Siwaratri




Cahaya Siwaratri

I W a y a n S u k a r m a

Om Om Om
Bhur Bhuvah Svah,
Tat Savitur Varenyam,
Bhargo Devasya Dhimahi,
Dhiyo Yo Nah Pracodayat.
Om Sanghyang Widhi Wasa,
yang menguasai ketiga dunia ini,
Engkau Mahasuci,
sumber segala cahaya dan kehidupan,
berikanlah budi nurani kami,
penerangan sinar cahayaMu Yang Mahasuci.
(Tri Sandya Bait Pertama)

“Engkau Mahasuci, sumber segala cahaya dan kehidupan”. Begitulah ungkapan umat Hindu memuja Sanghyang Widhi Wasa. Ia Mahasuci adalah Sinar dan Hidup. Ia adalah Sinar yang memantulkan cahaya dan Hidup yang memantulkan kehidupan. Sinar dan Hidup adalah Sat, Kebenaran Yang Nyata; sedangkan cahaya dan kehidupan adalah Asat, Kebenaran Yang Tak Nyata. Sinar-Hidup yang Satu-Mutlak memantulkan cahaya-kehidupan menjadi segala ciptaan, baik benda maupun makhluk. Inilah dunia-cahaya, tempat tinggal manusia bersama makhluk lainnya. Dunia-pantulan itu terjadi karena permainan Maya Sanghyang Widhi Wasa. Ia yang Mahatahu dan Mahakuasa membatasi pengetahuan dan kekuasaanNya sehingga mengelabui budi nurani. Manusia pun beranggapan bahwa dunia-pantulan Yang Tak Nyata sebagai Yang Nyata. Sesungguhnya, Yang Nyata adalah kekal, suci murni, tidak ternoda, dan tidak ternyatakan. Tri Sandya bait kedua menyatakan, “Om Sanghyang Widhi Wasa, sumber segala ciptaan, sumber semua makhluk dan kehidupan, Engkau tak ternoda, suci murni, kekal dan tak ternyatakan, Engkau Mahasuci dan tiadalah Tuhan yang kedua”.
Umat Hindu memuja Sanghyang Widhi Wasa, “tiadalah Tuhan yang kedua”. Ia satu, tidak ada yang kedua. Ia substansi tanpa sifat dan kualitas, tak berbuat dan tak ternyatakan. Ia Sinar-Hidup murni tanpa aktivitas. Akan tetapi, demi keberlangsungan cahaya-kehidupan, Ia membatasi diriNya sebagai pencipta, pelindung, dan pelebur. Desa Pakraman mengapresiasi sebagai Tri Murti dipuja di Kahyangan Tiga. Umat Hindu juga memujaNya sebagai Dewata Nawasanga. Tri Sandya bait ketiga juga menyebutkan, “Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau disebut juga Siwa, Mahadewa, Brahma, Wisnu dan juga Rudra, karena Engkau adalah asal mula segala yang ada”. Banyaknya fungsi menyebabkan banyaknya manifestasi sebagai dewa dan tata cara pemujaanNya, istadewata. Dalam Weda digambarkan sebagai Sinar Suci, Tat Savitur adalah Agni di Surga, Surya di Langit, Brahma di Bumi, dan melalui tangan manusia mengubah alam menciptakan dunia. Namun “Engkau Mahasuci dan tiadalah Tuhan yang kedua”.
Begitulah Tat Savitur, Sinar Suci Sanghyang Widhi dipahami sesuai dengan ruang dan waktu, bahkan tindakan, yakni kebutuhan, kepentingan, dan keperluan manusia. Sinar Suci yang memancar dan memantulkan kesucian pada segala ciptaan sebagai cahaya kehidupan. Cahaya pikiran adalah kebenaran; cahaya perbuatan adalah kebaikan; dan cahaya penikmatan adalah keindahan. Untuk mempertahankan cahaya inilah umat Hindu berdoa, “berikanlah budi nurani kami, penerangan sinar cahayaMu Yang Mahasuci”. Doa ini menyiratkan bahwa manusia mempunyai kesadaran tentang dan pengalaman mengenai terang dan gelap, seperti terang pagi hari dan gelap malam hari. Dalam Sankhya disebutkan bahwa terang pagi hari berarti kebangkitan pengetahuan, kebudayaan, dan Weda, sedangkan gelap malam hari berarti segala ciptaan diistirahatkan dalam pelukan Prakrti. Pengalaman terang dan gelap, baik di luar maupun di dalam diri berupa suka-duka menimbulkan kesan dan ingatan. Kesan dan ingatan manusia mengenai terang-gelap dan suka-duka banyak dikisahkan dalam Purana dan Itihasa, bahkan Kekawin. Siwaratrikalpa misalnya, kekawin mengisahkan terang-gelap dan suka-duka seorang pemburu masuk Surga.
Siwaratri terbentuk dari dua kata, yaitu “siwa” berarti kasih, terang dan “ratri” berarti shakti, gelap. Kesadaran orang Bali tentang siwa-ratri dinyatakan melalui ungkapan, seperti “lemah-peteng”, “bin mani nu ada lemah-peteng”, “sing nyidang ngalahang lemah-peteng”. Artinya, pengetahuan senantiasa mengalir dalam lingkaran kehidupan, karena itu membaca Siwartrikalpa seperti memahami lemah-peteng tidak akan pernah selesai. Kekawin karya Mpu Tanakung ini dalam masyarakat Hindu di Bali lebih dikenal dengan Kakawin Lubdhaka yang bercerita tentang kehidupan pemburu bernama Lubdhaka. Selain Kekawin Siwaratrikalpa, juga kisah Lubdhaka diceritakan dalam Siwapurana, Skandapurana, Garudapurana, dan Padmapurana. Dikisahkan Lubdhaka bersama keluarganya tinggal di puncak gunung. Pada hari keempat belas bulan ketujuh, panglong ping pat belas sasih kapitu dengan busur dan anak panahnya, Lubdhaka sendirian berburu ke hutan. Dengan penuh semangat dan harapan, ia pun melanjutkan perjalan menuju hutan lebat yang tidak begitu jauh dari rumahnya.
Dalam perburuannya hari ini, Lubdhaka tidak menemukan binatang buruan, kecuali menyaksikan banyak pura yang sudah rusak. Seharian menelusuri hutan membuatnya merasa lelah, karena itu ia beristirahat di tepi danau. Ia pun membersihkan diri sembari berharap, ada binatang yang minum ke danau. Namun harapannya kosong belaka, sampai menjelang malam tak seekor binatang pun ke tepi danau. Hari semakin gelap dan akhirnya, ia menginap di tepi danau itu. Malam pada hari keempat belas bulan ketujuh memang malam paling gelap di antara malam-malam bulan lainnya. Kegelapan menyebabkannya tidak mengetahui arah dan membuatnya merasa takut. Untuk mengurangi rasa takutnya, ia memutuskan naik dan tinggal di atas pohon yang paling tinggi beranama Bila. Untuk mengatasi rasa kantuknya, ia pun memetik daun-daun Bila dan menjatuhkannya ke danau. Tidak disadarinya daun-daun Bila itu jatuh di atas Lingga Siwa. Betapa bergembiranya, saat menyaksikan matahari mulai terbit, ia bergegas pulang. Dengan tangan hampa, ia tiba di rumah saat menjelang malam. Akhir cerita beberapa tahun kemudian, Lubdhaka meninggal dunia dan Bhatara Siwa menganugerahinya Surga, ia pun resmi menjadi penduduk Siwaloka.
Lubdhaka adalah pemburu, pembunuh, dan penjahat, karena itu menurut ajaran agama mendapat hukuman Neraka, bukan ganjaran Surga. Seperti Sarasamuccaya (05) menyatakan, “manusia jahat dianggap sebagai sampah sekaligus penyakit dunia” sehingga tidak mungkin mendapatkan Surga. Penjahat dunia niscaya lahir kembali, bukan tinggal di Siwaloka, seperti dinyatakan dalam Saramuccaya (07) berikut, “apapun yang diperbuat dalam kehidupan ini hasilnya akan dinikmati di akhirat; setelah menikmati pahala akhirat, lahirlah lagi ke bumi. Sesungguhnya hanya perbuatan di bumi inilah yang paling menentukan”. Artinya, perbuatan di dunia inilah menentukan kualitas manusia, baik menerima anugerah Surga maupun Neraka. Kenyataannya setiap perbuatan menghasilkan pahala dan pahala itu kembali kepada pelaku. Hanya orang yang memusatkan pikirannya pada Sanghyang Widhi Wasa dipandang sebagai orang baik. Dalam Bhagawadgita, (IX:30) dinyatakan sebagai berikut, “Bahkan orang yang terjahat sekali pun, bila ia memusatkan pikirannya memuja Aku, ia mesti dipandang sebagai orang baik, karena bertindak menuju yang benar”.
Barangkali inilah cahaya Siwaratri yang dapat diserap dari kisah pemburu masuk Surga. Dalam Siwatattwa ditegaskan, “Orang, apakah ia suci atau tidak suci, diliputi oleh segala nafsu sekalipun, bila ia tekun bhakti kepada Dewa Siwa, Ia menjadi suci lahir-batin”. Pesan simbolik Siwaratri memang lebih indah diungkapkan dengan memaknainya, seperti sebagai cahaya dari sinar kemuliaan mencerahi kegelapan batin manusia. Lubdhaka memang berarti pemburu, namun yang diburunya adalah sattwa. Sattwa sebagai Sat adalah Kebenaran Yang Nyata. Pengetahuan benar yang menerangi batin si pemburu sehingga secara tegas dapat membedakan antara Siwa sebagai Terang dan Ratri sebagai Gelap. Pantulan Sinar dalam Gelap menimbulkan cahaya, cahaya Siwaratri, seperti cahaya Bulan dalam kegelapan malam adalah pantulan sinar Matahari. Begitulah Siwaratri dipahami sebagai Malam Siwa, malam mengentaskan gelap menjadi terang. Malam inilah saat tepat memusatkan pikiran, ucapan, dan perbuatan pemujaan kepada Sanghyang Widhi Wasa.
Melalui pemujaan yang khusuk itulah kemudian, si pemburu memperoleh pencerahan cahaya Siwaratri yang mengentaskan kegelapan batinnya, peteng pitu (tujuh kegelapan batin) menjadi sinar kemuliaan dewata. Kegelapan batin biasanya timbul dari cahaya kehormatan, seperti kebangsawanan, kerupawanan, keremajaan, kepandaian, kekayaan, dan kemenangan, bahkan minuman keras. Tujuh macam kegelapan batin ini akan mendorong orang menjadi pemabuk dan mengumbar hawa nafsu sehingga senang membuat keonaran dalam masyarakat. Pemabuk seperti inilah membutuhkan cahaya Siwaratri untuk menerangi kegelapan batinnya sehingga memperoleh kemurnian jiwa. Melalui cahaya Siwaratri kebiasaan mengumbar hawa nafsu sembarangan dapat ditransformasikan menjadi kebiasaan mengendalikan dan mengatur hawa nafsu berdasarkan moralitas. Cahaya Siwaratri akan mencerahi batin dan mengubah sikap menuju perilaku khusuk pada pemujaan ke hadapan Sanghyang Widhi Wasa. Inilah landasan utama menuju sinar kemuliaan dewata.
Transformasi kegelapan batin sesungguhnya upaya pemurnian jiwa melalui ketaatan dan ketekukan memuja Sanghyang Widhi Wasa, seperti diceritakan bahwa Lubdhaka tinggal di gunung. Gunung bagi umat Hindu di Bali dipercaya sebagai tempat dewa-dewi dan leluhur. Seperti Sanghyang Toh Langkir berstana di Gunung Agung – bandingkan dengan Pangider-ider Dewata Nawasanga dan Padma Bhuwana. Dalam Siwapurana dan Wrhaspatitattwa juga disebutkan, Dewa Siwa bersthana di Gunung Kailasa. Tempat tinggal si pemburu di tempat dewa bersthana berarti si pemburu adalah seorang pembelajar yang taat dan tekun memuja Sanghyang Widhi Wasa. Pikirannya terpusat kuat pada objek pujaan, seperti yogin melalui “yogashcittavrttinirodhah” menuju “Iswarapranidhana”, karena itu si pemburu tidak merasa hari telah senja. Pemusatan pikiran si pemburu, seperti pemusatan titik pandang ketika hendak melepaskan anak panah dari busurnya menuju titik sasaran, sattwa. Sifat-sifat kebitangannya satu demi satu dipanah dan dientaskan – sehingga tidak menemukan binatang buruan – hingga menemukan hakikat kealaman, kemanusiaan, dan ketuhanan dalam dirinya. Penemuan ini menandakan si pemburu sudah suci lahir dan batin, seperti dalam Siwatattwa (07) ditegaskan, “bila ia tekun bhakti kepada Dewa Siwa, Ia menjadi suci lahir-batin”.
Kesucian lahir-batin memang harus dicapai sendiri karena tidak mungkin minta tolong kepada orang lain manyantap sepiring makanan untuk mengenyangkan perut sendiri. Serupa dengan hal itu, betapa mustahilnya seseorang dapat disebut baik dengan menyuruh orang lain berbuat baik. Artinya, jalan kesucian itu memang satu dan hanya satu-satunya bagi setiap orang yang berniat menyucikan dirinya, seperti Lubdhaka sendirian berburu ke hutan. Jalan kesucian tidak tersedia bagi suatu rombongan yang hendak beramai-ramai memurnikan dan menyucikan diri mereka. Pesannya, orang harus berani melakukan perjalanannya sendirian karena jalan kesucian memancarkan sinar kemuliaan yang hanya dapat ditangkap berdasarkan kualitas eksistensi individual. Substansi kealaman, kejiwaan, dan keilahian setiap individu memang sama, namun berbeda kualitasnya pada setiap eksistensi individual. Oleh karena itu, si pemburu menyarankan, orang harus berani mengatasi penderitaan-badan dan kesengsaraan-tubuhnya, yaitu kegelapan yang menakutkan. Isha Upanisad pun menyebutkan, “tidak ada ketakutan lain yang lebih menakutkan, selain kegelapan”. Keberanian mengatasi ketakutan akan kegelapan diperoleh setelah mendapatkan anugerah cahaya Siwaratri, sinar kemuliaan dewata.
Saran ini disampaikan berkenaan dengan sepanjang perjalanannya berburu, Lubdhaka menyaksikan banyak pura yang sudah rusak. Kondisi ini memberitahukan bahwa bangunan pura sebagai tempat suci agama Hindu tidak pernah dirawat barangkali karena sudah tidak fungsional lagi. Kondisi ini pun mendandakan merosotnya kehidupan keagamaan umat Hindu dan/atau umat Hindu memang sudah pindah agama dengan memeluk agama lainnya. Apabila kerusakan pura menandakan kemerosotan religiusitas umat Hindu, seperti peteng pitu yang dialami si pemburu, maka cahaya Siwaratri merupakan peringatan untuk memfungsikan pura kembali. Artinya, umat Hindu disarankan kembali memuja Sanghyang Widhi Wasa, Ia yang Mahasuci, sumber cahaya dan kehidupan. Anugerah cahaya Siwaratri, sinar kemuliaan dewata mencegah seseorang semakin tenggelam ke dalam kegelapan batin. Sinar kemuliaan dewata, bahkan dapat mengembalikan seseorang yang terlanjur terperosok ke lorong tujuh kegelapan batin yang paling dalam. Mendapatkan anugerah sinar kemuliaan dewata inilah alasan utama meraih cahaya Siwaratri setiap purwaning Tilem Kapitu.
Anugerah cahaya Siwaratri dapat diraih melalui ketaatan dan ketekunan memuja, pengetahuan benar, keberanian mengentaskan kegelapan batin, dan kesabaran. Kesabaran mengandaikan suatu proses dalam rentang waktu tertentu. Segalanya memang membutuhkan proses mencapai kematangan, seperti manusia sejak lahir hingga meninggal. Seseorang tidak mungkin mencapai dewasa, tanpa mengalami masa bayi, anak-anak, dan remaja. Manusia bukan dewa yang tanpa badan dan bukan raksasa yang dalam waktu singkat badannya tumbuh besar. Kualitas badan manusia membutuhkan waktu yang cukup mengikuti proses tumbuh, karenanya harus sabar, seperti kesabaran Lubdhaka memetik daun-daun Bila. Seperti saran Upanisad, agar seorang pembelajar dengan penuh kesabaran menyerahkan diri secara total kepada otoritas guru. Pembelajar dituntut memiliki kepatuhan dan keyakinan implisit kepada guru. Kepatuhan menyebabkan keinginan untuk mendengarkan, karena itu mengimplikasikan ketundukan, ketakziman, dan pelayanan. Keyakinan menyebabkan munculnya kepercayaan dan ketenangan yang menuntut pikiran independen, karena itu dibutuhkan sikap takzim dan keinginan kuat untuk belajar. Dengan kesabaran itulah intisari Siwatattwa yang memancar sebagai cahaya Siwaratri dapat ditatap-tangkap.
Kesabaran dapat dicapai melalui mengendalikan diri dan mengatur tingkah laku secara serius dan sungguh-sungguh, seperti tapa brata si pemburu selama tiga puluh enam jam, sejak pagi hingga keseokan harinya menjelang malam. Selama itu, Lubdhaka tidak makan, tidak bicara, dan tidak tidur karena khusuk dan larut dalam pemujaan yang mendalam. Teladan ini memberitahukan bahwa seseorang yang hendak memuja Sanghyang Widhi Wasa, hentikanlah kegiatan mulut dan mata. Kedua kegiatan organ ini akan mengganggu upaya meraih cahaya Siwaratri, seperti saran Upanisad bahwa seorang pembelajar harus patuh dan yakin kepada otoritas guru. Hal ini berbeda dan terbalik dengan kebiasaan memperdalam ilmu pengetahuan konvensional, seorang pembelajar harus mampu melihat secara objektif dan sanggup bertanya secara kritis. Namun jalan kesucian meminta hentikanlah kebiasaan melihat dan bertanya karena cahaya Siwartari berada di luar batas kebiasaan itu. Jalan kesucian menyarakan, lakukanlah tapa brata selama tiga puluh enam jam disebut Brata Siwaratri meliputi Upawasa, Mona, dan Jagra.
Upawasa adalah menghentikan kegiatan makan dan minum. Nafsu dan selera makan memang tidak mudah dibendung karena rasa lapar adalah hukum alam, Rta. Prinsip hukum alam adalah memaksa, seperti Bhagawadgita menyatakan, ”hukum alam bersifat memaksa, setiap orang dipaksa berbuat, tak seorang pun sanggup untuk tidak berbuat, karena badan pun tidak dapat dipertahakan tanpa bekerja”. Begitulah rasa lapar merupakan daya dorong yang kuat untuk melakukan suatu kegiatan, setidak-tidaknya mencari makanan. Sebelum terpuasi, rasa lapar mengganggu keselarasan dan keseimbangan jiwa-raga. Kesadaran menjaga harmoni jiwa-raga inilah prinsip yang hendak diraih melalui upawasa, kesadaran tentang pentingnya mengendalikan rasa ingin makan dan minum. Kesadaran mengendalikan diri dan mengatur tingkah laku termasuk mengatur nafsu makan adalah Dharma. Dharmaning upawasa akan berhasil, bila orang secara sadar mengatakan, “saya selama tiga puluh enam jam tidak makan dan minum karena menjalankan upawasa”.
Selain makan dan minum, juga kegiatan mulut lainnya yang tak mudah dikendalikan adalah berbicara. Upaya mengendalikan dan mengatur hasrat bicara dengan tidak berbicara disebut Monabrata. Hasrat bicara berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial, karena itu tidak mudah menikmati kesendirian dan melewati kebersamaan tanpa bicara. Membangun relasi, komunikasi, dan interaksi merupakan khas manusia. Manusia memiliki keinginan dan kebutuhan untuk diakui sehingga seringkali berteriak, “hore aku hadir di sini”. Perhatikanlah pemimpin dalam masyarakat, baik formal maupun informal berteriak kencang untuk mengabarkan kehadiran dan keberadaannya, bahkan pemasangan spanduk dan baliho menjadi pilihan efektif. Sebaliknya, monabrata meminta berhentilah bicara, padamkanlah keinginan berbicara, sebagaimana jalan kesucian adalah perjalanan sunyi. Perjalanan sunyi masuk ke dalam diri yang paling dalam lebih membutuhkan introspeksi daripada teriakan kosong, seperti peng-aku-an. Tidak perlu berbicara karena bisikan sunyi hadir sebagai cahaya Siwaratri sudah cukup menggambarkan Kebenaran.
Kebenaran (dengan K besar) tidak hadir dalam pembicaraan dusta dan bohong karena kejujuran tidak pernah berteriak menyatakan kehadiran dan keberadaannya. Kejujuran itulah jalan sunyi menuju cahaya Siwaratri. Sinar kemuliaan dewata yang tidak mudah ditatap dan ditangkap secara indrawi, karena itu disarankan tidak melihatnya. Tidak melihat tidak berarti tidur nyenyak, tetapi jagrabrata menyarankan pandanglah sang diri paling dalam selama tiga puluh enam jam. Kodrat mata hanya melihat dalam cahaya, tanpa cahaya mata pun istirahat. Tanpa melihat, tetapi tetap sadar adalah intisari dari jagrabrata. Artinya, penglihatan adalah suatu kekuatan pengendali kesadaran. Orang disebut memiliki kesadaran hanya sadar terhadap suatu objek. Apalagi masalah utama manusia, seperti disebutkan Anthony de Mello, “manusia dilahirkan dalam keadaan tertidur, mereka hidup dalam keadaan tertidur, mereka menikah dalam keadaan tertidur, mereka membesarkan dan mengasuh anak dalam keadaan tertidur, mereka meninggal dalam keadaan tertidur, tanpa pernah terjaga dari tidur mereka”. Bangun, bangkitlah dari tidur dan raih kesadaran sang diri sepenuhnya. Seperti perintah jagrabrata, bangunlah dan eling pada sang diri sejati karena eling adalah kesadaran Siwaloka.

(Majalah Wartam Edisi Januari 2016)

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...