaan dari luar
Bali perlu mendapatkan perhatian dari lembaga-lembaga berwenang dan juga
pemerintah. Hal ini diperlukan agar kelompok-kelompok tersebut justru
menghasilkan sesuatu yang kontraproduktif dalam masyarakat. Perlu ditegaskan
kembali bahwa keberadaan desa pakraman di
Bali telah cukup mapan sebagai wadah berlangsungnya aktivitas keagamaan Hindu
Bali. Oleh karena itu, aktivitas keagamaan yang tidak dapat diterima oleh krama desa pakraman semestinya tidak
diizinkan untuk memasuki wilayah desa
pakraman.
(3)
Pariwisata Bali tidak dapat dipungkiri telah menjadi tulang punggung
perekonomian Bali. Akan tetapi perlu disadari kembali bahwa Bali tidak untuk
dijual kepada pariwisata (Bali is not for
tourism). Oleh karena itu, tidak semua keinginan wisatawan dipenuhi di Bali
apabila itu bertentangan dengan nilai kebudayaan Bali. Maraknya kafe, diskotik,
dan praktik-praktik prostitusi ilegal di kawasan pariwisata semakin mengaburkan
arah kebijakan kepariwisataan Bali. Tetapkah Bali mengembangkan pariwisata
budaya ?
(4)
Kebudayaan sebagai pola pokok pembangunan Bali harus benar-benar dilaksanakan
dalam tindakan nyata, yakni memberikan anggaran yang sesuai dengan kebutuhan
pengembangan kebudayaan Bali. Polarisasi pembinaan kesenian kepada sekaa-sekaa khusus untuk tujuan promosi
wisata, dapat menyebabkan sekaa-sekaa lokal
di banjar-banjar kehilangan gairah
untuk berkreasi. Oleh karena itu pemberdayaan seni-budaya Bali harus diarahkan untuk menggairahkan sekaa-sekaa tradisional.
Daftar Bacaan
Abdullah, Irwan, 2006, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atmadja, Nengah Bawa, 2005,
“Bali Pada Era Globalisasi: Pula Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya”,
Singaraja: -
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius),
Jakarta: Pustaka Jaya.
Bosch, FDK, 1983, Masalah
Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia, Jakarta: Bhratara.
Fukuyama, Francis. 2002. The End of History And The Last Man.
Geria, I Wayan, 2000, Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki
Abad XXI, Denpasar: Percetakan Bali.
Gunadha, Ida Bagus. 2002. Refleksi Nilai-Nilai Etika Hindu dalam
Sains, Agama, dan Filsafat. Pidato Pengukuhan Guru Besar Etika Hindu.
Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.
Koentjaraningrat, 1986, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta:
UI-Pres.
____________,ed. 1988. Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
UI-Press
Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas
Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta : PT. LKIS Pelangi Aksara.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS.
Noerhadi Magetsari,1986, Local
Genius Dalam Kehidupan Beragama, dalam Kepribadian Budaya Bangsa, Jakarta:
Pustaka Jaya.
Pijper, G.F., 1947, “The
Minaret in Java”, dalam India Antique. Leiden: E.J. Brill.
Stutterheim, W.F., 1927,
“Moske onderzoek in den Archipel”, dalam Java No. 2 Maret 1927
Triguna, Ida Bagus Gde
Yudha. 2004. Perubahan Karakter dan Penurunan Social Capital Masyarakat Bali. Orasi
Ilmiah dalam rangka Dies Natalis 41 dan Wisuda 29 Universitas Hindu
Indonesia.