KELEPASAN MENURUT SANKHYA DAN YOGA:
Sebuah Perbandingan
I Wayan
Budi Utama
Pendahuluan
Kehadiran sebuah
sistem filsafat India bila dirujuk pada alam pikiran yang melandasinya adalah
ingin membebaskan manusia dari penderitaan menuju alam kelepasan. Demikian juga
dengan filsafat Sankhya dan Yoga, keduanya dapat dikelompokkan dalam
aliran positivisme yang berpandangan bahwa manusia adalah makhluk malang yang
hidup dalam penderitaan. Oleh karena itu tugas dari kedua sistem filsafat ini
adalah membebaskan manusia dari belenggu penderitaan dengan cara mengikuti
petunjuk-petunjuknya. Pada kesempatan ini akan dicoba untuk mengkaji tentang
teori kelepasan dari kedua sistem filsafat tersebut. Untuk sampai kepada sebuah
perbandingan teori kelepasan terlebih dahulu perlu dipahami inti ajaran dari
kedua sistem filsafat tersebut.
Inti Ajaran Sankhya dan Yoga
Pokok ajaran Sankhya adalah bahwa ada dua zat asasi
yang bersama-sama membentuk realitas dunia ini, yaitu purusa dan prakrti, roh
dan benda, atau asas rohani dan asas bendani. Purusa adalah asas rohani yang kekal, yang berdiri sendiri, serta
tidak berubah. Jumlahnya banyak sekali sehingga tak terbilang. Masing-masing
berdiri sendiri. Sankhya tidak
mengakui adanya satu roh atau satu jiwa yang bersifat universal atau umum. Purusa tak dapat diamati, sekalipun
demikian keberadaannya dapat dibuktikan dengan asumsi sebagai berikut.
(1)
Susunan alam semesta (yang terdiri
atas banyak bagian) menunjukkan bahwa
beradanya alam semesta itu tentu bukan demi kepentingan diri sendiri, melainkan
demi kepentingan sesuatu yang berbeda dengan alam semesta itu sendiri. Dunia
berada bukan demi untuk dunia itu sendiri, melainkan untuk kepentingan yang
bukan dunia, yaitu roh, purusa.
(2)
Segala manusia berusaha untuk
mendapatkan kelepasan. Hal ini memberi informasi bahwa tentu ada sesuatu yang
bisa mencapai kelepasan itu. Yang bisa mencapai itu tentu yang bukan bendani, itulah purusa.
(3)
Tiap hal yang ada, berada secara
sendiri-sendiri, mati sendiri, memiliki organisme sendiri dan seterusnya.
Berdasarkan kenyataan itu jelas bahwa ada banyak sekali individu, dan ini
berarti banyak sekali terdapat purusa.
Prakrti adalah
asas bendani yang merupakan sebab pertama alam semesta, yang terdiri atas
unsur-unsur kebendaan dan kejiwaan atau psikologis. Sama seperti purusa, keberadaan prakrti, juga tak bisa diamati, namun ia benar-benar ada.
Keberadaannya bisa dicermati dari kesimpulan yang diambil berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.
(1)
Tiap hal yang berada di dunia
bersifat terbatas. Apa yang bersifat terbatas bergantung kepada yang tidak
terbatas dan yang berdiri sendiri, yang menyebabkan adanya yang tak terbatas
itu. Sumber itu adalah prakrti.
(2)
Tiap hal memiliki sifat-sifat
tertentu yang, juga dimiliki oleh sesuatu yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa
ada satu sumber bersama yang mengalirkan sifat-sifat itu. Sumber itu adalah prakrti.
(3)
Segala akibat timbul dari
aktivitas suatu sebab. Aktivitas yang menyebabkan perkembangan dunia ini tentu
berasal dari sesuatu sebab pertama, yaitu prakrti.
(4)
Suatu akibat tidak mungkin menjadi
sebabnya sendiri. Oleh karena itu tentu ada sebab asasi yang menyebabkan adanya
berbagai macam akibat itu. Sebab asasi itu adalah prakrti.
(5)
Alam semesta mewujudkan suatu
kesatuan. Adanya satu kesatuan menunjukkan adanya satu sebab yang menyatukan ,
yaitu prakrti.
Selanjutnya,
dijelaskan bahwa prakrti atau asas
kebendaan memiliki tiga guna atau Triguna.
