Sumber Daya Manusia Hindu

Dilema Sumber Daya Manusia Hindu

I  W a y a n  S u k a r m a

Dilema menjerat dan menjebak kita di persimpangan jalan yang sulit berbelit-belit dan membingungkan. Entah belok kanan ataupun kiri, menanjak ataupun menurun menyebabkan setiap keputusan yang kita ambil selalu dikerubungi rasa bersalah dan rasa malu. Kita dibuat takut dan sedih memilih suatu arah atau jurusan karena tersesat sungguh tidak menyenangkan. Apalagi tersesat menyebabkan kita tidak pernah sampai dan tiba di tujuan. Bersyukur agama menerangi jalan keidupan beserta persimpangannya dengan ‘ca iti dharmah’. Dharma menjadi arah dan jurusan yang mesti kita ikuti sekaligus peta yang harus kita turuti menuju jagadhita dan moksa.             
Dilema, berupa kesulitan memilih dan kesukaran memutuskan biasa terjadi dan mewarnai keseharian. Keseharian memang biasa menyediakan ‘menu simalakama’ yang membuat lidah kelu: bohong salah, jujur pun buruk. Kondisi ‘serba-salah’ dan ‘serba-buruk’ biasanya menjadi pemicu munculnya pilihan-pilihan sosial dan putusan-putusan budaya yang serba gamang dan mendua. Sisi politis kehidupan semacam itu menyediakan ruang-ruang perdebatan, diskusi, dan negosiasi. Ruang timbang yang mendorong dan melempar kesadaran ke dalam suasana tak biasa dan serba luar biasa untuk menangani dilema yang menghalangi arah pandang dan menghadang di persimpangan jalan. Perhatikanlah kesulitan memilih dan kesukaran memutuskan satu jalan di antara jalan pengetahuan, perbuatan, pelayanan, dan pengasingan.     
Setiap jalan mempunyai aturan dan prosedur tersendiri, bahkan dianggap menjadi satu-satunya ‘tol keselamatan’ sehingga terkesan eksklusif. Bila kesan ini disertai dengan rendahnya pemahaman diri sendiri dan lingkungan dapat menimbulkan situasi sosial dan suasana budaya yang kontraproduktif bagi pembangunan sumber daya manusia Hindu (pikiran, perasaan, kehendak, dan disposisi lainnya). Padahal semua jalan itu jurusan yang searah dengan upaya pendidikan agama Hindu: ‘membangun manusia Hindu seutuhnya’. Manusia berpengetahuan tattwa; bersikap dan berbuat susila; serta terampil mengembangkan acara, yakni tulus melakukan dan ikhlas melayani. Manusia yang mampu membuat keputusan dan menentukan pilihan serta setia pada keputusan dan pilihannya dalam perubahan dan dilema kehidupan.       

