Atitha
dan Anagatha adalah Warthamana
I W a y a
n S u k a r m a
Kemarin dan esok
adalah hari ini
Bencana dan
keberuntungan
sama saja
Langit di luar
langit di badan
Bersatu dalam
jiwa
(Rendra, 1975)
“Kemarin
dan esok adalah hari ini”, merupakan ungkapan tentang waktu temporal di
luar pengalaman indrawi, atitha (masa
lalu) dan anagatha (masa depan) adalah warthamana (masa kini). Ungkapan ini kedengaran mustahil dan
tidak mungkin, karena itu adalah kalimat kosong. Tidak mungkin suatu peristiwa
yang terjadi di sini-sekarang memiliki implikasi pada masa lalu. Apalagi masa
lalu sudah tidak ada lagi, kecuali tersimpan dalam ingatan sehingga sangat subjektif.
Kemudian, masa depan adalah kenyataan yang belum ada dan yang akan ada tidak
memiliki implikasi apapun terhadap kenyataan masa kini, apalagi terhadap masa
lalu. Dimensi waktu itu bersama dimensi ruang memang mengikat manusia dalam
banyak momen sehingga dalam keberadaannya tidak ada apapun yang lebih akrab
dengan manusia, selain ruang dan waktu. Manusia memang karib dengan waktu, tetapi
waktu tetap menjadi misteri, bahkan filosof tidak memiliki kesepakatan atas jawaban
untuk pertanyaan, apa waktu itu?
Persepsi dan kesadaran hanya memahami waktu sebagai takdir,
entitas, eternal. Waktu tidak diciptakan dan karenanya tidak pernah berhenti, tidak
ada akhir waktu. Waktu
adalah lokus kebebasan sekaligus penjara kehendak manusia. Dalam pemahaman ini waktu bukanlah hitungan dari detik ke menit dan jam yang berlangsung secara linier. Waktu juga
bukan pola pengulangan masa dan kesempatan yang berlangsung secara sirkular. Melainkan waktu adalah keabadian
sekaligus kekekalan, perubahan dan ketetapan. Waktu adalah totalitas jagatraya itu sendiri. Oleh karena itu, waktu tidak mungkin dibatasi oleh
ruang, jarak, dan lokus demografi. Waktu tidak dapat dibagi-bagi dengan piranti hitungan, sebagaimana kelaziman pikiran membagi dan membandingkannya. Waktu pun tidak
mungkin menciptakan ruang-ruang yang dilokalisir.
Akan tetapi, filosof menjelaskan
waktu dalam hubungannya dengan benda alam, peristiwa, momen, suksesi, pragmen,
segmen, durasi, kualitas, dan perubahan. Dari penjelasan iini muncul banyak
jenis pengertian tentang waktu, seperti waktu biologis, waktu fisik, waktu
metafisik, waktu pribadi, waktu sinkron, waktu mikro, waktu sakral, waktu
profan, waktu meta, waktu monokronik, dan waktu polikronik.
Selain itu, juga argumentasi filosof tentang
waktu senggang dalam kaitannya dengan kewajiban, tangung jawab, dan kebebasan,
bahkan memunculkan waktu imanen dan waktu transenden. Konsekuensinya waktu sebagai
durasi berbeda dengan kelanggengan. Waktu menandakan durasi dari makhluk
jasmani, sedangkan kelanggengan menandakan durasi dari makhluk rohani. Seperti
ruang memperlihatkan suatu kesejajaran dalam eksistensi, juga waktu
memperlihatkan suatu suksesi tertentu dalam durasi. Suksesi ini menandakan
suatu gerakan yang konstan dari waktu, sejak masa lalu melalui masa kini menuju
ke masa depan. Waktu bergerak berurutan sehingga tidak mungkin melompat dan
melampaui suatu urutan. Tidaklah mungkin mengandaikan akibat dari peristiwa
yang terjadi sekarang pada peristiwa yang terjadi kemarin. Mustahil mengatakan
bahwa Luh Werti sekarang berusia 20 tahun, kemarin berusia 21 tahun, dan besok
berusia 19 tahun. Dengan demikian, menerima masa kini sebagai masa lalu dan
masa depan tidak semudah memahami waktu linier dan waktu sirkular.
