RITUAL GALUNGAN:
Dari Tradisi Agraris Menuju Tradisi
Metropolis
I Wayan Budi Utama
Pendahuluan
Setiap
210 hari sekali umat Hindu di Bali merayakan hari Galungan, tepatnya pada hari
Budha Kliwon Dungulan. Salah satu ciri perayaan Galungan adalah dibuatnya
penjor pada hari Anggara Wage Dungulan. Dalam lontar Jayakasunu disebutkan
sebagai berikut.
Ring
Anggara Wage Dungulan patut apisuguh ring Ki Buta Tiga mungwing ajeng,
malarapan upacra “byakaon/tadah kala” dst…… Ring sorene patut nanceb penjor,
tegep saha rerasmenan: magantung-gantung, ubag-abig, sampian, gantungan,
jaja-jaja, abug, dodol, satuh, bakayu, bagina, tape maungkus, palawija,
palagantung, pala bungkah, pada sawentena, jinah 11 keteng… Mungwing kasuksman
penjor puniki, sapuniki: mungwing tetampen sang magama Hindu-Bali, sapadagingan
penjore, praja katur ring Hyang Batara lumingga ring Gunung Agung. Maka suksma:
ajatan bhakti, misadia ngaturang sarining tahun (sarining bhumi), dening ragane
sampun ngamikolihang upon-upon punika, saking sawah wiadin saking tegal abian.
Perayaan Galungan mulai dari persiapan sampai
dengan berakhirnya sebenarnya berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu
mulai dari Tumpek Wariga sampai dengan Budha Kliwon Pahang. Tumpek Wariga atau
25 hari sebelum Galungan ditandai dengan upacara yang bermakna untuk mengingatkan
tumbuh-tumbuhan agar berbuah lebat yang akan digunakan untuk perayaan Galungan.
Sementara
itu dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu I – XV dijelaskan bahwa filsafat Galungan berpusat pada pergulatan Dharma
melawan A-Dharma dengan kemenangan di pihak Dharma (1985,7). Hal ini rupanya
terinspirasi dari adanya perayaan Sradha Wijaya Dasami di India. Berangkat dari
kedua sumber tersebut yang berasal dari kurun waktu yang jauh berbeda, secara
semiotik, perayaan Galungan di Bali tampaknya menunjukkan pergerakan dari
tradisi agraris menuju tradisi metropolis. Mengapa sampai muncul asumsi seperti
itu, bukankah tradisi selama ini masih dipandang sebagai sesuatu yang berlaku
secara turun- temurun tanpa harus mengalami perubahan pemaknaan?
Agama, Tradisi, dan Kekuasaan dalam Pemaknaan
Menurut Hidayat dalam
tulisannya berjudul Dialektika Agama dan
Budaya, agama hendaknya mampu mentransendensikan diri, berada di atas
pluralitas budaya dan bangsa, lalu memberikan visi, motivasi, dan pencerahan
kemanusiaan dalam bingkai kebangsaan dan kebudayaan. Gerakan keagamaan pada
akhirnya adalah gerakan kebudayaan karena manifestasi akhir dan perilaku
seseorang tampil dalam ranah budaya. Dan jika sebuah agama tidak mampu mengartikulasikan
diri dalam wadah budaya sebagai gerakan emansipatoris, maka agama akan
ditinggalkan orang. Sebaliknya, gerakan kebudayaan yang tidak memiliki dimensi
transenden juga tidak akan mampu memperoleh dukungan abadi dan militan. Dalam
pada itu, agama apapun pada akhirnya akan diuji oleh sejarah dengan
ukuran-ukuran kemanusiaan secara empiris ( Hidayat, 2003:11). Dengan singkat
dapat dikatakan bahwa agama sebaiknya melakukan reinterpretasi terhadap
dogma-dogmanya sehingga selalu aktual dengan zamannya.
Dari paparannya yang sangat
mendalam tentang perkembangan agama-agama di dunia ketiga dalam buku
berjudul Agama dan Modernisasi Politik, Suatu Kajian Analitis yang
diterbitkan di Indonesia tahun 1985 (dari judul asli Religion and Political Developmnet, An analitytic Studi, 1970),
Smith sampai pada kesimpulan bahwa modernisasi telah menyebabkan terjadi
sekularisasi. Penelitian ini cenderung memvonis bahwa modernisasi dalam
masyarakat secara otomatis akan melunturkan dan kemudian melenyapkan tradisi.
Dalam kenyataannya modernisasi seringkali menjadi pelengkap dari tradisi dan
sama sekali tidak menghapusnya.
