I Wayan Sukarma
Analisis Akademisi
Analisis berarti memisahkan, menguraikan. Biasanya dipasangkan dengan sintesis berarti menyatukan, menggambungkan, memadukan. Berkaitan dengan data (analisis data) biasanya analisis berarti memisahkan dan menyatukan, menguraikan dan menggabungkan. Analisis memang berkaitan erat dengan penelitian, bahkan menjadi kegiatan inti penelitian, seperti pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Sementara itu, akademisi berarti anggota lembaga pendidikan tinggi. Misalnya, dosen yang melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Peserta Kongres Penakamhi berasal dari lembaga pendidikan tinggi Hindu, kampus Hindu adalah akademisi Hindu.
Artinya, akademisi adalah subjek, pelaku akademis – akademis berarti bersifat akademi, bersifat ilmu, ilmiah – karena itu dosen memahami sifat ilmu dan pertimbangan ilmiah lainnya. Bukan hanya pendidik, bahkan dosen adalah peneliti, ilmuwan. Status dan peranan ini menunjukkan, dosen memang akrab dan karib dengan metode ilmiah: “logico-hypothetico-verificatif”, buktikan itu logis, ajukan hipotesis, lakukan pembuktian empiris (terukur). Sederhananya, “buktikan bahwa itu rasional dan tunjukkan bukti empirisnya”. Pengetahuan sain memang rasional dan empiris yang dicapai melalui aturan dan prosedur ilmiah. Aturan berpikir dan prosedur kerja ilmiah inilah perangkat analisis akademisi, baik atas gejala, fenomena maupun teks.
Aturan berpikir disebut logika. Biasanya logika, baik deduktif dan induktif maupun abduktif berperan dalam pembuktian rasionalitas suatu pengetahuan sehingga memenuhi sebagian dari kaidah pengetahuan ilmiah. Selain itu, juga aturan berpikir memudahkan perumusan keputusan, pengetahuan, kebenaran, baik konsistensi koherensi, relasi-relasi korespondensi, maupun fungsi-fungsi pragmatis. Sementara itu, prosedur ilmiah meliputi konsistensi tahapan penyingkapan dan langkah-langkah pengungkapan, sejak penentuan objek analisis, perlakuan, pendisiplinan, pemilihan instrumen dan model analisis hingga perumusan temuan. Kerja metodis inilah kebiasaan akademisi dalam kesehariannya yang menguatkan dan memantapkan pandangan dunianya hingga kebiasaannya menjadi tradisi, paradigma, disiplin keilmuan.
Dari kebiasaan akademis tersebut dapat dipahami bahwa analisis akademisi adalah upaya dosen untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang suatu gejala, fenomena, ataupun teks berdasarkan metode ilmiah. Dalam hal ini, upaya mengetahui dan memahami kejelasan tentang buku Hindu, baik gejala keagamaan, fenomena keagamaan, maupun teks keagamaan. Hanya saja karena keterbatasan saya pribadi sehingga tidak mungkin pada saat ini membicarakan model analisis ketiga pendekatan itu yang biasanya disajikan selama dua semester dalam mata kuliah filsafat ilmu dan metodologi penelitian. Mengingat analisis hendak menyingkap dan mengungkap kebenaran barangkali berguna, bila membatasinya seputar validitas formulasi kebenaran tentang ide-ide dan gagasan ataupun pengetahuan keagamaan Hindu.
Kriteria Kebenaran
Buku Hindu berisi teks Hindu – sebagaimana umumnya sebuah buku memuat suatu teks sebagai produk penggunaan bahasa. Sederhananya, teks Hindu adalah pesan tertulis tentang Hindu, berupa produk bahasa dalam bentuk tulisan tentang Hindu, seperti kitab suci, buku, jurnal, dan majalah Hindu. Perhatikanlah perpustakaan lembaga pendidikan tinggi Hindu! Setelah memperhatikan perpustakaan tersebut dapat dibayangkan muatannya seputar tattwa, susila, dan acara. Selebihnya, tulisan tentang gejala-gejala dan fenomena keagamaan Hindu, berupa praktik keagamaan Hindu dalam masyarakat. Tulisan itu, entah dikontruksi melalui tradisi psikologi, sosiologi, antropologi ataupun filosofi inti pesannya adalah kebenaran.
Begitulah tujuan pengetahuan adalah mencapai kebenaran. Malahan kebenaran menjadi kekuatan yang mendorong semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan efistemologi. Analisis efistemologi atas kebenaran menyebabkan akademisi berkesimpulan betapa pentingnya membedakan kebenaran efistemologi dari kebenaran ontologi dan kebenaran semantik. Kebenaran efistemologis menyatakan bahwa kebenaran berhubungan dengan pengetahuan (manusia). Kebenaran onologis menyatakan bahwa kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu (yang ada atau diadakan). Kebenaran dalam arti semantis menyatakan bahwa kebenaran melekat pada tutur kata dan bahasa. Akan tetapi, mengingat kebutuhan akademis terutama penulisan dan analisis buku Hindu sehingga perbincangan tentang kebenaran kiranya, lebih produktif terbatas pada kebenaran efistemologi.
