Nyepi saka 1941

Nyepi: Hangrasa Wani

I  W a y a n  S u k a r m a

Nyepi itu hari suci tahunan. Umat Hindu membuka lembaran pertama tahun Saka dengan mulat sarira melalui catur brata panyepian. Upaya ini untuk mengenang masa lalu dan menatap masa depan sehingga berani merasa pada masa kini. Merasa berbuat dan merasakan akibatnya, karena itu bahagialah menjadi manusia.                       

Nyepi itu awal tahun Saka. Umat Hindu merayakannya dengan catur brata, yakni amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan. Berbeda dengan Ngerupuk akhir tahun Saka, hari pertama tahun Saka sungguh gelap, senyap, lengang, dan sunyi. Adakah wedi, rasa takut lebih menakutkan daripada rasa sepi, kesepian? Rasa takut, bukan hanya membuat pikiran kacau, badan gemetar, tubuh lemas, dan bulu roma berdiri, bahkan meredupkan cahaya kesadaran. Ketika wedi menutupi pandangan sekitar-material, saat itu perlahan muncul wani, rasa berani membuka pandangan seputar-spiritual. Setidaknya mulat sarira, menyelami suasana hati, seputar kebanggaan atau penyesalan dan optimis atau pesimis hingga hangrasa wani, berani merasa.       
 
Berani Mulat Sarira 
Berani merasa, rendah hati itulah basis kehidupan. Seperti gemuruh semangat terompet Pancajanya dan gegap-gempita keberanian terompet Devadatta, Paundra, Anantavijaya, Sughosa, dan Manipuspaka mengawali Bharatayudha. Kehidupan memaksa manusia berani bersikap dan berani menerima akibatnya, seperti pola karmaphala. Berani menentukan sikap hidup memerlukan pengetahuan, kebenaran – “berani karena benar dan takut karena salah”. Berani menerima akibat dari perbuatan memerlukan ketulus-ikhlasan, pelayanan – “tidak ada kurban sia-sia”. Keperluan semacam inilah menjadi renungan mulat sarira catur brata panyepian untuk memasuki relung hati terdalam sekadar berkenalan dengan sang aku. Dalam Sankhya disebut ahamkara berfungsi menerima kesan inderawi dari manas, pikiran objektif dan meneruskannya kepada budhi, instansi moral. 
Aku yang menjadi terminal hanyalah latar pengalaman jiwani, tetapi mengaku sebagai sang diri, unsur hidup, jiwa pendukung raga – alam semesta. Keterlibatannya dengan pengalaman inderawi melalui pikiran objektif menyebabkan aku menikmati suka dan duka duniawi sepanjang masa. Misalnya, selama satu tahun Saka kita mengalami banyak peristiwa, entah menyenangkan ataupun menyedihkan. Peristiwa kehidupan muncul dari berbagai kegiatan, seperti penggunaan api, pelaksanaan kerja, bepergian, dan bersenang-senang. Menghidari dan menghentikan kebingungan di antara senang dan sedih untuk memperoleh ketenangan bisa dibiasakan melalui catur brata. Sarannya, hidup tenang dengan membatasi dan mengendalikan daya lihat mata, daya kerja tangan, daya gerak kaki, dan daya senang hati.
Sarasamuccaya menganjurkan berani mengupayakan trikaya parisudha dengan membatasi dan mengendalikan pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sepuluh banyaknya hawa nafsu yang harus dibatasi dan dikendalikan, yaitu tiga macam dari pikiran, empat macam dari perkataan, dan tiga macam dari perbuatan. Wartam menyederhanakannya: ‘berpikir, berkata, berbuat dharma’. Intinya berani mulat sarira berarti mau membatasi diri dan mampu mengendalikan diri di bawah kekuatan, perlindungan, dan tuntunan dharma. Tujuannya menuju ketenteraman, ketenangan, kedamaian hati agar tidak terlalu bangga karena sukses atau menyesal karena kegagalan masa lalu. Hatipun tidak gentar menghadapi masa depan, tidak pesimis atau optimis karena ketenangan menumbuhkan rasa percaya diri sehingga hati berani merasa.     
 
