Ekonomi Hindu

Hinduconomics: Antara Ada dan Tiada

I  W a y a n  S u k a r m a

“Ya Tuhan, karuniailah kami kekayaan yang mulia. Pikiran yang baik dan kemuliaan spiritual. Harta benda yang berlipat ganda, kesehatan jasmani. Suara yang merdu dan hari-hari yang cerah”. Dari doa Rg. Veda (II.21.6) ini tampaklah betapa mulianya ekonomi Hindu. Baik ekonomi sebagai ilmu dan ajaran maupun praktik memperoleh kekayaan yang menjadi senjata mahotama waisya, kasta ekonomi. 

Hinduconomics, ekonomi Hindu dan rumpunnya hampir tidak terdengar nadanya di antara riuh-rendah nada-nada hasrat memenuhi kebutuhan, hiruk-pikuk keinginan meraih keuntungan dan kekuasaan, serta kegaduhan harapan memperoleh penghargaan dan menolong sesama. Ekonomi Hindu, seperti ada dan tiada. Padahal ekonomi adalah ‘pengetahuan seribu nyawa’. Pengetahuan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan upaya bertahan hidup dan karenanya, tidak pernah mati dan terlupakan. Malahan pertumbuhan ekonomi menjadi ukuran kemajuan suatu negara, apalagi negara-negara sedang berkembang. Demi dan atas mana kemajuan, bahkan pembangunan berlangsung sepenuhnya mengandalkan dan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Implikasinya, pembangunan pun menyisihkan kemanusiaan, menganulir nilai budaya, dan menyingkirkannya ke ruang hampa nilai. 
Mengubah ruang kedap nilai menjadi ruang peka nilai serta memberikan watak religius dan humanis pada ekonomi rupanya, menjadi imbauan terhadap peranan agama dan kebudayaan. Motif kegiatan ekonomi dan upaya bertahan hidup tidaklah semata-mata berasal dari dorongan alamiah dan kecenderungan naluriah, tetapi juga bersumber pada tradisi dan adat istiadat. Apalagi agama Hindu memandang manusia sebagai kesatuan jiwa-raga, bahkan raga-insani hanyalah refleksi jiwa-ilahi. Menilai manusia dari segi karma, baik perbuatan berdasarkan kama maupun tindakan berdasarkan dharma. Tujuan karma adalah Dharma meliputi arthani jagadhita dan atmanam mokshartam. Dari tujuannya tampaklah karma membutuhkan artha (sebagai sarana prasarana) yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab ekonomi Hindu. 

Kasta Ekonomi 
Ekonomi bertanggung jawab atas terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, agar tidak terjadi ketimpangan sosial. Kebijakan ekonomi termasuk proses produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa menjadi tanggung jawab ekonom bersama pengusaha dan penguasa. Ekonom, pengusaha, dan penguasa tergolong kelas sosial yang memiliki kekuatan dominan melakukan perubahan dalam masyarakat. Ketiganya memiliki suatu keunggulan yang dihargai masyarakat, seperti pendidikan, kekayaan, dan kekuasaan yang menjadi standar penentuan kedudukan dan peranan individu dalam masyarakat. Kedudukan dan peranan tersebut membentuk sistem sosial sebagai pola-pola yang mengatur hubungan timbal-balik antarindividu dalam masyarakat dan individu dengan masyarakat. Hubungan timbal-balik inilah membangun keseimbangan kepentingan-kepentingan individu yang menjamin keberlangsungan masyarakat. 
Masyarakat Hindu pun masih berkembang karena keseimbangan kepentingan-kepentingan individu berdasarkan kedudukan dan peranan, seperti brahmana (agamawan), ksatrya (negarawan), waisya (usahawan), dan sudra (pelayan). Keempat kelas sosial inilah melanggengkan agama Hindu hingga kini, bahkan hingga sekarang. Waisya misalnya, kasta ekonomi memiliki tanggung jawab terhadap kelancaran kegiatan ekonomi masyarakat. Selain memiliki kewajiban mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat rupanya, juga kasta ekonomi menyebarkan dharma melalui hubungan dagang. Barangkali pada mulanya, dharma hanyalah upaya memperoleh kepercayaan dari sesama usahawan, negarawan, agamawan, dan pelayan untuk mengembangkan hubungan kerja sama. Selain kerja keras, juga kerja sama menjadi modal penting bagi kasta ekonomi, seperti terungkap dalam Sarasamuccaya.
Seloka 59 misalnya, “Seorang waisya (usahawan) hendaknya belajar kepada brahmana (agamawan) dan ksatrya (negarawan)”. Kasta ekonomi memang memerlukan pengetahuan tentang kebutuhan rohaniah dan jasmaniah, selain peraturan dan prosedur distribusi demi efektivitas modal dan alat-alat produksi. Pengetahuan ini membantunya membuat pertimbangan untuk menetapkan jenis produksi dan pengelolaannya yang lebih religius dan humanis. Membangun ekonomi Hindu berkarakter religius, bermoral, dan humanis demi keselamatan manusia dan alam. Ekonomi yang demokratis dan partisipatif melawan keserakahan, ketidakadilan, dan ketimpangan. Kasta ekonomi pun wajib pengembangan kesadaran: ‘kekayaan ekonomi hanyalah sarana memuaskan kebutuhan untuk meningkatkan kesanggupan mengabdi kepada Tuhan’. Mengumpulkan kekayaan hanyalah membantu jasmani memperoleh kepuasan rohaniah.
 