Guna ini bukan berarti kualitas. Triguna ini adalah kekuatan-kekuatan
yang menyusun prakrti, tetapi bukan
dalam arti bahwa prakrti terbentuk
dari ketiga guna tersebut. Namun
antara prakrti dengan triguna tersebut saling ketergantungan
dan tak dpat dipisah-pisahkan. Baik prakrti
maupun triguna itu memiliki sifat tak
terbatas. Sama halnya dengan prakrti,
triguna-pun tak dapat diamati.
Keberadaannya disimpulkan dari akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Triguna itu adalah sattwam, rajas, dan tamas. Sattwam adalah kesadaran potensial, rajas adalah sumber aktivitas, sedangkan tamas adalah sumber resistensi kegiatan. Ketiga unsur tersebut
secara berturut-turut berhubungan secara kausal dengan kesenangan, kesakitan,
dan indeferensiasi. Semula triguna
ini berada dalam keseimbangan kekuatan. Oleh karena itu prakrti berada dalam keadaan tenang sehingga tak terjadi apa-apa.
Ketika keseimbangan kekuatan-kekuatan di dalam prakrti itu terganggu, terjadilah gerak, dan berkembanglah prakrti. Gangguan keseimbangan itu
terjadi ketika purusa
berhubungan dengan prakrti. Mengingat dari purusa
itu dengan sendirinya keluar perangsang, seperti halnya besi berani (magnet)
terhadap besi yang ditariknya. Kerjasama antara purusa dan prakrti ini
menimbulkan perkembangan alam semesta
dengan segala isinya yang keluar dari prakrti. Berdasarkan hubungan ini maka prakrti mengubah bentuk purusa yang banyak itu menjadi jiwa
perorangan di dalam dunia. Prakrti
menahan purusa dan membelenggunya di
dalam tubuh.
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa perkembangan prakrti
terjadi disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan dalam triguna. Dalam tahap awal
dari perkembangan itu yang mula-mula muncul seperti berikut.
(a)
Mahat (dasar kosmik intelegensi).
(b)
Budhi (intelegensi – substansi semua proses
mental).
(c)
Ahankara (prinsip individuasi).
(d)
Dari Ahankara lahirlah tiga garis perkembangan berikut.
·
Dari sattwa lahir pikiran (manah),
lima alat persepsi (panca budhindrya), dan lima intrumen tindakan
(panca karmendrya)
·
Dari rajas timbul energi yang mendorong, baik perkembangan sattwa maupun tamas.
·
Dari tamas muncul lima unsur halus (panca
tan matra) yang menjadi asal-usul perkembangan unsur kasar (panca maha butha).
Perkembangan prakrti dari yang satu menjadi yang banyak
itu adalah suatu perubahan bentuk, suatu transformasi, bukan suatu perubahan
tempat. Perkembangan prakrti bersifat
berkala artinya, ada masa perkembangan dan ada masa peleburan. Tiap masa
perkembangan (srsti) disusul oleh
masa peleburan (pralaya). Pada masa pralaya seluruh keanekaragaman alam semesta ini menjadi terpendam atau
ditidurkan dalam prakrti, atau dengan
kata lain pralaya adalah peleburan
dunia ini ke dalam prakrti
orisinalnya. Evolusi Prakrti menjadi
dunia obyek memungkinkan roh mengalami nikmat atau sengsara sesuai dengan baik
buruk perbuatannya. Namun tujuan akhir
evolusi Prakrti adalah kelepasan.
Menurut ajaran Sankhya ada tiga sumber pengetahuan yang
benar. Tiga sumber itu adalah pratyaksa,
anumana, dan sabda. Pengetahuan itu dipandang benar bila pengenalan akan obyek
itu pasti dan benar melalui penentuan buddhi.
Sang diri akan tahu tentang sesuatu
obyek melalui manas dan indria.
Demikian secara ringkas pokok-pokok ajaran Sankhya.
Selanjutnya akan dicoba melihat bagaimana pandangan filsafat Yoga.
Yoga sebagai sebuah sistem filsafat
sering dipasangkan dengan sistem filsafat Sankhya
karena Yoga dipandang sebagai
pelaksanaan ajaran Sankhya dalam kehidupan nyata.
Yoga menerima ajaran tentang 25 tattwa dari Sangkhya demikian, juga tentang ajaran Tri Pramana. Namun Yoga
menghadirkan Iswara sebagai roh
tertinggi yang berbeda dari roh-roh lainnya.
