I Wayan Sukarma
Perang suci itu yoga catur brata. Melalui jalan yoga prajurit menyelusup sunyi dan menyelinap senyap hingga menemukan tenang, hening. Dalam ruang hening beban hasil kerja badan, perolehan pikiran, kesan pengindraan, dan kesenangan perasaan ditumpahkan, dipersembahkan. Harapannya, lahir kembali menjadi prajurit suci dan dengan misi suci dalam perang suci tahun Saka berikutnya.
Nyepi itu hari perang suci? Pertanyaan ini terkesan main-main sekaligus mengerikan. Kata “perang” memang menimbulkan kesan ngeri, apalagi dalam benak para pecinta damai. Agama mengemban misi damai mustahil mengajarkan perang, apapun bentuknya termasuk perang suci. Agama Hindu pun tidak mengajarkan perang, apalagi menganjurkan berperang. Hanya rumusan ajarannya menggunakan ilustrasi perang. Bukan hanya Itihasa mengisahkan peperangan dunia manusia di Bumi, bahkan Purana mengisahkan peperangan dunia dewa di Surga. Kisah peperangan antara raksasa dan dewa hanya untuk menunjukkan sisi gelap tetap menjadi bagian integral dari sisi terang kehidupan. Integrasi kedua sisi kehidupan itu dalam diri, berarti menang dalam ‘perang suci hari Nyepi’.
Strategi Perang
Hari Nyepi sungguh gelap, setelah terang hari Tawur Agung dan sebelum benderang hari Ngembak Geni. Kegelapan hari Nyepi datang dari disiplin catur brata, selain dari efek Tilem Kesanga. Kena Upanisad menganalogikan gelap adalah sifat raksasa, manifestasikan ‘pikiran yang lebih rendah’; sedangkan terang adalah sifat dewa, manifestasi ‘pikiran yang lebih tinggi’. Analogi ini bersandar pada anggapan, kehidupan adalah pilihan dan karenanya, kehidupan adalah perang – perjuangan bertahan hidup. Nyepi melukiskan hidup keagamaan, karena itu hari Nyepi adalah perang suci. Untuk memenangkan perang suci dan memperoleh hadiah moksa sepenuhnya tergantung pada politik kehidupan, seperti strategi mengendalikan kama, memanfaatkan artha, dan kesungguhan melaksanakan dharma.
Politik kehidupan telah menggambarkan perang suci, bukanlah perang antara raksasa dan dewa ataupun gelap-tamas melawan terang-satwam, melainkan perjuangan suci untuk menentapkan pilihan hidup. Entah memilih sifat raksasa ataupun sifat dewa sepenuhnya menjadi ketetapan pribadi dengan mempertimbangkan ajaran agama dan memperhatikan regulasi lembaga agama. Kualitas ketetapan pribadi mencerminkan kualitas keberagamaan. Kualitas perang suci hari Nyepi setidaknya tampak dari intensitas aktivitas Pecalang. Bila Pecalang tampak sibuk, berarti ketetapan hati belum khusuk dan kualitas perang pun buruk. Pemanfaatan catur brata belum sepenuh hati hingga tuntas menenteramkan gejolak emosi. Masih terdapat keraguan memihak ‘pikiran yang lebih tinggi’ atau mengikuti jalan ‘pikiran yang lebih rendah’.
Kena Upanisad melukiskan, orang yang mengikuti jalan ‘pikiran yang lebih rendah’ hanya dapat menyatakan yang diketahui dan yang tidak diketahui. Ia tidak dapat mengetahui Spirit yang mendorong pikirannya dapat berpikir sehingga tetap terasing dari Kualitas yang hidup dalam proses berpikir. Sebaliknya, ‘pikiran yang lebih tinggi’ dapat membantunya melepaskan pikirannya dari pengaruh sifat bendani. Agni membantu pikirannya keluar dari keengganan membedakan yang benar dengan yang salah. Wayu mendorong pikirannya terus berjuang memilih yang benar daripada yang salah. Indra menenangkan pikirannya menjadi harmonis dan memberikannya perasaan kuat sebagai raja yang dapat mengatasi konflik. Ia pun menang perang, tetap damai dalam konflik batin.
Persiapan Perang
Dari sudut pandang konflik, dunia kehidupan berlangsung dalam ketegangan abadi. Tiba-tiba saja manusia menemukan dirinya terlibat ketegangan yang berkepanjangan dan berulang-ulang. Dalam dirinya terjadi ketegangan antara pikiran, kehendak, dan perasaan. Dalam pikiran terjadi ketegangan antara rasional dan tidak rasional atau yang benar dan yang salah. Dalam kehendak terjadi ketegangan antara bebas dan liar atau yang baik dan yang buruk. Dalam perasaan pun terjadi ketegangan antara suka dan duka atau yang indah dan yang tidak indah. Malahan segalanya tampak berhadapan dengan lawan seimbang dan adil, seperti tinggi-rendah, terang-gelap, dewa-raksasa, dan barong-rangda. Begitulah sekilas gambaran perang abadi, ketika Nyepi menjadi perang suci.