Sifat Bawaan                                                                         
Perubahan kehidupan dan dilema sumber daya manusia Hindu bermula dari perbedaan-perbedaan, bedha-bedha. Sistem dwaita wendanta memutuskan bedha-bedha sebagai hakikat keberadaan dan merumuskan prinsip-prinsipnya. Berdasarkan tiga elemen keberadaan dirumuskan prinsip-prinsip perbedaan, yaitu Tuhan berbeda dengan Jiwa dan Benda. Jiwa berbeda dengan Tuhan, Benda, dan Jiwa. Benda berbeda dengan Tuhan, Jiwa, dan Benda. Kecuali Tuhan, semua keberadaan bertahan dan berjalan mengikuti prinsip perbedaan itu. Setiap keberadaan tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keberadaan yang lain. Keberadaan jiwa tidak untuk jiwa, tetapi untuk keberadaan benda. Sebaliknya, keberadaan benda tidak untuk benda, tetapi untuk keberadaan jiwa. Keberadaan jiwa dan benda merujuk pada keberadaan Tuhan.     
Prinsip perbedaan yang menggambarkan hukum keterikatan dan ketergantungan itu serupa dengan hukum tri hita karana, hubungan antara parhyangan, pawongan, dan palemahan. Tri hita karana meletakkan hubungan ketiga elemen keberadaan tersebut pada harmoni. Harmoni berarti palemahan dalam kondisi seimbangan, pawongan dalam situasi selaras, dan parhyangan dalam suasana serasi. Ketika pikiran seimbang, mental selaras, dan batin serasi, manusia pun kuat, sehat, dan selamat. Meskipun menempati dan memperoleh makanan pada palehaman, manusia tidak mungkin berkehidupan tanpa pawongan dan parhyangan. Begitulah perbedaan sebagai hakikat keberadaan dan manusia menerima prinsip-prinsipnya untuk mengelola dilema yang menyertainya. Menerima dan mengelolanya berdasarkan keyakinan: “Tan hana wong sakti sinunggal”.           
Prinsip keterikatan dan ketergantungan membuat manusia tidak berdaya sendirian. Tidak hanya karena kodratnya makhluk sosial, tetapi juga manusia mewarisi tiga sifat elemen pembentuk keberadaannya: bendani, jiwani, dan ilahi. Manusia tidak mungkin memilih atau menolak satu atau semua warisan elemen pembentuk keberadaannya. Tanpa jiwa, manusia hanyalah benda dan tanpa benda, manusia hanyalah jiwa. Selain tidak dapat memilih satu di antara jiwa dan benda, juga manusia tidak dapat memilih jiwa termulia dan benda terhormat di antara jiwa-jiwa dan benda-benda. Relasi jiwa-benda diselesaikan secara ramah dan indah, tanpa dilema dalam sistem sankhya-yoga sebagai kesatuan purusa-prakerti. Kesatuan yang menetapkan keberadaan manusia: “tidak untuk dirinya”. 
Ketetapan inilah mengimbau dan memaksa manusia menemukan pasangan dan melakukan kerja sama saling menguntungkan secara adil dan setara. Adil, seperti imbauan pawongan menuruti hukum-hukum status dan peran. Setara, sebagaimana paksaan palemahan mengikuti prinsip-prinsip rasional dan logis. Palemahan mengajarkan rasionalitas berdasarkan prinsip-prinsip alami, Rta dan pawongan mendidik moralitas berdasarkan hukum-hukum manusiawi, Dharma. Prinsip dan hukum itu berfungsi sempurna berkat kekuatan, perlindungan, dan tuntunan spiritual, yaitu anugerah ilahi, parhyangan. Ketika Spritual menjadi kekuatan Rta dan Dharma, maka rasionalitas dan moralitas dalam seimbang dan selaras sehingga kehidupan tanpa priksi dan dilema berkepanjangan. Harmoni palemahan, pawongan, dan parhyangan pun menjadi sumber dan memberikan kesejahteraan. 
Prinsip dan proses kesejahteraan menunjukkan manusia adalah makhluk dilematis. Sistem waisesika menerangkan manusia mewarisi kodrat dan sifat dilematis dari atom-atom pembentuk keberadaannya: jasmani, rohani, dan tak terbatas. Atom jasmani bersama dengan atom tak terbatas mengurung manusia di antara cahaya langit dan bumi, sedangkan atom rohani mengungkung manusia di antara sinar pribadi dan pikiran. Manusia dibuat suntuk mendengarkan ‘bunyi langit dan bumi’ serta khusuk mendengarkan ‘suara pribadi dan pikiran’. Sabda dan wahyu itulah dilema yang membuat manusia sibuk memutuskan sikap dan memilih perbuatan: mengikuti atau mengingkari. Sekali lagi, hati nurani menjerumuskan manusia ke dalam dilema dharma: jagadhita (kesejahteraan) dan moksa (kebebasan).       

