Generasi Digital

Mengawal Generasi Digital

I  W a y a n  S u k a r m a

Digitalisasi kehidupan telah membentuk generasi digital, yaitu anak zaman yang tumbuh dan berkembang pada abad informasi. Melimpahnya produksi, distribusi, dan konsumsi informasi menyebabkan generasi digital over-dosis informasi. Untuk mencegah kondisi ini generasi digital memerlukan pengawal berupa etika digital, yakni regulai yang manusiawi dan norma-norma agama konvensional.       

Berjuang untuk bertahan hidup menandai setiap kelahiran, seperti gagasan tri murti tentang lingkaran takdir bahwa segalanya datang, bertahan, dan kembali ke asalnya. Bukan hanya individu, bahkan kelahiran suatu generasi pun mengikuti lingkaran takdir melalui pertumbuhan kebutuhan, perkembangan kepentingan, beserta akumulasi keperluan hidup. Transisi setiap tahapannya lazim menimbulkan krisis. Untuk melewatinya suatu generasi memerlukan pengawal yang menuntun, melindungi, dan menjaganya dalam menangani perubahan tatanan kehidupan dan kelengkapannya, seperti institusi dan peralatan hidup. Sistem organisasi dan teknologi memang menandai peradaban setiap zaman, seperti zaman batu dan perunggu. Perkembangan zaman paling mutakhir berpusat pada informasi ditandai dengan melimpahnya produksi, distribusi, dan konsumsi informasi. 
Kebutuhan informasi tidak hanya berkaitan dengan nilai gunanya, tetapi juga nilai tukarnya secara ekonomi. Proses komodifikasi informasi dengan dukungan teknologi informasi misalnya, sistem digital secara langsung mempengaruhi pola-pola dan kinerja, bahkan keseluruhan sistem komunikasi. Misalnya, dengan telepon seluler kita tidak hanya melakukan hubungan telepon secara konvensional, tetapi juga dapat menerima, mengolah, dan mengirim aneka ragam bentuk infomasi melalui Short Message Service (SMS) dan Multimedia Message Service (MMS). Teknologi digital, industri media digital, beserta digitalisasi informasi berkembang semakin pesat seiring dengan komersialisasi dan kapitalisasi informasi. Digitalisasi masyarakat informasi yang melibatkan proses politik dan ekonomi media modern pada gilirannya melahirkan ‘generasi digital’.       

Agama Digital
Generasi digital yang lahir, tumbuh, dan berkembang setelah generasi agraris dan industri mempunyai kemampun meracik dan mengolah, bahkan merevisi informasi sesuai dengan (bahkan melampuai) kebutuhan, kepentingan, dan keperluannya. Kemampuan itu berkat sistem digital dan internet. Dengan teknologi digital menggabung, mengubah, dan menyajikan aneka ragam bentuk informasi, bahkan memungkinkannya melakukan manipulasi informasi. Dengan teknologi internet menciptakan jaringan super-cepat dan relasi antarjaringan bebas hambatan. Luasnya jaringan dan kecepatan arus informasi yang menandai komunikasi global telah mengubah dunia-kehidupan menjadi hiperkoneksitas. Koneksi yang menyatukan dunia-kehidupan menjadi kesatuan yang utuh dan padu telah menyebabkan generasi digital tidak mudah membedakan bidang-bidang kehidupan, seperti religius dan nonreligius.   
Dimensi religius yang subjektif (perasaan rindu mengikatkan diri kembali kepada Tuhan) melalui digitalisasi informasi dimampatkan seobjektif mungkin mengikuti pola dan kinerja pikiran (rasional dan logis). Kemesraaan bersama Tuhan (melalui doa, pemujaan, persembahan) semakin semu dan tersingkirkan seiring dengan semakin ketatnya rumusan pengetahuan dan argumentasi tentang Tuhan (melalui diskusi dan debat). Ketika pengetahuan tentang Tuhan telah menganulir pengalaman mengenai Tuhan, tanpa disadari generasi digital telah menciptakan ‘Tuhan Digital’. Tuhan yang dihadirkan dalam diskusi dan debat melalui mesin-mesin gadget di ‘dunia maya’ karena digitalisasi ayat-ayat suci tentang Tuhan telah merebut akal-sehat melalui berbagai media. Seperti banyak didemonstrasikan melalui facebook dan medsos lainnya. 
Teknologi digital yang melekatkan relasi agama dengan internet menyebabkan pesan-pesan keagamaan melimpah dan berubah cepat dalam waktu singkat pada gilirannya memicu kemunculan ‘agama digital’. Teknologi digital memudahkan belajar agama, mengekspresikan keberagamaan, dan menyebarkan nilai-nilai agama. Setiap orang merasa independen dan otonom memproduksi, mendistribusikan, dan mengkomsumsi konten-konten keagamaan di ‘dunia maya’. Pengetahuan agama yang semula dipraktikkan untuk mengabdi kemudian, dipamerkan melalui berbagai situs internet semata-mata untuk memenuhi selera pasar. Selain berupa tulisan, diagram, dan poto, juga situs-situs internet menyediakan pengetahuan agama berupa audio dan video. Kapan dan di mana saja kita mudah mengakses dan menonton video tentang ceramah dan film-film keagamaan.