Rwabhinneda, dualitas kehidupan itulah sumber ketegangan sekaligus menciptakan peluang pilihan: menang atau kalah perang. Memilih menaati dan mematuhi catur amati, berarti punya harapan menang perang. Sebaliknya, memilih melawan dan menentang catur amati, berarti punya harapan kalah perang. Kedua harapan itu pun menimbulkan kecemasan, berarti kembali menciptakan ketegangan baru yang mengganggu kedamaian batin. Peluang menang perang hanya bagi yang punya persiapan perang, yakni menata diri melalui catur amati. Menata diri dalam situasi perang abadi, berarti menenangkan diri, beristirahat sejenak dari kegiatan pisik dan psikhis, sekadar menarik napas panjang untuk melapangkan rongga dada. Setelah merasa lega, berarti sudah siap mengikuti formasi perang.
Pada formasi pikiran mesti memilih yang benar. Hanya yang benar dapat mengontrol yang salah dan membiarkan pada posisi yang salah sehingga tidak mengacaukan yang benar. Pada formasi kehendak harus memihak yang baik. Hanya yang baik dapat mengendalikan yang buruk dan membiarkan pada posisi yang buruk sehingga tidak mengganggu yang baik. Pada formasi perasaan harus mengikuti yang indah. Hanya yang indah dapat mengawasi yang tidak indah dan membiarkan pada posisi yang tidak indah sehingga tidak mengaburkan yang indah. Begitulah saran spirit disiplin catur amati mengikuti ‘pikiran yang lebih tinggi’ mengintegrasikan dualitas kehidupan. Diri pun tetap tenang dalam peperangan menunggu kehadiran Uma.
Sang Pemenang
Tenang itulah menang. Seperti keterangan Arjuna Wiwaha, “Sasi wimba haneng gata mesi banyu…, katemunta mareka si tan katemu, kahidepta mareka si tan kahidep”. Pikiran tenang berwajah kebenaran, kehendak tenang bersifat kebaikan, dan perasaan tenang berwatak keindahan. Dalam tenang datang Uma sebagai Kekosongan, ke dalamnya Siwa masuk mengabarkan kedatangan Sang Pemenang. Kitab-kitab Upanisad menyatakan, Sang Pemenang itu Realitas Tertinggi, Brahman. Ia Satu tanpa yang kedua, Yang identik dengan Sang Diri terdalam manusia. Ia sebagai subjek murni menjadi dunia eksternal, objekltif. Ia pun nirguna sekaligus saguna. Kepada Ia, Yang tanpa subjek dan Yang dengan subjek inilah yoga catur brata terpusatkan saat Nyepi.
Hanya saja Bhagawadgita menyarankan, jalan yoga lebih baik menuju Yang dengan subjek, Yang berpribadi. Artinya, memelihara kekuatan badan (jagadhita) sama benarnya dengan merawat kesehatan mental (kama) dan sama baiknya dengan menjaga kebebasan kehendak (dharma) dan sama indahnya dengan menata keselamatan jiwa (moksa). Melihat segala dan menerima semuanya sama itulah tujuan yoga catur brata sehingga tindakan kerja (karma) sama dengan hasil kerja. Untuk itulah istirahat, hening, Nyepi. Badan melepaskan beban kerja hingga bugar dengan kekuatan baru. Pikiran melepaskan perolehan-perolehan hingga jernih dengan pandangan baru. Kehendak melepaskan ikatan moral hingga bangkit dengan kebebasan baru. Perasaan melepaskan suka dan duka sehingga tetap damai.
Dia yang tetap damai itulah ‘sang pemenang’ dalam ‘perang suci hari Nyepi’. Dialah yang damai dan mendamaikan. Menang dengan tidak memenangkan atau mengalahkan karena tidak bingung memandang dan menerima dualitas kehidupan. Tidak mengagungkan yang benar dengan mengecilkan yang salah. Tidak memuji yang baik dengan menghina yang buruk. Tidak memuliakan yang indah dengan merendahkan yang tidak indah. Tidak bangga karena sukses dan benci karena gagal. Dia menyadari bangga hanya menimbulkan angkuh dan sombong. Benci menimbulkan dengki dan dendam tidak berkesudahan. Dialah prajurit tenang berpedang cinta, mengikat dan menyatukan segalanya ke dalam Spirit Diri. Dialah orang sederhana dengan jubah dan perisai Kasih.