Pandangan Smith tersebut di atas kiranya perlu diuji di lapangan
terutama menyangkut asumsinya bahwa modernisasi telah menyebabkan terjadinya
sekulerisasi dan pudarnya tradisi. Apakah tradisi akan hilang atau akan selalu
mengalami reinterpretasi sehingga pada akhirnya akan memunculkan tradisi baru
lagi, menjadi pertanyaan menarik untuk dicermati.
Menurut Giddens (2003),
tradisi adalah sebuah orientasi ke masa lalu bahwa masa lalu memiliki pengaruh
besar, atau, secara lebih akurat, tradisi dibuat memiliki pengaruh yang besar
pada masa sekarang. Namun jelas, dalam
arti tertentu, tradisi adalah tentang masa depan, karena praktek-praktek yang
telah mapan digunakan sebagai cara mengorganisasi waktu masa depan. Masa depan
dibentuk tanpa perlu menganggapnya sebagai wilayah yang terpisah dengan masa
lalu. Pengulangan, dalam sebuah hal yang perlu diteliti, merentang untuk
membalikkan masa depan ke masa lalu, di samping mengambil masa lalu untuk
merekonstruksi masa depan. Tradisi selalu berubah-ubah, tetapi ada sesuatu
tentang gagasan tradisi yang memiliki daya tahan jika bersifat tradisional,
sebuah kepercayaan atau praktik yang memiliki integritas dan keberlanjutan, yang
menentang desakan perubahan. Maka, integritas dan otentisitas sebuah tradisi
memiliki arti lebih penting di dalam mendefinisikan sebuah tradisi dibandingkan
lamanya sebuah tradisi dapat bertahan.
Lebih lanjut Giddens
mengatakan bahwa tradisi terkait dengan memori kolektif; tradisi melibatkan
ritual, memiliki penjaga. Memori, seperti halnya tradisi adalah mengorganisasi
masa lalu dalam kaitannya dengan masa sekarang. Masa lalu bukan sesuatu yang
harus dipertahankan tetapi terus direkonstruksi berdasarkan masa sekarang.
Rekonstruksi semacam itu sebagian bersifat individual, meskipun secara
fundamental bersifat sosial atau kolektif. Tradisi adalah media pengatur memori
kolektif.
Tradisi biasanya melibatkan
ritual. Aspek ritual dari
tradisi mungkin dianggap sekadar dari karakternya yang otomatis tanpa
dipikirkan. Tetapi harus diingat bahwa tradisi pasti bersifat aktif dan
interpretatif. Dapat dikatakan bahwa ritual terintegrasi ke dalam kerangka
sosial yang akhirnya menyatukan tradisi; ritual adalah sebuah cara praktis
memastikan keterpeliharaan tradisi. Ritual menghubungkan keberlanjutan
rekonstruksi masa lalu dengan aktivitas praktis. Para penjaga tradisi seperti
orang tua, dukun, ahli magi atau pejabat agama, memiliki peran penting dalam
tradisi karena mereka dipercaya sebagai agen, atau mediator dasar dari kekuatan
kausal tradisi.
Dari paparan tersebut kiranya
dapat disepakati bahwa tradisi tidaklah statis tetapi bersifat aktif serta selalu mengalami reinterpretasi
sehingga dapat berubah dari waktu ke waktu. Kebenaran dalam sebuah tradisi bisa
berarti sebuah kebenaran yang bersifat cair sesuai dengan konteks zaman. Dapat
dikatakan bahwa pemaknaan sosial terhadap objek berasal dari makna yang
diberikan padanya melalui interaksi. Interaksi atau dunia sosial didefinisikan
sebagai suatu tatanan yang dirembugkan secara temporer; jelasnya ia harus
dibangun kembali secara terus menerus untuk menafsirkan dunia (Coulon, 2008:11)
Menurut Foucault “kebenaran”
bukanlah sesuatu yang seolah sudah senantiasa ada “di sana” (given) tak tersentuh oleh waktu dan
tinggal menemukannya, melainkan terjalin secara intrinsik dalam relasi antara
wacana yang digunakan manusia untuk mengungkapkan kebenaran itu, sistem
kekuasaan yang berlaku dan kedudukan subjek-subjek yang terlibat. Ketiga hal
inipun sekaligus merupakan kenyataan yang menyejarah bersama kebenaran yang
direngkuhnya. Dengan kata lain bahwa “ kebenaran” suatu wacana tergantung pada
apa yang dikatakan, terutama siapa yang mengatakan, kapan dan dimana ia
mengatakannya. Ringkasnya kebenaran suatu wacana tergantung pada konteks
(Storey, 2004:135; Sturrock, 2004:175-176 ).
Foucault berusaha menjelaskan
bahwa kekuasaan dikendalikan oleh wacana dan bagaimana wacana itu selalu
berakar dalam kekuasaan, kekuasaan menghasilkan pengetahuan, kekuasaan dan
pengetahuan secara langsung saling mempengaruhi, tidak ada hubungan kekuasaan
tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya, atau bahwa suatu
pengetahuan tidak akan menuntut dan membentuk hubungan kekuasaan pada waktu
yang sama. Dengan kata lain Foucault
berpandangan bahwa tidak ada pengetahuan abadi yang berlaku di segala jaman.
Sementara itu menurut Gidden (2005: 52) dalam ilmu, tidak ada satu pun yang
pasti. Tidak ada pengetahuan dalam kondisi modernitas yang merupakan pengetahuan
dalam pengertian “lama” di mana“ mengetahui” berarti yakin. Ini berlaku pada
ilmu alam dan ilmu sosial.
Foucault sebenarnya telah
mengadopsi pemikiran Nietzsche (Best, 2003: 38) tentang hubungan antara
kekuasaan dan pengetahuan, tetapi hubungan itu lebih banyak dianalisisnya
secara sosiologis. Dalam genealogis kekuasaan, Faucoult membahas bagaimana
orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Di
antaranya, ia melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang
menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek dengan pengetahuan. Foucault juga
memberi perhatian cukup besar pada teknik, teknologi yang berasal dari
pengetahuan (terutama yang berasal dari ilmu pengetahuan ilmiah), dan
memperhatikan cara teknologi digunakan oleh berbagai instansi untuk memaksakan
kekuasaan terhadap manusia. Meski ia melihat kaitan antara pengetahuan dan
kekuasaan, namun ia yakin bahwa pengetahuan dan kekuasaan selalu bersaing;
antara keduanya selalu terjadi resistensi (Ritzer, 2003:115; Ritzer, 2005:610).
Berangkat dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas akan digunakan dalam
mendeskripsikan pemaknaan Galungan dari tradisi agraris menuju tradisi
metropolis.
Galungan Dalam Tradisi Agraris
Rangkaian
perayaan Galungan sudah dimulai pada Sabtu Kliwon Wariga yang lebih dikenal
dengan Tumpek Wariga. Pada asaat ini masyarakat Hindu di Bali melakukan ritual
dengan tujuan memohon anugrah Hyang Widhi agar pohon-pohonan menghasilkan
buah-buahan yang baik agar dapat digunakan dalam perayaan Galungan yang akan
dilaksanakan 25 hari kemudian. Pada Wraspati Wage Sungsang disebut dengan
Sugihan Jawa. Kata Jawa ini mengingatkan pada bentuk biji-bijian ( kebutuhan
akan pangan) yang akan digunakan pada perayaan Galungan seperti ketan, beras
dan lain sebagainya. Keesokan harinya pada hari Sukra Kliwon Sungsang disebut
Sugihan Bali. Kata Bali dalam hal ini barangkali ada hubungannya dengan bebali yang bisa diartikan sebagai
perlengkapan sandang. Redite Paing Dungulan (panyekeban) saatnya untuk mempersiapkan buah-buahan seperti pisang
dan lain-lain agar menjadi matang pada perayaan Galungan. Soma Pon Dungulan
yang disebut juga sebagai hari penyajaan (dari kata jaja = jajan) saatnya membuat berbagai penganan untuk perayaan.
Anggara Wage Dungulan adalah hari penampahan Galungan, saatnya memotong hewan
untuk kegiatan upacara.
Persiapan-persiapan
Galungan yang terpapar di atas secara heuristik adalah semacam persiapan pesta
menyambut Galungan. Hal ini mengindikasikan bahwa mungkin di zaman dahulu pada
masa pemerintahan raja-raja Bali Kuna, Galungan adalah semacam pesta panen
raya. Hal ini bila dikaitkan dengan umur padi lokal di Bali pada masa sebelum
ditemukannya jenis padi unggul memang berumur sekitar enam bulanan. Perayaan
Galungan pada tradisi agraris terkait erat dengan sistem keyakinan pada agama
asli Bali yang belum begitu banyak mendapat pengaruh luar. Ciri-ciri agama asli
itu adalah meliputi kegiatan sendiri, memiliki ajaran, kaidah, moral, upacara
khusus serta pejabat-pejabat tertentu untuk upacara dimaksud. Salah satu agama asli di Indonesia adalah
agama Bali Aga (Subagya, 1981: 31).
