Kemerdekaan
Sang Mahardika
I W a y an S u k a r m a
Kemerdekaan adalah kebebasan, baik
bangsa maupun individu dalam mengekspresikan diri. Kebebasan senantiasa
bersangkut-paut dengan tanggung jawab, baik secara yuridis, psikologis, etis
maupun eksistensial. Tanggung jawab inilah landasan Sang Mahardika dalam menata
segenap pikiran, ucapan, dan tindakannya untuk menyelamatkan dirinya. Jadi,
kemerdekaan merupakan landasan sekaligus tujuan tindakan yang upayakan secara
serius dan sungguh-sungguh dalam rangka kembali menyataakan hakikat diri adalah
kebebasan.
“Merdeka atau Mati”, pekik perjuangan
generasi empat lima menuju permakluman sakral, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan
Indonesia”. Kata penghubung “atau”
menunjukkan pilihan (tindakan) bertanggung jawab. Tanggung jawab ditetapkan berdasarkan
pertimbangan “lebih baik” dan “daripada”, lebih baik “merdeka” daripada “mati”.
Kata “mati” bukanlah lawan dari kata “merdeka”. Oleh karena itu, pilihan tanggung
jawab ini hendak menyatakan bahwa penjajahan lebih buruk daripada kematian. Hal
ini menunjukkan betapa berharganya kemerdekaan, baik individual maupun sosial. Nilai
kemerdekaan dapat menjadi daya upaya, tenaga penggerak, dan kekuatan pendorong sejarah
perjuangan meraih kebebasan sosial. Kebebasan sosial politik yang direalisasikan melalui proses
dekolonialisasi inilah merupakan produk perkembangan sejarah, bahkan produk
perjuangan sepanjang sejarah.
Proses dekolonialisasi sesungguhnya memiliki sifat etis sehingga timbul
keyakinan bahwa tidaklah pantas suatu bangsa menjajah dan/atau dijajah oleh bangsa
lain. Situasi kolonialitas tidak pernah boleh terjadi karena penjajahan ditolak
sebagai tidak etis. Aspek etis itu secara tegas dirumuskan dalam kalimat pertama Pembukaan UUD 1945. “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan keadilan”. Kemudian, pada tahun 1960 negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyepakati sebuah deklarasi yang pada intinya
mempunyai isi yang sama, “bahwa hak semua negara dan bangsa yang dijajah untuk
menentukan nasibnya sendiri”. Menentukan nasib sendiri inilah satu bentuk kemerdekaan.
Kemerdekaan adalah kebebasan sosial politik, hak suatu negara mengendalikan wilayahnya sendiri tanpa campur tangan negara
lain. Pada tataran individual kemerdekaan adalah kebebasan seseorang, hak seseorang
mengendalikan dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain. Kebebasan
individual menyangkut kebebasan fisik, psikologis, yuridis, moral, dan
eksistensial. Kenyataannya untuk mewujudkan kebebasannya, manusia tidak boleh mengalami
hambatan bergerak, tanpa paksaan dan ancaman mengembangkan hidup berdasarkan
kehendak bebasnya memilih antara baik dan buruk, sesuai dengan hukum kodrat dan
hukum positif, karena manusia adalah kebebasan. Kebebasan yang disebutkan
terakhir inilah kebebasan eksistensial, yaitu bentuk kebebasan tertinggi. Orang yang bebas
secara eksistensial telah mencapai taraf otonomi, otentisitas, kedewasaan, dan
kematangan rohani. Ia sungguh-sungguh bebas terlepas dari keterasingan dan hanya
memiliki dirinya sendiri.
Subjek kebebasan individual adalah
manusia perorangan, sedangkan subjek kebebasan sosial
politik adalah suatu bangsa atau rakyat. Kebebasan sesungguhnya entitas, seperti
ungkapan Fredrich Schiller, penyair Jerman abad ke-18, “Manusia diciptakan
bebas dan ia tetap bebas, sekalipun lahir terbelenggu”. Akan tetapi, sejarah dalam kenyataan pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa kebebasan
harus diperjuangankan dengan serius dan sungguh-sungguh. Semangat memperjuangkan
kebebasan secara mengagumkan digambarkan dalam semboyan pejuang Revolusi
Prancis (1789), “Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan” (Liberte, Egalite, Fraternite). Semboyan ini hendak menyatakan bahwa perwujudan
kebebasan tidak terbatas hanya pada suatu negara, tetapi mempunyai relevansi
universal. Pada dasarnya gagasan yang melatarbelakangi kebebasan semacam ini
memiliki sifat etis. Dengan demikian, perkembangan monarkhi absolut menjadi demokrasi
modern tidak saja merupakan kenyataan historis, tetapi juga keharusan etis.
