Cendekiawan Hindu

Menuggu Erupsi Pemikiran
Cendekiawan Hindu

I  W a y a n  S u k a r m a

“Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet. Dan papan tulis papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan?” Petikan puisi W.S Rendra ini (sempat viral di Sosial Media awal bulan Januari 2018) mencerminkan kegelisahan kaum cendekiawan, pemikir yang mencemaskan kondisi aktual kehidupan. Ketika ‘guru wisesa’ tidak lagi bersedia mendengarkan keluh-kesah dan ‘guru pengajian’ tidak menyediakan jalan keluar dari masalah, apakah mungkin kita ‘menunggu erupsi pemikiran cendekiawan Hindu?’               

Menunggu memang membosankan, apalagi menunggu pemikiran sungguh mencemaskan. Bosan dan cemas muncul dari harapan yang terpendam dalam kegiatan menunggu. Bosan berkaitan dengan proses (pemenuhan harapan) sehingga menunggu memerlukan kesabaran dan ketenangan. Cemas berkaitan dengan kemungkinan (terpenuhinya harapan) sehingga menunggu memerlukan ketabahan dan ketegaran. Serupa dengan menunggu, juga proses berpikir (yang menghasilkan suatu pemikiran) memerlukan kesabaran, ketenangan, ketabahan, dan ketegaran. Sabar untuk mencapai simpulan (konklusi), tenang dalam kejernihan argumen (premis), tabah dalam ketaatan pada azas (konsisten), dan tegar pada prinsip-prinsip rasio (rasional). Proses ini menggambarkan, berpikir dan menunggu berlangsung dalam ‘kerangkeng waktu’. Perhatikanlah semangat zaman yang mewarnai perkembangan dan sejarah pemikiran.     
Sejarah pemikiran menunjukkan setiap zaman mempunyai pemikir-pemikir mumpuni, baik dalam paradaban Barat maupun Timur. Pemikir yang tabah dan teguh mempertahankan kebenaran pemikirannya, baik objek maupun metodenya disebut filsuf atau filosof. Pemikir yang gagah dan gigih memperjuangkan kegunaan pemikirannya (untuk mempengaruhi dunia kehidupan) disebut cendekiawan. Filsuf lebih mengutamakan hakikat pemikiran (kebenaran), pentingnya kesesuaian antarpernyataan, sedangkan cendekiawan mengedepankan nilai pemikiran (kebaikan), kesesuaian pernyataan dengan kenyataan. Selain membangun pemikirannya secara metodis, juga cendekiawan mengembangkan pemikirannya secara politis untuk memenuhi kebutuhan aktual kehidupan. Kitab-kitab Veda misalnya, dokumen pemikiran cendekiawan Hindu, baik secara politik maupun religi mempengaruhi situasi aktual kehidupan sosial dan keagamaan umat Hindu.
                                   
