Bali

Kembali ke Bali

I  W a y a n  S u k a r m a

Membaca Bali memang perlu berulangkali. Banyak pembaca menyajikan riak-riak permukaan dan tidak sedikit yang penampilkan arus deras kedalamannya. Arus deras yang menyedot perhatian hingga menimbulkan diskusi dan debat berkepanjangan. Apalagi kini, Bali bukan hanya berhadapan dengan ideologi yang terasa asing bagi palemahan, pawongan, dan parhyangan, bahkan tidak sedikit ideologi serupa ideologi. Barangkali, “kembali ke Bali” dapat menjadi upaya menemukan Bali kembali.   

Kembali berarti balik ke tempat semula atau keadaan semula dan karenanya, Bali menjadi tempat semula atau keadaan semula. Tempat semula berarti lokasi awal, daerah asal, tanah kelahiran, dan orang Bali menyebutnya tanah atau umah pelekadan. Keadaan semula dapat pula berarti kondisi awal, situasi asal, suasana purba, dan orang Bali merangkumnya menjadi desa-kala-patra. Kembali ke Bali berarti balik ke desa bali semula, kala bali sebenarnya, dan patra bali sesungguhnya. ‘Jalan kembali’ yang sudah biasa ditempuh orang Bali bernama tri hita karana. Jalinan tiga sumber daya kehidupan, yaitu dewa, manusa, dan bhuta. Marga tiga menuju parhyangan bali, pawongan bali, dan palemahan bali.   

Palemahan Bali 
Palemahan berkenaan dengan lemah, tanah. Orang Bali memanfaatkan tanah tidak hanya menjadi tempat melangsungkan kehidupan, tetapi juga tanah untuk menandai waktu terutama pagi hari. Misalnya, ‘ngedas lemah’, mulai melihat tanah sebelum Matahari terbit atau ‘saselemahe’, dini hari menjelang Matahari terbit. Tanah bersifat gelap berada di bawah, di Bumi, sedangkan Matahari bersifat terang berada di atas, di Langit. Bumi yang mendekap dan menyusupi kehidupan disebut Ibu Pertiwi, sedangkan Langit yang mengatasi dan melingkupi kehidupan disebut Bapa Akasa. Kepada Ibu dan Bapa biasanya orang Bali memohon restu untuk memulai aktivitas kesehaian, sejak tanah mulai tampak hingga tersembunyi lagi di balik kegelapan malam. 
Puncak tertinggi palemahan disebut Gunung – yang tertinggi Gunung Agung – sedangkan  lembah terendah disebut Segara. Ketinggian dan kerendahan memang mudah menggetarkan emosi keagamaan, seperti kepercayaan tentang Dewa di Gunung dan Dewi di Segara. Seiring dengan kepercayaan itu, bahkan Mpu Kuturan menganalogikan Bali sebagai Padma Bhuwana, Pulau Teratai Merah. Bunga Teratai Merah terdiri atas delapan kelopak kekuasaan dewata yang mengembang ke segala penjuru mata angin. Perhatikanlah posisi Pura Kahyangan Jagat, tempat pemujaan Dewata Nawasanga. Pura Batur, Besakih, Lempuyang, Goa Lawah, Andakasa, Uluwatu, Batukaru, dan Puncak Mangu. Kemudian, Danghyang Nirartha menyempurnakan Padma Bhuwana dengan menambahkan Sari Bunga, berupa Padmasana untuk memuja Hyang Widhi.
Palemahan Bali memang sakral dan suci. Kesakralan dan kesuciannya tidak hanya terasa di Gunung dan Segara atau di tempat suci, tempat tinggal, dan lahan pertanian, tetapi juga di tegalan dan karang embang, tanah kosong. Pasuguhan dan natah rumah tempat tinggal, wewidangan banjar, dan wawengkon desa pakraman pun menjadi ruang publik yang manusiawi berlandaskan nilai-nilai Hindu. Ruang manusiawi yang dibatasi kekuatan dan kekuasaan Bhuta, seperti Anggapati di Timur, Prajapati di Selatan, Banaspati di Barat, dan Banaspatiraja di Utara. Kekuatan dan kekuasaan itu menjamin dan melindungi kebebasan berkreasi dan mengapresiasi palemahan berdasarkan desa-kala-patra menjadi lingkungan Desa Bali yang tetap nyaman bagi manusia.                 
   