Keharusan etis mengimbau manusia agar memiliki kesanggupan menghormati dan
meraih kebebasan sehingga harus memahami hakikat kebebasan, seperti disarankan seloka
Sarasamuccaya berikut. “Manusia hendaknya mulai dari detik ini pula mengusahakan dengan tidak
pernah jemu untuk memahami hakikat Kesenangan, Kekayaan, Kebajikan, dan
Kebebasan. Manusia adalah Sang Raja bagi dirinya sendiri, ia adalah pemimpin
dari tubuhnya, ia adalah penguasa dari pikirannya, maka dari itu berusahalah
untuk memahami hakikat penjelmaan ini”. Seloka ini hendak menyatakan, manusia
adalah tuan, bangsawan, bukan budak, buruh. Manusia adalah makhluk berdaulat sehingga
memiliki kemampuan menguasai dan kesanggupan mengendalikan diri. Pengendalian
diri dibutuhkan karena kenyataannya manusia tidak membiarkan dirinya bertindak
liar dan sewenang-wenang. Manusia mengatur tingkah lakunya seiring-sejalan
dengan perubahan dan perkembangan kebudayaan. Intinya, manusia mengatur tingkah
lakunya berdasarkan ilmu pengetahuan, kepandaian, kebajikan, keluhuran budi, kemuliaan
akhlak, dan sifat kebangsawanan. Inilah manusia mahardika.
Sang Mahardika tidak hanya mengerti
kehendak bebas dan kebebasan, namun juga memahami hakikat dirinya adalah
seorang tuan, raja, bangsawan. Malahan Bhagawadgita
menganjurkan, manusia harus bekerja sebagai tuan, raja, bangsawan, bukan
sebagai budak, buruh, jelata yang berharap upah. Sang Mahardika menyadari bahwa
Kesenangan (kama) tidak terletak pada
imbalan, tetapi pada Kebebasan (moksa)
yang dicapai dengan bantuan Kekayaan (artha)
dan dukungan Kebajikan (dharma). Prinsip
catur purusa artha inilah landasan sekaligus
tujuan perbuatan karena agama Hindu meyakini bahwa manusia adalah kumpulan daya
penggerak (karma). Dalam produksi
daya penggerak berlangsung prinsip perubahan dari benda menjadi tenaga dan dari
tenaga menjadi benda. Prinsip perubahan ini mengikuti hukum bahwa tenaga selalu
kembali ke tempat asalnya diproduksi. Hukum ini menegaskan bahwa perbuatan,
entah baik ataupun buruk menghasilkan tenaga (sanskara) dan tenaga itu kembali kepada (dan membentuk) pelaku (prarabhda).
Tenaga yang dihasilkan dari perbuatan
itu tetap menyelubungi jiwa, bahkan ketika badan (-jasmani) dan tubuh (-astral)
sudah hancur, seperti melekati kecerdasan, pikiran, ingatan, keinginan, dan
peruntungan. Kehancuran badan dan tubuh tidak menghalangi jiwa menghasilkan
tenaga, tetapi jiwa pun tetap menghasilkan tenaga melalui indra. Mengingat indra-indra
yang hadir pada atom (bhuta) adalah kumpulan tenaga. Indra-indra
diciptakan dari tenaga yang keluar dari sifat bhuta, baik terang, gerak, maupun gelap. Misalnya, saat jiwa
menginginkan kenikmatan, jiwa pun menghasilkan daya, sebagaimana keinginan jiwa
itu sendiri. Begitulah indra-indra menjadi tubuh baru bagi jiwa. Sifat dan kekuatan
tubuh tergantung pada sifat dan kekuatan dari tenaga yang menentukannya. Apabila
tenaga yang menentukan tubuh bersifat terang, maka tubuh mampu menguasai badan.
