Nyepi Diri

Nyepi: Hari Menata Diri

I Wayan Sukarma

Nyepi sehari, setelah tawur agung dan sebelum ngembak geni, hari suci menarik diri dari ramya ke dalam sunya. Hari sunya ada dalam diri di hati, berupa kasih. Oleh karena itu, catur brata menjadi upaya menata diri, yaitu mulai dari mengembangkan kasih hingga menjadi pengasih. Dialah orang sederhana, melakukan tindakan kerja sebagai kurban, yadnya.                 

Nyepi, ‘hari tanpa hari’, seperti ruang spasi antara kata dan kata dalam kalimat, sela tahun Saka antara Tawur Agung dan Ngembak Geni. Tawur Agung yang memuncak pada pembakaran Ogoh-Ogoh mirip dengan keterangan Purushasukta, “Kurban raksasa pertama sebagai model segala kurban dan tujuan pengurbanan”. Memurnikan bhuta-bhuta penyusun kosmos mengikuti musim gugur kembali ke jati dirinya. Awal musim semi, Ngembak Geni, saatnya memulai kehidupan Saka baru dengan semangat Dharma Shanti. Bila setiap orang mengawali kehidupan dari damai, kehidupan bersama pun berjalan dalam damai, dan tiba di tujuan dengan damai. Mengupayakan damai di hati sekiranya, letak relevansi menata diri dengan catur brata nyepi.     

Nyepi, Ruang Diri
Nyepi itu Hari Suci. Interval, hari spasi antara hari akhir dan hari awal tahun Saka. Kena Upanisad melukiskan tentang Interval sebagai Ruang Spasi antara Brahma dan Wisnu, antara yang-dengan-manifestasi Tidak Ada dan yang-tanpa-manifestasi Belum Tiba. Dialah Siwa, Sang Penakluk kehidupan dan kematian. Siwa menyampaikan tibanya yang-tanpa-manifestasi dalam Kegelapan Malam, Malam Hening, Ketenangan, Uma. Dia datang kepada Suksma dalam keajaiban kedipan mata, sebagaimana ‘orang sederhana’ mengenal Brahman dalam momen tanpa ruang dan waktu. Orang sederhana berhati lembut, tanpa beban kinerja dan perolehan pikiran; tanpa batasan kehendak, baik dan buruk; serta tanpa sekat perasaan, suka dan duka. Orang sederhana, sesederhana Sang Diri.
Diri menjadi tidak sederhana lagi ketika akal-pikiran membedakan, mengidentifikasi, dan merumuskan diri dalam berbagai definisi berdasarkan kebutuhan, kepentingan, dan keperluan dunia kehidupan. Kebutuhan ekonomi demi mempertahankan petumbuhan hidup mendefinisikan diri sebagai materi, badan jasmani. Diri adalah artha. Kepentingan politik demi partisipasi dalam perubahan sosial dan budaya mendefinisikan diri sebagai identitas, status dan peran sosial. Diri adalah dharma. Keperluan sehari-hari demi mengembangkan kerja sama sosial merumuskan diri sebagai daya-daya kontribusi yang dinegosiasikan dan dipertukarkan secara dinamis mengikuti hasrat, keinginan, dan kesenangan. Diri adalah kama. Begitulah pengetahuan tentang diri menjelma menjadi beranekaragam nama dan rupa memenuhi dunia kehidupan dan membuatnya sedemikian meriah.
Pengetahuan tentang diri memang dinamis seiring dengan perubahan desa, kala, dan patra, seperti kondisi alam, situasi sosial, dan suasana budaya. Selain diri alam, diri sosial, dan diri budaya yang terbentuk melalui batasan filosofis, juga manusia mengenal diri agama. Diri religius ini merindukan ikatan dengan Tuhan dan ingin kembali kepadaNya. Diri yang tidak ingin lahir kembali. Diri adalah moksa. Diri inilah berkedudukan di Ruang Spasi antara yang tidak ada dan yang belum tiba. Ruang yang serupa dengan Interval antara ‘tawur agung yang tidak ada’ dan ‘ngembak geni yang belum tiba’. Spasi untuk menyadari Pengetahuan diri hadir, berada, dan kembali ke Diri.   