Dengan semakin intensnya
pergaulan dengan agama-agama yang datang dari luar muncullah pemaknaan Galungan yang lebih
disesuaikan dengan situasi zaman. Secara hermeneutik perayaan pesta panen ini
kemudian dimaknai sebagai saat-saat yang baik untuk melakukan pemujaan kepada
Hyang Widhi sesuai dengan makna-makna yang terkandung dalam istilah-istilah
yang diberikan pada hari-hari menjelang Galungan. Hari panyekeban dimaknai sebagai saat untuk melakukan pengekangan
terhadap nafsu indriya, penyajaan dimaknai sebagai keteguhan dan kesungguhan
hati (dari kata saja =
sungguh-sungguh).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada tradisi agraris perayaan Galungan
kemungkinan adalah perayaan pesta panen semacam ungkapan rasa sukur kepada
Hyang Widhi Wasa karena telah memberikan anugrahnya berupa makanan yang
berlimpah. Hal ini bisa dilihat mulai dari bentuk penjor yang berisikan berbagai bentuk hasil bumi yang
dipersembahkan kepada Hyang Giri Putri di Gunung Agung. Gunung sebagai pusat
orientasi pada agama agraris karena gunung dipandang sebagai alam dewa atau roh
suci leluhur. Gunung juga sebagai sumber kemakmuran karena hutan yang ada di
gunung memberikan sumber air untuk pertanian dan kehidupan manusia. Gunung
sebagai sthana Hyang Widhi kemudian dibuatkan replikanya dalam sistem pemujaan
sehingga memunculkan bentuk meru, tumpeng dan sebagainya.
Gunung sebagai sumber
kemakmuran bagi masyarakat dapat juga dijumpai dalam kisah pemutaran Gunung
Mandara oleh para Dewa dan Raksasa. Konon, para Dewa dan Raksasa bersepakat
akan mencari Amrtha yaitu air suci yang menyebabkan hidup kekal. Mereka
kemudian menggunakan gunung Mandara sebagai alat pemutarnya. Gunung ini
kemudian dibawa ke kolam susu dengan dialasi
Bedawang (sejenis kura-kura dengan moncong panjang). Bedawang ini
berfungsi sebagai penyangga agar gunung tidak tenggelam ketika diputar. Gunung
ini kemudian dibelit dengan naga, sehingga gunung ini dapat diputar ibaratnya
gangsing. Pada bagian kepala naga dipegang oleh para raksasa sedngkan pada
bagian ekornya dipegang pada dewa. Para dewa dan raksasa secara bergantian
menarik ulur naga tersebut sehingga menyebabkan gunung Mandara berputar seperti
gangsing di kolam susu. Setelah lama diputar maka susu mulai mengental. Setelah
lama diputar maka dari gunung Mandara kemudian keluar Dewi Sri dan Dewi Laksmi,
Kuda Uccaisrawa, Manik Kastuba, dan Amrtha. Secara hermeneutik segala sesuatu
yang dihasilkan dari pemutaran Gunung Mandara ini sebenarnya memberikan
tuntunan kepada manusia bahwa jika mereka bijaksana dalam mengelola alam ini
(gunung) maka alam akan memberikan segala yang dibutuhkan manusia seperti
sandang dan pangan (Sri dan Laksmi, dan Manik Kastuba), alat transportasi (kuda
Uccaisrawa), serta kebahagian rohani berupa Amrtha (Widyatmanta, 1958)
Mitos ini mengindikasikan
bahwa pesan-pesan moral disampaikan secara implisit lewat kisah-kisah yang
harus dikupas sehingga menemukan makna yang sesungguhnya. Mitos memang hanya
sebagai formulasi, namun isinya adalah kuno dan mengacu pada sakramen- yaitu
pada tindakan yang mengasumsikan realitas mutlak, realitas yang bersifar
ekstrahuman (Eliade,2002:28).
Galungan dalam Tradisi Metropolis
Banyak pengamat mengatakan
masyarakat Bali sedang bergerak dari masyarakat agraris dengan budaya ekspresif
sedang bergerak atau bahkan telah berada pada kategori masyarakat jasa dengan
budaya progresif. Salah satu faktor pendorong secara eksternal adalah
kepariwisataan, sementara itu secara internal masyarakat Bali memang
menginginkan perubahan dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya.