Jubah Modern 
Dilema dharma bermula dari dua kewajiban hakiki: kemestian alami, Rta dan keharusan manusiawi, Dharma. Prinsip kemestian memaksa dan membuat manusia tidak berdaya, kecuali mentaatinya. Hanya saja prinsip keharusan karena sifatnya mengimbau sehingga manusia tidak sepenuhnya mematuhi, bahkan mencari dan menemukan kemungkinan lain. Akibatnya, manusia tidak hanya mengalami dilema antara kemestian dan keharusan, tetapi juga antara keharusan dan keharusan, bahkan antara keharusan menerima dan menolak kemestian. Manusia pun terperosok ke dalam ruang permenungan nasib dan meratapi takdir hingga lupa bersyukur, bentuk yadnya paling sederhana. Melupakan yadnya menyebabkan manusia terperosok ke lorong pilihan-pilihan hidup yang memaksanya membuat keputusan, baik perseorangan maupun kebersamaan.
Dalam kehidupan bersama, manusia (perseorangan yang berbeda kebutuhan, kepentingan, dan keperluannya) diikat oleh dan disatukan untuk komune menjadi masyarakat. Komune adalah kesediaan, kebanggaan, dan kepuasan berbagi nilai dan makna kehidupan. Inilah kekuatan bersama yang mencegah terjadinya perebutan sumber daya alam dan manusia. Upaya saling menguasai inilah cikal-bakal dilema sosial yang tersimpan dan tersembunyi dalam koorporasi, kompetisi, dan konflik. Formulasi interaksi ini bersifat dilematis dan dinamis, berupa pilihan-pilihan yang terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Komune pun turut larut dan luruh dalam perubahan tersebut sekaligus mempengaruhi perkembangan masyarakat. Para ahli ilmu-ilmu sosial menggambarkan masyarakat berkembang dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. 
Masyarakat modern mengutamakan nilai kebenaran, ekspresi, dan perseorangan daripada nilai kebaikan, warisan, dan kebersamaan, sebagaimana masyarakat tradisional mengutamakannya. Kontras kedua bentuk masyarakat itu menimbulkan kesan bahwa pengetahuan dan keterampilan tradisional sudah ketinggalan zaman sehingga tidak relevan dipertahankan. Seolah-olah masyarakat tradisional perlu mengganti pola hidupnya yang agraris dengan gaya hidup modern yang industris. Padahal dikotomi pola hidup dan gaya hidup itu tidak bersifat mutlak karena ukuran, nilai, dan makna kebenaran (masyarakat modern) dan kebaikan (masyarakat tradisional) bersifat relatif. Relativitas itu ditunjukkan oleh kaburnya batas antara disposisi proself (mementingkan diri sendiri) dan prosocial (mementingkan kebersamaan), baik dalam masyarakat modern maupun masyarakat modern. 
Prioritas hidup antara egoistik (turunan dari proself) dan altruistik (turunan dari prosocial) menjadi ‘tegangan abadi’ yang menciptakan dilema sosial mewarnai kehidupan bersama. Dilema itu semakin kompleks seiring dengan ketidakpastian lingkungan, sosial, hasil, dan gangguan karena menimbulkan kesulitan menetapkan bentuk interaksi. Ketidakjelasan lingkungan misalnya, dapat menyebabkan sumber daya lebih variatif dan menimbulkan kesulitan pendistribusiannya. Kesulitan ini lebih memicu terjadinya kompetisi daripada koorporasi, apalagi disertai dengan besarnya hasrat mementingkan diri sendiri. Perhatikanlah heterogenitas ‘penghuni’ desa pakraman yang homogen, tanpa disadari telah menimbulkan kecemasan sosial dan mengurangi kesalingpercayaan. Kondisi ini telah mendorong munculnya tindakan devensif terhadap sesuatu yang dianggap membahayakan, seperti penggunaan Krematorium.
Ketika nilai kebaruan dipandang sebagai bahaya yang mengancam nilai-nilai tradisional, maka pakraman diliputi kecurigaan dan keraguan. Pakraman pun berjalan pincang karena satu kaki memakai ‘sandal lama’ dan kaki lainnya memakai ‘sepatu baru’. Padahal nilai-nilai kebaruan tidak dapat ditolak ataupun dihindari, bahkan melanda kebudayaan hampir seluruh masyarakat di dunia. Pakraman tentu menerimanya melalui mekanisme adopsi dan adaptasi disertai dengan pengelolaan perubahan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masa depan pakraman. Mekanisme dan pengelolaan sosial pada ‘lapisan luar’ melindungi ‘lapisan dalam’, berupa nilai-nilai budaya yang melindungi ‘inti’ atau ‘jiwa pakraman’. Sekiranya, pola ini mendukung pakraman membangun tradisi berjubah modern: manusia modern berjiwa tradisional.             