Berani Merasa Hening
Berani merasa hening memang inti dari Nyepi. Hari suci ini, bukanlah sekadar mengenai lingkungan lengang tanpa lalu-lalang kendaraan, malam gelap tanpa cahaya lampu penerangan, istirahat tanpa pekerjaan, dan hidup prihatin tanpa kesenangan. Nyepi itu mengenai rasa, perasaan sehingga hanya bisa dipahami melalui merasakan, mengalami, dan melakukan. Merasakan sepinya Nyepi bisa memulainya dari Laku Nyepi, berupa catur brata panyepian. Pertama, amati geni, tidak menyalakan api termasuk lampu penerangan. Tanpa penerangan, tiada cahaya yang mengganggu upaya memejamkan mata ketika hendak membatasi dan mengendalikan daya penglihatan sekitar. Segenap perhatian tertuju pada seputar perasaan untuk membangkitkan keberanian mendengarkan kata hati dan mengapresiasi suara nurani.     
Nurani itulah sumber pengetahuan sejati, cahaya kebenaran yang menerangi kejujuran dan kesetiaan. Berani mengatakan kebenaran dan loyal pada perkataan merupakan basis kekuatan dan kesehatan mental. Ketika pikiran, perkataan, dan perbuatan sudah sinkron; sabda, bayu, dan idep sudah padu; mental pun tidak perlu tegang melawan dusta dan munafik. Prinsip ini sejalan dengan brata kedua, amati karya, tidak melaksanakan pekerjaan. Bekerja membutuhkan tenaga dan tenaga bersumber dari napas, prana, bayu. Tidak bekerja berarti membatasi dan mengendalikan tenaga melalui upaya mengatur napas, pranayama. Fokusnya membangkitkan keberanian merasakan bahwa tenaga alam memasuki tubuh ketika menarik napas dan tenaga tubuh memasuki alam ketika menghembuskan napas.
Gerak tarikan dan hembusan napas memerlukan dukungan brata ketiga, amati lelungan, tidak bergerak, duduk diam, tenang. Hanya mengamati dan menikmati keluar-masuk napas seirama dengan gerak-gerak pikiran menangkap imajinasi dan melepaskan bayang-bayang sekitar. Ketika pikiran menghentikan kegiatannya menimbang benar atau salah, kehendak pun tidak lagi membuat keputusan baik atau buruk. Saat itulah aku, ego mengeram dalam perasaan hingga ‘berani merasa’ menetas menjadi sikap hidup, basis kehidupan. Sikap yang lahir dari perasaan, sarang keindahan dan kesenangan tidak lagi memerlukan kesenangan, seperti brata keempat, amati lelanguan, tidak bersenang-senang. Aku yang tanpa kesenangan tidak lagi mengalami kesedihan. Tanpa dualisme, rwabhinneda, aku sedang merasa hening.           

Berani Menegakkan Sraddha
Hening menjadi tangga pertama ‘perjalanan rasa’ menuju puncaknya, keimanan, sraddha. Setelah hening kemudian, sang pengelana – entah menempuh jalan pengetahuan, perbuatan, pelayanan, ataupun pengasingan diri – merasa berani melanjutkan perjalanan menuju puncak keluhuran panca sraddha. Percaya Hyang Widhi adalah pencipta, pemelihara, dan pelebur. Percaya manusia adalah atman. Percaya karmaphala, hubungan langsung antara perbuatan dan hasilnya. Percaya moksa, terhentinya kelahiran. Percaya punarbhawa, kelahiran kembali. Berpegang teguh pada sraddha membuat sang pengelana mengandalkan hidupnya pada panca sraddha, berani menegakkan sraddha dalam kehidupan. Tahun Saka pun kelihatan lebih terang, seterang Matahari Kedasa, saatnya Ngembak Geni, berani membuka lembaran baru hingga tahun Saka berikutnya datang menjelang.
Banyaknya pengulangan Saka membuat sang pengelana melupakan masa kelahiran, entah masa kini menjadi pengelanaan pertama ataupun terakhir sepenuhnya diserahkan kepada atman dan Hyang Widhi. Kewajiban pertama yang utama adalah berkarma, berbuat sesuai dengan perintah agama, dharma, seperti melaksanakan catur brata saat merayakan hari suci Nyepi. Soal hasilnya, entah moksa ataupun punarbhawa tidak membebani perasaan karena karma menyatu dengan phala. Karma adalah yadnya. Apalagi Bhagawadgita mengingatkan, “Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena karma”. Perintahnya, berbuatlah demi yadnya! Perbuatan itulah bentuk keberanian menegakkan sraddha sehingga segalanya bertahan dan berlangsung sesuai dengan hukumnya.
Begitulah hukumnya, bila menempatkan Nyepi sebagai fenomena perasaan, citra hati. Catur brata panyepian menjadi upaya mengenali sang aku dan mendorongnya memasuki perasaan terdalam hingga merasa hening. Dari sini muncul keberanian mengakui iman, teguh pada sraddha hingga berani berbuat demi yadnya. Ketika memahami perbuatan adalah yadnya, saat itu pula rasa angayubagya menyusupi segenap perasaan. Dari rasa syukur muncul rasa percaya diri dan dari rasa percaya diri muncul rasa tidak gentar terlahir sebagai manusia. Seperti semangat Sarasamuccaya, “Janganlah bersedih hati dilahirkan menjadi manusia, meskipun pada kelahiran yang dianggap paling hina, karena sesungguhnya amat sulit untuk bisa menjelma menjadi manusia. Berbahagialah menjadi manusia”.


                       



BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...