Disadari ataupun tidak, suka
maupun tidak masyarakat sebenarnya telah memasuki zaman yang dikenal sebagai
zaman postmodern, yang salah satu cirinya adalah terciptanya skizofrenia. Piliang (2004)
menggambarkan skizofrenia sebagai
sebuah dunia , yang di dalamnya “hasrat” dan manifestasinya pada produk, tanda,
gaya, mengalir dengan kecepatan tinggi dan dengan intensitas semakin tinggi,
berfluktuasi, berpindah dari satu keadaan ke keadaan lainnya dalam tempo yang
semakin tinggi sehingga menggiring
manusia ke dalam kondisi ketiadaan “ego’, ketiadaan identitas, ketiadaan
teritorial, ketiadaan makna. Hasrat, kegairahan, dan kesenangan-kesenangan mengalir
tanpa henti menuju arah yang ia sukai, tanpa dapat lagi dikendalikan oleh ego
sehingga dunia realitas itu kini dibentuk oleh dorongan-dorongan insting
manusia yang tidak terkendalikan lagi oleh ego. Citra dan tanda-tanda mengalir
dengan kecepatan tinggi di dalam media (televisi, produk, tontonan), dan
didalam kegilaannya, ia sampai pada satu titik dimana ia tidak meninggalkan
jejak makna apapun bagi peningkatan kehidupan manusia yang bermakna. Manusia
hanyut dalam kegilaan tanda, di dalam kegilaan tren, di dalam kegilaan gaya hidup, di dalam
kegilaan prestise, di dalam kegilaan
tempo pergantiannya, tanpa sempat menginternalisasikan nilai-nilai yang
terkandung di dalam tanda-tanda tersebut. Hutan rimba hasrat dan tanda tersebut menciptakan
manusia-manusia dengan “diri yang terbelah”.
Kondisi ini dalam pandangan
postmodern bukan sebagai kondisi “abnormalitas” namun lebih sebagai “gerakan
pembebasan diri” atau “revolusi hasrat” dari berbagai aturan keluarga,
masyarakat, negara, bahkan agama. Kondisi seperti ini akan membawa manusia
kontemporer ke arah tiga posisi psikis. Pertama, posisi orphans,
yaitu posisi yang tidak dibatasi aturan keluarga atau sosial, yang selama ini
dipandang telah membelenggu sehingga menjadikannya kurang produktif. Kedua, posisi ateis, yaitu tidak
dikendalikan kepercayaan atau keyakinan tertentu yang membatasi arus hasrat.
Agama-agama selama ini dianggap hanya membelenggu hasrat-hasrat yang hidup di
dalam diri manusia. Hasrat-hasrat tersebut dianggap sebagai sesuatu yang
merusak dan bersifat negatif. Padahal sesungguhnya ia dapat bersifat positif
dan produktif. Ketiga, posisi nomads,
yaitu tidak pernah berada pada keyakinan, teritorial, ideologi, tanda, atau
identitas yang sama pada waktu yang berbeda. Manusia harus dibiarkan berpindah
dari satu keyakinan ke keyakinan lainnya, dari satu ideologi ke ideologi
lainnya, dari satu identitas ke identitas lainnya, layaknya seorang nomad.
Dengan demikian dapat
dibayangkan bahwa ditengah-tengan kegamangan akibat terjadinya peralihan dari
tradisi agraris menuju pada tradisi jasa yang terjadi pada masyarakat, badai
besar sedang mengancam kehidupan manusia. Semua sendi-sendi kehidupan manusia
menjadi porak peranda. Apa benar seperti itu kenyataan yang akan dihadapi
manusia saat ini, apa sudah tiada lagi harapan terhadap agama sebagai pemberi
keteduhan hati bagi umat manusia?
Seorang peramal masa depan
Alvin Toffler mengatakan bahwa agama masih punya peran dalam mengendalikan
masyarakat yang sedang ekstasi, imoralitas, sikap ketidakacuhan moral yang
melanda masyarakat postmodern. Toffler boleh punya keyakinan seperti itu, namun
melihat kenyataan yang sesungguhnya terjadi dalam istitusi keagamaan sungguh
merupakan ironi. Agama kini cenderung menjadi alat legitimasi untuk menekan
mereka yang memiliki sistem keyakinan berbeda, bahkan atas nama agama mereka
rela membunuh sesamanya.
