Hindu itu Indah

Hindu is Bali:
Beautiful, Amazing, Loving, Inspiring

I  W a y a n  S u k a r m a

Hindu is Bali: beautiful, amazing, loving, inspiring, bila umat Hindu bersedia menjaga Bali: bersih, aman, lestari, indah. Untuk itu, umat Hindu mesti setia pada kebenaran dan harus melaksanakan kewajiban, berupa dharma-tattwa, dharma-acara, dan dharma-susila.         

“Hindu”, kata bertuah (semacam: multinama dan rupa) dalam khazanah peradaban manusia karena melingkupi aneka ragam tradisi dan gagasan yang mahaluas. Kadang-kadang sebagai istilah geografis dan tidak jarang menjadi istilah antropologis, seperti nama wilayah, suku bangsa, filsafat, tradisi keagamaan, dan kebudayaan asli India. Hindu sebagai tradisi keagamaan misalnya, para indolog menggambarkan bahwa agama Hindu mewadahi berbagai macam agama yang berbeda-beda, baik aturan maupun pemujaan. Keanekaragaman ini melukiskan bertumbuhnya toleransi pada tataran kepercayaan (iman) termasuk berkembangnya filantropi pada tataran keyakinan (intelektual) dalam tatanan kehidupan yang majemuk. Implikasinya, dalam agama Hindu berkembang beragam sistem ketuhanan, seperti animisme, politeisme, paganisme, panteisme, monisme, dan monoteisme.
Sistem ketuhanan itu pun berkembang dalam agama Hindu di Indonesia, seperti tampak pada Tattwa, sistem kepercayaan (panca sraddha); Acara, sistem ibadah (panca yadnya dan tri sandhya); dan Susila, sistem moral (tri kaya parisudha). Tiga pilar utama (Tripitama) agama Hindu tersebut menyangga aktivitas keagamaan dan kemasyarakatan pemeluknya sesuai dengan tradisi dan adat istiadat di daerah tempat tinggalnya. Adat istiadat yang berbeda-beda kemudian, ikut serta mewarnai ketiga pilar utama agama Hindu sehingga Tripitama tampak dinamis, berubah-ubah sesuai dengan kebudayaan masyarakat pemeluknya. Jalinan dengan pengetahuan dan keterampilan tradisional lokal sekiranya, membuat agama Hindu menjadi Hindu Dharma yang semakin Bali: Beautiful, Amazing, Loving, Inspiring.

Dharma-Tattwa
“Dharma”, serupa dengan kata “Hindu”, juga mempunyai arti dan makna yang begitu luas dan mendalam, menjangkau seluruh aspek kehidupan, baik fisik maupun metafisik. Dari akar kata “drh” berarti menjinjing, memangku, memelihara, mengatur kemudian, kata “dharma” bermakna prinsip ketertiban alam dan hukum keteraturan makhluk. Dalam makna ini, juga dharma menjangkau makna kata “rta”, yaitu prinsip alam, alamiah, azas bendani, kodrati, takdir. Selain bermakna aturan dan hukum, juga dharma bermakna kebenaran sebagai tujuan hidup. Perpaduannya dengan kama, artha, dan moksa menjadi kesatuan catur purusa artha. Tujuan dharma melingkupi kehidupan sakala dan niskala, yaitu jagadhita (kesejahteraan lahir-batin) dan moksa (kebahagiaan, kebebasan, tiadanya kelahiran).
Kehidupan niskala terlukis indah dan mengangumkan dalam Tattwa melalui rumusan-rumusan pengetahuan tentang Tat, Itu, Tuhan. Pengetahuan atau Kebenaran Tuhan, dharma-tattwa tersebar dalam banyak kitab, baik sastra Jawa-Kuna maupun Sanskerta, seperti Bhuwana Kosa dan Upanisad. Kebenaran-Kebaikan-Keindahan Sanghyang Widhi, entah disebut Bhatara Siwa, Iswara, Narayana, ataupun Brahman dilukiskan berkarakter cinta dan kasih menggugah semangat melampaui kehidupan duniawi. Dalam Purana dan Itihasa pun Bhatara Siwa dilukiskan berkarakter pengasih dan penyayang, pengada-penjaga-penyempurna hidup dan kehidupan. Kesempurnaan hidup, seperti yang hendak dikembangkan dan dibangkitkan panca sraddha melalui upaya membangun kesadaran tentang karmaphala. Imbalan atas perbuatan, bila tidak moksa (terhentinya kelahiran) atau niscaya punarbhawa (terlahir kembali).
Karma-phala itulah ekspresi-reflektif dharma, kewajiban dan tanggung jawab, baik hidup keagamaan maupun kemasyarakatan. Agama Hindu memang tidak secara tegas memisahkan antara kehidupan religius dan sosial. Dunia-Kehidupan dipandang sebagai Satu, Sat-Asat, kesatuan dunia-niskala dan dunia-sakala. Memahami ide tentang kewajiban religius yang niskala sama saja dengan melaksanakan kewajiban sosial yang sakala. Kewajiban memuliakan Tuhan sama dengan kewajiban menghormati makhluk (manusia) dan sama saja dengan kewajiban menghargai alam. Begitulah dharma-tattwa dalam dunia-kehidupan mencerahi kebenaran dan keadilan kearifan lokal sesuai dengan kepentingan, baik dalam situasi damai maupun perang. Bhagawadgita meringkasnya, dunia-kehidupan adalah “dharma kuruksetra”, medan pertempuran dharma: pergulatan antara keindahan, kekaguman, kecintaan, dan kebangkitan.   
                     