Begitulah Sang Mahardika meningkatkan sifat dan kekuatan jiwanya melalui pilihan-pilihan
etis, putusan yang menentukan sifat dan kekuatan tenaga yang membentuk tubuhnya.
Artinya, kualitas seseorang tidak
terletak pada badannya, tetapi pada tubuhnya yang terbentuk dari tenaga yang
dihasilkan dari perbuatannya pada masa kehidupan terdahulu. Apabila tenaga yang
membentuknya bersifat mulia, maka tubuhnya mulia dan orang itu pun hidup bahagia.
Sebaliknya, apabila tenaga yang membentuknya bersifat hina, maka tubuhnya hina
dan orang itu pun hidup sengsara. Malahan Nand Lal Punj (1956) pernah menggambarkan,
orang yang hidup jujur pada kehidupan terdahulu memiliki tenaga yang dapat
menarik kemakmuran pada kehidupannya masa kini. Orang ini pun memiliki sifat dan
kekuatan menciptakan kemakmuran. Sebaliknya, orang yang hidup tidak jujur pada
kehidupan terdahulu dikuasai tenaga yang menolak kemakmuran sehingga pada
kehidupan masa kini tidak mampu menciptakan kemakmuran. Begitu pula orang yang
pada masa kehidupan terdahulu banyak berbuat tidak simpatik dikuasai tenaga
permusuhan sehingga pada kehidupan masa kini memiliki banyak musuh.
Musuh tidak hanya berasal dari luar, baik
berupa halangan, rintangan, hambatan, tantangan, ancaman, maupun beragam bentuk
permasalahan lainnya, tetapi juga bersumber pada diri sendiri. Oleh karena berada
pada diri sendiri sehingga musuh ini tidak mudah dikenali dan dihadapi, seperti
sifat dan kekuatan mata tidak dapat melihat kemampuan dan kesanggupannya sendiri.
Mata tidak dapat melihat dirinya sendiri. Apakah Anda pernah mencoba melihat
mata kiri dengan mata kiri dan/atau dengan mata kanan Anda? Tentu percobaan ini
bukanlah permainan. Keberadaan musuh yang seperti itu meminta keadaan pikiran yang
lebih jernih dan kondisi indra yang lebih peka, agar kesadaran lebih mudah mempertimbangkan
dan menentukan sifat beserta kekuatannya. Bersyukur agama Hindu sudah membantu
mengidentifikasi enam jenis musuh pada diri sendiri.
Enam jenis musuh itu disebut Sad Ripu
terdiri atas Kama (nafsu, hasrat, keinginan), Lobha (tamak, rakus, serakah), Krodha
(marah), Moha (bingung), Mada (mabuk), dan Mastsarya (dengki, iri hati). Orang yang
memiliki nafsu, hasrat, dan keinginan lebih besar daripada kemampuan dan
melampaui kesanggupannya akan mudah kecewa karena tamak, rakus, dan serakah. Orang
yang tamak, rakus, dan serakah selalu merasa kekurangan, apalagi tidak semua
nafsu, hasrat, dan keinginannya terpenuhi akan mudah marah. Orang yang marah dengan
mudah kehilangan akal sehat sehingga gampang bingung. Orang yang bingung tidak
mudah membedakan antara baik dan buruk sehingga mengalami kesulitan memilih
jenis perbuatannya. Kesulitan serupa, juga dialami oleh pemabuk karena tidak
mudah menentukan keseimbangan dirinya. Orang yang tidak seimbang cenderung goyah
dan mudah terayun-ayun dalam iri hati dan dengki yang tidak berkesudahan. Begitulah
keenam musuh itu membuat manusia frustrasi berkepanjangan dalam banyak pengulangan
masa kelahiran, samsara.
Keenam musuh itulah sesungguhnya penjajah
yang berpusat pada kama dan selalu mendikte
perbuatan menghasilkan tenaga gelap sehingga tubuh kurang mampu menguasai badan.