Masyarakat Bali boleh jadi
belum mengalami malapetaka kehidupan
postmodern seperti yang dialami masyarakat di negara-negara maju, karena
modernitas atau kemodernan masyarakat Bali baru dalam pertumbuhan awal. Namun
demikian masyarakat yang berada pada masa transisi dari tradisional ke modern,
seringkali memunculkan persoalan yang tidak kalah rumitnya. Secara fisik
masyarakat Bali nampak modern namun dalam kehidupan mental dan alam pikiran
masih tradisional. Tradisi lama belum ditinggalkan sementara pola pikir modern
belum dikuasai. Kalau memijam pemikiran Comte ( dalam Koento Wibisono1983 )
masyarakat berdiri dalam kondisi satu kaki pada tahap teologi sementara kaki
yang lainnya ada pada tahap positif.
Yang jelas bahwa manusia
dewasa ini makin sadar bahwa seluruh krisis di bumi ini tidak hanya disebabkan
oleh alasan material tapi justru lebih pada sebab-sebab transendental. Dunia
modern sekarang ini tidak lagi memiliki horizon spiritual. Manusia modern
melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang pinggiran eksistensi, tidak
pada “pusat spiritualitas dirinya” sehingga mengakibatkan ia lupa siapa
dirinya. Perhatian yang lebih terpusat pada dunia materi memang telah
memberikan kemajuan yang sangat mengangumkan, tapi secara kualitatif dan
keseluruhan tujuan hidupnya ternyata sangat dangkal. Dekadensi atau kejatuhan
manusia saat ini telah kehilangan pengetahuan tentang dirinya, dan menjadi sangat tergantung pada pengetahuan
eksternal, yang tak langsung berhubungan dengan dirinya ( Hidayat, 2003 ).
Kecenderungan ini terjadi
karena proses rasionalisasi yang menyertai modernitas telah menciptakan
sekularisasi kesadaran dan memperlemah fungsi kanopi suci agama dari domain
kehidupan para pemeluknya, sehingga menimbulkan ketidakberartian pada diri
manusia modern. Hal-hal sakral yang berfungsi sebagai faktor sublimasi dan
penguatan eksistensi manusia, digantikan oleh hal-hal yang sertba rasional
sehingga terjadilah dekonstruksi transendensi kognisi manusia atau dengan istilah sekularisasi alam bathin
( Nashir, 1999 ).
Dari paparan tersebut di atas
semakin tampak bahwa agama memang diperlukan dalam menata perilaku manusia. Hal
ini menjadi penting karena pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidak
pastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik
fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama adalah menyediakan dua
hal. Pertama, memberikan suatu
cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia, dalam
arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang
mempunyai makna. Kedua, menyediakan
sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar
jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia
mempertahankan moralnya (O’Dea, 1985).
Menurut Radhakrisnan, dalam
diri manusia senantiasa akan terjadi fermentasi (peragian) mental dan moral,
yaitu suatu ketegangan antara fakta dan keberadaannya sekarang dan keadaan diri
yang ingin dicapainya, antara materi yang menawarkan eksistensi dan roh yang
menempanya menjadi suatu keberadaan yang signifikan (Radhakrisnan, 2003).
Agama-agama berusaha untuk memuaskan kebutuhan fundamental manusia dengan
memberinya kepercayaan, cara hidup, suatu iman, dan suatu komunitas. Dengan
demikian, bisa memulihkan hubungan yang terputus antara dirinya dan dunia spiritual di atasnya dan dunia
manusia di sekitarnya. Kehidupan dewasa ini sekalipun secara kuantitatif telah
memberikan kenyamanan dan kenikmatan materi, ternyata belum mampu menghadirkan
kebahagiaan. Oleh karena itu manusia membutuhkan agama. Agama yang mampu
membebaskan manusia dari ketakutan, yang mampu membangkitkan keyakinan bukan
ketakutan – Abhaya. Radhakrisnan ( 2003) mengatakan bahwa:
“Ciri-ciri agama murni adalah abhaya atau terbebas dari ketakutan, pengungkapan diri dalam harmoni,
keseimbangan dan kesesuaian yang
sempurna antara tubuh dan jiwa, tangan dan otak, dan ahimsa atau kasih. Abhaya
dan ahimsa, kesadaran dan simpati, kebebasan dan kasih merupakan dua fitur
(ciri istimewa) teoritis dan praktis dari agama "
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia
sangat membutuhkan agama lebih-lebih ketika mereka mengalami problem-problem
hidup. Ketika manusia menghadapi problem-problem kemanusiaannya, mereka
membutuhkan sarana penghubungan dengan Yang Maha Kuasa yang diyakini mampu
memberikannya perlindungan.
