KONSEP DEMOKRASI DALAM ARTHASASTRA
I Wayan Sukarma
1.
Pendahuluan
Schrieke melalui The
Native Rulers (Indonesian
Sociological Studies, 1955) menjelaskan transformasi kekuasaan sebagai
evolusi kepemimpinan dalam tiga tipe,
yaitu primus inter pares, kingdom,
dan patrimonial. Pertama, tipe primus inter
pares adalah organisasi politik yang karakter utamanya meliputi, antara
lain komunitas primitif, bersifat geneologis, agraris, mengelompok dalam satu
garis asosiasi, dan mengatur ekonominya sendiri. Disiplin internal secara alami
dibangun berdasarkan persetujuan suara bulat setelah konsultasi mutual cukup.
Karakter komunal sebagai kekuatan masyarakat saling mempengaruhi anggotanya. Di
berbagai belahan dunia lainnya ini disebut solidaritas. Satu-satunya otoritas
adalah spirit kelompok, satu-satunya sanksi adalan opini masyarakat, dan
pemujaan bersama kepada leluhur. Spirit yang mengatur adalah seorang
konservatisme – yang mau meninggalkan segala sesuatu, seperti seorang leluhur
yang ”mendirikan” itu. Karakter komunallah yang menonjol. Ini adalah ruang yang
keras bagi pembangunan individualitas karena teritorial, tenaga kerja,
kesenangan, tradisi, adat, opini, ideologi, usaha, dan rekreasi, semuanya
adalah komunal. Karakteristik esensial dari tipe organisasi ini adalah natural
statis, kondisi esensial untuk pemeliharaan karakter komunal dalam ukuran
terbatas, sedangkan perubahan adalah menetapkan sistem produksi yang
mengikutinya. Jika kelompok meluas, ini mengancam disintegrasi.
Kedua, tipe kingdom (kerajaan) adalah salah satu
organisasi otoritas atau kekuatan yang mengutamakan pada perpaduan
keanekaragaman dari heterogenitas kelompok lokal. Oleh karena itu dalam kasus
tertentu, otoritas yang berkuasa dapat memoles kekurangan salah satu spirit
kelompok atau spirit beberapa kelompok lokal. Mengikuti teori yang berlaku,
asal mula kerajaan adalah berdasarkan penaklukan (conquest). Ini memperkenalkan elemen baru yang sederhana, swatantra
sampai sekarang, komunitas ”natural”: pembebasan dari keinginan dari luar.
Kelompok geneologis atau dalam kasus penyelesaian di satu tempat dan
relativitas kepadatan populasi, pengaturan teritorialitas kelompok menjadi
bagian subordinat dari kesatuan yang lebih besar. Usaha dapat dilakukan dengan
melihat keadaan sebelum dan sesudah kemerdekaan, sejauh itu mungkin, tetapi
tidak selamanya secara esensial karakteristik kerajaan (Kingdom) adalah kecenderungan – betapapun ketidaksempurnaan
diwujudkan dalam perbuatan – terhadap subordinasi dari komponen bagian-bagian
untuk satu tujuan, keinginan dari penguasa, sungguhpun demikian, ini pasti
perlu dibiasakan dalam derajat yang lebih tinggi atau lebih rendah untuk
kondisi umum. Di sini, kebohongan utama dari konflik kekuatan antara raja dan
tokoh lokal, yang mana konflik adalah hanya memecahkan berkembangnya
”negara”.
Ketiga, tipe negara (patrimonial) adalah sistem negara yang
masih terkait sistem kerajaan di mana raja merintis pendelegasian wewenang
kepada orang-orang terpilih. Pada sistem ini terdapat gubernur, duta raja atau
pejabat penting – untuk menopang roda pemerintahan. Walaupun demikian, raja
tetap merupakan arah sentralnya. Birokrasi pemerintahan raja melibatkan jajaran
aristokrasi, yakni suatu bentuk sistem kekuasaan atau pelaksanaan ”kekuasaan
oleh orang-orang terbaik” yang ukuran paling pentingnya ialah keturunan. Dengan
adanya subordinasi, daerah-daerah kerajaan, yang di dalamnya terletak pusat
konplik antara raja dan tokoh-tokoh lokal, raja lazim menerapkan wewenangnya
sebagai penguasa dan pengayom dengan memberikan kelonggaran tertentu untuk
mengatur daerahnya sendiri. Sistem yang ketiga ini dapat disebut negara (patrimonial), yaitu suatu organisasi
politik yang mencegah munculnya gangguan bagian-bagian komponen kerajaan dan
membuat tokoh-tokoh lokal lebih efektif dalam pelayanannya. Para raja
kadang-kadang mencapai hal ini dengan mencari dukungan bagi otoritasnya dari
kelas-kelas sosial tertentu yang dengan bantuannya dapat menghancurkan
supremasi kaum aristokrat. Dengan melakukan hal ini mereka meretas
kekuatan-kekuatan yang di Barat dalam bentuk bangsa demokratis, akhirnya, untuk
membatasi adanya monarki absolut. Negara sebagai penguasa telah memberikan
jalan ke arah negara berkesejahteraan (welfare
state): kepentingan-kepentingan monarki, di mana ia sendiri identik dengan
negara, harus tunduk kepada kepetingan raja dan rakyat, hingga rakyat sendiri
mengenyam semacam kedaulatan.