Teori yang menjelaskan tentang kebenaran efistemologi, antara lain korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Pertama, teori korespondensi merumuskan kebenaran sebagai kesesuaian, keselarasan, dan keserasian. Kebenaran adalah yang sesuai dengan fakta, yang selaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual. Sederhananya, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan (tentang sesuatu). Suatu pengertian dan/atau proposisi adalah benar, bila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, menyatakan apa adanya. Intinya, kriteria kebenaran adalah kenyataan, realitas. Pengetahuan adalah benar, bila sesuai dangan objeknya, objektif. Pengetahuan objektif dikembangkan oleh penganut realisme. Artinya, realisme atau objektivisme berpegang pada kemandirian kenyataan – bandingkanlah dengan idealisme yang berpandangan bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir pada suatu ide, peristiwa subjektif.
Kebenaran korespondensi itulah tumpuan analisis akademisi yang mengandalkan metode ilmiah: ‘membangun relasi antara konsep formal (rasional) dan konsep material (empiris)’. Teori korespondensi menjadi jembatan yang menghubungkan antara proposisi yang rasional dan fakta yang empiris. Misalnya, pernyataan tentang “Pura adalah tempat suci agama Hindu”. Pernyataan ini benar, bila kenyataannya umat Hindu beribadat di pura. Dalam analisis ini akademisi membangun kesesusian, keselarasan, dan keserasian antara pernyataan dan kenyataan dengan melihat, mendengar, dan menanyakan tentang kondisi, situasi, dan suasana pura. Putusannya adalah kebenaran objektif. Kebenaran yang tidak terikat dan tergantung pada kesadaran manusia. Artinya, buku Hindu dikatakan memuat pengetahuan benar, bila menerangkan kemanunggalan pengetahuan subjek dengan kategori objek.
Kedua, teori koherensi merumuskan kebenaran sebagai konsistensi dan kecocokan, saling hubungan dan saling menerangkan. Kebenaran ditegakkan berdasarkan hubungan antara pernyataan dan pernyataan. Konsistensi antara satu putusan dan putusan lain yang sudah diakui dan diterima sebagai benar. Suatu pernyataan adalah benar, bila pernyataan tersebut koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Artinya, teori koherensi lebih menekankan pentingnya penyaksian atau justifikasi tentang kebenaran. Kebenaran tidak terikat pada keadaan riil peristiwa-peristiwa, tetapi tergantung pada orang yang menentukannya sehingga bersifat subjektif. Manusia adalah ukuran segala-galanya, karena itu kebenaran koherensi bersifat idealis – bandingkanlah dengan realisme yang berpegang teguh pada kenyataan di luar kesadaran manusia.
Misalnya, pernyataan tentang “Tuhan agama Hindu adalah Sang Hyang Widhi”. Pernyataan ini benar, bila mendapatkan penyaksian atau dijustikasi dalam kitab suci agama Hindu. Begitu pula pernyataan tentang “Dewa adalah manifestasi Sang Hyang Widhi”. Pernyataan tersebut benar, bila memang terdapat dalam kitab suci agama Hindu. Entah umat Hindu memuja Sang Hyang Widhi dan menyembah dewa ataupun tidak, kenyataan itu tidak menjadi pertimbangan dalam menentukan kebenaran. Kenyataan itu tidak penting sebaliknya, yang terpenting adalah konsistensi antarpernyataan, ketaatan dan kesetiaan pada pernyataan. Pernyataan kesaksian terdahulu yang sudah diakui dan diterima sebagai benar menjadi instrumen pembuktian suatu pengetahuan adalah benar. Artinya, buku Hindu dikatakan memuat pengetahuan benar, bila menjelaskan keajekan satu keterangan dengan keterangan lainnya yang sudah diakui dan diterima benar.