Apalagi pada kenyataan dalam pengalaman empiris
sehari-hari manusia memahami bahwa waktu bergerak linier dari masa lalu (the past), menyusul masa kini (the present), dan berlanjut ke masa depan
(the future). Masa kini dimengerti sebagai rentang waktu antara masa lalu dan masa depan. Setiap masa datang dan pergi secara
bertahap dan berurutan susul- menyusul. Apabila masa lalu adalah rentang waktu
antara titik A dan B; dan masa depan adalah rentang waktu antara titik C dan D;
maka masa kini adalah rentang waktu antara titik B dan C. Tampaknya memang
dapat dipastikan titik-titik masa di antara satu garis waktu, tetapi kapan dan
di mana tepatnya tidaklah mudah dijelaskan. Waktu dalam Sarasamuccaya, seloka 366 dijelaskan tidak mempunyai batas dan
tetap berlalu tanpa henti, berbeda dengan tindakan yang dapat berhenti. Waktu
yang terus berlalu adalah waktu linier dimengerti bergerak lurus berkelanjutan
pada sepanjang garis lurus tidak
pernah kembali dan dapat dibagi, seperti detik, menit, jam, hari, minggu,
bulan, dan tahun.
Waktu
yang terukur dalam satuan interval itu bersifat objektif sehingga waktu dapat
dihitung dan dikalkulasi. Dari hitungan waktu inilah muncul pemahaman tentang efisiensi
waktu, yakni waktu fungsional yang dapat dihemat. Implikasinya waktu pun dapat
dikalkulasi dengan satuan lain misalnya, uang dan kerja. Perbandingan antara waktu,
uang, dan kerja misalnya, memunculkan sistem pembayaran harian, mingguan, dan bulanan
atas pekerjaan. Pada gilirannya waktu dipahami sebagai uang, bahkan waktu
adalah uang. Volume pekerjaan dikalkulasi berdasarkan waktu, seperti lazim tertera
pada papan nama sebuah proyek, yaitu nilai rupiah dan jangka waktu penyelesaian
suatu pekerjaan. Pekerjaan mesti direncanakan dan diorganisasikan berdasarkan
sistem penganggaran dengan jadwal yang ketat. Tahapan-tahapan penyelesaian
pekerjaan pun menuntut pekerja disiplin taat pada jadwal,
teratur sesuai dengan struktur, tertib sesuai dengan aturan, cermat memilih tindakan
produktif, dan hemat menggunakan biaya. Artinya, waktu linier yang objektif memaksa
orang berpikir runut, berurut, bertahap, periodik, duratif, dan konsisten.
Akibatnya, manusia pun seperti mesin bersifat
mekanistik dan memandang kehidupan tidak lebih dari sekadar mengelola waktu.
Kontras
dengan waktu linier adalah waktu sirkular. Waktu sirkular bergerak melingkar datang
dan pergi berulang kali, seperti musim kemarau dan musim hujan muncul setiap
tahun. Waktu sirkular dalam pandangan sebagian
kebudayaan dianggap potensial memberikan resiko yang sama berkaitan dengan keberuntungan
ataupun kemalangan. Baik dan buruknya waktu, orang Bali menyebutnya ala ayuning dewasa. Satuan dan rumusan
menghitung baik-buruknya waktu disebut Wariga. Waktu dibagi berdasarkan satuan-satuan ukuran khusus, seperti wuku, sasih, wewaran, penanggal, dan
dauh. Satuan-satuan dan rumus menghitungan waktu yang membangun struktur wariga inilah dipahami menjadi
anatomi waktu sirkular.