Karakter Kasta Ekonomi 
Kasta ekonomi dengan kekayaannya memang lebih mudah memuaskan kebutuhannya, baik jasmaniah maupun rohaniah daripada kasta lainnya. Dengan kekayaannya, bahkan kasta ekonomi lebih mudah menarik simpati dan meraih kekuasaan, apalagi peduli lingkungan dan mau sedikit bersedekah. “Di dunia ini, jika seseorang memiliki kekayaan, dialah yang dihormati, dialah yang dianggap ahli, dialah yang didengarkan oleh orang lain, dialah sumber segala sifat baik, dialah pembicara yang hebat, dialah yang paling gagah. Sebenarnya, di dunia ini segala sifat baik tergantung pada kekayaan” (Nitisatakam, 32). Anggapan ini sekaligus mencerminkan karakter kasta ekonomi, yaitu ahli sekaligus pakar berbagai bidang ilmu karena pengusaha memang pelaku sekaligus pemikir. 
Keahlian dan kepakaran memang penting dalam membangun karakter percaya diri, teliti, tahan, berani, inovatif, kreatif, dan bertanggung jawab sehingga kasta ekonomi layak dipercaya dan menjadi ‘sumber segala sifat baik’. Karakter inilah modal dasar bernegosiasi dan membangun kerja sama, bukan hanya pada bidang bisnis, bahkan politik dan pendidikan. Untuk membangun karakter entreprenuer, bahkan Sarasamuccaya, seloka 63 dan 64 menyarankan hendaknya kasta ekonomi mengembangkan sifat-sifat baik berikut. “Tidak egois dan tidak mementingkan diri sendiri, jujur dan setia pada ucapan, berpikir dan berkata benar, tulus berbuat baik dan tidak menyakiti makhluk, teliti dan tahan cobaan, serta dapat menasehati diri sendiri dan orang lain”.
Ketika kasta ekonomi menjadi sumber segala sifat baik, maka ‘segala sifat baik tergantung pada kekayaan’. Kebaikan tidak tergantung pada kesenangan mengumpulkan kekayaan (kama) dan tidak pula pada aturan mengumpulkan kekayaan (dharma), tetapi pada kekayaan itu sendiri (artha). Kebaikan tidak pula terletak pada kesuksesan mengumpulkan kekayaan, tetapi pada pemanfaatan kekayaan itu sendiri. Tujuan mengumpulkan kekayaan adalah menguatkan badan dan menyehatkan mental untuk menjelmakan perbuatan dan tindakan baik (karma). Di antara kekayaan, pengetahuan dan keterampilan merupakan kekayaan abadi, tidak menyusut, sekalipun dibagikan sepanjang hayat. Mengupayakan kekayaan ini pun kewajiban kasta ekonomi misalnya, mengembangkan modal dan sumber daya ekonomi lainnya pada bidang pendidikan.
       
Ekonomi Naga Pasa
Pendidikan merupakan monumen tanpa tugu setua usia manusia, karena itu sekiranya dapat menjadi spirit ekonomi Hindu. Pergerakannya ditunjang dua kaki, yaitu kebudayaan dan agama. Tujuannya memperoleh anugerah tirtha amerta, air suci keabadian. Seperti tujuan dari kesabaran, kerja keras dan kerja sama para dewa dengan para raksasa memutar Gunung Mandara Giri. Apabila menerima kekayaan ekonomi sebagai tirtha amerta, maka ekonomi Hindu mempunyai kemampuan menyelamatkan kematangan jasmani dan kedewasaan rohani. Artinya, ekonomi Hindu menjamin terpenuhinya kebutuhan jasmaniah yang terikat pada alam dan kebutuhan rohaniah yang tergantung pada nilai-nilai insani dan ilahi. Itulah ekonomi berkarakter religius dan humanis yang melayani kebutuhan secara seimbang.   
Begitulah ekonomi Hindu tidak sepenuhnya bertumpu pada sumber daya alam, tetapi lebih mengandalkan sumber daya manusia. Di sinilah letak penting dan relevansinya pendidikan sebagai spirit ekonomi Hindu. Pendidikan yang menguatkan pengabdian karena melalui pengabdian orang memperoleh kesucian, dengan kesucian mendapatkan kemuliaan, dengan kemuliaan mendapatkan kehormatan, dan dengan kehormatan memperoleh kebenaran” (Ayur Veda, 19.30). Sederhananya, pendidikan yang membangun kehormatan manusia melalui pengembangan pengetahuan, kemuliaan Dewa Iswara; keberanian, kemuliaan Dewa Brahma; dan cinta kasih, kemuliaan Dewa Wisnu. Kemuliaan inilah landasan dan tujuan pendidikan Hindu menjadi spirit ekonomi Hindu. ‘Ekonomi kuning’ berasaskan kemuliaan, kewibawaan, dan kekuatan senjata Dewa Mahadewa. Seringkasnya, ‘ekonomi naga pasa’.   



   















BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...