I W a y a n S u k a r m a
“Taring desa kala patra” adalah kekuatan mistis ruang dan waktu. Kekuatan yang memungkinkan untuk memahami parhyangan, pawongan, dan palehaman. Desa-kala-patra menggambarkan kondisi ruang dan situasi waktu – saat ini dan di sini. Gambaran yang memberikan batasan, seperti aturan dan hukum yang dinyatakan tri kaya parisudha sehingga setiap orang dapat bereaksi dan berekspresi sesuai dengan dharmanya. Reaksi dan ekspresi inilah menentukan kondisi dan situasi kehidupan, karena itu desa kala patra perlu dibangkitkan seiring dengan perkembangan dan perubahan swadharma.
Taring adalah gigi runcing terletak di depan sudut bibir, seperti taring Harimau atau caling Macan menurut orang Bali. Kata “taring” ataupun “caling” – apalagi nama Ratu Gede Mecaling – menimbulkan kesan mengerikan, menyeramkan, menakutkan, dan menggetarkan, tetapi orang Bali mengakrabinya. Perhatikanlah lingkungan Pura. Perasaan kagum dan gemetar timbul dari sepasang Dwarapala di depan kanan dan kiri Kori Agung hingga Barong dan Rangda sebagai wujud Bathara dan Bathari. Malahan kesenian Calonarang lebih eksplisit menampilkan perasaan takut-gemetar, serupa dengan pengalaman keagamaan. Seperti pernyataan Rudolf Otto, pengalaman dengan Yang Transenden membawa manusia pada perasaan takut-gemetar karena Yang Transenden penuh daya pesona sekaligus penuh daya memaksa.
Kedua daya yang bertentangan itulah taring desa kala patra: kekuatan mistis kearifan lokal Bali. Seperti kekuatan yang ditampilkan Taring Barong dan Taring Rangda yang menyusupi dan melingkupi kehidupan orang Bali. Kekuatan yang mencerminkan kedewasaan dan kematangan orang Bali dalam membangun pengetahuan, membentuk sikap, dan menentukan tindakan untuk mengembangkan sumber daya. Kekuatan yang mencerminkan wawasan dan cara¬-pandang orang Bali menangani perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Apalagi industri pariwisata melibatkan aneka ideologi modern tidak dapat dihindari menguji ketahanan tradisi dan kekuatan kearifan lokal Bali. Untuk menghadapi ‘ujian perubahan’ inilah penting dan relevansinya mengasah taring: membangkitkan kekuatan mistis desa kala patra.
Kearifan Desa-Kala-Patra
Desa-kala-patra (penulisannya menggunakan “tanda hubung”) merupakan kesatuan desa-patra dengan kala-patra dalam membentuk suatu momen, seperti ketidakterpisahan tindakan dari ruang dan waktu. Dalam English-Sanskrit Dictionary dijelaskan kata “desa” berarti ruang, tempat, tanah kelahiran, daerah, wilayah, area, lokasi, khazanah. Kata “kala” berarti waktu, masa, ketika, saat, kesempatan. Kata “patra” berarti daun, surat, kelayakan, kesopanan, kebugaran, komposisi halus, ukuran kapasitas. Sederhananya, orang Bali lazim mengartikan desa, kala, dan patra sebagai ruang, waktu, dan keadaan, karena itu desa-patra dapat dipahami sebagai kondisi ruang dan kala-patra sebagai situasi waktu. Kondisi dan situasi yang mencerminkan sifat ruang dan karakter waktu dalam membentuk sikap dan menentukan tindakan.
Ruang yang semula natural dan netral kemudian, orang Bali membagi, mengkondisikan, dan menyifatinya dengan tri mandala. Perlakuan terhadap ketiga desa-patra itu berbeda misalnya, utama mandala untuk bangunan suci. Madya mandala untuk bangunan beraktivitas. Nista mandala untuk halaman belakang dan telajakan. Pembagian dan pengkondisian ruang semacam itu mengacu pada tri hita karana dan melibatkan pemahaman mengenai ulu-teben, suci-leteh, dan jaba-jero. Pemahaman ini, juga tampak pada sikap dan perlakuan mengeramatkan gunung dan bukit, danau dan sungai, laut dan pantai serta kuburan dan perempatan. Meskipun begitu, tempat melaksanakan upacara yadnya tetap lebih dahulu disucikan melalui mareresik dengan banten bayakaonan, caru, durmangala, dan prayascita.