Ilmu Laku 
Kesadaran manusia akan adanya jiwa dan roh, menurut Tylor merupakan asal-mula agama. Menurutnya, jiwa menjadi kekuatan di balik benda menyebabkan adanya gerak. Ketika jiwa lepas dari benda disebut roh. Kepercayaan akan adanya roh menempati alam semesta disebut animisme. Kepercayaan akan adanya roh di balik peristiwa alam disebut dinamisme. Kepercayaan akan adanya personifikasi jiwa alam ke dalam dewa-dewa alam disebut politeisme. Kepercayaan adanya hanya satu dewa alam disebut monoteisme. Agama dirumuskan sebagai ide tentang kepercayaan kepada Tuhan, roh-roh supernatural, dan kehidupan setelah mati. Rumusan ini merangkum pitra puja, pemujaan leluhur (penyembahan roh sebagai personifikasi jiwa nenek moyang) di sanggah atau merajan.
Perhatikanlah hubungan antara pitra puja, pitra yadnya, dan pitra rna dalam kesatuannya dengan tri rna. Semangat memuliakan ayah, kewajiban kepada ayah, dan berkurban untuk ayah karena bukan keputusan akal budi dan pilihan moral sehingga tidak bertentangan dengan semangat menghormati ibu, kewajiban kepada ibu, dan berkurban untuk ibu. Semangat mengasihi ayah dan menyayangi ibu karena di luar jangkauan kontradiksi akal budi dan emosi ataupun pemahaman intelektual dan tanggung jawab moral sehingga tidak dilematis. Apalagi disertai dengan semangat membangun sumber daya manusia, seperti disarankan Ramayana: “Gunamanta sang Dasaratha, Wruh sira ring weda bhakti ring dewa, Tarmalupeng pitŗapuja, Maasih ta sireng swagotra kabeh”. 
Ayah dan ibu (keluarga Hindu) bercita-cita melahirkan dan membangun generasi suputra, sumber daya manusia Hindu yang matang dan dewasa. Manusia yang berakhlak mulia dan berbudi luhur (gunamanta). Berpengetahuan sains, filsafat, etik, estitik, mistik, dan religi (wruh ring weda). Berbakti kepada Sanghyang Widhi beserta dewa-dewi (bhakti ring dewa). Ingat pada pusaka dan memuja leluhur (tarmalupeng pitrapuja). Senantiasa menyemai kasih dan menebar rasa sayang kepada keluarga dan masyarakat (masih ta swagotra kabeh). Membiarkan kasih sayang menyirami dan menyuburkan kebenaran pikiran, kebajikan perbuatan, kedamaian perasaan, dan pengertian tanpa kekerasan. Manusia yang tidak membedakan duniawi dengan keagamaan dan tidak memecah kesatuan jiwa dengan raga.
Itulah manusia dharma, sebagaimana catur purusa artha tidak membedakan antara dharma jagadhita dan dharma moksa serta tidak memisahkan dharma kama dengan dharma artha. Kita diminta memandang sama antara dharma jagadhita (yang duniawi) dan dharma moksa (yang keagamaan). Kesejahteraan raga dan kebahagiaan jiwa adalah dua keadaan dari satu realitas, yaitu sang diri. Artinya, pengetahuan duniawi sama penting dengan pengalaman jiwani karena kita melakukan tindakan pada kesatuan tempat dan kesempatan. Pengertian sama penting dengan emosi karena ide-ide yang kita mengerti sama dengan kenyataan. Pemahaman intelektual sama penting dengan tanggung jawab moral karena pengetahuan tanpa tindakan tak berguna, “ilmu iku kelakone kanthi laku”.
Mengingat pengetahuan dan tindakan biasanya menimbulkan dilema, seperti keraguan dan kebingungan Arjuna digambarkan mulai dari bagian Arjuna Visada dalam Bhagawadgita. Arjuna memikirkan suasana damai ketika berada dalam suasana perang. Pengetahuan tentang damai dan perang beserta akibat yang ditimbulkan begitu jelas, bahkan kecenderungannya manusia memilih damai daripada perang. Agama pun menganjurkan kedamaian sehingga manusia tidak mempunyai alasan yang cukup (memadai) melakukan peperangan. Hanya saja Arjuna mesti memutuskan dan harus memilih perang, meskipun menyadari akibatnya. Seperti kekacauan dan kehancuran tatanan kehidupan, baik varnasramadharma maupun jatidharma. Namun kehancuran tatanan kehidupan, justru menandai terbukanya peluang bagi perkembangan dan kemajuan peradaban menemukan bentuk yang baru.                                 
 