Dharma-Acara
Pergulatan pengetahuan ketuhanan, baik internal maupun eksternal berpengaruh langsung terhadap dharma-acara, kewajiban keagamaan, baik pemahaman, aturan, prosedur, sarana, maupun tempat. Misalnya, kewajiban melaksanakan puja tri sandhya tiga kali pada waktunya dan kewajiban memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi Tri Murti di Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Dharma-tattwa memang melandasi dharma-acara. Perhatikanlah keindahan panca sraddha begitu mengangumkan dan menggugah semangat religius, bahkan membangkitkan kecintaan pada panca yadnya. Panca yadnya itulah perwujudan dari kebangkitan dan keindahan cinta-kasih itu sendiri. Cinta yang mengikatkan dan menyatukan manusia dengan sesama (manusa yadnya), alam (bhuta yadnya), leluhur (pitra yadnya), guru (resi yadnya), Tuhan (dewa yadnya).
Ikatan dan penyatuan cinta memang melahirkan kewajiban hidup (dharma); kewajiban hidup adalah hutang karma (rna); dan hutang karma mesti dibayar dan harus dilunasi dengan tindakan kurban (yadnya). Aturan hidup dharma-acara ini sejalan dengan rumusan Bhagawadgita tentang Karma Yoga (III.9) berikut. “Dari tujuan berbuat yadnya itu menyebabkan dunia ini terikat oleh hukum karma, karena itu bekerjalah tanpa pamrih, tanpa kepentingan pribadi”. Ketika tindakan kerja bebas dari pamrih dan kepentingan pribadi, maka kerja adalah kurban (pemujaan dan persembahan), dan karena itu dunia-kehidupan menjadi arena kurban, dharma kuruksetra. Dharma-acara memang menggariskan, kehidupan adalah yadnya, seperti keterangan Bhagawadgita, “Manusia tercipta dan berkembang melalui yadnya”.
Begitulah dharma-acara, melalui yadnya termasuk dana (semangat menyumbang), punya (semangat menghaturkan), tapa (semangat mengendalikan diri), dan brata (semangat mendisiplinkan diri) membangkitkan semangat memurnikan kehidupan. Kemurnian hidup yang menumbuhkan dan mengembangkan kebiasaan yang Bali: bersih, aman, lestari, dan indah. Kebiasaan tidak berbuat jahat dan tidak membuat onar dalam masyarakat serta melestarikan nilai-nilai kehinduan demi kehidupan yang lebih indah bagi semua. Apalagi nilai-nilai kehinduan aktual pada setiap zaman dan kontekstual pada kebudayaan setiap bangsa sehingga mampu merangkum dan mencerahi budaya-budaya lokal. Hindu Dharma pun tetap dan selalu menjadi rumah yang nyaman ditinggali untuk mengembangkan diri lebih manusiawi dan membangun negeri lebih harmoni.

Dharma-Susila
Mengembangkan diri dan negeri memang kebutuhan perseorangan dan kepentingan bersama karena kebudayaan merujuk langsung pada manusiawi. Kenyataannya selain interaksi sosial, hukum, dan agama, juga kebudayaan merupakan sumber moral. Begitu pula dharma-susila, kewajiban moral (dalam agama Hindu), selain bersumber pada dharma-tattwa (Kebenaran Tuhan) dan dharma-acara (kewajiban keagamaan), juga bersumber pada kebudayaan masyarakat pemeluknya. Tiga perbuatan suci, tri kaya parisudha misalnya, selain merujuk kitab-kitab suci, juga menunjuk langsung pada nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat pemeluk agama Hindu. Mengingat kebenaran ataupun kebaikan mempunyai sifat mutlak berlaku umum dan sifat relatif berlaku khusus. Menerima sifat moral ini merupakan upaya etis menghargai nilai-nilai lokalitas. 
Selain sifat itu, juga dharma-susila mempunyai sifat internal dan eksternal. Secara internal menggariskan tingkah laku etis yang berlaku khusus dalam keberagamaan berdasarkan ajaran agama yang terdapat dalam kitab-kitab suci. Misalnya, penghayatan dan praktik agama bersama, seperti kewajiban moral-keagamaan yang terangkum dalam dharma agama. Secara eksternal menggariskan tingkah laku etis yang berlaku umum dalam masyarakat berdasarkan peraturan dan hukum negara, seperti kewajiban moral yang terangkum dalam dharma negara. Sederhananya, selain dalam rangka menciptakan kerukunan inter dan antarumat agama, juga untuk meningkatkan partisipasi umat Hindu mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kesehajteraan. Pertisipasi itulah yang membuat agama Hindu semakin Bali: Beautiful, Amazing, Loving, Inspiring.
                                                   




BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...