Setiap satuan waktu datang dan pergi berulang kali sesuai dengan rentang durasi
masing-masing. Misalnya, wuku
berjumlah 30 masing-masing memiliki rentang durasi selama seminggu dari Minggu
hingga Senin. Pertemuan wuku dan hari
(saptawara) tertentu terjadi setiap
210 hari disebut enam sasih. Begitulah
waktu yang dibagi-bagi berdasarkan satuan ukuran itu dalam bentuk praktisnya menjadi kalender dan lebih akrab disebut Kalender Bali. Penilaian atas waktu berkaitan dengan aktivitas menurut
tempat, aturan, dan peralatan unutk menangani kehidupan.
Waktu dikelola sedemikian rupa, bahkan berdasarkan lontar Wariga Gemet, orang Bali menstrukturkan
waktu sebagai berikut, (1) Wewaran halah dening wuku; (2) Wuku halah dening
tanggal/panglong; (3) Tanggal/panglong
halah dening sasih; (4) Sasih
halah dening dauh; (5) Dauh
halah dening wetu; dan (6) Wetunya Sang Hyang Tridasa Sakti. Urutan daya waktu
yang begitu ketat ini ditentukan dan dipilih dalam rangka pelaksanaan upacara
agama dan kegiatan yang melibatkan banyak orang dan kepentingan publik. Perhatikanlah cara orang
Bali menangani waktu dalam aktivitas sehari-hari, baik menyangkut bidang
kehidupan sakral maupun profan. Hari baik, bukan hanya dipilih dalam rangka
melaksanakan upacara agama, tetapi juga berkenaan dengan kegiatan sekuler,
seperti mengolah tanah pertanian, membangun rumah, membuat peralatan hidup, dan
pertemuan. Setiap aktivitas mengacu pada keyakinan bahwa hari baik memberikan
keberuntungan dan hari buruk memberikan kemalangan. Pada dasarnya kesadaran menghindari
kemalangan dengan berbuat baik merupakan pengaruh dari kepercayaan pada karmaphala.
Orang
Bali mempercayai kebenaran prinsip-prinsip karmaphala
berhubungan dengan punarbhawa dan samsara. Rumusannya, setiap perbuatan niscaya
menghasilkan energi, daya, tenaga. Tenaga dari hasil perbuatan ini kembali
kepada pelaku dan menetap padanya. Tenaga yang menetap inilah membentuk
kualitas pelaku. Perbuatan baik menghasilkan tenaga baik dan memberikan
pengaruh baik kepada pelaku. Sebaliknya, perbuatan buruk menghasilkan tenaga
buruk dan memberikan pengaruh buruk kepada pelaku. Pengaruh inilah membentuk
dan menentukan kualitas pelaku. Kualitas jiwa yang buruk menyebabkan pelaku
mengalami punarbhawa (lahir kembali).
Selama kualitas jiwa tetap buruk, selama itu pula pelaku lahir kembali.
Banyaknya pengulangan masa kelahiran disebut samsara. Jadi, kehidupan masa lalu menentukan kehidupan masa kini
dan kehidupan masa kini menentukan kehidupan masa depan. Ini berarti bahwa samsara adalah gambaran tentang waktu
sirkular yang dialami oleh manusia melalui kelahiran, kehidupan, dan kematian. Begitulah
keberadaan manusia melewati masa lahir-hidup-mati mengikuti lingkaran waktu,
yaitu saat lahir setelah mati.
