Tawur Gunung

Tawur Agung Disela Erupsi Gunung Agung

I  W a y a n  S u k a r m a

Tawur Agung Kesanga, satu jenis bhuta yadnya dilaksanakan pada pengujung tahun saka untuk kemurnian alam. Tujuan upacara mahacaru itu mendorong kaki berhenti berjalan dan menarik tangan istirahat bekerja sehingga telinga mempunyai daya mendengarkan dan pikiran punya kesempatan merenungkan. Sejenak mendengarkan kata hati dan merenunginya lewat sayup-sayup kulkul tawur dan gemuruh tabuh tawur disela getaran erupsi Gunung Agung.           

Perayaan Nyepi dan Saraswati Saka 1940 bernuansa istimewa. Umat Hindu merayakan kedua hari suci itu bersamaan, Sabtu, 17 Maret 2018. Artinya, Saniscara, Kliwon, Watugunung bertepatan dengan pananggal ping pisan sasih Kedasa, eka sukla paksa waisak atau panca dasi krsna paksa caitra, sehari setelah Tilem sasih Kesanga. Nyepi, ‘yang sunya’ bersamaan dengan Saraswati, ‘yang ramya’. Sunya menandakan diskontinuitas, kehidupan berhenti dan beristirahat di terminal keheningan introspeksi diri. Ramya menandakan kontinuitas, kehidupan terus berlanjut mengikuti arus catur purusa artha. Kehadiran sunya dan ramya secara berurutan mengikuti waktu menandakan kenormalan. Sebaliknya, kehadiran sunya dan ramya secara bersamaan menandakan ketidaknormalan. Kehidupan tidak beraturan, disharmonis.                         
Harmonis dan disharmonis kehidupan terikat pada alam dan tergantung pada waktu, yaitu desa-kala-patra yang mendasari tindakan. ‘Momen kehidupan’ yang lebih universal diterangkan dalam Bhagawadgita bahwa segalanya datang, bertahan, dan pergi dalam kesatuan ilahi, jiwa, waktu, alam, dan tindakan. Dalam kesatuan ini tersimpan ketenangan dan guncangan yang dapat muncul silih berganti seiring dengan kesadaran akan kekuatan dan pengaruhnya terhadap diri dan kedirian. Seperti rangkuman Kalender Bali tentang tanda-tanda dan kekuatan alam, pengaruh benda-benda alam terhadap perwatakan manusia, dan pengaruh peristiwa-perstiwa alam terhadap hidup keagamaan. Relasi seperti itu sekiranya, menyisakan celah untuk mengintip gemuruh Tawur Agung yang disela getaran Erupsi Gunung Agung.
   
Kulkul Tawur
Tawur Agung tergolong Bhuta Yadnya, upacara mahacaru untuk kemurnian alam. Umat Hindu melaksanakannya pada pengujung Saka, Tilem Kesanga, sehari sebelum Nyepi, baik lingkup keluarga maupun negara. Proses upacaranya meriah karena melibatkan banyak orang dan peralatan, bahkan menyertakan suara dan bunyi-bunyian. Pelaksanaan dalam keluarga misalnya, melibatkan anggota keluarga menggunakan beragam peralatan upacara, antara lain banten caru, api takep, tetimplug, sampat, tulud, papah nyuh, dan kulkul. Semua pelaksana upacara mengelilingi areal pekarangan rumah tempat tinggal sambil membunyikan peralatannya dan bersorak, “Ai… Ai… Ai…”. Keramaian kulkul tawur keluarga sejak menjelang petang disambung pangrupukan kulkul tawur banjar dan desa hingga tengah malam, menjelang sepi.               
Keramaian kulkul tawur tahun ini disela getaran erupsi Gunung Agung. Menurut informasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), erupsi Gunung Agung terjadi sejak 21 Nopember 2017 Pukul 17.05 Wita hingga sekarang, bahkan sempat berstatus keadaan tanggap darurat level 4 (awas). Radius rawan erupsi mencapai 10 km, 28 desa, dan 46.777 orang sudah pergi meninggalkan desa. Getaran Gunung Agung disertai gema kemanusiaan telah menciptakan momen etis yang memekarkan rasa diri-manusia seiring dengan besarnya dukungan moral dan bantuan material untuk pos-pos pengungsian. Di antara getaran dan gema itulah sayup-sayup kulkul tawur menyela kata hati: “Berhenti dan dengarkanlah sejenak, istirahat dan renungkanlah”. 
Artinya, kesempurnaan hidup terikat pada proses kehidupan yang tergantung pada kualitas ‘jeda-kehidupan’: berhenti untuk mendengarkan dan istirahat untuk merenungkan. Behenti sejenak mentaati ketertiban alam dan istirahat mematuhi keteraturan waktu sekadar mendengarkan dan merenungkan kata hati. Inti manusiawi itulah pusat budaya yang memungkinkan manusia menjalin hubungan selaras dengan alam, sesama, dan Tuhan. Adil kepada alam, arif kepada sesama, dan sujud kepada Tuhan mencerminkan kuatnya kemauan menciptakan kesejahteraan semua makhluk, seperti disarankan Sarasamuccaya. Dari kemauan ini muncullah kemampuan melampuai prinsip-prinsip alam dan aturan waktu sehingga manusia sanggup memasuki dunia-imajiner. Perhatikanlah penciptaan ogoh-ogoh. Bentuk ‘makhluk ogoh-ogoh’ (konon) simbol bhuta-kala (alam-waktu) tidak sealami manusia.   