Mantra, Cedekiawan Hindu
Cendekiawan Hindu yang pemikirannya mempengaruhi perubahan masyarakat India zaman modern, antara lain Sarvepalli Radhakrishnan. Dia seorang filsuf, sastrawan, negarawan, dan profesor menjadi presiden India kedua. Untuk menghormatinya, bahkan masyarakat India memperingati tanggal kelahirannya sebagai Hari Guru. Menurutnya, kitab-kitab Veda yang pernah sukses membangun peradaban India kuno hingga kini relevan menjadi inspirasi dan sumber nilai dalam membangun tatanan sosial dan keagamaan. Relevansi dan keajekan pemikiran cendekiawan Hindu tersebut karena kitab-kitab Veda menerangkan perihal kehidupan secara umum. Misalnya, kekayaan alam adalah anugerah untuk bertahan hidup. Manusia hanya perlu kerja sama, tidak perlu bersaing berebut kekayaan alam, mengeksploitasi alam, dan mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. 
Pemikiran tentang alam dan roh terdapat dalam keempat bagian Veda: Rg-Veda, Yajur-Veda, Sama-Veda, dan Atharva-Veda. Setiap bagian Veda terdiri atas Mantra, Brahmana, dan Upanisad. Kitab-kitab kumpulan mantra disebut Samhita. Kitab-kitab Brahmana berisi religi alam, kitab-kitab Upanisad berisi religi roh, dan di antaranya terdapat Aranyaka berisi petunjuk tinggal di hutan. Aitareya dan Kausitaki Upanisad termasuk dalam Rg-Veda. Kena dan Chandogya Upanisad termasuk dalam Sama-Veda. Isa, Taittiriya, dan Brhadaranyaka Upanisad termasuk dalam Yajur-Veda. Prasna dan Mundaka Upanisad termasuk dalam Atharva-Veda. Kitab-kitab ini mendorong manusia berpikir keberadaan yang lebih dalam dan merenungi kehidupan yang lebih tinggi, yaitu hidup dengan roh yang lebih sempurna. 
Pemikiran itu pun menginspirasi cendekiawan Hindu (di) Bali. Misalnya, ketetapan tentang Weda sebagai kitab suci dan Wyasa (penulis Weda) sebagai orang suci agama Hindu serta “Om tat sat ekam eva advityam” (Chandogya Upanisad) sebagai ke-Esaan Tuhan, Sanghyang Widhi Wasa. Ketetapan tersebut khas pemikiran cendekiawan Hindu ‘berpendidikan India’, antara lain Ida Bagus Mantra. Dia seorang ilmuwan, budayawan, negarawan, dan profesor menjadi gubernur Bali. Penerjemah Bhagawadgita ini mengingatkan, “Orang Bali harus menyadari harga dirinya”. Harga diri adalah kekuatan universal, inti kebudayaan pada setiap orang. Untuk itu, penting membangun Landasan Kebudayaan Bali: mengembangkan relasi harmonis agama Hindu dengan bahasa, seni, budaya, dan ekonomi.   
Penguatan kelima pilar tradisi Bali itu ditempuh melalui pembentukan Fakultas Sastra dan Kebudayaan (Universitas Udayana), Universitas Hindu Indonesia, Institut Seni Indonesia, dan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (Stimi Handayani). Selain melalui pendidikan formal, juga penguatan pilar tradisi Bali ditempuh melalui pendidikan nonformal, seperti pemberdayaan desa pakraman, banjar, dan sekaa-sekaa fungsional lainnya. Misalnya, mendorong pertumbuhan ekonomi produktif wilayah perdesaan melalui pembentukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Usaha Desa Adat (Buda), dan pemberdayaan kelompok perajin. Pengembangan seni melalui pemberdayaan sekaa-sekaa kesenian, pendokumentasian karya seni, dan pementasan. Karya seni para seniman Bali didemonstrasikan melalui ritual tahunan Pesta Kesenian Bali (PKB) di Taman Budaya. 
Penguatan agama Hindu, selain melalui pembentukan lembaga agama beserta organisasi pemuda dan wanita Hindu, juga ditempuh melalui pembangunan Pura Jagatnatha (yang pertama) di Kota Denpasar. Keberadaan Padmasana sebagai palinggih utama (pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa) membuat Pura Jagatnatha fungsional bagi umat Hindu dari beragam latar sosial dan budaya. Perkembangan agama Hindu semakin pesat seiring dengan semangat penerbitan buku-buku dan majalah keagamaan Hindu, antara lain terjemahan lontar, Upadesa, Bhagawadgita, Saramusccaya, Tuntunan Muspa, Tri Sandhya, dan Warta Hindu Dharma. Begitulah sekilas pemikiran Mantra, cendekiawan Hindu yang meletakkan agama Hindu (sathya, kebenaran; yadnya, pemurnian diri; dan tapa, pengendalian diri) pada inti kebudayaan Bali. 


