Hindu di Tahun Politik

Hindu di Tahun Politik 2018
Memilah & Memilih

I  W a y a n  S u k a r m a

Tahun politik ditandai pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah menorehkan catatan tersendiri dalam kehidupan bersama. Kadangkala mengenai kegembiraan, namun lebih sering kesengsaraan, seperti guncangan budaya dan kemerosotan ekonomi. Kesengsaraan tersebut mengimbau partisipasi umat Hindu mengurangi akibat lanjutan yang mungkin ditimbulkan. Setidaknya, dapat memilih berdasarkan pertimbangan akal budi, bukan karena motivasi kebutuhan pribadi. Agama Hindu pun mempunyai kitab-kitab politik yang sekiranya, relevan menjadi pedoman untuk membuat pertimbangan, seperti Nitisastra dan Arthasastra.                             
   
Rangkaian preposisi “di” dengan frasa “Tahun Politik 2018”, memfungsikan waktu sebagai tempat barangkali terkesan tidak normal dan jauh dari formal. Kesan ini harap diterima sebagai permakluman, seperti kebiasaan memaklumi berbagai peristiwa keseharian. Politik yang merangkai keseharian melalui keformalan untuk menciptakan kenormalan, ternyata tidak selalu mesti berjalan normal dan tidak harus menempuh jalur formal. Politik memang kebiasaan sederhana yang rumit. Kebiasaan merangkai kebenaran (pikiran) dengan kejujuran (ucapan) dan kebaikan (tingkah laku) misalnya, tampaknya begitu sederhana, ternyata membutuhkan berbagai pertimbangan. Baik dalam kehidupan individual maupun sosial sekurangnya politik mempertimbangkan ketersediaan sarana dan prasarana, kepastian aturan dan hukum, serta kejelasan komitmen dan tujuan. 
Pertimbangan tersebut penting berkaitan dengan pemahaman mengenai politik sebagai tata pengaturan kehidupan bersama, strategi mewujudkan kepentingan kelompok, dan seni mewujudkan kemungkinan. Walaupun dalam keseharian kita lebih banyak menyaksikan politik sebagai taktik dan intrik mewujudkan kepentingan kelompok, tetapi politik mempunyai tradisi berurusan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Negara sebagai teritorium bangsa merupakan arena politis menjadi tempat menata interaksi sosial, mendistribusikan peluang-peluang hidup, dan membagikan sumber-sumber produktif. Bangsa sebagai kekuatan politis merupakan sekumpulan orang mempunyai tanah, darah, sejarah, dan bahasa yang sama. Sederhananya, politik merangkum perbedaan pandangan hidup, pandangan dunia, sistem makna, dan sistem nilai menjadi komitmen dan tujuan hidup bersama.               