Berkaitan dengan tipe kepemimpinan yang kedua, yaitu
kerajaan (kingdom), Krisna Rao dalam
bukunya Studies In Kautitya
(terjemahan: Sura, 2003) menjelaskan bahwa Arthasastra
adalah salah satu buku politik Hindu atau buku tuntunan raja-raja dalam
mendapatkan dan mempertahankan dunia ini. Dalam bagian akhir buku Arthasastra dengan tegas dinyatakan
bahwa pengetahuan ini akan membawa umat manusia mencapai dharma, artha, dan kama.
Bana menjelaskan buku Arthasastra
sebagai ilmu dan seni diplomasi. Arthasastra
disusun oleh Kautilya berdasarkan atas sejumlah buku politik Hindu kuna,
tradisi politik dan pengalaman hidupnya. Kitab ini mengandung 32 bagian, 15 adikarana dengan 150 bab, dan 600 sloka. Kautilya disanjung-sanjung
sebagai tokoh politik Hindu legendaris yang kejeniusannya sering disepadankan
dengan filsuf dan negarawan, seperti Plato, Aristoteles, dan Machiavelli. Ada persamaan yang mendasar antara Kautilya dengan
Aristoteles dan Plato dalam etika dan politik. Mereka sama-sama menganggap
bahwa keduanya itu sama pentingnya untuk menata hidup bersama. Mereka sama-sama
percaya bahwa hidup yang berbahagia adalah hidup yang berkebajikan (2003:147).
Kautilya diperkirakan hidup pada abad ke 4 sm. Kedudukan dan peranannya adalah
penesihat dan penyelamat raja Mauria, Chandragupta. Nama lainnya adalah
Wisnugupta dan Chanakya.
Buku Arthasastra pertama-tama menelaah tujuan
masyarakat dengan menerangkan posisi trayi,
anvikshiki, varta, dan danda dalam kerangka keberadaan manusia.
Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan warnasrama
dharma sebagai landasan tertib sosial dan kewajiban-kewajiban umum yang
berlaku untuk semua orang. Sebagai seorang negarawan, Kautilya menaruh
perhatian besar terhadap kerjaan dan kekuasaan. Dalam buku 6 bab I, ia
menyebutkan unsur-unsur negara itu terdiri atas svami, amatya, janapada, durga, kosa,
danda, dan mitra. Svami adalah yang dipertuan atau master,
yaitu lebih menunjuk kepada seorang kepala negara atau presiden ketimbang
sebagai seorang raja; Amatya adalah
para menteri atau pejabat tinggi negara; Janapada
adalah wilayah dan penduduknya; Durga adalah
benteng; Kosa adalah perbendaharaan
negara; Danda adalah tentara; dan mitra adalah sekutu. Kautilya menyusun
buku Arthasastra atas sistem
monarki-konstitusi. Svami diposisikan
dalam struktur pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kekuasaannya
tidak absolut. Kedudukan dan fungsinya sebagai seorang svami ditentukan dan diatur secara ketat. Ada pelapisan dan
distribusi kekuasaan yang jelas. Tugas dan kewajiban svami menurut Kautilya dibedakan menjadi tiga, yaitu tugas
eksekutif, yudikatif, dan administratif. Ini menandakan adanya sistem pembagian
kekuasaan, sebaigamana yang berkembang dalam sistem demokrasi.
Demokrasi dalam pengertian klasik setidak-tidaknya
diartikan sebagai “pemerintahan rakyat“ (demos
yang artinya rakyat dan kratos yang
artinya pemerintahan). Dalam hal ini,
baik sebagai sebuah konsepi maupun praktik, demokrasi mengalami perkembangan
yang sangat panjang, yakni melalui perjalanan historis sepanjang lebih dari dua
setengah milenium, yakni dipraktikkan awalnya di Athena pada zaman Yunani Kuno
dalam bentuk demokrasi langsung kurang lebih pada 500 SM. Dalam pengertian yang
lebih modern dan sekaligus lebih populer, demokrasi kemudian diberi makna
sebagai “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”. Dalam makna yang demikian,
baik dalam pengertian yang klasik maupun yang lebih modern, kata “rakyat”
mendapat tekanan penting. Tekanan kepada kata “rakyat” diberikan untuk memberi
kontras terhadap berbagai bentuk pemerintahan absolut lainnya, seperti
raja-raja yang sumber otoritasnya berasal dari kekuasaan turun-temurun dan/atau
yang, baik secara langsung maupun tidak menyatakan memiliki kekuasaan untuk
memerintah berdasarkan sumber yang berasal dari kekuasaan Ilahi[1].
Dari
uraian tersebut dapat diketahui secara sepintas bahwa sistem yang dianut oleh
Kautilya dalam mengembangkan Arthasastra-nya.
Kautilya menyebut raja atau kepala negara dengan istilah svami. Svami adalah
seorang rajarsi. Adakah ini pertanda
bahwa Kautilya menyadari kelemahan sistem monarki. Apabila demikian,
sistem monarki apakah yang dikembangkan
dan dipadukan dengan sistem politik demokrasi, serta bagaimanakah eksistensi demokrasi yang terdapat
dalam Athasastra? Ke arah inilah
kajian ini ditujukan hingga setidak-tidaknya ditemukan unsur-unsur yang
membangun konsepsi tentang demokrasi menurut Arthasastra.
2.
