Pendidikan Hindu

Menyalakan Harapan Pendidikan Hindu

I  W a y a n  S u k a r m a

Harapan mengandung daya juang, karena itu harus dinyalakan, dikobarkan. Apalagi harapan pendidikan yang mengemban visi-misi kehidupan memang harus selalu dikobarkan. Betapa sulitnya membayangkan, bila pendidikan Hindu kurang semangat dan tidak bergairah. Denyut nadi kehinduan pun akan melemah, letih dan lesu kian ringkih. Untuk membangun harga diri dan kebanggaan akan kehinduan sekiranya, menjadi letak penting dan relenvansi dari menyalankan harapan pendidikan Hindu.     
Pendidikan merupakan aktivitas manusiawi (actus humanus). Manusia yang menggagasnya, manusia yang menyelenggarakannya, melibatkan interaksi manusia, dan untuk kebutuhan manusia. Gagasan tentang pendidikan muncul dari keyakinan bahwa pendidikan membantu perkembangan potensi bawaan lahir sehingga berfungsi maksimal. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya serius dan sungguh-sungguh membangun lingkungan mendidik, yaitu dengan menciptakan suasana belajar dan mewujudkan proses pembelajaran. Harapannya, lingkungan dapat mendorong berlangsungnya pergaulan mendidik, berupa interaksi antara ‘orang yang sudah dewasa’ dan ‘orang yang belum dewasa’. Orang yang sudah dewasa, baik pendidik maupun tenaga kependidikan secara sadar hendak membantu orang yang belum dewasa, agar mencapai kedewasaannya. ‘Menjadi dewasa’ inilah ujung dari harapan pendidikan.

Kata “dewasa” (Indonesia) berarti kematangan jasmani atau “devasya” (Sanskerta) berarti mempunyai sifat-sifat dewa, daivi-sampat. Orang yang sudah dewasa memiliki ciri-ciri kematangan jasmani dan mempunyai sifat mulia yang dalam Sarasamuccaya disebut keutamaan sebagai manusia. Mengembangkan keutamaan manusia melalui pewarisan sifat-sifat dewa barangkali menjadi harapan pendidikan Hindu. Upaya pewarisan yang sanggup membantu umat Hindu mengembangkan potensi kehinduannya, baik pikiran, kehendak, perasaan, maupun sugesti. Dengannya umat Hindu mencapai kematangan dan kedewasaannya sehingga mampu bertanggung jawab atas kebebasannya: lahir dari rahim dharma, hidup menjadi anak dharma, dan mati mewariskan dharma. Dharma itu kebebasan, yang membebaskan manusia berkehidupan jagadhita dan moksartham, hidup sejahtera dan bahagia.   
 
Kehinduan Manusia Hindu
Manusia mengalami berbagai peristiwa sepanjang garis hidupnya, yaitu antara titik kelahiran dan titik kematian. Siwatattwa meyakini bahwa sepanjang garis hidup merupakan kekuasaan Wisnu, sedangkan titik kelahiran merupakan kekuasaan Brahma dan titik kematian menjadi kekuasaan Siwa.  Artinya, manusia dan kehidupannya bernilai ketuhanan. Upanisad pun memandang manusia sebagai refleksi dari Atman, yakni Brahman itu sendiri. Bhagawadgita menyerukan, “Aku adalah Iswara dari semua makhluk”, manusia hanyalah Iswara. Bukan hanya manusia dan pengalamannya, bahkan ruang yang ditinggali bernilai ketuhanan. Seperti keterangan dewata nawasanga, dewa penguasa penjuru mata angin. Kepadanyalah doa-doa dipanjatkan, “Om ano bhadrah krtavo yantu visvatah”, semoga pikiran baik datang dari segala penjuru.

Harapan dari doa itulah perintah, manusia mesti berpikir dengan mempertimbangkan arah segala penjuru, berpikir dari segala sudut pandang. Biasanya melalui pikirannya, manusia memasang jarak kritis terhadap dunia kehidupan. Pikiran menyebabkan manusia berjarak dengan pengetahuan dan pengalamannya sendiri, bahkan membuat pengetahuan tidak berhubungan langsung dengan tindakan. Keberjarakan ini menyebabkan manusia dapat bertindak berbeda dan bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Untuk mengatasi kesenjangan antara pikiran dan kenyataan dan/atau antara pengetahuan dan tindakan inilah manusia membutuhkan pendidikan, seperti saran trikaya parisudha. Sederhananya, pikiran suci menurunkan ucapan suci dan menentukan tindakan suci. Artinya, orang Hindu mesti dan harus “berpikir dharma, berkata dharma, dan berbuat dharma”. 
Trikaya parisudha itulah inti dari seluruh tujuan pendidikan Hindu. Kesetiaan perbuatan kepada ucapan dan pikiran merupakan landasan manusiawi untuk membangun keselarasan dengan lingkungan. Dengan begitu, pengetahuan tattwa, pengalaman susila, dan kebiasaan acara membantu perkembangan potensi bawaan lahir sehingga umat Hindu tetap selaras dengan lingkungannya, baik alam, sosial, maupun budaya. Selain pengetahuan, juga pendidikan Hindu mengembangkan cinta dan kasih sayang kepada sesama; sikap adil dan arif kepada alam; berperilaku jujur dan setia mengabdi kepada Tuhan. Harapannya, umat Hindu tidak merendahkan dan menghina diri sendiri. Melainkan hidup harmonis dengan semesta lingkungan, sebagaimana tujuan trihita karana, yaitu terwujudnya harmoni parhyangan, pawongan, dan palemahan.       