Politik Hindu 
Keamanan dan kenyamanan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menjadi idola dan cita-cita politik banyak didemonstrasikan dalam Purana dan Itihasa, seperti kisah Ramayana dan Mahabharata. Kedua kisah itu melukiskan niti sebagai upaya membangun masyarakat damai, bangsa sentosa, dan negara sejahtera. Kata “niti” berarti memimpin, membimbing, dan mendidik merumuskan tata cara bergaul, mendorong kerja sama, dan mengembangkan cinta kasih. “Niyate ayana iti nitih”, ajaran niti membimbing manusia memuliakan harkat dan martabatnya: menuju ke arah kebaikan, jalan terang, cinta kasih, dan bakti kepada Tuhan. Kumpulan kesusastraan tentang niti disebut Nitisastra, seperti ajaran politik dalam kitab Nitisastra, Nitisara, Rajadharma, Rajaniti, Sukraniti, Dhandaniti, dan Arthasastra. 
Arthasastra mengajarkan tata cara membangun negara sejahtera berdasarkan kewajiban pemimpin, seperti ajaran Rajadharma, Sukraniti, dan Rajaniti serta berdasarkan hukum, seperti ajaran Dhandaniti. Selain tata cara mendapatkan, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan, juga Arthasastra mengajarkan hubungan politik dan kekuasaan dengan tujuan hidup manusia: catur purusa artha. Hubungan ini menegaskan, agama Hindu lebih berorientasi pada kehidupan di dunia ini kini daripada kematian di dunia lain nanti. Agama menjadi politik mencapai tujuan hidup. Politik meliputi upaya serius dan sungguh-sungguh untuk mewujud-nyatakan hasrat dan komitmen (kama); mengusahakan dan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia (artha); menegakkan aturan dan hukum (dharma); dan mencapai kebebasan sempurna (moksa).
Simaklah keterangan Santi Parwa berikut, ”Ketika tujuan hidup manusia (dharma, artha, kama, dan moksa) semakin jauh. Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politiklah semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama diikatkan, pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada politiklah dunia terpusatkan”. Kita dapat mengandaikan pesan Bhagawan Bhisma kepada Yudhistira tersebut politik bagaikan kendaraan, jalan yang harus ditempuh, rambu-rambu lalu lintas, kompas penunjuk arah, dan tujuan perjalanan hidup. Politik menjelaskan dan menerangkan tujuan hidup yang mendasari pengelompokan masyarakat. Seperti kelompok kama yang mendorong produksi, kelompok artha mengusahakan kekayaan, kelompok dharma menegakkan hukum, dan kelompok moksa menjamin kemerdekaan dan kebebasan.
Ketegasan pembagian masyarakat yang mengimplikasikan ketertiban dan keteraturan sosial karena kejelasan status dan peran sosial menyebabkan politik menjadi benteng berlindung. Politik menyelamatkan segala bentuk kegiatan bersama sehingga produktif bagi perkembangan agama dan pengetahuan. Politik menjadi kekuatan dan andalan kegiatan agama, baik bagi yang mengusahakan jalan pengetahuan (jnana-marga), pelayanan (bhakti-marga), perbuatan (karma-marga), maupun pengasingan diri (raja-marga). Politik mengendalikan kekuasaan sosial yang menyatukan catur-marga menjadi pengetahuan kehidupan yang utuh dan padu: ’ilmu kehidupan’. Menerima politik sebagai ilmu kehidupan, maka pada politiklah dunia terpusatkan. Bhisma menegaskan, ”Manakala politik telah sirna, Weda pun sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia terabaikan”.
Menegakkan kewajiban manusia (dharma) merupakan alasan utama Kautilya Arthasastra merumuskan hubungan antara politik dan negara sebagai hubungan antara cara dan tujuan. Proses politik menjadi pengejawantahan dharma: inti Weda. Pengejawantahan dharma untuk mewujudkan tujuan negara, yaitu kedamaian, kemandirian, kesejahteraan, dan keadilan. Dharma menjadi aturan dan hukum serta segala bentuk regulasi negara dalam mewujudkan kedamaian. Dharma menjadi pemberdayaan, upaya negara mengembangkan sumber daya manusia dalam mewujudkan kemandirian. Dharma menjadi pembangunan, upaya negara mengusahakan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial, dan transformasi budaya dalam mewujudkan kesejahteraan. Dharma menjadi pelayanan, upaya negara memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mewujudkan keadilan. Negara menjadi simbol dharma yang menjamin kebebasan individu.               