Kecendekiawanan Hindu 
Kecendekiawanan Ida Bagus Mantra hanyalah ‘pemantik kerinduan’ kepada cendekiawan Hindu masa lalu, ‘peletak batu pertama’ bangunan rumah sakral yang sekarang kita sebut agama Hindu (melegitimasi kecendekiawanan Hindu). Kecendekiawanan Hindu, seperti tradisi berisi simbol-simbol pencapaian cendekiawan masa lalu dan mengimbau tanggung jawab cendekiawan masa kini demi pandangan cendekiawan masa depan lebih mencerahkan. Kegigihan dan kegagahan Ida Pedanda Made Kemenuh misalnya, Ketua Paruman Para Pandita di Singaraja, 31 Januari 1947 memperjuangkan penyatuan Agama Siwa-Buddha. Tahun-tahun berikutnya berkembang menjadi Paruman Para Pandita Bali Lombok dan pada kongres pertama di Singaraja, 16-19 Nopember 1949 sepakat menyebut Agama Tirtha bagi ‘agama-agama-lokal’ yang berkembang di Bali.
Kegigihan I Gusti Bagus Sugriwa (Kepala Urusan Agama dan Budaya, Dewan Pemerintah Daerah Bali, 26 Desember 1950) ketika menjelaskan agama Hindu Bali kepada Menteri Agama merupakan warisan pemikiran yang menginspirasi cendekiawan Hindu masa-masa berikutnya. Menurutnya agama Hindu Bali adalah kesatuan agama Siwa-Buddha yang menyembah satu Tuhan, Sanghyang Tunggal sehingga sudah sejalan dengan azas Esa dalam Pancasila. Dia pun mendesak Kementerian Agama untuk mengambil tanggung jawab pembinaan umat Hindu Bali dari raja-raja, seperti perawatan Pura Besakih, alih aksara dan terjemahan sastra Jawa Kuno ke bahasa Indonesia, dan membentuk perwakilan agama Hindu Bali dalam Kementerian Agama di Jakarta, provinsi, dan kantor-kantor regional. 
Cendekiawan Hindu lainnya yang gigih mempertahankan agama Hindu Bali, antara lain I Gusti Anandakusuma bersama Ida Bagus Tugur membentuk Majelis Hindu di Klungkung pada 31 Desember 1950. Tujuannya menyesuaikan ajaran agama Hindu dengan kondisi aktual kehidupan umat Hindu di Bali, seperti pemurnian adat istiadat dan praktik keagamaan. Kemudian, 6 Februari 1952 Ida Pedanda Gede Ngenjung bersama Wayan Bhadra, Ketut Kandia, Ketut Widjana, Nyoman Kadjeng, dan Putu Santhy termasuk I Gusti Bagus Sugriwa mendirikan Panti Agama Hindu-Bali. Tujuannya mempertahankan agama Hindu Bali, pemurnian adat istiadat, penyesuaian sistem kasta, serta menyebarkan ajaran dan filsafat agama Hindu Bali (berbeda dengan agama Hindu India).
Perkembangan keberadaan cendekiawan Hindu masa-masa berikutnya diwarnai dengan semakin bergairahnya pembentukan Parisada dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga tingkat kecamatan, bahkan desa/kelurahan. Kegairahan ini disertai dengan kegigihan menyebarkan ajaran agama Hindu, baik secara lisan maupun tulisan. Sekarang, kita masih mewarisi pemikiran mereka, antara lain Ida Pedanda Made Kemenuh, I Gusti Bagus Sugriwa, I Gusti Anandakusuma, Ida Bagus Oka Punyatmadja, Ida Pedanda Made Sidemen, Tjokorde Rai Sudharta, Ketut Bangbang Gde Rawi, dan I Gde Sura. Misalnya, Kalender Bali yang kita warisi hingga sekarang merupakan satu karya monumental Ketut Bangbang Gde Rawi yang hak patennya diteruskan oleh cucunya, Nyoman Bangbang Bayu Rahayu.     
Selain cendekiawan Hindu Bali, juga patut dikenang kegigihan Narendra D. Pandit Shastri, cendekiawan Hindu India (Arya Samaj) yang datang ke Bali tahun 1949 memperkenalkan Puja Tri Sandhya. Dia aktif menulis ajaran agama Hindu, antara lain panca sradha, dasar-dasar agama Hindu Bali, dan buku-buku pendidikan agama Hindu. Dia pun banyak berperan dalam penyediaan beasiswa pendidikan bagi cendekiawan muda Bali untuk belajar di India. Karya-karyanya menginspirasi banyak cendekiawan Hindu lainnya hingga agama Hindu mempunyai tiga kerangka dasar. Begitu pula cendekiawan Hindu ‘berpendidikan India’ turut serta mewarnai ajaran agama Hindu, baik tattwa, susila, maupun acara melalui karya-karya terjemahan sastra Sanskerta dan Jawa Kuno.