Likungan dan Pergaulan Dharma
Hidup harmoni menandakan manusia berjarak dengan lingkungannya, karena itu lingkungan dan pergaulan turut menentukan dan membentuk manusia. Pandangan pendidikan ini beranggapan, manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan optimal dan berfungsi maksimal, bila diberikan lingkungan dan pergaulan yang relevan. Lingkungan dan pergaulan bagaikan lahan dan pupuk yang membantu dan mendukung perkembangan potensi bawaan sehingga fungsional dalam kehidupan, baik individual maupun sosial. Artinya, pendidikan Hindu mempunyai tanggung jawab menciptakan ‘lingkungan dharma’ dan mewujudkan ‘pergaulan dharma’, agar umat Hindu dapat mengembangkan potensi kehinduannya. Dengannya, menimbulkan kebanggaan dan semangat mengendalikan diri dan mengatur tingkah laku melalui pemahaman mengenai sifat-sifat bawaan, berupa satwam, rajas, dan tamas.


Untuk memahami sifat-sifat bawaan itulah umat Hindu membutuhkan lingkungan dharma dengan suasana yang mendukung proses perubahan dan penyesuaian diri misalnya, abhyasa dan wairagya dalam versi Yoga. Selain menyatukan antara pengetahuan dan tindakan, juga lingkungan dharma menjadi arena pendidikan yang menyatukan manusia sebagai subjek (pelaku) dan objek (sasaran). Manusia memang biasa memerankan diri sebagai pelaku pendidikan (subjek pendidikan) berusaha mendidik dirinya (sasaran pendidikan) untuk memperbaiki pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya. Artinya, lingkungan dharma memiliki suasana tattwa untuk memahami widhisraddha dan widhitattwa; susila untuk memahami interaksi manusia dengan sesama, alam, dan Tuhan; acara untuk memahami tradisi dan adat istiadat, desa, kala, patra.

Dalam lingkungan dharma itulah pergaulan dharma dapat berlangsung secara tertib, teratur, dan nyaman. Suasana itu memang diperlukan dalam pergaulan yang memiliki visi dan mengemban misi dharma. Visi dan misi pergaulan ini menggambarkan interaksi pendidikan berlangsung dalam lingkup dharma, seperti prinsip dan hukum kewajiban. Dharma merumuskan bahwa hidup adalah kewajiban. Semua bagian kehidupan mengandung kewajiban yang memaksa dan memerintah untuk dilaksanakan. Misalnya, panca yadnya memberikan kewajiban kepada dewa, pitra, resi, bhuta, dan diri sendiri. Artinya, apabila hidup adalah kewajiban dan kewajiban adalah yadnya, maka tindakan, karma adalah yadnya. Hasil dari yadnya adalah kemurnian, kesucian sehingga tidak menjerat pelaku ke dalam tindakan.

Yadnya: Pendidikan Pembebasan
Yadnya memang membebaskan. Bhagawadgita menyebutkan, selain melalui disiplin pikiran, juga yadnya dapat diupayakan melalui disiplin tindakan. Pendidikan pembebasan merupakan upaya pendisiplinan yang bertujuan mengembangkan ‘kemampuan pikiran’ dan membangun ‘kesanggupan tindakan’.

Membulatkan pikiran menyatukan pemahaman dan menguatkan tindakan tanpa pamrih, yadnya pengetahuan dan perbuatan. Ketika pemahaman menyatu dengan tindakan, pembicaraan pun terhenti, tidak ada lagi kata-kata yang dapat diucapkan. Begitulah insan terpelajar yang berbudaya tidak lagi membedakan bidang intelektual dengan bidang moral karena kehidupan dipandang sebagai kewajiban. Melaksanakan kewajiban yang sudah ditentukan menjadi jalan lapang menuju kebebasan. Sisanya, berupa ampas-ampas yadnya tetap berguna untuk menyangga keberadaan jasmani, seperti hujan menyuburkan bumi.

Sisa yadnya, berupa upah atau imbalan, uang atau materi lain dari melaksanakaan kewajiban tidak lagi mengikat ke dalam dosa. Sisa yadnya inilah berguna menciptakan jagadhita, mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan. Dengannya, kehidupan sakala menjadi bercahaya menerangi pikiran untuk menyingkap dan mengungkap kebenaran, kebaikan, dan keindahan duniawi. Dunia kehidupan pun menjadi tempat nyaman dan menggairahkan untuk ditinggali bersama. Sebaliknya, hasil yadnya, berupa kemurnian dan kesucian berguna menciptakan moksartham, mewujudkan kebahagiaan dan kesempurnaan. Dengannya, kehidupan niskala menjadi bersinar menerangi jiwa untuk menyingkap dan mengungkap inti kasih, kemurnian, dan kesucian. Dunia kehidupan niskala pun menjadi tempat tenang dan damai bagi jiwa mewujudkan keselamatan, kebebasan.         
     


BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...