Kesucian tempat memang syarat utama melaksanakan upacara yadnya, selain kesucian waktu. Penentuan kala-patra berdasarkan satuan waktu-mistis: dawuh, sasih, tanggal-panglong, wuku, dan wewaran. Satuan waktu yang pengaruhnya paling kuat terhadap kualitas tindakan adalah dawuh, setelah trio dasa sakti. Dawuh-ayu adalah waktu keberuntungan, saat paling baik beryadnya. Sebaliknya, dawuh-ala adalah waktu kemalangan, saat paling buruk beryadnya. Penentuan ala-ayuning dauh berdasarkan wariga dan penerapannya berupa padewasan. Lebih aplikatif, bahkan pemahaman mengenai kala-patra Bali sudah berbentuk kalender lazim disebut Kalender Bali. Kalender inilah pedoman praktis memilih waktu keberuntungan. Bukan hanya waktu beryadnya dan kegiatan keagamaan lainnya, bahkan kegiatan pertanian dan peternakan berpedoman pada kalender.
Selain kondisi ruang dan situasi waktu, juga kualitas upacara yadnya tergantung pada keadaan pelaku, yaitu orang yang beryadnya. Misalnya, kemampuan, kesanggupan, kesungguhan, ketulusan, dan keikhlasan beryadnya. Begitulah taring desa-kala-patra, kekuatan mistis kondisi ruang dan situasi waktu serta suasana batin pelaku. Ketiga kekuatan ini sesungguhnya menyimpan norma dan menyembunyikan aturan beryadnya. Norma dan aturan hidup berlaku hanya pada suatu tempat dan masa, karena itu awig-awig dan pararem setiap desa pakraman tampak berbeda dan berubah. Kehidupan desa pakraman dalam format tri hita karana itu sesungguhnya mencerminkan kekuatan mistis desa-kala-patra. Keadaan ruang dan waktu yang melekatkan sifat religius pada tatanan kehidupan orang Bali.
Keadaan ruang dan waktu tri hita karana memang menjadi kekuatan mistis kearifan lokal Bali yang menyebabkan sistem sosial orang Bali bersifat religius. Kondisi dan situasi parhyangan, pawongan, dan palemahan memang melandasi tatanan kehidupan orang Bali. Misalnya, kondisi parhyangan mempunyai nilai kesucian lebih tinggi daripada pawongan dan palemahan. Kesucian parhyangan dipahami sebagai inti kebudayaan yang menjadi acuan tindakan dalam pawongan dan palemahan. Parhyangan dalam wujud bangunan suci mengitari Pulau Bali dari delapan penjuru mata angin. Seperti kelopak melindungi sari bunga, sembilan pura sungsungan jagat membentengi kesucian Bali, yaitu Batur, Besakih, Lempuyang, Goa Lawah, Andakasa, Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan Pusering Jagat.
Desa-patra dan kala-patra tri hita karana itu di desa pakraman menjadi kahyangan tiga di ulun desa, utama mandala. Permukiman di tengahing desa, madya mandala. Kuburan di teben desa, nista mandala. Di rumah tempat tinggal menjadi sanggah atau merajan di ulu pekarangan, utama mandala. Bangunan tempat beraktivitas di bagian tengah pekarangan berpusat pada natah, madya mandala. Halaman belakang dan telajakan di bagian luar pekarangan, nista mandala. Dalam ruangan misalnya, tempat kerja dan tempat tidur, utama madala ditandai dengan pelangkiran di ulu ruangan. Pada diri manusia menjadi kepala adalah utama mandala, badan adalah madya mandala, serta kaki dan tangan adalah nista mandala.