Tahun Politik
Negara menjamin kebebasan warganya dalam usahanya mewujudkan kebaikan bersama; mendapatkan, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan; dan terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Kebebasan politik warga negara Indonesia akan didemontrasikan pada pemilihan beberapa kepala daerah serentak pada 2018. Tahun ini menjadi tahun politik bagi bangsa Indonesia menyusul tahun berikutnya, pemilihan legistatif dan presiden pada 2019. Malahan tahapan Pemilu 2019 sudah berlangsung sejak Oktober 2017 pendaftaran partai politik, Februari 2018 penetapan partai politik, Juli 2018 pengajuan calon anggota legistatif, Agustus 2018 pengajuan calon presiden, 17 April 2019 pemungutan suara, Mei 2019 penetapan hasil pemilu tingkat nasional, dan Agustus 2019 pemilihan presiden putaran kedua.
Pengalaman pemilu terdahulu menunjukkan, tahun politik cenderung menimbulkan situasi ketidakpastian dan kecemasan lainnya karena masyarakat tidak mudah menduga polarisasi politik. Situasi ini dapat saja menimbulkan gangguan keamanan dan kenyamanan yang berpengaruh serius terhadap sektor perekonomian. Padahal perekonomian terutama pertumbuhan ekonomi merupakan kalimosadha politik, bahkan senjata andalan modernisasi menciptakan kemakmuran. Pertumbuhan ekonomi seolah-olah menjadi satu-satunya tolok ukur modernisasi yang dinyatakan dengan angka-angka, seperti indeks pembangunan manusia, indeks kualitas hidup, pendapatan perkapita, struktur ekonomi, urbanisasi, dan angka tabungan. Namun angka-angka pencapaian modernisasi cenderung menganulir nilai-nilai budaya dan hakikat manusia. Pertumbuhan ekonomi yang berujung pada penimbunan modal mengabaikan perkembangan harkat dan martabat manusia. 
Akibatnya, politik melalui modernisasi ataupun ketergantungan yang berhasil mewujudkan kemakmuran, ternyata sukses menciptakan kelompok dan orang-orang kaya harta yang miskin budi pekerti. Perhatikanlah kasus pencurian uang negara, baik di departemen maupun parlemen. Pelaku atau koruptornya terdiri atas kelompok dan orang-orang yang sukses mengelola kemakmuran demi kelompok dan dirinya sendiri. Padahal karakteristik politik adalah altruistik, bukan egoistik. Dalam rangka mengembangkan karakteristik politik ini sekiranya, kelas menengah Hindu dapat turut serta mengambil tanggung jawab keumatan lebih serius dan sungguh-sungguh. Selain mengembangkan akses ke dalam tatanan negara, juga dapat berpartisipasi membangun sumber daya dan budi pekerti manusia Hindu. Misalnya, mengembangkan lembaga pendidikan Hindu.
Alternatif, berupa pengembangan pendidikan saya tawarkan karena pembangunan sumber daya manusia serta pembentukan akhlak mulia dan budi luhur hanya mungkin dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan Hindu merupakan upaya serius dan sungguh-sungguh membentuk manusia terpelajar dan berbudaya Hindu. Upaya lembaga pendidikan Hindu membentuk manusia dewasa dan matang memang masih membutuhkan dukungan moral dan bantuan material dari berbagai pihak terutama kelas menengah Hindu. Misalnya, kelompok terdidik berpartisipasi meningkatkan kualitas pendidikan, kelompok pengusaha menjadi penyandang dana pendidikan, dan kelompok penguasa berpartisipasi merumuskan kebijakan pendidikan, seperti kesempatan, pemerataan, dan demokrasi pendidikan. Kerja sama dalam mengembangkan pendidikan Hindu inilah sesungguhnya suatu bentuk tanggung jawab politik Hindu.                     
Apalagi sistem politik demokratis bertumpu pada pengetahuan, otonomi, kesetaraan, dan kebebasan warga negara memang membutuhkan manusia terdidik untuk menerjemahkan nilai-nilai kemandirian dalam kebersamaan menjadi aturan dan institusi yang produktif bagi kesejahteraan bersama. Manusia terdidik dengan etos hidup unggul, seperti logis dan jujur, disiplin dan rajin, kerja keras dan kerja sama mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Sarasamuccaya mengingatkan, “Usahakanlah kesejahteraan makhluk hidup itu, segala pekerjaan anda akan menjadi tanpa guna, jika melalaikan kesejahteraan makhluk lainnya, meskipun anda melakukan pekerjaan berat atau ringan usahakanlah selalu kesejahteraan bagi yang lainnya”. Membangun karakter altruistik inilah peran penting pendidikan Hindu dalam menyongsong tahun politik.