Brata Bina Diri
Menyadari berarti memaknai yang diketahui (pengetahuan), seperti rumusan tentang kesadaran diri, “Aku tahu bahwa aku tahu tentang Diri”. Membina kesadaran diri sekiranya, tujuan menata diri pada hari Nyepi melalui catur brata nyepi. Mulai dari menyadari kondisi pikiran, seperti laten, konflik, dan harmonis. Amati geni, memadamkan api pikiran menuju kegelapan malam, ketenangan, saatnya menghadap Uma mendengarkan permakluman Siwa. Kena Upanisad menerangkan maksudnya, menyadari Spirit yang tidak dapat dilihat oleh mata, tetapi menyebabkan mata dapat melihat. Menyadari Spirit yang tidak dapat didengar oleh telinga, tetapi menyebabkan telinga dapat mendengar. Menyadari Spirit yang tidak dapat dipikirkan oleh pikiran, tetapi menyebabkan pikiran dapat berpikir.             
Amati karya, menghentikan pekerjaan, menyadari Spirit yang tidak dapat dikerjakan oleh tangan, tetapi menyebabkan tangan dapat bekerja. Amati lelungan, menghentikan perjalanan, menyadari Spirit yang tidak dapat dilalui oleh kaki, tetapi menyebabkan kaki dapat berjalan. Amati lelanguan, menghentikan kesenangan, menyadari Spirit yang tidak dapat disenangi oleh perasaan, tetapi menyebabkan perasaan dapat merasa senang. Selama perasaan hanya menyenangi objek “yang dipuja-puja oleh orang di sini”, selama itu pula perasaan tidak dapat merasakan Spirit yang mendorong perasaan dapat merasa senang. Spirit itulah Kualitas, entah penglihatan, pekerjaan, perjalanan, atau kesenangan, bahkan Kualitas Kedirian. Menyadari Spirit adalah Kualitas Kedirian itulah tujuan akhir dari menata diri.           
Diri, bukanlah “yang dipuja-puja oleh orang di sini”, berupa pengetahuan kecakapan fungsional yang ditangkap dengan pikiran dan indra-indra. Manusia memang lebih tertarik memuja Spirit, Diri yang imanen daripada yang transenden. Padahal aspek yang transenden menyebabkan aspek yang imanen itu hidup. Hanya saja aspek yang transenden tidak dapat ditangkap dengan kecapakan fungsional karena Spirit tanpa bentuk. Diri di luar definisi ide-ide dan gagasan. Orang yang mengklaim mengetahui Diri, hanya mengatakan pengetahuan yang dipolakan pikiran. Pengetahuan supra-rasional karena hanya spekulasi parsial, juga tidak dapat menjelaskan Diri. Seluruh pengetahuan dan catur brata nyepi sepakat, hanya orang sederhana penuh kasih bertemu Diri dalam diri.

Kembali ke Diri 
Kasih itulah ciri khas orang sederhana. Catur brata nyepi adalah aturan dan prosedur untuk menyelami kasih orang sederhana. Dia tidak terpelajar karena berkedudukan di Spasi, antara ‘yang diketahui’ dan ‘yang tidak diketahui’. Memadamkan kobaran api pikiran, amati geni, agar pikiran tidak membakar perasaan ingin bertemu Diri. Melepaskan beban kinerja dan perolehan pikiran karena kumpulan pengetahuan, bukanlah keseluruhan yang sanggup menyingkap realitas Sang Diri. Melenyapkan kreasi dan proyeksi pikiran hingga pikiran berhadapan dengan Kegelapan Malam Nyepi, Ketenangan. Dalam Kegelapan Nyepi pikiran hanya mempunyai satu proyeksi, yaitu Kekosongan. Melalui proyeksi itulah muncul Uma (Istri Siwa, Sang Pelebur), bentuk pengetahuan yang tidak diketahui.
Ketika diri tiba pada yang tidak diketahui, kesenjangan antara persepsi dan tindakan kerja semakin sempit sekaligus menandai yang tanpa manifestasi akan segera tiba. Pada gilirannya, terbentuk kesatuan persepsi dan tindakan, persepsi menjadi tindakan kerja, amati karya, terhentinya tindakan kerja. Diri yang melihat, yang melakukan, dan yang mengalami adalah Spirit, Kualitas Kedirian. Melihat dengan tidak melihat, fungsi penglihatan melihat Kualitas penglihatan. Berpikir dengan tidak berpikir, fungsi pemikiran memikirkan Kualitas pemikiran. Mengerjakan dengan tidak bekerja, fungsi pekerjaan mengerjakan Kualitas pekerjaan. Kemurnian kerja itulah yadnya yang menjadikan diri alam dan makhluk. Seperti lingkaran “ada dan karena” dalam Bhagawadgita, yakni makhluk-makanan, makanan-hujan, hujan-yadnya, yadnya-karma.     
Menyadari ‘adanya karma karena makhuk’, berarti memahami diri adalah kesatuan makhluk, karma, dan yadnya. Diri adalah makhluk yang melakukan tindakan kerja menuruti paksaaan alam dan perintah agama. Disiplin kerja yang ditetapkan Bhagawadgita ini, juga disarankan catur brata, melakukan tindakan kerja sebagai kurban. Ketika tindakan kerja menjadi kurban, diri tidak memikirkan hasil kerja, entah benar atau salah, baik atau buruk, maupun suka atau duka. Prinsip tersebut searas dengan gagasan Mimamsa tentang nirukta (aktivisme). ‘Entah dewa-dewa ada ataupun tidak, yang kepadanya kurban dipersembahkan, tidaklah penting; yang terpenting adalah melakukan persembahan kurban’. Pada akhirnya, apurwa menghubungkan diri dengan tindakan kurban, membentuk diri kembali.                         

                 


BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...