Konsep Demokrasi
Semula, dalam pemikiran Yunani, demokrasi berarti bentuk
politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan
politik (Lorenz Bagus. 2002:154). Selanjutnya, dalam pemikiran modern,
demokrasi menjadi ide filosofis tentang kedaulatan rakyat. Artinya, semua
kekuasaan politik dikembalikan kepada rakyat. Presiden Lincoln dalam pidatonya
memberikan kesimpulannya yang bergema kuat tentang definisi terbaik demokrasi
dalam sejarah Amerika. Dengan menyatakan, “pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat” (Melvin I. Urofsky dalam Clack: Demokrasi, 2001:2).
Ditegaskan bahwa demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin merupakan
bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Banyak ketegangan dan
pertentangan dan mensyaratkan ketekunan para penyelenggaranya agar bisa
berhasil. Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, tetapi demi
pertanggungjawaban, yaitu sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa
bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan bisa
dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah ini. Ada bermacam-macam istilah
demokrasi, antara lain ada yang dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi
parlementer, demokrasi terimpin, demokrasi pancasila, dan lain sebaginya
(Budiardjo,l983:50; Triguna, 2004:7). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari sekian
banyak demokrasi ada dua aliran yang paling penting, yaitu demokrasi
konstitusionil dan satu kelompok aliran yang menamakan dirinya “demokrasi”,
tetapi yang pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme.
Ciri
khas demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis
adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak
sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan
pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut
pemerintahan berdasarkan konstitusi (Budiardjo, l983:52; Triguna, 2004:7).
Konstitusi dirumuskan melalui proses hukum yang dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Menurut sistem demokrasi bahwa pemerintahan dapat dilakukan
secara langsung atau melalui wakil-wakil rakyat. Wakil-wakil rakyat dipilih
secara bebas dan rahasia menurut prinsip yang ditentukan oleh suara mayoritas
rakyat. Wakil-wakil rakyat menduduki jabatan dalam waktu tertentu dengan
diberikan hak dan kewajiban yang digariskan secara jelas. Selanjutnya, kepala
negara dipilih oleh rakyat atau oleh wakil-wakilnya (Loren Bagus, 2002:155).
Bentuk pemerintahan konstituasi menurut Greg Russel (dalam Clack: Demokrasi,
2001:9-11) terdiri atas beberapa prinsip, yaitu kedaulatan rakyat, kekuasaan
hukum, pemisahan kekuasaan dan sistem pengawasan serta pertimbangan,
federalisme, dan perjuangan untuk hak-hak individu.
Ini berarti bahwa dalam perkembangannya, definisi
demokrasi akhirnya harus menerima elemen “perwakilan”, yaitu sesuatu yang di
kemudian hari diterima sebagai sebuah keniscayaan yang tak terelakkan karena
alasan pemerintahan langsung oleh rakyat menjadi hampir tidak mungkin
dikerjakan dalam masyarakat yang relatif jauh lebih besar jumlahnya
dibandingkan dengan masyarakat di negara kota Athena dari mana konsepsi
demokrasi itu dilahirkan dan dipraktikan. Sejak Abad XVIII dan sesudahnya, baik
sebagai konsepsi maupun praktik, prinsip perwakilan merupakan hal yang melekat
dalam pengertian demokrasi. Prinsip perwakilan sebagaimana dimengerti
sesungguhnya juga telah mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Sampai
sebelum berakhirnya akhir Abad XIX, prinsip perwakilan dalam demokrasi hanya
merujuk pada sejumlah kelompok kecil masyarakat. Walaupun terdapat “pemilihan wakil-wakil
rakyat”, tidak semua warga negara memiliki hak memilih dan dipilih. Di Eropa,
berawal di Inggris, anggota parlemen hanya terdiri atas mereka yang berasal
dari kelompok bangsawan dan tuan tanah.
Itu pun sering hanya untuk menghasilkan parlemen yang sampai batas-batas
tertentu tidak lebih dari sekedar sebagai pendamping kekuasaan para raja. Di
Eropa, dua kelompok masyarakat inilah yang sampai pada akhir Abad-18 menjadi
klas sosial yang secara ekslusif memiliki priveledge
dalam sistem perwakilan (Plato, 2002).
Hanya menjelang peralihan ke Abad ke-20 belakangan ini
prinsip perwakilan semacam itu mengalami revolusi yang berarti. Prinsip perwakilan pada akhirnya juga
mencakup rakyat dalam arti yang lebih luas.
Tidak hanya itu, konsepsi demokrasi pada akhirnya juga menyentuh hal
yang paling mendasar dari hubungan kekuasaan, yaitu, di manapun demokrasi
selalu mensyaratkan hadirnya “relasi-relasi yang bebas, merdeka, dan setara” di
antara warga negara. Sampai sebelum 1760
rupanya tidak sebuah negara manapun di dunia mengadopsi pemerintahan demokratik
dalam pengertian yang dipakai sekarang. Pada 1919 demokrasi telah dipraktikkan
di Inggris dan negara-negara dominion Inggris, seperti Kanada, Australia, dan
Selandia Baru, di samping itu demokrasi juga dipraktikkan di Amerika Serikat,
dan beberapa negara Eropa Utara dan Barat, seperti Perancis, Jerman, Italia,
Swiss, Austria, Scandinavia. Pada akhir Abad XX, lebih dari separuh jumlah
negara-negara di dunia mengadopsi demokrasi (Greg Russel dan Melvin I. Urofsky
dalam Clack: Demokrasi, 2001:7-10).