Memilah & Memilih
Altruistik memang karakter politik. Partai politik melalui ideologi dan cita-cita politiknya mengungkap keluhan dan menangkap kebutuhan masyarakat kemudian, merumuskannya menjadi program kerja partai. Program kerja partai menjadi kebijakan parlemen setelah melewati proses musyawarah selanjutnya, menjadi kebijakan departemen dan birokrasi pemerintahan lainnya. Inilah intinya politik, upaya menyelesaikan urusan banyak orang dan upaya mewujudkan kemungkinan-kemungkinan melalui kerja sama yang setara dan adil. Hanya saja dalam keseharian politik praktis lebih banyak mendemonstrasikan politisasi politik, berupa politik sebagai pertarungan kepentingan yang tidak manusiawi sehingga merugikan kehidupan bersama. Politisasi politik membuat proses politik, seperti pemilihan kepala daerah menjadi arena liar untuk menebar fitnah dan kebohongan.
Tahun politik yang idealnya menjadi kesempatan introspeksi dan retrospeksi politik, agar masyarakat fokus pada kredibelitas partai-partai politik dan keterwakilan kepentingannya, malahan menjadi ajang bersiasat, tipu muslihat, kelicikan, dan manuver culas lainnya. Politik pun menjadi mesin produksi fanatisme yang menyelimuti kehidupan bersama hingga berkabut dan kian gelap. Telat mikir, kepicikan, keculasan, kemalasan bersikap kritis, dan kepatuhan buta berkembang pesat menghiasi ruang-ruang politik karena ketundukan buta dianggap sebagai watak mulia, kutamaan, dan bijaksana. Fanatisme ideologis pun semakin mekar dengan dukungan suara mayoritas yang dianggap kebenaran mutlak. Akhirnya, politisasi politik menempatkan politikus-politikus(an) pada singgasana kekuasaan kemudian, menelorkan kebijakan konyol yang merugikan banyak orang. 
Politisasi bidang-bidang kehidupan memang lebih banyak menyisakan kehancuran tatanan sosial dan budaya. Apalagi politisasi bidang ekonomi dan pendidikan – pondasi kehidupan bersama – cenderung melahirkan lebih banyak ‘kalarahu’ dan ‘manusia robot’. Politisasi bidang ekonomi yang menciptakan ekonomi neoliberalisme – yang mengandalkan pasar bebas – membuat orang kaya semakin kaya raya dan orang miskin-melarat bertambah sekarat. Pada gilirannya panggung politik dijejali pelakon-pelakon yang rakus-serakah dan tunduk-patuh buta pada induk semangnya. Ketika jumlahnya berlimpah dan banyak orang mengafirmasi suara mayoritas sebagai kebenaran (suryaksiyu), maka cara hidup beradab pun punah. Dalam rangka mencegah kengerian ini semakin mencekam kehidupan bersama sekiranya, penting dan relevan meningkatkan peran pendidikan Hindu.
Pendidikan berbasis agama Hindu sebagai upaya mengembangkan akal-budi, membangun mental-spiritual, serta moral-religus. Akal sehat membentuk pribadi-pribadi berpikiran jernih untuk membedakan benar-salah atau baik-buruk dan budi luhur membentuk pribadi-pribadi bijaksana memilih ‘yang-benar’ ataupun ‘yang-baik’. Mental sehat membentuk pribadi-pribadi normal dan spiritual dewasa membentuk pribadi-pribadi mengutamakan kesejahteraan dan kebahagiaan rohaniah daripada kesenangan dan kepuasan material. Moral matang membentuk pribadi-pribadi bertanggung jawab dan religius membentuk pribadi-pribadi dengan rasa agama. Berkembangnya kapasitas manusiawi membuat kita dapat memandang dunia kehidupan yang lebih besar daripada yang kita tinggali sekaligus dapat berhasrat terhadap tujuan dan makna pemimpin kehidupan. Hasrat yang memungkinkan kita memilih aspirasi kehidupan yang beragam.
Setelah kapasitas pemilih terbentuk, proses politik pun berlanjut pada pemilihan pemimpin. Kitab-kitab niti merumuskan, pemimpin memiliki kompetensi, kepekaan, kepedulian, dan integritas kepribadian. Dalam Arthasastra pemimpin disebut svami dan pemimpin ideal disebut rajarshi yang mempunyai kualitas kelahiran mulia, cerdas, arif, gagah berani, dan gesit. Rajarshi itu pemimpin berkarter raja dan rshi, yaitu ksatrya bagi rakyatnya dan brahmana untuk dirinya. Seperti seorang ayah bekerja keras untuk kesejahteraan anak-anaknya tidak berharap upah dan imbalan, seperti brahmana. Kebahagiaan anak-anaknya itulah kesenangan seorang ayah. Begitulah pemimpin yang layak dan pantas dipilih adalah orang yang mengutamakan kesejahteraan dan kebahagiaan yang dipimpinnya, bukan mendahulukan kesenangan dirinya sendiri.     