FCHI dan ICHI
Perkembangan terkini keberadaan cendekiawan Hindu misalnya, masa Orde Baru ditandai dengan terbentuk FCHI (Forum Cendekiawan Hindu Indonesia) dan ICHI (Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia). Organisasi ini penting dikemukakan, setidaknya kita mengetahui cendekiawan Hindu mempunyai wadah kreatif dalam rangka mengembangkan kecendekiawanan Hindu seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman. Hanya saja, saya tidak mempunyai informasi yang memadai tentang organisasi ini, seperti sekretariat, sejarah, struktur dan susunan pengurus, azas dan tujuan, program dan kegiatan, serta informasi lainnya yang dapat dibagikan kepada pembaca. Itu sebabnya, saya hanya mengatakan, “ditandai”. Ketika bertanya kepada teman-teman yang saya perkirakan mengetahuinya, saya hanya diberikan sebuah buku: Cendekiawan Hindu Bicara.
Dalam buku terbitan 1992 tersebut terdapat dua belas orang cendekiawan Hindu menulis tentang agama Hindu dari berbagai segi, perspektif. Pembicaraan diawali dari pemikiran Ida Bagus Oka Punyatmadja tentang sifat Tuhan dengan judul “Tuhan adalah Masa Esa”. Judul ini langsung menarik perhatian saya karena Tuhan adalah aspek esensial dalam agama yang mewarnai semua ajarannya, baik moral maupun ritual. Seperti kepercayaan kepada Iswara Caturbhuja dan doa Punyatmadja ketika mengawali pembicaraannya: “Om Isvaraya namo namah. Hanya Tuhan yang kita sembah, kepada-Nya jua kita mohon tuntunan, siapa pun tiada berdaya, memberikan tuntunan untuk menyucikan batin kita, selain Dia, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.
Untuk menyucikan batin, umat Hindu memiliki kewajiban melakukan yadnya, pemurnian diri, sebagaimana pembicaraan Nyoman S. Pendit berjudul, “Kewajiban Kita Mempersembahkan Yadnya”. Judul ini menarik perhatian saya karena kata “yadnya” (barangkali dapat disepadankan dengan kata “ibadah”) adalah inti tradisi keagamaan. Yadnya sebagai inti tradisi keagamaan Hindu (Acara) berisi pengalaman setiap generasi, baik warisan kultural, peroses pembelajaran, dan upaya pewarisan nilai etis keagamaan lainnya. Kebiasaan-kebiasaan keagamaan memang lebih berperan dalam pembentukan karakter umat agama daripada pengetahuan agama. Kenyataannya, banyak orang berpengetahuan agama, tetapi tidak berkesadaran agama. Perhatikanlah betapa banyaknya kehancuran dalam dunia kehidupan yang disebabkan oleh orang-orang berpengetahuan agama, tanpa kesadaran agama.
Agama memang bersifat privat, menata hubungan pribadi dengan Tuhan yang membuat kehidupan lebih hidup lewat harapan (setelah kematian). Sebaliknya, agama sebagai pelembagaan religiusitas mempunyai dimensi sosial, agama memengaruhi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peran agama Hindu dalam kehidupan bernegara menjadi tema pembicaraan Anak Agung Oka Mahendra berjudul “Kepemimpinan dalam Ajaran Hindu”. Kepemimpinan sebagai seni menggerakkan orang lain diturunkannya dari pemahaman terhadap kitab-kitab Hindu, seperti Bhagawadgita, Astabrata, Nitisastra, dan Rajaniti. Seni semacam inilah inti kecendekiawanan Hindu. Mengubah sikap dan cara hidup masyarakat memang diawali dari mengubah pengetahuan dan kesadarannya atas dunia kehidupan. Dengan begitu, cendekiawan Hindu tidak terjejak dalam labirin sejarah.
“Bagi generasi muda Hindu, sebuah pertanyaan mendasar telah menunggu. Dari tatanan masyarakat dengan tradisi intelektual yang belum mantap, di mana harmoni ditempatkan sebagai nilai tertinggi, dapatkah diharapkan terjadi suatu dialektika sejarah?” Keraguan Arya Suharja ini disampaikan dalam pembicaraannya dengan judul, “Generasi Muda Hindu: Kelana atau Tawanan Sejarah?” Seturut dengan perubahan sosial dan transformasi kultural yang berlangsung cepat, Arya Suharja mendorong generasi muda Hindu berani melampaui bentangan sejarah melalui optimalisasi peran-peran sosial. Untuk itu, generasi muda Hindu dituntut memegang teguh prinsip perjuangan, berpikir proporsional yang selaras dengan lingkungan, menciptakan kondisi aktual bagi kemajuan masyarakat sedharma, dan menjadi warga negara bertanggung jawab.         