Pada
dasarnya pemahaman tentang esensi demokrasi yang berkembang sejak awal hingga
pertengahan abad ini merujuk pada konsepsi pemisahan dan pembagian
kekuasaan. Pemisahan kekuasaan (separation
of power) memiliki fokus yang terutama berdimensi horisontal, sedangkan
pembagian kekuasaan (distribution of power) memiliki fokus yang berdimensi
vertikal. Pemisahan kekuasaan berbicara tentang bagaimana tugas dan kewenangan
di antara tiga cabang pemerintahan dipisahkan untuk menghindarkan kemungkinan
terjadinya absolutisme kekuasaan. Tiga cabang pemerintahan ini adalah lembaga
yudisial, eksekutif, dan legislatif. Prinsip umum yang dipakai sebagai dasar
untuk membuat pemisahan kekuasaan di antara tiga lembaga ini bersumber pada
ajaran pokok tentang fungsi pengawasan dan keseimbangan kekuasaan (checks
and balances). Apabila fungsi
pengawasan ditekankan pada usaha mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
maka fungsi keseimbangan dimaksudkan untuk memungkinkan fungsi-fungsi kekuasaan
itu dapat bekerja, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk
mewujudkan dan menegakkan prinsip umum yang diabdikan oleh demokrasi, seperti
keadilan, persamaan, kebebasan, kesejahteraan, kemakmuran, dan seterusnya
(Sparringa, 2007).
Dalam konteks hubungan itu ditegaskan bahwa eksekutif
ditempatkan sebagai lembaga yang menjalankan amanah rakyat sebagaimana
dirumuskan oleh wakil-wakil mereka di lembaga legislatif. Walaupun sampai batas-batas tertentu
eksekutif memiliki otonomi untuk menjalankan fungsinya, seperti dalam
menentukan fungsi-fungsi dan tugas birokrasi, ia pada dasarnya tunduk pada
kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat melalui wakil-wakil mereka. Kata ‘eksekutif’ oleh karena itu diberi
konotasi yang amat jelas dan terbatas, yaitu ‘eksekutor’ alias pelaksana amanah
rakyat. Sementara itu, legislatif memainkan peran sebagai lembaga yang
merumuskan aspirasi rakyat. Aspirasi
inilah yang dipakai sebagai dasar untuk bekerja merumuskan program-program
kebijakan yang pada dasarnya merupakan usaha mendistribusikan dan
mengalokasikan sumber dan nilai. Meskipun sampai batas-batas tertentu ia
memiliki kewenangan untuk mengelaborasi dan menginterpretasikan apa yang
menjadi tuntutan rakyat serta mengambil tindakan untuk dan atas nama rakyat, ia
pada dasarnya tidak memiliki hak moral untuk mengambil alih kedaulatan dari
tangan rakyat. Pada tempat semacam inilah terdapat kebutuhan untuk membangun
legislatif yang peka (sensitive) dan tanggap (responsive)
terhadap dinamika dan perkembangan aspirasi yang terdapat dalam masyarakat
(Sparringa, 2007).
Walaupun
tidak terlibat dalam proses politik sehari-hari (day-to-day politics),
lembaga yudisial memiliki posisi yang amat sentral untuk memastikan bahwa
prinsip kebebasan dan keadilan (free and fairness) dalam politik itu
terjadi. Lembaga ini mengantongi sebuah kewenangan tertinggi untuk menjalankan
sebuah sistem peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Ia,
bahkan atas nama keadilan memiliki kewenangan untuk menilai serta memutuskan
apakah sebuah perundang-undangan telah memenuhi kriteria umum yang diakui dalam
sebuah sistem yang demokratis. Oleh
karena itu, dengan kewenangan yang dimilikinya, lembaga ini dapat menggugurkan
sebuah undang-undang, betapapun undang-undang itu telah diputuskan melalui
mekanisme yang demokratis sekalipun. Lembaga yudisial bekerja dengan prinsip
yang menjunjung tinggi keadilan—sebuah prinsip yang tak dapat dianulir oleh
kekuasaan manapun termasuk kekuasaan mayoritas dalam legislatif (Sparringa,
2007).
Esensi
lainnya yang terdapat dalam demokrasi menurut Sparringa (2007) adalah pembagian
kekuasaan di antara pemerintah pusat, regional, dan lokal. Dalam pembagian kekuasaan semacam ini
terdapat pengaturan yang jelas tentang apa yang menjadi kekuasaan pemerintah di
tingkat pusat dan daerah. Roh yang pada umumnya dipakai untuk melakukan pembagian
ini pada umumnya dilakukan dengan dalil umum, seperti berikut ini. Apa yang oleh konstitusi tidak diserahkan
pengelolaan kekuasaannya kepada pemerintah pusat haruslah diserahkan
pengelolaannya kepada pemerintah di tingkat regional (dalam kasus di Indonesia,
provinsi). Apa yang oleh konstitusi dan undang-undang lainnya tidak diserahkan
pengelolaan kekuasaannya kepada pemerintah pusat dan regional haruslah
diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah di tingkat lokal (dalam kasus di
Indonesia, kabupaten/kota). Dalam
praktiknya, roh semacam itu sedikit banyak juga dipengaruhi oleh bentuk negara
yang dipakai (negara kesatuan atau federal) (Sparringa, 2007)
Lebih
jauh dijelaskana bahwa pembagian kekuasaan dalam demokrasi juga terjadi di
antara apa yang menjadi wilayah negara (state) dan masyarakat (civil
society). Dalam sebuah sistem yang
demokratis, kedua wilayah ini dipelihara secara amat jelas batas-batasnya. Negara tidak boleh memasuki apa yang menjadi
wilayah masyarakat; demikian sebaliknya. Walaupun interaksi di antara kedua
wilayah itu berlangsung amat intens dalam sistem yang demokratis, terdapat
kecenderungan untuk tidak mencampuradukkan keduanya. Roh yang pada umumnya dipakai untuk
memilahkan kedua wilayah itu pada dasarnya bersumber pada dalil, “negara
mengurus wilayah publik, masyarakat mengurus wilayah privat”. Dalam sejarahnya,
apa yang menjadi wilayah publik cukup sering datang dari wilayah privat.
