Sukla dan Mala

Sukla-Mala: Material atau Spiritual?

I  W a y a n  S u k a r m a

Sukla dan mala, dua keadaan berbeda yang berlawanan. Namun keduanya dapat dipersatukan dalam kesetimbangan dan kesepasangan menjadi sukla-mala, seperti kaki kiri dan kaki kanan untuk berjalan normal. Keduanya pun dapat dipersatukan dalam lingkaran, yakni kesatuan titik awal dan titik akhir – titik tengah sedang berlangsung – menjadi sukla-mala, seperti lahir-hidup-mati. Penyatuan sukla-mala itulah intisari dari melukat, entah dengan air suci ataupun spirit yoga.     

Sukla-mala merupakan kesatuan yang padu sekaligus siklis dari dua bentuk yang berbeda dan berlawanan, rwa bhinneda. Bentuk adalah forma, ide tentang sukla dan mala lazim dikenakan pada wujud, entah material (materi), nonmaterial (bukan materi) ataupun immaterial (tidak materi). Sukla berarti murni, suci berpasangan dengan mala berarti noda, dosa. Model kesepasangan dan kesetimbangan itulah melandasi pandangan dunia orang Bali, seperti kebiasaan memperhitungkan suci-leteh, ulu-teben, dan ala-ayu. Kebiasaan ini pun membentuk pemahaman tentang perubahan: dari sukla menjadi mala dan dari mala menjadi sukla serta siklus sukla-mala. Misalnya, perubahan kualitas sukla¬-mala mengikuti model evolusi-involusi, lingkaran masa, siklus-yuga (satyayuga-tretayuga-dwaparayuga-kaliyuga) atau lingkaran penjadian, siklus-trikona (utpethi-sthiti-pralina). 
Kualitas sukla-mala bisa bersifat subjektif dan objektif, bila memahaminya dari hubungan antara subjek dan objek, ‘yang menilai’ dan ‘yang dinilai’. Subjektif berarti sukla-mala tidak mandiri, tergantung pada idealisme yang menilai. Objektif berarti sukla-mala mandiri, swabukti, tidak tergantung pada tanggapan yang menilai. Selain kedua sifat itu, juga umat Hindu meyakini sukla-mala tidak tergantung pada subjek ataupun objek, seperti kemutlakan panca sraddha. Sukla-mala bersifat mutlak, tidak berubah sehingga tidak terpengaruh oleh penilaian, sekalipun pengetahuan tentang sukla-mala bersifat relatif dan berubah. Seperti keyakinan kaum intuitif: sukla-mala adalah kualitas keberadaan yang tidak tergantung pada objek, pengemban, dan tempat kedudukan, entah material, nonmaterial, ataupun immaterial.

Material
Material berarti berkenaan dengan materi, seperti benda-benda alamiah dan barang-barang produksi sebagai pengemban sukla dan mala. Misalnya, buah sukla adalah buah yang mengemban kualitas sukla, sifat khusus, wisesa dari buah. Buah sukla berarti buah yang murni, sebagaimana adanya, belum digunakan. Buah sukla menjadi banten sukla ketika buah digunakan menjadi banten. Banten sukla berarti banten yang murni, sebagaimana adanya, belum digunakan. Banten sukla yang murni menjadi banten sukla yang suci ketika dihurip menjadi sarana upacara yadnya. Setelah digunakan, banten yang suci kehilangan kesuciannya menjadi banten yang mala, banten yang layu, layudan. Banten ini dipralina dan dilukar menjadi paridan biasanya disurud, dilungsur.
Sikap terhadap banten yang mala, layudan, lungsuran begitu beragam. Setidaknya dapat dipahami dari anggapan berikut. Layudan adalah prasadam yang layak dikonsumsi; layudan tidak layak dikonsumsi; dan tidak semua layudan layak dikonsumsi. Misalnya, layudan banten caru langsung dibuang, selain banten yang harus ditanam di pekarangan yang sedang diupacarai. Layudan banten ngaben sebagian dibuang dan sebagian lainnya disurud. Layudan banten otonan tidak semua anggota keluarga nyurud, seperti ayah dan ibu tidak berkenan nyurud layudan banten otonan anaknya, apalagi bukan anggota keluarga. Barangkali anggapan ini menimbulkan kebiasaan maserah matah, ‘menghaturkan bahan-bahan mentah’ sukla yang murni kepada sulinggih yang hendak muput suatu upacara yadnya.           
“Layak” dan “tidak layak” mengkonsumsi layudan, bukan semata-mata persoalan etis saja, manut sesana, melainkan juga karena layudan berkaitan langsung dengan perasaan. Sukla-mala adalah pengenalan perasaan yang ditampakkan oleh hati menjadi kenyataan hati, fakta hati. Selain tidak terikat pada pengemban, juga sukla-mala tidak tergantung pada hasrat, keinginan, tanggapan, dan perbuatan karena sukla-mala, bukanlah ide atau pemikiran. Kita memahami sukla-mala dari banten (atau materi lain) yang sukla dan mala karena sukla-mala mendahului banten (atau materi lain). Kita menerapkan pengenalan mengenai sukla-mala pada banten atau materi lainnya, seperti makanan sehingga muncul istilah ‘makanan sukla’. Tampaklah sukla-mala merupakan kenyataan, tersembunyi di balik kenyataan lain. 
                                           