Tabuh Tawur   
Ogoh-ogoh tawur agung digambarkan menyeramkan dan menakutkan, seperti perut buncit, mata mendelik, mulut lebar, taring panjang, lidah menjulur, rambut acak-acakan, kuku tangan panjang, dan berdiri dengan satu kaki mencerminkan kekacauan bentuk alam. Pada akhir ngarupuk, ogoh-ogoh dibakar di kuburan diringi dengan sorak-sorai mencerminkan penghancuran kekacauan bentuk itu. Seperti digambarkan Bhagawadgita, “Pada malam hari segalanya ditidurkan kembali ke dalam pelukan prakerti dan pada pagi hari Weda, pengetahuan beserta kebudayaan dibangkitkan kembali”. Apabila kehancuran berakhir pada kebangkitan, maka setelah pembakaran ogoh-ogoh, selayaknya umat Hindu berharap akan kemunculan kehidupan baru. Tatanan kehidupan manusiawi yang diwarnai kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang, dan saling pengertian.
Harapan akan kehidupan yang tenang memang selayaknya muncul setelah kehidupan yang ramai berlalu. Seperti panggilan kepada matahari saat mecaru dengan mengitari pekarangan rumah, “Ai… Ai… Ai…” barangkali merupakan simbol pemujaan kepada Dewa Surya khas tawur agung. Bunyi kulkul bertalu-talu dan sambung-menyambung antarbanjar dan desa hingga tengah malam sekiranya, menjadi simbol penghancuran segala pasuaran desa dan pararem-pararem lainnya yang sudah usang dan tidak berguna lagi. Ketidakberaturan yang disimbolkan lewat ogoh-ogoh diarak sekaa teruna mengelilingi wilayah banjar dan desa barangkali hendak mengingatkan, kekacauan itu menyeramkan dan menakutkan. Begitulah tabuh tawur agung berkumandang menyela getaran erupsi Gunung Agung menciptakan ‘jeda-kehidupan’ yang menggetarkan sraddha-bhakti.
Sraddha-bhakti sebagai landasan hidup menentukan melodi, harmoni, irama, dan dinamika tabuh-kehidupan tetap selaras dengan vokal-kehidupan, seperti intonasi, artikulasi, dan tangga nada. Misalnya, getaran Gunung Agung menyela tabuh tawur agung dari saka ke saka menyisakan jeda-kehidupan, sejenak untuk menimbang tinggi-rendah nada-kehidupan beserta menghitung jarak nada-kehidupan agar tabuh-kehidupan tetap bergemuruh. Sebaliknya, tabuh tawur agung menyela getaran Gunung Agung menggantung nada-kehidupan memberikan jeda-kehidupan untuk menarik dan menyimpan napas, agar lagu-kehidupan tetap berkumandang. Begitulah sela antara tarikan dan hembusan napas terdapat jeda untuk mengawasi penyimpanan dan mengontrol pengeluaran napas. Pernapasan yang terawasi secara tertib dan terkontrol secara teratur menjadi sumber kekuatan, kesehatan, dan keselamatan.
 
Tawur Tutup Tahun
Kekuatan badan, kesehatan mental, dan keselamatan jiwa itulah tujuan akhir tawur agung kesanga yang berlangsung seharian. Pagi hari nyarunin wilayah banjar dan desa pakraman, sore hari nyarunin pekarangan rumah, dan petang hari ngerupuk hingga tengah malam. Sayup-sayup kulkul tawur hingga tengah malam – seperti outro, instrumen musik untuk mengakhiri sebuah lagu dengan lembut – untuk menghindari kesan mendadak dan janggal menjelang Nyepi. Irama kulkul tawur pun mengikuti rasa kantuk pemukulnya – apalagi menguras tenaga sejak sore hari mengarak ogoh-ogoh keliling desa. Tengah malam menjelang sepi, pemukul melupakan guru-lagu, panjang-pendek dan jarak nada kulkul. Itulah masa transisi, sela antara saka lama dan saka baru.
Sela yang memisahkan sekaligus menyatukan akhir saka dengan awal saka. Sela antara Tawur Agung dan Nyepi, sela antara ramya dan sunya. Ramya tawur berlalu, saka pun berganti seiring terbitnya sunya matahari Nyepi. Hanya saja teka-teki erupsi Gunung Agung belum tertebak, kapan berhenti dan berakhir – PVMBG mencatat, dua abad terakhir erupsi sebanyak lima kali, yaitu 1808, 1821, 1843, 1963, dan 2017. Erupsi disela tawur ataupun tawur disela erupsi rupanya, sudah cukup menguras perhatian moral dan kemanusiaan. Saya pun berharap dan berdoa, semoga tawur agung kesanga yang sekarang tidak hanya menutup tahun saka, tetapi juga menutup getaran dan mengakhiri erupsi Gunung Agung.       
       












               


BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...