Walaupun demikian, terdapat prinsip yang amat tegas sebelum hal itu menjadi
mungkin. Wilayah privat yang dipublikkan haruslah datang atas dasar kesepakatan
semua elemen yang terdapat dalam masyarakat yang sering merupakan aglomerasi
wilayah-wilayah privat yang amat majemuk (Sparringa, 2007).
Selain
itu, juga dijelaskan bahwa ajaran demokrasi juga mensyaratkan terjadinya
pemisahan secara jelas antara wilayah masyarakat dan individu. Kolektivitas dan
individualitas adalah dua hal yang tidak dapat dicampuradukan. Masyarakat
memiliki sejumlah nilai dan norma, sering kali berdasarkan tradisi, yang di
antaranya mengatur sejumlah hak, kewajiban, dan tanggung jawab anggota
masyarakat. Dalam sistem demokrasi bahwa nilai dan norma masyarakat tidak dapat
mengurangi hak-hak dasar yang dimiliki individu, baik sebagai warga negara
maupun sebagai manusia. Oleh karena itu,
demokrasi menjamin tersedianya ruang yang sangat jelas terhadap mana hak-hak
dasar warga negara itu tidak dapat direduksi oleh nilai-nilai dan norma-norma
sosial yang terdapat dalam masyarakat. Pemisahan dan pembagian kekuasaan
sebagaimana diuraikan tadi pada dasarnya bertujuan untuk pada satu pihak
memungkinkan interaksi antara elemen-elemen penting yang terdapat dalam negara
(yudisial-eksekutif-legislatif dan pemerintah pusat-daerah) dan pada pihak lain
antara negara-masyarakat dan masyarakat-individu dapat berkembang secara demokratis
di semua tingkat. Pada akhirnya, pembagian dan pemisahan kekuasaan bertumpu
pada ajaran tentang otonomi negara, masyarakat, dan individu. Di tingkat individu, demokrasi berakar pada
ajaran tentang hak untuk menentukan nasib diri sendiri, yakni self-determination (Sparringa, 2007).
Sistem demokrasi berjalan dengan baik, apabila rakyat
memiliki kematangan politik. Manakala terjadi perbedaan pandangan di antara
mereka maka bagian yang lebih kecil dengan lapang dada harus mengikuti
pemikiran yang disetujui oleh sebagian besar warga masyarakat (Triguna dalam
Wesnawa, 2002:40). Artinya, rakyat harus
memiliki kesiapan untuk mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi. Keputusan-keputusan yang dicapai secara musyawarah haruslah diterima
sebagai keputusan yang mengikat seluruh warga negara. Konsep esensial tersebut
dalam sistem politik demokrasi memiliki unsur-unsur pokok, yaitu negara,
kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, dan pembagian atau alokasi
(Budiardjo,l983:9). Menurut Melvin I. Urofsky (2001:3-5) ada beberapa unsur
penting dalam sistem demokrasi, yaitu prinsip pemerintahan berdasarkan
kostitusi; pemilihan umum yang demokratis; federalisme, pemerintahan negara
bagian dan lokal; pembuatan undang-undang; sistem peradilan yang independen;
kekuasaan lembaga kepresidenan; peran media yang bebas; peran kelompok-kelompok
kepentingan; hak masyarakat untuk tahu; dan kontrol sipil atas militer.
Sementara itu, Henry B. Mayo menjelaskan bahwa nilai-nilai umum yang mendasari
sistem politik demokrasi adalah (l) menyelesaikan perselisihan secara damai dan
melembaga, (2) menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah, (3) menyelenggarakan pergantian pimpinan secara
teratur, (4) membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum, (5) mengakui serta
menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam
keanekaragagaman pendapat, kepentingan, serta tingkah-laku (Budiarjo,
l983:62-63; Triguna, 1999:5 dan 2002:9).
3.
Demokrasi Dalam Arthasastra
Atas
dasar pengertian, unsur-unsur, dan nilai-nilai demokrasi tersebut tulisan ini
mencoba menelusuri unsur-unsur negara dalam buku Arthasastra yang mengandung (benih) aspek atau nilai demokrasi
dalam buku Arthasastra. Untuk itu
penelusuran diawali dari pengertian negara yang dedifinisikan oleh Kautilya.
Kautilya merumuskan negara sebagai suatu kumpulan dari bermacam-macam
masyarakat yang diwujudkan atas dasar prinsip-prinsip militer dan dharma. Negara melambangkan dharma yang universal, yaitu suatu
perlambang yang berisikan kebebasan individu (2003:82). Bagi Kautilya, dharma adalah konsep yang bersifat etis.