Nonmaterial
Jelaslah sukla-mala tidak untuk dirinya sendiri karena membutuhkan pengemban supaya tampak dan dapat dikenali. Selain material, juga nonmaterial, seperti gejala kejiwaan dapat menjadi pengemban sukla-mala. Hanya saja sukla-mala, bukan kenyataan pikiran (logika: sukla-mala yang semestinya benar atau salah); bukan kenyataan kehendak (etika: sukla-mala yang seharusnya baik atau buruk); melainkan kenyataan perasaan (estetika: sukla-mala yang dirasakan indah dan tidak indah). Sukla-mala pun, bukan kenyataan sugestif (imitasi: sukla-mala yang atas pengaruh orang lain). Meskipun kenyataan perasaan, tetapi sukla-mala, bukanlah hanya sekadar nilai estetis yang membutuhkan objek, pengemban, dan kedudukan. Kualitas sukla-mala bersifat swabukti, tidak tergantung pada kedudukan sehingga perubahan pengemban tidak mengubahnya. 
Banten yang indah misalnya, belum tentu merupakan banten yang sukla. Indah atau tidak indah, bukanlah nilai yang menentukan kualitas sukla-mala. Meskipun banten yang indah berubah mengikuti perkembangan nilai indah, tetapi banten yang sukla dan mala tidak berubah. Perasaan mengenai sukla-mala larut-luluh dalam perasaan religius, emosi keagamaan, karena itu memahami sukla-mala hanya dimungkinkan lewat hati. Kita tidak mungkin memahami sukla-mala melalui proses pikiran karena akal tidak dapat menyentuhnya dan alur penalaran tidak dapat memasukinya. Sukla-mala menyatakan dirinya melalui persepsi sentimental, pengenalan emosional, karena itu memerlukan kepekaan hati. Hati yang peka dan terbuka bisa mengenal banten yang sukla, baik sakala maupun niskala. 
Sukla-mala yang niskala adalah kenyataan hati yang utuh dan penuh yang tersembunyi di balik objek nonmaterial, yang bukan materi, yang tidak terbagi, yang tidak berubah. Haya hati yang bisa mengenal langsung sukla-mala seutuhnya. Hati tidak membagi dan tidak membedakan suatu kenyataan, seperti kebiasaan pikiran membagi kenyataan menjadi fakta benar atau salah. Hati pun tidak seperti kehendak membagi dan membedakan suatu kenyataan menjadi fakta baik atau buruk. Pengenalan langsung menyebabkan sukla-mala bisa dimiliki bersama dalam kualitas yang sama pula. Hubungan sukla-mala dengan pengemban, seperti kesatuan jiwa dengan raga. Artinya, sukla-mala tidak pernah berhenti ada, bahkan ketika pengemban lebur, sukla-mala tetap ada.

Immaterial
Keberadaan sukla-mala, seperti keberadaan jiwa mengalir dari sumber immaterial, yang tidak materi. Dialah perasaan pertama, penggerak atom pertama, pengatur ketertiban pertama, seperti pengada sekaligus penjaga dan pelebur. Dialah objek sukla-mala yang spiritual, yang menyatukan karena dapat dimiliki bersama. Berbeda dengan objek sukla-mala yang material, yang memisahkan karena tidak dapat menjadi milik bersama. Jika bersatu adalah perasaan mulia, tujuan akhir dari sukla-mala, maka persatuan merupakan perasaan terakhir. Artinya, Dialah perasaan pertama sekaligus perasaan terakhir, kesatuan sukla-mala yang dikenali hati. Menyatukan perasaan dan perasaan bersatu inilah intisari pengajaran Sankhya dan praktik Yoga. Purusa dan Prakrti adalah dua Perasaan dari Yang Satu, Iswara.
Begitulah hati memahami sukla-mala dalam rangka membangun suasana yang suci dan suasana yang tidak suci, yakni nilai-nilai kerohanian. Tatanan nilai ini melingkupi dan menyusupi kehidupan umat Hindu, seperti tampak pada kebutuhan akan pengetahuan yang niskala dan yang sakala. Yang niskala lebih suci dibandingan dengan yang sakala, bahkan yang sakala dapat dipandang sama sekali tidak suci. Kesucian niskala menjadi teladan bagi kesucian sakala, karena itu hampir tidak ditemukan bagian-bagian kehidupan yang sama sekali lepas dari kualitas sukla-mala. Bukan hanya badan-tubuh-jiwa, bahkan pengetahuan dan keterampilan tidak luput dari penilaian sukla-mala. Akhirnya, ruang-waktu-tindakan bersifat suci dan tidak suci karena sukla-mala berkedudukan di hati.                     


   


BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...