Ringkasnya secara fungsional,
agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam
ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkannya dengan
tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur
identitas.Harus diingat bahwa ketika muncul gejala-gejala berikut maka agama
yang secara fungsional oleh O’Dea
dikatakan akan memberikan perlindungan dan rasa aman sebagaimana tersebut di
atas bisa berubah menjadi sebuah bencana kemanusiaan manakala: Pertama, bila suatu agama mengklaim
kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, bila muncul ketaatan buta kepada
pemimpin keagamaan. Ketiga, ketika
agama gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman
tersebut ke dalam zaman sekarang. Tanda keempat
adalah apabila agama membenarkan dan membiarkan terjadinya ”tujuan yang
membenarkan cara”; sementara tanda kelima,
adalah ketika agama tak segan-segan memekikkan perang suci ( Kimbal, 2002).
Dari
paparan di atas secara ringkas dapat dikatakan bahwa (1)nilai-nilai agama harus
selalu didekonstruksi, konstruksi,
direkonstruksi sehingga selalu aktual dalam membantu manusia mengatasi problema
kehidupannya, (2) terdapat interrelasi antara agama dan politik kekuasaan.
Berangkat dari sini dengan melihat upaya-upaya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
Hindu di Bali dalam menafsirkan perayaan Galungan, tampak jelas bahwa
rekonstruksi terhadap makna Galungan mengindikasikan pergerakan pemikiran dari
tradisi agraris menuju pada tradisi metropolis.
Pada
awalnya pemaknaan Galungan adalah sebagai ungkapan rasa sukur kepada Hyang
Widhi Wasa karena telah memberikan anugrahNya berupa bahan sandang dan pangan
yang disimbolkan dalam bentuk penjor. Selanjutnya setelah makin kuatnya
pengaruh Hindu Majapahit di Bali, muncullah mitos tentang Raja Bali bernama
Mayadanawa yang dikatakan sebagai raja lalim yang melarang masyarakatnya
melaksanakan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, namun berhasil ditundukkan
oleh Dewa Indra ( lihat Usana Bali, 1986; Kusuma, 2005). Rupanya kisah ini
dikaitkan dengan raja Bali yang disebut Bedahulu yang berhasil dikalahkan oleh
Gajah Mada (lihat Purana Bali Dwipa, 1986). Munculnya sebutan Bedahulu ini
secara mitos dikatakan bahwa raja Bali tersebut memiliki badan manusia tetapi
berkepala babi. Sementara itu secara hermeneutik istilah Bedahulu dapat berarti
berbeda dengan hulu, hulu dalam hal ini adalah Majapahit. Dengan kata lain
kemungkinan raja Bali tersebut tidak mau tunduk pada kekuasaan raja Majapahit
sehingga akhirnya harus ditundukkan dengan peperangan. Untuk melegitimasi
kekuasaan Majapahit di Bali maka dibuatkan mitos tentang raja Mayadenawa. Mitos
memang efektif sebagai salah satu cara untuk melanggengkan kekuasaan. Kisah
inilah yang kemudian dikaitkan dengan perayaan Galungan. Dapat diduga bahwa
kekuasaan sangat berperan dalam menafsirkan hal-hal yang bersifat keagamaan,
dengan kata lain penguasalah yang melegitimasi tafsir-tafsir keagamaan sehingga akhirnya catatan-catatan yang ada
rupanya adalah catatan-catatan yang ditulis oleh pemenang.
Pemaknaan terhadap Galungan
pada masa selanjutnya, atau sebut saja masa tradisi metropolis mulai berkembang
yang ditandai dengan intensnya pergaulan antar budaya dan antara agama lewat
dunia komunikasi dan dunia maya, maka penafsiran terhadap makna Galungan juga
berubah. Berdasarkan hasil Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu yang dilaksanakan mulai tahun 1985, Galungan ditafsirkan sebagai simbol kemenangan
Dharma melawan A Dharma. Padangan
ini antara lain merujuk pada perayaan Wijaya Dasami di India. Perayaan Galungan
saat ini lebih ditandai oleh ketakmampuan manusia dalam mengendalikan
hasratnya. Galungan lebih ditandai dengan pesta makan dan minuman pada bar-bar
yang muncul bagai jamur di musim hujan menjelang dan selama perayaan Galungan
dan Kuningan. Pemotongan hewan tidak lagi bermakna sebagai ungkapan rasa sukur
atas segala karunia yang telah diterima manusia tetapi mengarah pada pesta pemenuhan hasrat
kemanusiaan. Makna persembahan sebagai bentuk keikhlasan untuk mengembalikan
sebagian dari milik pribadi semakin pudar, sehingga memunculkan dorongan
egoisme pemenuhan kebutuhan pribadi dan komunal. Individualisme mendapat ruang
yang semakin lebar pada gaya hidup metropolis.