Dalam konteks individu dharma adalah swadharma atau kewajiban-kewajiban dan
tanggung jawab; dalam konteks kemasyarakatan ia adalah solidaritas sosial;
dalam konteks agama yang dipeluk masyarakat ia adalah realisasi diri yang
disebut moksa; dan dalam konteks vyavahara, charitra, dan peraturan yang
diundangkan dharma adalah keadilan
(2003:154). Kautilya menganjurkan agar negara dibangun berdasarkan empat kaki
hukum: dhramasastra atau hukum suci, vyavahava atau kesaksian, carittara atau sejarah atau tradisi,
dan sasana
atau maklumat raja-raja (2003:41).
Krisna Rao setelah mempelajari Arthasastra berkesimpulan bahwa negara Kautilya adalah negara monisme
yang ditetapkan berdasarkan sifat pluralistik. Kautilya membicarakan negara
tidak dalam pengertian nasional karena negaranya tidak terbatas pada satu ras,
bahasa, dan agama (2003:69). Dijelaskan pula bahwa negara merupakan lingkaran
organisasi di mana emosi dan peradaban hidup rakyatnya bisa menyatu (2003:11l).
Atas dasar itu Kautilya menjelaskan tujuh unsur yang disebut saptangga yang membangun konsep
negaranya. Dari saptangga itu
ditemukan nilai-nilai yang menjadi unsur-unsur demokrasi sebagai berikut.
(1)
Negara
menjamin kebebasan dalam berserikat atau berorganisasi. Di dalam negara ada
serikat kerja, yaitu suatu kesatuan sosial tertentu yang dibangun atas tujuan
bersama. Organisasi dibentuk atas dasar fungsi atau pandangan. Ada sejumlah
istilah yang dipakai oleh Kautilya untuk menyatakan serikat kerja, yaitu sreni: kelompok perdamaian, pelayan militer, dan perdagangan; kula: dewan perwakilan atau oligarki
pangeran-pangeran; puga: perserikatan
bermacam-macam kasta yang tidak
mempunyai jabatan; ghana: komfederasi
gabungan sebuah perserikatan; dan sanggha:
perserikatan politik. Semua unsur itu masing-masing mewakili bermacam-macam
kehidupan sosial Hindu. Organisasi serikat kerja ini berbadan hukum dan svami wajib menghormati atau mengakuinya
(2003:116).
(2)
Kerjasama
yang merdeka dan harmonis. Krisna Rao menjelaskan bahwa serikat pekerja dalam Arthasastra sebagai organisasi yang
demokratis (2003:35). Mengingat terdapat bukti kerjasama yang merdeka dalam
semua bidang kehidupan.
(3)
Ada
jaminan perlindungan hidup bagi warga negara. Negara didirikan untuk
perlindungan hidup, perlindungan hak milik dan untuk menjamin
kesempatan-kesempatan untuk kemajuan sosial (2003:39). Ada departemen
pemerintah pusat yang khusus terdiri atas para menteri dan komisaris disebut pradeshtarah untuk melindungi
kepentingan para tukang dalam hubungannya dengan serikat kerjanya yang menjamin
mereka dengan jaminan (2003:42).
(4)
Kepala
negara menyatakan diri sebagai perantara rakyat dan diberi kedudukan oleh
hukum. Svami yang ideal bagi Kautilya
adalah seorang rajarsi, yaitu raja
yang memiliki kualitas, antara lain kelahiran mulia, cerdas, arif, gagah
berani, gesit yang memandang dirinya sebagai perantara rakyat dan diberikan
kedudukan oleh hukum (2003:65).
(5)
Kebijakan
kepala negara ditetapkan melalui pertimbangan. Negara dan svami ibarat badan dengan jiwanya. Setiap kebijakan dan tindakan svami harus ditetapkan melalui diskusi
atau pertimbangan manriparisad.
Kabinet utama yang harus memutuskan kebijaksanaan ini terdiri atas mentri
utama, panglima, purohita, dan yuvaraja. Peranan svami adalah dharmapravartaka,
yaitu seorang kepala negara yang terus-menerus dalam pekerjaan yang benar demi
negara. Tanggung jawabnya adalah mempertahankan dharma dan melindungi rakyatnya dengan keadilan. Kautilya berkata:
“Svami tidak akan pernah memberikan
rakyatnya menyimpang dari kewajiban-kewajiban mereka yang telah ditetapkan.
Sebab barang siapa yang mendukung kewajibannya sendiri, berpatokan pada
kebiasaan arya, mengikuti
kewajiban-kewajiban kasta dan varnasramadharma akan memperoleh
kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat. (Krishna Rao, 2003:65). Dalam menjalankan kebijakan atau
menyelesaikan konflik, svami
menerapkan ajaran niti yang disebut sadguna, yaitu sama, bheda, danda, upeksa,
maya, dan indrajala (2003:96). Sama atau rekonsiliasi adalah hal yang
pertama-tama dilaksanakan. Apabila rekonsiliasi gagal barulah diterapkan guna berikutnya. Ini
artinya, Kautilya mendukung penyelesaian masalah secara damai.