Kelenturan Desa-Kala-Patra
Transformasi desa-patra dan kala-patra dari makro hingga mikro, seperti gambaran di atas menunjukkan desa-kala-patra, bukan pola atau rumusan yang kaku. Desa-kala-patra sebagai cara pandang mengandaikan segala yang terikat pada ruang dan tergantung pada waktu tentu mengalami perubahan. Seperti keterikatan manusia dan makhluk lainnya pada tempat dan ketergantungannya pada masa ditandai dengan kelahiran, kehidupan, dan kematian. Selain sebagai cara pandang, juga desa-kala-patra sebagai prosedur menangani perubahan kondisi ruang dan situasi waktu. Prosedur yang menjadi landasan etis: merumuskan prinsip-prinsip tingkah laku baik yang dapat dipraktikkan dan dipertangungjawabkan secara rasional, seperti prinsip-prinsip moral tri kaya parisudha. Desa-kala-patra sebagai bingkai Susila memang bersifat universal.
Perbuatan susila sesuai dengan desa-patra dan kala-patra memang berlaku pada semua bangsa dan setiap zaman karena moralitas merupakan dimensi khas manusia. Apalagi agama Hindu mengajarkan manusia adalah pantulan Atman yang memiliki tujuan dan cita-cita tentang “yang baik”. Hanya saja ide tentang “yang baik” menimbulkan pergulatan antara desa-patra dan kala-patra karena “kondisi ruang yang baik” dan “situasi waktu yang baik” tidak pernah sepaham dan sepadan. Kondisi ruang yang bersifat fisikal-konkret dan situasi waktu yang berkarakter psikhis-abstrak memang tampak berlawanan, namun tidak pernah terpisah untuk menyatakan keberadaan. Segalanya berada di tempat tertentu dan pada suatu masa. Kesatuan ruang-waktu itulah landasan perkembangan peradaban.
Kelenturan sifat desa-patra dan kekenyalan karekater kala-patra memang memungkinkan perkembangan dan perubahan tatanan kehidupan. Kemungkinan ini banyak didemonstrasikan dalam sejarah peradaban manusia melalui babakan waktu, seperti zaman batu dan perunggu atau yuga dalam peradaban India Kuna. Selanjutnya, tatanan kehidupan mengalami perkembangan yang semakin pesat ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan inilah yang mendorong perubahan masyarakat dari tradisional menjadi modern. Modernisasi yang melahirkan globalisasi ditandai dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan tranportasi mendorong perubahan pemahaman mengenai ruang dan waktu. Ruang spasial dan waktu temporal mengalami pemampatan pemahaman hingga memunculkan beragam dunia, seperti dunia imajiner, dunia maya, dan dunia dongeng.
Modernisasi telah menggeser dan memperluas pemahaman mengenai desa-kala-patra, tri mandala, dan tri hita karana dari horizontal hingga vertikal. Misalnya, tampak pada rumah tempat tinggal dengan bangunan berlantai dua atau lebih. Utama mandala untuk parhayangan terletak di lantai paling atas. Globalisasi, bahkan ‘menghapus’ batas-batas ruang spasial dan sekat-sekat waktu temporal ditandai dengan semakin intensnya penciptaan ruang-waktu virtual. Malahan masyarakat mempersepsi dan menanggapi representasi realitas dunia-virtual, sebagaimana realitas sebenarnya. Misalnya, sosial media begitu banyak menampilkan komunitas semu, tetapi masyarakat memahami dan bereaksi, sebagaimana menanggapi komunitas kultural. Padahal reaksi atas kondisi ruang dan situasi waktu sebenarnya lebih menentukan suasana batin daripada pengalaman semu.
Kekaburan batas antara ‘realitas sebenarnya’ dan ‘realitas semu’ barangkali bermula dari kebiasaan menerima pikiran sebagai kenyataan. Pikiran hanya mencerminkan kenyataan, karena itu pikiran tidak nyata. Pada titik inilah modernisasi dan globalisasi yang lebih mengutamakan tatanan kerja pikiran mengalami kegagalan menangani masalah moral dan kemanusiaan. Krisis moral dan kemanusiaan, bahkan semakin kronis seiring dengan pesatnya perkembangan materi. Menghadapi krisis ini sekiranya, desa-kala-patra dapat mengambil peran mengembalikan kesadaran masyarakat kepada ruang-waktu sebenarnya. Keadaan-ruang-waktu sebenarnya, sebagaimana kenyataan yang dialami secara indrawi dalam komunitas kultural. Komunitas berbagi nilai yang dapat merangsang kemampuan pisik dan kesanggupan psikologis menciptakan reaksi simultan atas tatanan kehidupan yang dinamis.