Samsara sebagai pengulangan waktu yang
dialami manusia melalui lahir-hidup-mati dijelaskan dalam Bhagawadgita,
(IX:8) sebagai berikut, “Dengan menggerakkan prakrtiku, Aku ciptakan berkali-kali seluruh makhluk ini, tanpa
daya dengan kekuatan prakrtiku”. Artinya,
kekuatan prakrti bersifat memaksa dan
bertindak sebagai takdir atas diri manusia. Berdasarkan prinsip alam bahwa kekuatan
prakrti inilah sebagian tenaga dari hasil
perbuatan masa lalu yang diterima kembali, menetap, dan membentuk kualitas diri
manusia pada masa kini. Manusia tidak dapat menghindari takdir yang diciptakannya
sendiri pada masa kini yang dinimatinya berkali-kali sebagai masa lalu dan masa
depan. Dalam Bhagawadgita (IX:10)
ditegaskan, “Alam semesta ini di bawah pengawasan prakrtiku, menjadi segala sesuatu yang bergerak dan yang tak
bergerak, dengan ini dunia berputar”. Tampaknya hasil perbuatan pada masa kini
menempuh perjalanan waktu melingkar menuju masa depan dan lewat masa lalu
kembali ke masa kini. Hasil perbuatan akan diterima kembali pada masa kini
sesuai dengan usia pelaku saat berbuat pada masa lalu. Dalam Selokantara, seloka 14 (35) ditegaskan
seperti berikut, “Sebagai seorang anak kecil, sebagai pemuda, dan sebagai orang
tua, setiap manusia akan memetik hasil segala perbuatannya yang baik atau yang
buruk di kelahiran yang akan datang pada tingkat umur yang sama”.
Waktu sirkular yang bergerak dari dan ke satu titik dalam Upanisad digunakan untuk menjelaskan
Brahman. Brahman disebutkan sebagai awal, tengah, dan akhir. Brahman adalah pencipta, pemelihara,
dan pelebur. Dari Brahman segalanya berawal; bersama Brahman segalanya berada;
dan kepada Brahman segalanya kembali. Brahman disebutkan sebagai
sat (eksistensi), cit (kesadaran), dan ananda (kebahagiaan). Eksistensi Brahman
adalah pengetahuan dan pengetahuan Brahman adalah eksistensi. Brahman adalah
kesadaran dan kesadaran adalah Brahman. Brahman adalah kebahagiaan dan
kebahagiaan adalah Brahman. Eksistensi, kesadaran, dan kebahagiaan adalah
hakikat Brahman, bukan sifatnya. Brahman adalah satu-satunya realitas ontologis
dunia fenomenal. Brahman adalah realitas tertinggi, sempurna, dan absolut. Definisi
Brahman bukanlah deskripsi tentang Brahman. Deskripsi linguistik tidak menyenuh
esensi Brahman yang absolut. Brahman hanya satu, murni, dan transempris. Brahman absolut tak terbatas. Brahman bebas dari penyangkalan dan keterbatasan.
Brahman bebas dari perubahan dan
petukaran. Brahman tak
terbatas oleh kondisi dan determinasi. Inilah esensi Brahman.
Brahman sebagai awal, tengah, dan akhir adalah
ciptaan pikiran atas kerjasamanya dengan waktu temporal dan ruang spasial. Kategori
ini disusun oleh pikiran, sebagaimana prinsip pikiran adalah membagi realitas waktu
menjadi sebelum, sekarang, dan setelah. Kategori waktu ini dapat dipahami sebagai
sebelum sekarang dan setelah sekarang, saat mulai setelah berakhir. Sederhananya,
apabila saat mulai awal setelah akhir, maka saat mulai awal dan akhir adalah tengah.
Apabila saat mulai kemarin adalah sebelum hari ini dan saat mulai hari esok adalah
setelah hari ini, maka setelah dan sebelumnya adalah hari ini. Dengan begitu, atitha (masa lalu) dan anagatha (masa depan) adalah warthamana (masa kini). Misalnya, ambillah sebuah obor yang
sedang menyala. Putarlah obor itu dengan cepat dalam kegelapan. Obor itu pun
lenyap karena yang tampak adalah lingkaran api. Nyala obor berubah menjadi
lingkaran api karena nyala obor memenuhi titik-titik pada sepanjang lingkaran api.
Saat mulai gerakan obor setelah gerakan
obor berakhir. Kebenarannya lingkaran api adalah sebuah nyala obor.