Teori Kelepasan menurut Sankhya dan Yoga
Menurut
ajaran Sankhya hidup ini adalah
campuran antara senang dan susah. Banyak hal-hal menyenangkan yang dapat
dirasakan, tetapi juga banyak penderitaan yang harus diterima. Manusia mungkin
bisa lepas dari kesusahan dan penyakit, tetapi tidak bisa lepas dari ketuaan
dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini, yaitu adhyamika,
adhibautika, dan adhidaiwika.
Adhyamika adalah sakit karena
sebab-sebab dari dalam diri sendiri misalnya, kurang berfungsinya organ-organ
pernafasan, gangguan perasaan. Dengan kata lain ia merupakan gangguan jasmani
dan rohani, seperti sakit kepala, pilek, marah, cemas, dan sebagainya.
Adhibautika adalah sakit yang disebabkan
faktor luar tubuh, seperti tangan yang terluka kena pisau, kaki yang terantuk
batu, dan sebagainya. Selanjutnya, adhidaiwika adalah sakit yang disebabkan
oleh tenaga gaib, seperti setan, hantu, roh jahat dan sebagainya. Tak
seorangpun dapat bebas dari perasaan susah dan sakit, penderitaan - duhkha.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat telah memperingan hidup
manusia, namun demikian tidak semua persoalan manusia dapat dipecahkan oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tak mampu mengantarkan manusia mencapai
kelepasan. Sankhya mengajarkan bahwa
untuk mencapai kelepasan adalah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan
dunia ini. Tiadanya pengetahuan itulah yang menyebabkan manusia menderita.
Dengan kata lain sebab penderitaan itu adalah kebodohan, yaitu ketidakmampuan
manusia untuk membedakan antara yang roh dan bukan roh. Manusia akan mencapai
kelepasan dari penderitaan bila ia telah menyadari bahwa roh itu tidak hadir
dan tidak mati maka ia bebas dari penderitaan.
Ada dua macam
kelepasan, yaitu jiwanmukti dan widehamukti. Jiwanmukti ialah kelepasan roh selama ia hidup dalam badan ini,
sedangkan widehamukti adalah
kelepasan roh dari badan kasar dan badan halus.
Seluruh
ajaran Yoga dibagi dalam 4 (empat)
bagian, yaitu pertama disebut samadhipada berisi tentang sifat,
tujuan, dan bentuk ajaran Yoga; kedua
disebut sadhanapada isinya tentang cara mencapai samadhi, tentang kedukaan, tentang karma phala, dan
sebagainya; ketiga disebut wibhutipada menguraikan tentang
segi batiniah ajaran Yoga, serta
kekuatan gaib yang diperoleh karena praktek Yoga;
keempat disebut kaiwalyapada melukiskan tentang
alam kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi.
Yoga adalah jalan untuk memperoleh vivekajnana, yaitu pengetahuan
untuk membeda-bedakan antara yang salah dan yang benar sebagai kondisi
kelepasan. Menurut Yoga kelepasan itu
bisa dicapai melalui pengetahuan langsung tentang perbedaan roh dengan dunia
jasmani ini termasuk badan, pikiran, dan sifat aku. Hal ini dapat diwujudkan
melalui pengendalian pikiran, fungsi badan, dan indriya. Dengan kata lain
pengendalian pikiran merupakan kunci dalam mencapai kelepasan.
Dalam
filsafat Yoga pikiran itu disebut Citta. Citta merupakan hasil pertama dari prakrti. Pada citta sifat
sattwam menguasai rajas dan tamas. Pada dasarnya citta
itu sifatnya tidak sadar, tetapi hubungannya amat erat dengan roh, maka ia akan
memantulkan kesadaran roh sehingga tampaknya ia memiliki kesadaran dan
kecakapan.
Bila
citta diubah ke dalam suatu jenis vrtti (keadaan mental yang mengamati)
maka roh dipantulkan pada keadaan itu dan mudah menyatakan keadaan itu sebagai
keadaannya sendiri. Ia akan memandang dirinya mengalami kelahiran, kematian,
sedih, senang, berbuat salah atau benar, dan sebagainya, padahal roh
sesungguhnya mengatasi segala hal itu. Oleh karena tiadanya pengetahuan yang
benar maka roh nampak sebagai pelaku lima klesa
atau sumber kesedihan seperti berikut.
(a)
Awidya, yaitu pengetahuan yang salah.