Reaksi simultan atas kondisi dan situasi memang kelenturan Susila yang hendak dibangun dan dikembangkan kearifan desa-kala-patra. Dalam seharian misalnya, seseorang karena status-perannya mungkin saja berada pada banyak kondisi dengan situasi yang berbeda. Seperti di rumah, jalan raya, tempat kerja, tempat pertemuan, tempat makan, tempat rekreasi, dan tempat lainnya sesuai dengan kebutuhan status-perannya. Namun patut disadari mobilitas yang tinggi dan semakin luasnya komunikasi dapat menghancurkan afilisasi-afiliasi tradisional. Apalagi industrialisasi hadir dengan bentuk baru tentang kerja, konsumsi, dan rekreasi memotong lintasan komunitas kultural, karena itu melemahkan sanksi religius. Desa-kala-patra menyarankan bereaksi setimbang (desa-mawa-cara) antara keamanan kondisi, kenyamanan situasi, dan ketenteraman suasana hati.
Dharmaning Desa-Kala-Patra
Keamanan, kenyamanan, dan ketenteraman tidak pernah statis, tetapi berkembang seturut dengan perubahan kebutuhan, kepentingan, dan keperluan. Berdasarkan sifat dinamis ini desa-kala-patra menganjurkan memahami ruang dan waktu, bukanlah sebagai kekosongan dan kehampaan. Melainkan ruang dan waktu ber-keadaan: ruang-waktu hidup. Ruang-waktu, sebagaimana adanya yang mesti ditaati sekaligus harus diberontaki, sebagaimana keadaan kebutuhan, kepentingan, dan keperluan hidup. Takdir ruang-waktu tidak dapat dihindari, tetapi nasib ruang-waktu ditentukan reaksi (suasana hati pelaku). Misalnya, setiap orang memiliki takdir ruang-waktu kelahiran ataupun kematian sehingga tidak dapat memilih sendiri tempat, saat, dan perempuan yang melahirkannya atau tempat, saat, dan jalan kematiannya. Setiap orang memang mesti menerima takdirnya sendiri.
Berbeda dengan takdir hukum alam bersifat memaksa, setiap orang dapat membangun dan mengembangkan nasib ruang-waktu yang membentang antara titik kelahiran dan titik kematiannya. Nasib ruang-waktu mengimbau agar orang bekerja sama dengan ruang-waktu berdasarkan hukum moral: kebaikan. Pelaku tidak dibuat pasif, sebagaimana ketentuan takdir, tetapi nasib mendorong orang harus aktif menentukan azas-azas kebaikan demi perkembangan moralitas dan kemanusiaan. Desa-kala-patra menganjurkan, agar orang menggunakan nasibnya untuk mengubah ruang-waktu yang kontra produktif dan tidak sejalan dengan azas kebaikan. Sederhananya, hanya dalam kondisi benar dan situasi baik, orang dapat bereaksi seindah suasana hatinya. Untuk mengekspresikan keindahan itulah seluruh manfaat dan kegunaan memahami kearifan desa-kala-patra.
Untuk memperoleh manfaat kearifan desa-kala-patra, bahkan orang Bali melalui upacara mebayuh oton memahami pengaruh buruk dari takdir ruang-waktu kelahiran. Misalnya, Sapuhleger merupakan upacara mebayuh oton bagi orang yang lahir pada Wuku Wayang, berupa panglukatan tirtha wayang dari pementasan wayang lakon Sapuhleger. Upacara pebayuhan ini merupakan upaya religius memberdayakan nasib ruang-waktu untuk mengontrol pengaruh buruk takdir ruang-waktu. Artinya, ruang-waktu menentukan sifat manusia sebagai bawaan lahir. Kemudian, manusia secara aktif membangun dan mengembangkan kembali sifatnya sesuai dengan maksud dan tujuan hidupnya. Daya dorong dan daya tarik inilah membuat manusia lebih kreatif mengatur reaksi dan mengendalikan ekspresinya atas kekuatan ruang-waktu melalui jadwal kegiatan.