Kebenaran nyala obor dalam Upanisad disebut sat (nyata), sedangkan kebenaran lingkaran api disebut asat (tak nyata). Nyala obor yang satu berubah
(menjelma) menjadi banyak nyala api memenuhi lingkaran api. Nyala obor bersifat
absolut, sedangkan lingkaran api bersifat relatif. Nyala obor tidak berubah, sedangkan
lingkaran api berubah mengikuti arah dan kecepatan gerakan tangan yang memutar
obor. Nyala obor memiliki waktu nyata bersifat absolut, sedangkan lingkaran api
memiliki waktu tak nyata bersifat relatif. Apabila nyala obor adalah masa kini,
maka lingkaran api adalah masa lalu dan masa depan. Masa kini bergerak menuju
masa depan setelah masa lalu berakhir. Gerakan masa kini menuju masa depan
mengikuti garis evolusi dan gerakan masa kini menuju masa lalu mengikuti garis involusi.
Jadi, masa kini bergerak mengikuti garis evolusi dan involusi pada sepanjang
garis lingkaran waktu. Begitulah waktu yang satu dan mutlak adalah masa kini, namun
pikiran yang bersifat tidak nyata membaginya menjadi masa lalu dan masa depan.
Gerakan waktu sirkular, juga dinyatakan
dalam Bhagawadgita (IX:7) berikut, “Semua
makhluk masuk ke dalam prakrtiku pada
akhir peredaran kalpa dan pada
permulaan kalpa yang berikutnya Aku
ciptakan kembali”. Bhagawadgita
melukiskan peredaran waktu sebagai waktu yang berulang dari awal, tengah, dan
akhir. Pengulangan waktu ini menunjukkan perubahan suatu keberadaan, yaitu dari
nyata menjadi tidak nyata dan kembali sebagai nyata. Pada akhir perjalanan
waktu, keberadaan menjadi prakrti dan
pada permulaan awal perjalanan waktu, keberadaan tampil kembali. Keberadaan
semacam ini mirip dengan keberadaan Aristotelian yang tergantung pada pencipta,
materi, masa, dan tujuan. Lebih jelas lagi dalam Bhagawadgita (IX:18) dijelaskan, “Aku adalah tujuan, pengemban,
penguasa, Aku adalah saksi, tempat kediaman, tempat perlindungan; Aku adalah
kawan, asal mula, akhir kesudahan; Aku adalah dasar, tempat penyimpanan, benih
abadi”. Apabila Aku yang berbuat pada masa kini sebagai dasar dan tujuan, maka
masa kini adalah masa lalu dan masa depan. Rumusan ini sejalan dengan konsep
waktu yang dirumuskan oleh Willam James bahwa masa lampau dan masa mendatang
sebagai berada dalam “masa sekarang yang tampaknya ada”.
Masa kini adalah di sini-sekarang,
absolut. Masa lalu adalah ingatan, karena itu subjektif. Masa depan adalah
angan-angan empirik, karena itu bersifat relatif. Dengan cara serupa kemudian, dalam
Upanisad dibedakan Brahman yang nyata
dan yang tak nyata; yang bersifat dan yang tak bersifat; terkondisikan dan tak
terkondisikan. Brahman transempirik, nonfenomenal dan Brahman transeden, imanen
dikondisikan adalah awal, tengah, dan akhir; pencipta, pemelihara, dan pelebur.
Brahman yang tak nyata sesungguhnya adalah Brahman yang nyata; saksi atas
segala peristiwa fenomenal; tak dapat ditangkap
indra, pikiran, dan tak terucapkan. Dalam Bhagawadgita
(IX:4) dijelaskan bahwa “Alam semesta ini diliputi olehku dengan wujudku yang
tak nyata; semua makhluk ada padaku, tetapi Aku tak berada pada mereka”. Artinya,
Brahman yang nyata meliputi dunia fenomenal sebagai Brahman yang tidak nyata. Begitu
pula waktu sebagai yang nyata meliputi masa lalu, masa kini, dan masa depan
sebagai waktu yang tak nyata. Waktu yang tak nyata hanyalah pembagian waktu berdasarkan
pikiran yang diterminasi dan dikondisikan oleh maya. Pada gilirannya dapat dipahami bahwa bukan hanya masa lalu
dan masa depan adalah masa kini, tetapi semua masa adalah Waktu.
(Majalah Wartam Edisi Desember 2015)