(6)
Suksesi
kepemimpinan dilaksanakan secara terencana. Putra-putra svami, sebelum ia diangkat menjadi svami, terlebih dahulu ia harus melewati masa pendidikan,
pengajaran dan pelatihan. Kurikulum pengajaran dan pelatihan tersebut berisi,
antara lain (a) mereka dididik untuk menjadi orang yang disiplin, menguasai dirinya.
Kautilya menyatakan, tujuan tertinggi dari ilmu pengetahuan adalah penguasaan
atas indria (Teks:1.6.3); (b) terdapat berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
harus dipelajari oleh putra-putra svami.
Akan tetapi yang paling pokok yang harus dikuasai oleh putra svami adalah ilmu pemerintahan. Kemudian
baru trayiveda, filsafat dan ekonomi.
Yang menarik, calon svami juga harus
mempelajari itihasa; dan (c)
pelatihan yang paling utama adalah pelatihan keprajuritan. Seorang putra svami sebelum menjadi svami terlebih dahulu harus diuji
keberanian dan keterampilannya dalam berperang. Demikian juga dalam menangani
berbagai persoalan kenegaraan. Putra svami
yang nantinya dipilih menjadi svami
adalah putranya yang paling berkualitas berdasarkan kasih-sayang kemanusiaan
dan dicintai rakyat.
(7)
Ada
struktur pemerintahan dan pembagian tugas secara profesional. Sebagai kepala
negara, svami memiliki tiga tugas
pokok, yaitu eksekutif, yudikatif, dan administratif. Dalam bidang eksekutif, svami bertugas melindungi negara; menjaga
perdamaian; memberi bantuan kepada yang membutuhkan; mengorganisir rakyat dalam
menanggulangi bencana alam, mengangkat menteri, pejabat sipil, dan panglima
tentara; berkonsultasi dengan mantripasad
dan lembaga intelijen; mengonrol potensi keuangan, tentara; mengecek penerimaan
dan pengeluaran negara; dan menetapkan kebijakan luar negeri dan pergerakan
tentara. Berdasarkan penjabaran di atas jelas tampak bahwa ada distribusi
kekuasaan. Svami dalam menjalankan
roda pemerintahan didampingi dan dibantu oleh para menteri, amatya. Kautilya mengajarkan bahwa para
menteri haruslah putra bangsa sendiri yang siap mengabdi sesuai dengan tugas
yang dibebankan kepadanya.
(8)
Kedudukan
dan fungsi pejabat negara ditentukan berdasarkan kualitas moral dan
keahliannya. Menteri-menteri adalah bagikan dua mata svami, karena itu mereka haruslah orang yang arthacita, bercita-cita luhur; silavan,
bertabiat mulya; sampriya, suka membahagiakan orang lain atau masyarakat; prajna, cerdas; dakhya, kreatif; dan vagmi,
berpengetahuan luas.
(9)
Hukum
diubah dan dibuat dengan memperhatikan sumber dharma dan bersifat rasional. Dalam bidang yudikatif, svami bukan sumber hukum, tetapi
memiliki kekuasaan tertinggi atas pengontrolan para hakim. Svami hanya bertugas mengadministrasikan institusi yang bertugas
dalam membuat dan mengubah hukum. Kautilya menyatakan hukum haruslah rasional,
berdasarkan dharma, sesuai dengan veda trayi, veda smrti, sista atau kebiasaan arif orang suci dan
tradisi (2003:104,105). Para hakim hendaknya menguasai dharmasastra. Interpretasi hukum hendaknya tidak memihak
(2003:l05).
(10)
Pemerintahan
dijalankan berdasarkan hukum. Berdasarkan undang-undang administrasi, - dharmasthiya, hukum sipil dan kantaka
sodhana, penal law – svami mengkonsolidasi kerajaan dengan
administrasi terpusat. Secara teknis pekerjaan administrasi ditangani oleh para
pejabat birokrasi secara baik dan efisien (2002:l09). Di samping mengontrol
kerja para pejabat negara, svami juga
berkewajiban memberi inspirasi dan dorongan fundamental bagi aktivitas negara.
(11)
Ada
bantuan negara untuk kesejahtraan sosial. Perhatian terhadap kesejahtraan
rakyat dalam bidang ekonomi adalah kewajiban svami, karena ia adalah ayah bagi rakyatnya. Bantuan negara yang
diberikan adalah untuk membangkitkan industri-industri perorangan (2003:114).
Bantuan hendaknya diberikan secara langsung dan cepat kepada perorangan atau
golongan (2003:117). Negara membiayai rakyat yang tidak berpenghasilan
(2003:116). Ini berarti kesejahtraan rakyat adalah kesejahtraan svami. Kautilya
menyatakan: “rasa tidak puas warga negara
merupakan malapetaka serius bagi negara”.
(12)
Besar
pajak dan keuntungan perdagangan diatur berdasarkan kesepakatan. Kekayaan kerajaan Mauria sengat tergantung kepada
penghasilan negara dan pajak. Ada
undang-undang yang mengatur mengenai perpajakan. Undang-undang ini dibuat atas
kesepakatan raja dan rakyat (2003:129). Contoh, pemasukan penghasilan dari
tambang dikenai pajak 5% (2003:125). Pengambilan keuntungan dalam berdagang
dikendalikan. Kautilya mengatakan bahwa pengawas perdagangan memastikan
keuntungan 5% atas barang-barang lokal, dan 10%
terhadap barang-barang (2003:43)
(13)
Rakyat
yang berkualitas dan bebas dari rasa malas. Janapada
adalah wilayah dan penduduk. Penduduk adalah warga negara yang dinamis
dalam organisasinya dan mengaktifkan wilayahnya (2003:44). Kautilya mengatakan
rakyat haruslah individu-individu yang berhati tulus dan penuh cintakasih, bhakti-suci. Kreatif, giat bekerja untuk
mendapatkan nafkah. Mau mengembangkan sumber daya yang terpendam dalam dirinya,
kamasila karsakah. Bebas dari sifat
malas dan acuh-tak acuh, pramada.