Jadwal kegiatan yang disusun berdasarkan wariga dan padewasaan tampaknya menjadi prosedur untuk menghubungkan ruang-waktu internal dengan ruang-waktu eksternal. Misalnya, menjadi cara efektif mengawasi kondisi pikiran, situasi perasaan, dan suasana hati serta mengontrol reaksi dan ekspresi yang ditimbulkan: menerima atau menolak kondisi-situasi lingkungan. Seperti diterangkan dalam Bhagawadgita, ruang dan waktu tercipta dari pertemuan purusa dengan prakrti. Dari pertemuan roh dan benda itulah timbul panas dan dingin serta suka dan duka. Kondisi panas-dingin serta situasi suka-duka merupakan bentuk desa-kala-patra yang menuntut reaksi bijaksana. Bukan sekadar cara rasional untuk menerima suka atau menolak duka. Melainkan upaya memaknai desa-kala-patra untuk menentukan cara bijaksana bereaksi.
Sederhananya, cara memaknai desa-kala-patra menentukan cara bereaksi dan cara bereaksi menentukan hidup manusia. Perbuatan manusia sendirilah yang menentukan kondisi dan situasi hidupnya. Seperti rumusan karmaphala: kondisi dan situasi hidup masa kini adalah akibat dari perbuatan masa lampau dan menjadi sebab bagi kondisi dan situasi hidup masa berikutnya. Pola ini menunjukkan manusia ‘menentukan sendiri’ takdirnya melalui caranya memaknai nasibnya. Untuk memaknai nasib (kehidupan) dalam Bhagawadgita disarankan, ”pusatkanlah pikiran pada kerja” dan “bekerjalah demi yadnya”. Bekerja dengan pikiran terpusat pada kerja hingga lupa pada hasil menyebabkan kerja menjadi yadnya. Menerima kehidupan sebagai yadnya berarti menyetujui desa-kala-patra adalah kewajiban (dharma), karena itu lakukanlah!
Kewajiban desa-kala-patra, baik disebabkan takdir (kemestian) maupun dikarenakan nasib (keharusan) sama mulianya untuk mengurangi sifat yang sempit mementingkan diri sendiri. Desa-kala-patra menyatakan kewajiban di sini dan saat ini. Manusia tidak bisa melakukan kewajibannya pada saat dan tempat lain, selain saat ini dan di sini. Kitab nasib bagian “saat lalu” sudah tertutup dan bagian “saat nanti” belum tiba, karena itu desa-kala-patra menyatakan pusatkan saja diri pada “saat ini” dan “di sini”. Memusatkan diri pada kewajiban “saat ini” dan “di sini” hingga melupakan kesalahan dan dosa “saat lalu” yang sudah berlalu dan melepaskan kecemasan dan kekawatiran akan “saat nanti” yang belum tiba.
Begitulah desa-kala-patra menyerukan: hiduplah hari ini di sini! Kemarin dan besok hanya kebiasaan pikiran memainkan ruang-waktu. Hiduplah apa adanya karena yang ada hanya hari ini di sini. Keluarlah dari kekangan pengalaman hari kemarin dan kungkungan kebingungan misteri hari esok. Lakukan saja kewajiban desa-kala-patra, sebagaimana tri hita karana menyarankan: menghargai alam, menghormati sesama, dan memuliakan Tuhan. Landasilah kewajiban dengan kesucian, sebagaimana ajuran tri kaya parisudha: berpikir benar, berucap jujur, dan berbuat baik. Perbuatan sebagai energi dinamis kosmis menarik realitas ke dalam gerakannya dan berputar dalam lingkaran hidup. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari gerakan ini karena di dalamnya manusia mendapatkan eksistensi.