Pawongan Bali
Manusia, juga disebut wong. Berkenaan dengan wong disebut pawongan. Pawongan Bali terbentuk dari keluarga hingga banjar dan desa. Keluarga terbentuk dari pawiwahan, perkawinan, penyatuan sepasang manusia berlandaskan cinta. Cinta pula mengikat dan menyatukan keluarga menjadi krama banjar atau krama desa. Ikatan cinta itulah prinsip dasar dan hukum pawongan yang melahirkan dharma, kewajiban, entah keluarga, banjar, ataupun desa hingga menjadi pakraman, masyarakat adat. Kewajiban pakraman, ayah-ayahan krama kemudian, dikenal dengan tata krama pergaulan hidup. Tata krama inilah diwariskan turun-temurun sehingga menjadi kebiasaan, tradisi, dan adat istiadat. Barangkali seluruh Desa Adat di Nusantara mempunyai kebiasaan, tradisi, adat istiadat yang melahirkan kearifan lokal.   
Yadnya misalnya, kearifan lokal pakraman, masyarakat adat Bali yang kemudian, dipermulia dengan agama Hindu. Yadnya itu kurban suci. Kurban suci datang dari hati murni. Hati murni mekar karena cinta. Cinta mengalir dari Kasih. Kasih inilah inti kewajiban, dharma, ayah-ayahan. Artinya, yadnya adalah dharma, ayah-ayahan bersifat Kasih. Setidaknya, krama Bali melalui yadnya mengembangkan Kasih kepada Hyang Widhi, alam, leluhur, guru, dan sesama. Inilah inti pawongan, hidup adalah ayah-ayahan, yadnya. Hasil dari yadnya adalah kemurnian. Hasil dari kemurnian adalah tapa, pengendalian diri. Hasil dari pengendalian diri adalah sathya, kebenaran. Kemudian, Ida Bagus Mantra menyimpulkan, sathya, yadnya, dan tapa menjadi inti kebudayaan Bali. 
Pewarisan kebudayaan berlangsung melalui suasana belajar dan proses pembelajaran, entah dalam keluarga, banjar, ataupun desa pakraman. Pendidikan masyarakat karena berlangsung dalam lembaga adat sehingga pakraman, masyarakat adat Bali sekaligus menjadi pasraman, masyarakat pendidikan. Banjar misalnya, berkewajiban mewariskan pengetahuan dan keterampilan tradisional Bali sehingga krama dan warga banjar bisa aktif mengambil tanggung jawab sosial dan keagamaan. Pewarisan ini berpusat pada bahasa dan aksara Bali. Bahasa Bali sebagai satuan kebudayaan Bali memang menjadi identitas orang Bali. Orang Bali disebut orang Bali karena bahasa Bali. Bahasa Bali mencerminkan karakter orang Bali, seperti tampak pada perbedaaan karakeristik pawongan Bali Timur, Selatan, Barat, dan Utara.

Parhyangan Bali
Sisi Timur parhyangan Bali merupakan kekuasaan Dewa Iswara di Pura Lempuyang, sisi Selatan kekuasaan Dewa Brahma di Pura Andakasa, sisi Barat kekuasaan Dewa Mahadewa di Pura Batukaru, sisi Utara kekuasaan Dewa Wisnu di Pura Batur, dan Dewa Siwa penguasa wilayah tengah di Pura Pusering Jagat. Penjuru parhyangan Bali memang menjadi kekuasaan Dewata Nawasanga dengan Pura, tempat sucinya masing-masing hingga Bali dikenal dengan Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura. Kemudian, parhyangan desa pakraman merupakan kekuasaan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma bersemayam di Pura Desa, Dewa Wisnu di Pura Puseh, dan Dewa Siwa di Pura Dalem. Parhyangan banjar menjadi kekuasan Ida Bhagawan Penyarikan.   
Parhyangan rumah tempat tinggal berpusat di Sanggah/Merajan, tempat pemujaan leluhur, roh nenek moyang terletak di Timur Laut pekarangan. Krama Bali memang memandang Timur Laut sebagai arah suci sehingga dalam ruangan menjadi tempat meletakkan pelangkiran untuk memuja Hyang Tohlangkir atau istadewata lain. Artinya, Timur Laut adalah tempat suci, tempat parahyang, tempat pemujaan. Kalau setiap ruangan mempunyai titik sudut Timur Laut, berarti semua ruangan mempunyai tempat suci, tempat parahyang, tempat pemujaan. Sinar suci parahyang dan dewata nawasanga dari segala penjuru menerangi ruang Bali, baik sakala maupun niskala. Tampaklah Bali memang Pulau Seribu Pura, Pulau Dewata, tanah paradewata, tanah parahyang. Inilah parahyangan Bali.
Kesucian parhyangan dalam jalinannya dengan kemurnian palemahan dan keluhuran pawongan menjadi sumber Taksu Bali, tenaga asali Bali, yaitu dewa, manusa, dan bhuta. Krama Bali membangun, menata, dan mengekspresikan Tridatu Bali ini melalui seni spiritual kehidupan pakraman. Perhatikanlah warna poleng untuk batu besar dan pohon besar, palinggih di pateluan dan pempatan, palinggih di tepi kali dan campuhan, palingih di loloan dan danau. Putih-Dewa berpadu dengan Merah-Manusa dan Hitam-Bhuta menghiasi ruang kesadaran krama Bali. Mereka percaya bahwa semua tempat, waktu, dan keadaan tercipta karena manusia beriman, sraddha-bhakti kepada Dewa dan Hyang Widhi serta mengandalkan hidup kepada Bhuta, Alam. Harapannya, ‘Jayalah Pulau Bali!’


BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...