Melepas Jeratan   
Kemajuan peradaban hanya mungkin, bila kesatuan hasrat-tujuan (kama), instrumen hidup (artha), dan aturan hidup (dharma) menemukan kebutuhan dan kepentingan baru. Penemuan baru membuktikan keberhasilan pengetahuan merombak keteraturan tatanan kehidupan. Penemuan baru bertahan dalam perlindungan moral, yaitu selama fungsional dan produktif bagi tindakan masa kini dan kepuasan masa depan. Bila tidak fungsional lagi, akan terjadi penghancuran dan pembangunan kembali hingga peradaban menemukan bentuk baru. Melalui proses penciptaan, pertahanan, dan penghacuran itu peradaban berkembang seiring dengan kebutuhan dan kepentingan zaman. Siklus perubahan ‘lahir-hidup-mati’ inilah ‘kidung kehidupan’ dengan irama-irama kewibawaan tri murti. Dalam Bhagawadgita dilengkapi dengan sifat kekal ilahi yang menginspirasi jiwa individu.
Jiwa individu dinyatakan sebagai ‘yang kekal’ berbeda dengan raga ‘yang berubah’. Jiwa individu berasal dari Iswara kembali kepada Iswara, sedangkan raga berasal dari alam dan kembali ke alam. Manusia lebih memilih ‘yang berubah’ daripada ‘yang kekal’ karena membatasi ‘daya putus’ dan ‘daya pilih’, yaitu membatasi kemampuan akal dan kesanggupan budinya. Pembatasan ini menyebabkan raga lebih mudah dikenali daripada jiwa sehingga manusia lebih akrab dan karib dengan raganya daripada jiwanya. Memanjakan raga pun menjadi kebiasaan yang menyenangkan dan memuaskan sehingga manusia berangsur-angsur melupakan keberadaan jiwanya. ‘Lupa’ itulah kebodohan disebabkan oleh khayal, penipuan, dan bayangan. Penyebab kebodohan tersebut dalam Bhagawadgita disebut Maya.
Maya, ‘ilusi kehidupan’ telah menyebabkan manusia membatasi kecerdasan akal dan budi inteleknya yang sesungguhnya tidak terbatas. Akal dan budi yang tertutupi kebodohan mendorong manusia ke ‘lorong bodong’ yang membingungkan dan menyesatkan. Bhagawadgita merumuskan, “…, ajananarvrtam jnanam tena muhyanti jantavah”, budi pekerti yang diselubungi ketidaktahuan menyebabkan makhluk tersesat di jalan. Manusia pun melangsungkan kehidupan dalam dunia yang sudah dibakukan melalui norma dan nilai yang dibentuknya berdasarkan batasan-batasan maya. Ini sebabnya, keluar dari batasan-batasan maya menjadi hakikat pendidikan agama Hindu. Tujuannya, membentuk manusia yang berpikiran jernih, berperasaan cerah, dan berkehendak terang. Manusia yang tidak hanya terjerat materi dan tidak terjebak rohani belaka.                     
                   
                 





BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...