Soliditas Umat
Politik sebagai proses merupakan tindakan memilah dan memilih. Memilah adalah upaya mengurai mutu yang dipilih mengenai kemampuan dan kesanggupannya untuk menjalankan misi kehidupan bersama. Memilih adalah upaya menentukan dan menetapkan pilihan berdasarkan tindakan memilah sebagai bagian dari pertimbangan akal-budi. Artinya, mutu proses politik terikat pada mutu pemilih dan tergantung pada mutu yang dipilih. Mutu pemilih menentukan mutu pilihan selanjutnya, mutu pilihan menentukan mutu kehidupan bersama. Dalam sistem politik demokratis tanggung jawab pemilih menentukan kelangsungan hidup bersama. Salah memilih dalam sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat yang mengutamakan kepentingan dan kebutuhan pemilih akan ditanggung bersama selama satu periode masa pemilihan.
Daripada salah memilih dan menyalahkan yang dipilih sekiranya, lebih baik memperbaiki mutu pemilih, toh yang dipilih, juga berasal dari pemilih. Tawaran tersebut mengimplikasikan terbukanya kesempatan, pemerataan, dan peningkatan mutu pendidikan Hindu umumnya dan pendidikan politik khususnya. Apalagi diplomasi kuantitas tampaknya kurang memadai sehingga peningkatan kualitas sumber daya manusia Hindu menjadi pilihan rasional. Diplomasi budaya lebih memadai untuk mendapatkan peluang-peluang hidup dan sumber-sumber produksi. Inilah alasan, pentingnya mengimbau nurani kelas menengah Hindu untuk bersama-sama merawat rumah sakral kita yang bernama agama Hindu. Anggota keluarga memang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjaga ketenangan dan kedamaian keluarga sehingga merasa nyaman dalam kompetisi kehidupan.
Kedamaian dan kenyamanan akan terwujud, bila anggota keluarga mau hidup sederhana, seperti diungkapkan ketua Parisada sebelum Talkshow Inspiratif Bintang Tiga di Kantor Redaksi Wartam. “Kita hanya butuh satu saja, tak lebih. Walaupun mempunyai banyak, kita butuh satu istri, menempati satu rumah, memakai satu kamar tidur, mengendarai satu mobil, dan makan hanya satu piring”. Dalam hati saya berkata, “Hidup memang Satu (1), mewujud menjadi Banyak (0), tetapi kita hanya butuh ‘Yang Yatu’, bukan ‘Yang Sepuluh’, apalagi ‘Yang Nol’”. Bersatu dengan ‘Yang Satu’ berarti hutang hidup sudah lunas, bebas dari karmaphala. Kebebasan inilah inspirasi bersatu menjadi kekuatan sosial yang produktif bagi kemanusiaan.           







BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...