Memikirkan Pemikiran Hindu 
Tuntutan generasi muda Hindu itu sejalan dengan kondisi-kondisi aktual peradaban masa kini, seperti masalah manusia modern yang dirumuskan Rohit Mehta: ‘menambah kenyamanan dan mengurangi kebahagiaan’. Barangkali cendekiawan Hindu dapat menggunakan masalah tersebut sebagai titik tolak berpikir untuk mendengarkan dan melihat kondisi aktual kehidupan secara lebih jernih. Seperti Yajnavalkya (Brhadaranyaka-Upanisad) memformulasikannya, berpikir mulai dari mendengarkan, melihat, merefleksikan, hingga merenungkan. Pendengaranlah yang menciptakan minat dan membuat pendengar menyadari yang menarik minatnya untuk melihat yang esensial sehingga pikirannya ringan. Pikiran yang ringan tidak lagi dikacaukan oleh beban benar-salah atau baik-buruk sehingga pikiran dapat mendengarkan (seperti telinga). Pendengaran inilah membawa pikiran kepada pemikiran, refleksi.
Dalam refleksi, pikiran melihat perihal benar, baik, dan indah sehinga dapat merenungkan klasifikasi pemikiran yang sudah dikumpulkan. Melakukan refleksi berarti pikiran memeriksa cita-cita, menyelidiki aspirasi-aspirasi, dan memutuskan nilai-nilai yang dianggapnya benar, baik, dan indah. Lewat refleksi ini seorang cendekiawan mulai memikirkan capaian-capaian pikirannya yang berguna bagi hidup (dirinya sendiri) dan kehidupan (banyak orang). Dengan memikiran pikirannya, seorang cendekiawan dapat bicara tentang transfaransi hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Transfaransi pikiran inilah yang dapat menunjukkan cara mentransformasikan kepekatan hidup dan kehidupan menjadi sesuatu yang jernih dan mencerahkan (kini atau nanti). Begitulah cendekiawan dengan pikiran jernih dan cemerlang mentranformasikan realitas menjadi vitalitas. 
Vitalitas inilah yang kita tunggu. Kita menunggu vitalitas pemikiran cendekiawan Hindu. Pemikiran Hindu yang berdaya hidup: memberikan kemampuan bertahan hidup dan kesanggupan beradaptasi dalam perubahan kehidupan. Vitalitas ini pula membuat kita sadar dan sabar menunggu erupsi pemikiran Hindu. Kelahiran ide-ide jernih dan cemerlang yang dapat menembus kepekatan hidup sehingga masa depan lebih transparan. Kemunculan gagasan-gagasan besar dan fenomenal yang membuat kehidupan lebih bergairah. Ide-ide dan gagasan kehinduan yang menjadi monumen kesadaran Hindu: keputusan (kebudayaan) dan kebijakan (peradaban) dalam dunia kehidupan yang terus-menerus berubah. Marilah tabah-sabar menungu kehadiran cendekiawan Hindu dan kelahiran pemikiran Hindu yang menguatkan kita tetap dan selalu Hindu.     

                           

         


BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...