Pemaknaan Galungan menjadi
sangat formalistik, tentu saja peran para intelektual tradisional (meminjam
istilah Gramsci) dalam memberikan penafsiran terhadap makna Galungan tak dapat
dilepaskan dari pengaruh tangan-tangan kekuasaan. Paruman-paruman yang
dilakukan untuk reinterpretasi terhadap
aspek-aspek agama dengan melibatkan para intelektual tradisional bekerjasama
dengan pihak Pemerintah Daerah sebagai penyandang dana untuk mengangkat makna
Galungan ke panggung yang lebih luas dari hanya sekedar ritual tradisional
kedaerahan menuju panggung yang lebih metropolis, memberi warna baru dalam
pemaknaan Galungan. Hal ini tampak dari dasar-dasar ideologis yang dirujuk
adalah ritual yang berkembang di India yang dikenal dengan istilah Wijaya
Dasami. Hal ini sah-sah saja, karena makna tentang sesuatu bersifat cair,
tergantung kepada siapa yang memaknainya serta untuk kepentingan apa pemaknaan
tersebut. Hanya saja yang terasa agak konyol adalah penafsiran bahwa Galungan
adalah sebuah ritual kemengan Dharma melawan A Dharma (Keputusan Seminar
Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, 1985:7). Dengan kata lain A
Dharma telah mati yang ada hanyalah Dharma. Bila statemen ini dibaca secara
heuristik akan memunculkan begitu banyak pertanyaan. Pertanyaan yang mungkin
agak nakal adalah , jika Dharma telah menang dan Adharma telah kalah, siapa
lagi yang harus menjadi sparing partner
Dharma sehingga perjuangan hidup ini masih harus tetap dilanjutkan? Jika A
Dharma telah kalah mengapa kejahatan atau hal-hal lain yang dikategorikan
sebagai A Dharma masih selalu mengacaukan kehidupan manusia ?
Penutup
Dari
paparan di atas kiranya dapat disepakati bahwa reinterpretasi terhadap
nilai-nilai agama memang diperlukan, namun demikian harus dilakukan dengan
hati-hati. Ritual adalah sebuah ruang dan waktu bagi umat manusia untuk
melakukan sublimasi agar hidupnya menjadi lebih bermakna, sebab tantangan hidup
akan selalu muncul setiap saat. Ada saat untuk melakukan penghentian terhadap
gerak hasrat yang selalu bergerak liar bagaikan sebuah truk besar yang di
lepaskan dari atas bukit tanpa dilengkapi dengan rem. Ritual adalah pengingat,
atau semacam rem agar manusia tak terjebak dalam hiruk pikuk semarak hasrat
yang bergerak tak terkendali, sehingga dengan demikian manusia punya kesempatan
untuk menyadari kembali makna hidup dan kehidupannya.
Bacaan
Best,
Steven & Douglas Kellner. 2003. Teori
Postmodern, Interogasi Kritis. Gresik: Boyan Publishing.
Eliade,Mircea.2002. Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Kosmos dan
Sejarah. Yogyakarta: Ikon Telitera.
Giddens,
Anthony. 1994. Masyarakat
Post-Tradisional. Living in Post-Traditional Society. Yogyakarta : IRCiSoD.
Halim, Fachrizal.A. 2002. Beragama dalam Belenggu Kapitalisme. Magelang:
Indonesiatera.
Nashir,
Haedar. 1999. Agama & Krisis
Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kimball, Charles. 2002. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung :
Mizan.
Kusuma, I Nyoman Weda.
2005. Kakawin Usana Bali Karya Danghyang
Nirartha. Bali : Pustaka
Larasan.
O’Dea,
Thomas F. 1985. Sosiologi Agama.
Jakarta: CV. Rajawali.
Pemda Tk I Bali. 1999/2000.
Himpinan Keputusan Seminar Kesatuan
Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I – XV.
--------. 1987/1988. Usana Bali Usana Jawa, Teks dan Terjemahan.
Radhakrisnan,S. 1995. Religion and Society. New
Delhi: Harper Collins Publishers India
Pvt.Ltd.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta
: Kreasi Wacana.
Storey,
John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop.
Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Sturrock,
John. 2004. Strukturalisme
Post-strukturalisme dari Levi-Strauss sampai Derrida, terjemahan dari
Structuralism and Since. Surabaya : Jawa Post Press.
Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta : Sinar
Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka.
Widyatmanta, Siman. 1958. Adi Parwa.
Jogjakarta: Spring.