Dikatakan pula bahwa individu bukan pribadi yang terisolir, tetapi bagian dari
suatu tatanan sosial. Ada tiga kelas penduduk, yaitu negarawan, angkatan
perang, dan para pekerja. Ketiga kelas penduduk itu masing masing mempunyai
kewajiban yang telah ditetapkan dan dilarang untuk mencampur-adukkan kewajiban
(2003:65). Kautilya mengatakan, “baur
dalam kewajiban dan rasa tidak puas warga negara dikatakan malapetaka serius
bagi negara”.
(14)
Kesetaraan
gender. Kautilya mempunyai pandangan yang sama dengan Manu tentang wanita,
yaitu yatra naryasya pujyonte tatra ramante
devatah. Artinya, para dewa akan turun menjelajahi dunia bilamana para
wanita dihormati. Kautilya menegaskan, ia yang menghormati kaum wanita berarti
perduli terhadap peraturan pemerintah. Berzinah dengan gadis belum dewasa
adalah tindakan kriminal. Memperkosa dan membunuh wanita mendapat hukuman yang
berat. Kautilya menghargai perkawinan yang monogami. Hubungan antara suami
dengan istrinya adalah hubungan yang saling mengasihi. Perkawinan merupakan
suatu ikatan yang kooperatif terutama dalam kedekatan dan kebahagiaan.
Suami-istri bukan saja bersikap sebagai teman, tetapi bersama-sama menanggung
berat-ringannya pekerjaan. Suami harus memperlakukan istrinya dengan penuh
hormat. Istri berhak mengklaim biaya hidup dan hasil yang diperoleh suaminya
sesuai dengan proporsinya. Tidak dibenarkan di antara mereka
berdua boleh melakukan kekezaman (2003:145-146).
- Simpulan
Kerajaan
atau negara yang diidealkan oleh Kautilya adalah negara dinamis yang dibangun
dengan poros dharma untuk mencapai
cita-cita jagaddhita: artha dan kama. Oleh karena itu
negara haruslah dipimpin oleh seorang svami,
yaitu seorang raja yang berkualitas rsi.
Artinya, seorang pemimpin negara yang telah berhasil menjelmakan dharma sebagai kepribadiannya. Negara
dan svami ibarat tubuh dengan
jiwanya. Svami adalah seorang grahastin, seorang ayah bagi rakyatnya, dharma-svami. Oleh sebab itu tujuan
utamanya adalah mengusahakan artha
untuk mendorong (kama) anak-anaknya untuk mendapatkan dharma, dan mengamalkan dharma-nya. Dharma dalam konteks kerajaan atau negara adalah hakikat demokrasi.
Kautilya dengan tandas menyatakan bahwa dharma
dalam konteks individu adalah kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab; dalam
konteks sosial adalah solidaritas sosial; dalam konteks agama yang dipeluk
rakyat adalah realisasi diri; dalam konteks peraturan yang diundangkan adalah danda. Jiwa demokrasi ini kemudian
dikonkretkan dalam unsur-unsur negara yang disebut astangga.
Dengan
demikian di dalam Arthasastra
tercermin unsur-unsur demokrasi, seperti dijelaskan dalam konsepsi demokrasi di
atas, antara lain kerajaan atau negara mengakui keanekaan; rakyat bebas dalam
berserikat atau berorganisasi; terdapat kerja sama yang merdeka dan harmonis; svami mengusahakan tegaknya keadilan;
terdapat pemisahan dan pembagian kekuasaan; kekuasaan diperoleh berdasarkan
hukum; pemilihan pejabat negara berdasarkan kualitas moral dan keahliannya; kebijakan
pemerintah dijalankan berdasarkan hukum; suksesi kepemimpinan dilaksanakan
secara terencana; ada kebebasan individu untuk mengembangkan bakat dan minat;
menjamin perlindungan hak dan kesejahteraan sosial; besarnya pajak dan
keuntungan perdagangan ditetapkan berdasarkan kesepakatan; dan penyelesaian
perselisihan secara melembaga dengan mengutamakan perdamaian.
Daftar
Bacaan
[1] Model
pemerintahan dan sistem kekuasaan seperti ini, yang menganggap bahwa raja
memiliki kekuasaan absolut, bahkan mewakili kekuasaan para dewa di bumi
sehingga ucapan raja harus dipatuhi, dapat ditelusuri dalam sistem perintahan
raja-raja di Jawa. Misalnya, dalam Berg, C.C, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta: Bhatara; De Graaf, H.J, 1985, Awal Kebangkitan Mataram :Masa Pemerintahan
Senapati, Jakarta: Grafiti Pers.; dan juga
dalam De Graaf, H.J, 1987, Disntergrasi
Mataram: Di Bawah Mangkurat I, Jakarta:
Grafiti Pers.