Etika Digital                           
Kemudahan memperoleh konten-konten keagamaan, bila tidak disertai dengan kemampuan mengevaluasi, memilah, dan memilih untuk memuliakan agama, pemeluk agama pun cenderung bersikap tertutup dalam dunia terbuka. Pemeluk agama hanya berminat mempelajari konten-konten agamanya sendiri dan menutup diri terhadap konten-konten agama lainnya. Padahal tidak semua konten keagamaan bertujuan memuliakan agama, tanpa disusupi ideologi-ideologi lainnya, seperti ekonomi dan politik. Jalinan internet, gadget, dan medsos, bahkan tidak jarang memproduksi dan mendistribusikan informasi palsu (hoax) yang dapat mengganggu ketertiban dan keseimbangan sosial, seperti sentimen SARA dan demonstrasi atas nama agama. Perhatikanlah respons umat Hindu atas wacana pemutusan internet (Nyepi Saka 1940) dan diskriminasi rekrutmen karyawan.
Artinya, jika agama secara konvensional menjadi sumber moral, maka keberagamaan di medsos pun tetap berpedoman pada moral agama. Apalagi agama memang tumbuh subur dan berkembang pesat di medsos sehingga memerlukan etika digital untuk mencegah perubahan kemanusiaan menjadi teknologi. Generasi digital yang kian suntuk dengan gadget dapat berubah menjadi manusia mesin, bila tidak dilindungi dengan regulasi yang manusiawi dan moral agama. Barangkali perlindungan semacam ini dapat menjadi landasan etika digital karena kesalahan tidak terletak pada mesin-mesin gadget, tetapi pada manusia yang memanfaatkan teknologi digital untuk memudahkan kehidupannya. Barangkali perumusannya, lembaga agama dapat kerja sama dengan perguruan tinggi beserta ahli informatika dan media. 
Etika digital barangkali menjadi bentuk tanggung jawab pemerintah dan lembaga agama untuk mengawal generasi digital, yaitu menuntun, melindungi, dan menjaganya agar tidak terjerumus menjadi manusia mesin. Lembaga agama, seperti Parisada barangkali dapat membentuk semacam tim etis yang bertugas melakukan pengawasan, penilaian, dan verifikasi terhadap konten-konten keagamaan Hindu yang beredar di ‘dunia maya’. Setidaknya, meluruskan informasi yang bengkok (sejenis hoax) akibat tersusupi ideologi-ideologi nonagama menjadi imbauan moral bagi lembaga-lembaga keagamaan Hindu menyikapi sisi paradoks budaya digital. Apalagi moral adalah institusi yang meniscayakan manusia tetap memahami kediriannya di tengah-tengah situasi paradoks. Etika digital meniscayakan digitalisasi informasi sebagai alat pencerahan yang sarat makna.   


Catur Hita Karana
Manusia memenuhi kebutuhan hidupnya bukan sekadar untuk bertahan hidup, melainkan perjuangan mewujudkan tujuan hidupnya, yaitu sejahtera dan bahagia (moksartham jagadhita). Manusia Hindu umumnya memahami tiga penyebab kesejahteraan (tri hita karana) itu terdiri atas Tuhan, manusia, dan alam. Oleh karena itu, membangun hubungan harmonis dengan ketiga penyebab kesejahteraan itu merupakan jalan mewujudkan kebahagiaan. Pada setiap hubungan tersebut, juga manusia memerlukan alat-alat kehidupan yang acapkali dipandang sama pentingnya dengan tujuan hidup itu sendiri. Artinya, kesadaran tentang alat dan tujuan sulit dipisahkan karena keduanya saling menentukan. Misalnya, kita tidak mungkin sampai dengan selamat di tempat tujuan, tanpa keterampilan yang memadai mengendarai alat transportasi.
Begitulah generasi digital mengkomunikasikan kebutuhan dan tujuan hidupnya melalui mesin gadget dengan berbagai aplikasi. Memanfaatkan mesin gadget untuk mengidupkan perasaan dan kemanusiaan barangkali menjadi tujuan mengawal generasi digital melalui etika digital. Ringkasnya, hubungan harmonis manusia dengan media digital, juga penting ditawarkan sebagai penyebab kesejahteraan, seperti unsur-unsur tri hita karana lainnya. Hubungan harmonis dengan media digital niscaya terwujud tatkala etika digital yang didasari moral agama mampu dikembangkan dalam komunikasi dan informasi kekinian. Idealisme catur hita karana pun menemukan panggilannya sebagai refleksivitas generasi digital dalam keberagamaan generasi digital. Sekali lagi, menyelaraskan kesadaran ketuhanan, kemanusiaan, kealaman, dan teknologi adalah sumber kebahagiaan hidup manusia. 





BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...