Ketiga, teori pragmatis merumuskan kebenaran sebagai yang berlaku, berguna, dan memuaskan. Kebenaran terbukti oleh kegunaan, hasil, dan akibat praktisnya. Kebenaran adalah apa saja yang berlaku. Sesuatu itu benar, bila memuaskan keinginan dan tujuan manusia serta membantu perjuangan biologis untuk tetap ada. Sederhananya, sesuatu itu benar karena berguna, dapat dikerjakan, dan akibatnya memuaskan sehingga kebenaran bersifat relatif. Bagi penganut pragmatisme suatu agama adalah benar, bukan karena Tuhan yang disembah oleh pemeluk agama itu sungguh-sungguh ada. Melainkan agama adalah benar karena pengaruhnya yang positif atas kehidupan manusia. Misalnya, kepercayaan kepada Tuhan mendorong masyarakat hidup tertib, teratur, dan tenang. Begitulah ilmu itu benar, bila bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Azas manfaat itulah ukuran kebenaran suatu pengetahuan. Ilmu pertanian benar bagi petani karena mendatangkan manfaat, seperti memudahkan mengolah lahan pertanian untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Akan tetapi, belum tentu benar bagi nelayan atau pedagang karena ilmu pertanian tidak dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaannya untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Begitu juga pengetahuan agama adalah benar, bila berguna dan memberikan kepuasan. Misalnya, pernyataan tentang “Tri Sandhya dan Panca Sembah membuat hidup tenang”. Pernyataan ini benar, bila dapat dipraktikkan dan hasilnya menenangkan. Artinya, buku Hindu dapat dikatakan memuat pengetahuan benar, bila pengetahuan itu bermanfaat, dapat dipraktikkan, dan mendatangkan kepuasan jasmani dan rohani.
Ketiga kriteria kebenaran tersebut dicapai melalui kerja budi, akal, dan indra. Akan tetapi, berbeda dengan kriteria tersebut sekiranya, penting dikemukakan kebenaran agama. Kebenaran agama bersifat mutlak, karena itu sesuatu dianggap benar, bila sesuai dengan ajaran agama. Kebenaran agama bersumber pada kitab suci – dan kitab suci agama Hindu adalah Veda. Agama memberikan jawaban atas persoalan asasi, seperti pertanyaan tentang Tuhan, Manusia, dan Alam termasuk persoalan relasi-relasi yang menyertainya. Ajaran agama Hindu yang meliputi tattwa, susila, dan acara sekurang-kurangnya mengajarkan tentang kewajiban manusia kepada Tuhan, kewajiban manusia kepada alam, kewajiban manusia kepada masyarakat, dan kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri. Kewajiban adalah dharma dan dharma adalah kebenaran.
Refleksi dan Harapan
Kebenaran memang menjadi idola dan cita-cita manusia. Kecintaan pada kebenaran mendorong manusia mencari dan menemukan kebenaran misalnya, melalui penelitian. Keberhasilan penelitian terletak pada kemampuan dan kesanggupan analisis, baik dalam upaya menyingkap maupun mengungkap kebenaran. Analisis akademis merupakan upaya menyingkap (memproduksi) kebenaran yang tersimpan di dalam teks supaya tampil atau upaya mengungkap (mendemonstrasikan) kebenaran yang tersembunyi di balik teks supaya tampak. Dalam rangka menampilkan dan menampakkan kebenaran yang tersimpan dan tersembunyi dalam buku Hindu sekiranya, dapat dikatakan merupakan tujuan analisis akademisi buku Hindu.
Harapan saya, mudah-mudahan kriteria kebenaran dan model analisis itu membantu akademisi melakukan analisis buku Hindu. Pada gilirannya dapat memudahkan membaca dan menulis buku Hindu sesuai dengan minat dan bidang keilmuan yang ditekuni dalam keseharian. Mengingat menulis, bukanlah karena keinginan menulis, melainkan karena mempunyai sesuatu yang hendak ditulis. Agar mempunyai sesuatu yang ditulis dibutuhkan kemampuan dan kesanggupan membaca dan membaca tuntas tergantung pada kemampuan dan kesanggupan analisis. Begitulah seringkasnya lingkaran analisis akademisi, semoga atas asung wara nugraha Sang Hyang Widhi, buku Hindu semakin banyak jumlahnya dan semakin meningkat kualitasnya.
Sumber Bacaan
Adib, H. Mohammad. 2014. Filsafat Ilmu: Ontologi, Efistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Akhadiah, Sabarti dan Winda Dewi Listyasari (Ed.). 2013. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana.
Bakhtiar, Amsal. 2016. Filsafat Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Black, James A. dan Dean J. Champion. 2001. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
Gie, The Liang. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Kaelan. 2008. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Pradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengatahuan. Yogyakarta: Belukar.
Kartanegara, Mulyadi. 2005. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy.
Maman, K.H; Deden Ridwan; M. Ali Mustofa; dan Ahmad Gaus. 2006. Metode Penelitian Agama: Teori dan Praktik. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Muslih, Mohammad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, S. 1988. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Nawawi, H. Hadari. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ravertz, Jerome R. 2009. Filsafat Ilmu: Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Salam, Burhanuddin. 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Tekonologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wavana.
Seimawan, Canny dkk. 2007. Panorama Filsafat Ilmu: Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta: Teraju.
Soetriono dan Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu Dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi.
Sidharta, B. Arief (Ed.). 2008. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu itu?. Bandung: Pustaka Sutra.
Suriasumantri, Juyun S (Penj). 1984. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia.
Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susanto. 2015. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. 2006. filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Fiulsafat UGM. 2010. Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty.