PENDIDIKAN BUDI PEKERTI:
Mengakhiri
Kemunafikan Manusia
I Nyoman Darnita
Budi Pekerti dan Asosial
Pendidikan budi pekerti
akhir-akhir ini kembali menjadi pembicaraan luas di tengah-tengah masyarakat
kita dewasa ini. Tokoh masyarakat, pakar pendidik, menyampaikan bahwa
pendidikan budi pekerti sangat penting diberikan kembali kepada anak didik
kita. Pandangan-pandangan tentang perlunya pendidikan budi pekerti muncul
didasarkan pada suatu kekhawatiran terhadap kelangsungan hidup bangsa ini yang
sekarang sudah pada posisi yang kurang menguntungkan. Hal ini terlihat pada
fenomena terjadinya tawuran antar pelajar, antar kampung, antar suku atau antar
pendukung elite politik, pengrusakan terhadap fasilitas-fasilitas umum, serta
berbagai tindakan kriminal yang semakin marak.
Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya krisis ekonomi,
lemahnya penegakan hukum, krisis sosial yang belum teratasi dengan baik,
ditambah lagi hilangnya wibawa pemerintah di mata rakyat semakin memperburuk
keadaan. Masyarakat sepertinya telah kehilangan panutan yang bisa dijadikan
teladan, sebab para pemimpin kita selalu bertengkar dan hal ini secara gamblang
dapat disaksikan oleh masyarakat lewat media massa. Pertikaian politik di
tingkat atas ternyata berpengaruh besar terhadap para pendukungnya
masing-masing sehingga terjadilah tindakan-tindakan anarkhi dimana-mana. Hal
ini telah mencoreng citra bangsa kita yang selama ini dikenal sebagai bangsa
yang berbudaya. Kekerasan sepertinya telah menjadi bagian dari budaya kita.
Nilai-nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan serta nilai-nilai sosial dan
kehalusan budi pekerti nampaknya sudah bergeser jauh dari norma-norma sosial
yang umumnya dianut oleh masyarakat beradab.
Oleh karena itu berbagai
kalangan berpendapat bahwa sudah saatnya dilakukan pembenahan dalam dunia
pendidikan kita, terutama dalam upaya menanamkan budi pekerti kepada para
peserta didik. Keputusan Kantor Menteri Pendidikan Nasional bahwa pendidikan
budi pekerti harus kembali menjadi bagian kurikulum sekolah pada tahun ajaran
berikut nanti seperti memberikan angin
segar. Pendapat-pendapat tentang pentingnya pendidikan budi pekerti di sekolah
tidak hanya karena semakin meningkatnya tindakan-tindakan asosial dan
antisosial di masyarakat, tetapi yang lebih penting adalah dalam rangka
membangun masa depan bangsa yang lebih
baik.
Pembentukan Karakter
Yang
ingin dicapai oleh pendidikan budi pekerti adalah membangun karakter pelajar
(character building), yang nantinya akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku.
Tepatnya, ini adalah bagian penting upaya mencerdaskan moralitas manusia muda
Indonesia. Pendidikan baik formal maupun non formal dalam kaitan dengan hal di
atas , menjadi suatu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk dapat mengatasi
permasalahan tersebut. Karena hanya dengan pendidikan manusia bisa meningkatkan
kualitas dirinya. Pendidikan harus dirancang untuk menguasai dan mengembangkan
bidang-bidang keilmuan untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru dalam bidang
ilmu dan teknologi, sedangkan pendidikan dalam bidang agama, budaya, nilai,
budi pekerti dan lain sebagainya dirancang untuk dapat menghayati dan
menghargai harkat dan martabat manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan,
sesama maupun lingkungannya. Kedua aspek makro dari tujuan pendidikan itu harus
seimbang agar dapat menghasilkan manusia cerdas dan berbudi pekerti luhur. Pendidikan menjadi harapan dalam situasi
hubungan antar manusia yang kritis belakangan ini. Pendidikan harusnya tak
hanya melahirkan manusia-manusia yang
cerdas secara intelektual dan mampu berkompetisi, tetapi terutama adalah
manusia yang memiliki nilai-nilai saling menghargai dan menghormati, terbuka
terhadap perbedaan, saling mendukung dan melengkapi. Untuk itu kiranya
diperlukan penanaman nilai-nilai budaya kepada anak didik sejak dini untuk
dapat membentuk sikapnya.
Penanaman
nilai nilai budaya terasa semakin penting mengingat kebudayaan dapat
mempengaruhi sikap seseorang. Artinya sikap individu dipengaruhi oleh
norma-norma atau konsep-konsep nilai budaya yang dianut oleh individu
bersangkutan. Munurut Mattulada yang mengutip pendapat Kluckhohn dan Strodbeck
(1961) mengatakan bahwa ada lima macam konsep yang secara universal terdapat
pada semua bangsa dan semua zaman yang menjadi sumber nilai budaya, dan
terhadapnya orang itu menyatakan sikapnya. Kelima hal itu adalah sebagai
berikut.
(1)
Tanggapan terhadap hakikat hidup. Semua kebudayaan di
dunia ini, niscaya memiliki konsep tentang
apa yang disebut hakikat hidup. Apa arti hidup ini, apa tujuan dan
bagaimana menjalaninya. Biasanya agama-agama
memberikan tuntunan terhadap seseorang sehingga terbentuk persepsinya
terhadap hakikat hidup itu. Ada
yang memandang hidup ini sebagai kesengsaraan yang harus diterima sebagai
ketentuan yang tak dapat dihindari, sebagai hidup untuk menebus dosa, sebagai
kesempatan untuk menggembirakan diri, menerima sebagaimana adanya dan berbagai
tanggapan lainnya.
(2)
Tanggapan terhadap karya. Konsep tentang arti karya,
sangat bervariasi ditampilkan oleh berbagai kebudayaan. Ada yang memandang karya atau bekerja itu
sebagai suatu yang memberikan arti bagi kehidupan; bekerja itu adalah
pernyataan tentang kehidupan; bekerja itu adalah intensifikasi dari kehidupan
untuk menghasilkan lebih banyak kerja lagi, serta berbagai tanggapan lainnya.
(3)
Tanggapan terhadap alam. Bagaimana manusia menghadapi
alam juga terdapat persepsi yang beragam. Ada
yang memandang alam sebagai suatu potensial yang harus diolah manusia untuk
dapat memberikan kebahagiaan; ada yang memandang alam ini sebagai sesuatu yang
harus dipelihara keseimbangannya sehingga harus diikuti saja hukum-hukumnya dan
berbagai tanggapan lainnya.
(4)
Tanggapan terhadap waktu. Berbagai tanggapan orang
tentang waktu terbentuk dalam kebudayaan yang membinanya. Ada tanggapan bahwa yang sebaik-baiknya
adalah masa lalu yang memberikan pedoman kebijaksanaan dalam hidupnya; ada yang
memandang masa kini itulah waktu terpenting dan ada yang beranggapan bahwa
berorientasi ke masa depan itulah yang terbaik untuk kehidupan ini.
(5)
Tanggapan terhadap sesama manusia. Ada peradaban yang menanamkan pada warga
masyarakat pandangan-pandangan terhadap
sesama manusia bahwa orang-orang atasan itulah yang sepatutnya menjadi pola
ikutan yang sebaik-baiknya; ada yang menanamkan pandangan bahwa mengikuti kepada sesama adalah yang
terbaik; ada yang berorientasi kepada mengikuti pengalaman leluhur itulah yang
baik dan sebagainya.
Kelima konsep
ini dapat dijadikan rujukan untuk memeriksa bagaimana sikap kita mengahadapi
hidup di dunia ini. Tanggapan-tanggapan yang diberikan tak bisa lepas dari
proses pendidikan yang telah dijalani.
Menyikapi persoalan-persoalan yang
menyangkut moral masyarakat dewasa ini siapakah yang paling bertanggungjawab
terhadap pembentukan budi pekerti tersebut. Berbicara masalah moral dan pekerti masyarakat maka pendidikan sangat
berperan. Sebagaimana diketahui bahwa ada tiga sentra pendidikan yaitu :
keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiganya tak dapat dipisahkan dan harus
berjalan beriringan. Dalam hal penanaman nilai, maka keluarga memegang peran
penting. Pola asuhan orang tua dalam keluarga merupakan wujud pendidikan dalam
keluarga. Sesuai perkembangan
zaman, masalah isi dari pola asuhan dalam keluarga sangat penting untuk
dicermati. Dalam arus globalisasi dewasa ini, disadari atau tidak, pertanyaan
yang harus dijawab para orang tua adalah: apakah yang semestinya
diprioritaskan sebagai isi dari
pendidikan dalam keluarga. Hal ini penting mengingat dalam era global arus
informasi dari berbagai belahan dunia dapat langsung masuk dalam ruang
keluarga, baik lewat media cetak maupun elektronik. Berbagai keuntungan dapat
diperoleh, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa berbagai pengaruh negatif dapat pula secara langsung
mempengaruhi anggota keluarga. Untuk mengantisipasi hal itu, pendidikan dalam
keluarga yang merupakan lembaga pendidikan
pertama dalam rangka penanaman berbagai nilai kehidupan perlu diisi dan
diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh
para orang tua. Sebagai benteng pertama dan terakhir pendidikan menyangkut hal-hal yang normatif, orang tua
harus dengan sadar mengupayakan bahwa
isi pendidikan dalam keluarga adalah
pendidikan nilai. Karena dengan pendidikan nilai ini akan memberikan dasar yang
kuat bagi anak untuk dapat mengantisipasi berbagai pengaruh negatif yang ada.
Nilai sebenarnya merupakan sesuatu yang essensial dalam kehidupan individu
maupun masyarakat. Nilai merupakan pola perhatian dalam hidup, baik secara
individu maupun kelompok. Secara prinsip dari berbagai kajian teori dapat
dikatakan bahwa nilai adalah merupakan konsepsi dasar tentang kehidupan yang
terdapat pada individu maupun kelompok
masyarakat, baik secara implisit maupun eksplisit, dan merupakan standar yang
relatif ajeg hubungannya dengan pola berpikir, bersikap maupun berperilaku.
Dengan makin kokohnya nilai-nilai yang dimiliki maka akan makin mampu anak
menyaring apa yang perlu dan yang tidak perlu atau apa yang cocok dan tidak
cocok bagi dirinya dan lingkungannya (Dantes,1993).
Disamping
keluarga peran sekolah dan masyarakat juga sangat menentukan dalam pembentukan
budi pekerti. Begitu anak bersentuhan dengan dunia di luar lingkungan
keluarganya maka berbagai nilai akan dijumpainya. Hal ini tentunya akan sangat
berpengaruh terhadap budi pekertinya. Kalau kita perhatikan proses pendidikan
di sekolah saat ini nampaknya terlalu menekankan pada ranah kognitif saja. Anak
didik terlalu dijejali oleh begitu banyak pelajaran dan budaya les tambahan.
Sedangkan ranah afektif sepertinya terabaikan, sehingga pendidikan kita
akhirnya menghasilkan orang-orang yang cerdas namun kurang mempunyai kepekaan
nurani. Ke depan, ketiga ranah pendidikan harus berjalan
seimbang.
Metode Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan
budi pekerti pada hakikatnya merupakan pendidikan untuk membina sikap mental
(budi) dan perilaku hidup (pekerti) seseorang. Oleh karena itu karakteristik
pendidikan budi pekerti seyogyanya bersifat praktis pragmatis. Pendidikan budi
pekerti seharusnya tidak terlalu teoritis, akan tetapi berorientasi pada
masalah yang berkaitan dengan praktek hidup sehari-hari. Kita tidak hanya dituntut untuk mengerti
suatu ajaran yang bersifat doktriner tetapi yang jauh lebih penting adalah
bagaimana ajaran itu dapat dipraktekkan dalam keseharian hidup kita. Dengan
kata lain, pendidikan budi pekerti perlu
dihayati sebagai pendidikan dalam
berperilaku (praktis).
Tentang metode pendidikan
budi pekerti masih terdapat berbagai pendapat yang berbeda. Ada yang
berpendapat bahwa pendekatan tradisional yaitu melalui penanaman nilai-nilai
sosial tertentu kepada peserta didikmasih cukup relevan untuk diterapkan di Indonesia.
Ahli lainya berpandangan bahwa pendidikan budi pekerti dapat dilakukan melalui
pendekatan kultural (cultural approach),
pendekatan manajerial (managerial
approach) dan pendekatan keteladanan (behavioral
model approach). Ketiga
pendekatan ini bisa dilaksanakan secara integratif dan saling melengkapi, dan
bila hal ini bisa dilakukan secara konsekuen, maka akan dihasilkan produk
perilaku sosial yang luhur (Wayan Koster, 2001).
Untuk
mempersiapkan generasi mendatang yang utuh budi pekertinya sehingga memiliki
perilaku yang sesuai dengan nilai luhur bangsa Indonesia, penanaman pendidikan
budi pekerti harus dimulai sejak dini. Untuk itu ketiga komponen “ keluarga,
sekolah dan masyarakat” harus berjalan beriringan. Kesadaran menanamkan
pendidikan budi pekerti hendaknya menjadi misi pendidikan di Indonesia.
Penutup
Uraian di atas hendak
mengingatkan kembali bahwa pendidikan merupakan upaya orang dewasa kepada
mereka yang belum dewasa agar mereka dapat memahami dirinya sendiri dan
mengendalikan dirinya sendiri. Memahami diri sendiri merupakan kesadaran akan
eksistensi diri di tengah-tengah kehidupan dan mengendalikan diri sendiri
merupakan kemampuan mengekspresikan kehendak bebas dalam kehidupan. Kehidupan
inilah yang diterjemahkan dalam dunia pendidikan menjadi pemegang utama
tanggung jawab pendidikan, yakni keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Demikianlah masyarakat manusia menyusun dan menata kehidupan sosialnya sehingga
norma dan nilai yang selalu berubah-ubah dapat ditransformasikan dalam dunia
pendidikan. Norma dan nilai inilah inti dari pendidikan budi pekerti yang
hendak dikuatkan pada peserta didik agar mereka berbudi luhur dan berakhlak
mulia. Keluhuran dan kemuliaan inilah akhir dari perjalanan pendidikan budi
pekerti dan dengannya kemunafikan manusia ditiadakan.