(b)
Asmita, yaitu pandangan yang salah yang
memandang roh itu sama dengan buddhi
atau manah.
(c)
Raga, yaitu nafsu keinginan dan alat-alat
pemuasnya.
(d)
Dwesa, yaitu kebencian.
(e)
Abhiniwesa, yaitu rasa takut pada kematian.
Selama
adanya perubahan dan keguncangan citta
maka selama itu roh direfleksikan pada perubahan-perubahan citta. Bila tak
memiliki vivekajnana maka ia akan
menyamakan dirinya dengan yang dirubah itu. Akibatnya roh akan merasa susah,
senang, sedih, cinta, dan sebagainya sesuai dengan perubahan citta tersebut. Ini berarti ikatan pada
roh.
Bila seseorang
mampu memiliki kesadaran, yaitu vivekajnana
maka ia akan bebas dari keterikatan itu. Artinya, bila manusia ingin mencapai
kelepasan ia harus mampu menguasai gerak pikiran, fungsi badan, dan kerja
indriya sehingga kegoncangan-kegoncangan yang terjadi pada citta akan berhenti secara otomatis. Dengan demikian roh akan
menyadari dirinya sebagai dirinya, berbeda dengan badan, pikiran, dan indriya.
Untuk mampu sampai ke tingkat tersebut memang amat sulit dan membutuhkan pengetahuan
serta latihan-latihan.
Yoga berarti penghentian
kegoncangan-kegoncangan pikiran. Dalam ajaran Yoga dijelaskan ada lima keadaan pikiran yang disebabkan oleh
intensitas Triguna. Kelimanya keadaan
pikirann itu seperti berikut.
(a)
Ksipta, artinya tidak diam-diam, dalam hal ini
rajas dan tamas mengombang-ambingkan pikiran sehingga bergerak kesana-kemari.
(b)
Mudha, artinya lamban dan malas. Ini berarti tamas menguasai pikiran
(c)
Wiksipta, artinya bingung, kacau. Hal ini
disebabkan pengaruh rajas.
(d)
Ekagra, artinya terpusat. Pada saat ini sattwa yang mempengaruhi pikiran. Ini
merupakan awal pemusatan pikiran.
(e)
Niruddha, artinya terkendali. Pada tahap ini
berhentilah semua kegiatan pikiran, dan hanya ketenangan yang ada.
Ekagra dan Niruddha merupakan persiapan menuju kelepasan. Ekagra bila dapat berlangsung terus-menerus disebut samprajanatayoga atau meditasi yang
dalam yang padanya ada perenungan kesadaran akan sesuatu obyek yang terang.
Tingkatan Nirudha, juga disebut asaniprajnatayoga karena semua perubahan
dan kegoncangan pikiran terhenti dan tiada satupun diketahui oleh pikiran lagi.
Inilah yang dikatakan samadhi yoga.
Jadi, secara
ringkas dapat dikatakan bahwa untuk mencapai kelepasan manusia harus mampu
mengendalikan gerak-gerak pikiran, fungsi badan, dan kerja indriyanya. Caranya
adalah dengan mimiliki vivekajnana
dan latihan-latihan secara tekun dan teratur melalui Astanggayoga, yaitu Asana,
Pranayama, Yama, Niyama, Dharana, Dhyana, dan Samadhi.
Simpulan.
Dari paparan
sekilas di atas nampaklah bahwa Filsafat Yoga memang meruapakan bentuk praktis
dari ajaran Sankhya. Pada ajaran Sankhya teori kelepasan itu masih begitu
samar. Di sana dikatakan bahwa untuk mencapai kelepasan seseorang harus
memiliki pengetahuan yang benar tentang yang roh dan bukan roh. Bagaimana
pengetahuan itu bisa dicapai belum diungkapkan. Keterangan tentang jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kelepasan
itu diungkapkan secara gamblang dalam filsafat Yoga, yaitu dengan mengendalikan
pikiran, badan, dan indriya melalui Astanggayoga.
Bacaan
Bernard, Theos Hindu Philosophy, Motilal Banarsidas Publishers Private
Limited, Delhi, 1999
Harun Hadiwijono Sari Filsafat India, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 1979
Lorens Bagus Kamus Filsafat, Pt. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2002
Maswinara, I Wayan Sistem Filsafat Hindu (Sarva
Darsana Samgraha), Paramita Surabaya, 1998
Sura, I Gede Samkhya Yoga, Kungkungan,
Denpasar, 1991