Malahan Bhagawadgita menyatakan bahwa
kama, lobha, dan krodha merupakan
pintu gerbang ke neraka menuju kehancuran diri, karena itu tinggalkanlah. Meninggalkan
musuh dapat dilakukan dengan upaya, antara lain menghindar, menolak, dan
melawan. Hindarilah berhasrat dan berkeinginan terhadap sesuatu yang menyebabkan
perbuatan menghasilkan tenaga gelap. Janganlah menuruti hasrat dan keinginan
yang menyebabkan perbuatan menghasilkan tenaga gelap. Hadapilah hasrat dan
keinginan dengan tuntunan dan perlindungan kitab-kitab suci, agar perbuatan
tidak menghasilkan tenaga gelap. Oleh karena itu, Bhagawadgita menyarankan,
”Biarkanlah kitab-kitab suci menjadi petunjukmu untuk menentukan apa yang boleh
dilakukan dan apa yang tidak boleh; setelah mengetahui apa yang dikatakan dalam
ajaran kitab suci, engkau hendaknya mengerjakannya di sini”. Begitulah Sang Mahardika melindungi kecermelangan dan kemuliaan jiwanya
dari musuh yang bersumber pada dirinya sendiri.
Barangkali keseluruhan upaya memahami dan mengerjakan ajaran
kitab suci itu lebih merupakan ungkapan perasaan yang mendalam (barangkali mistis) tentang kesadaran
rohani. Sementara itu, pengalaman menghindari, menolak, dan
melawan musuh lebih merupakan ungkapan psikologis yang sekunder berkaitan
dengan pembahasan mengenai pengalaman konvensional. Dalam hal ini, selain menguasai pengetahuan konvensional, juga
mengandung imbauan betapa pentingnya menguasai pengetahuan nonkonvensional. Pengetahuan nonkonvensional ini lazim lebih dikenal dengan Atma-Jnana, Pengetahuan Diri. Konsep
tentang Pengetahuan Diri ini sesungguhnya penemuan
tentang siapa dan apakah “aku”,
ketika “aku” sudah tidak lagi
terindentifikasi dengan definisi peran dan aturan tentang
manusia. Penemuan inilah yang seringkali digambarkan dengan term-term
mistis Weda atau dengan ungkapan-ungkapan Upanisad, seperti Neti, Neti, Tat Twam Asi, dan Atman Brahman Asmi.
Pernyataan “Aku adalah Brahman”, bukanlah dimaksudkan dengan implikasi
sebagai pertanggungjawaban terhadap penciptaan dan kelangsungan
alam semesta beserta isinya. Pernyataan itu juga tidak bermasud
hendak menyatakan tentang identifikasi diri sebagai Brahman pada tingkat kepribadian luarnya. Selain itu, Brahman tidaklah berganti, baik dalam mencipta maupun
memelihara alam semesta terutama dalam konteks personal karena Brahman tidak tahu dan
tidak berbuat sebagai seorang personal. Brahman tidaklah mengetahui alam
semesta dalam bentuk fakta
konvensional atau bertindak terhadapnya dengan pertimbangan pikiran, emosi, dan
kehendak. Walaupun Upanisad menyatakan bahwa Brahman
mengetahui dirinya sendiri, namun pengetahuan ini
bukanlah rangkaian informasi, sebagaimana
dalam konsep pengetahuan konvensional. Akan tetapi, pernyataan ini untuk menyatakan bahwa Pengetahuan Diri adalah realisasi
potensi ketuhanan dalam diri.
Begitu pula dengan pernyataan “Itulah Engkau” bahwa pada tataran
konvensional dengan mudah dilihat bahwa
mengetahui “apakah yang bukan itu” tidak kalah pentingnya dengan mengetahui “apakah itu”. Kegunaan pengetahuan negasi, bukan seperti kegunaan sebuah
ruang atau bidang, seperti
tulisan membutuhkan bidang kosong untuk ditulisi, air
membutuhkan gelas kosong untuk dituangi. Artinya, nilai
dari kekosongan tidak terletak pada kekosongan itu
sendiri, tetapi pada gerakan yang memanfaatkannya, substansi yang membutuhkan kekosongan sebagai media untuk
dimuati. Artinya, kekosongan harus hadir terlebih
dahulu agar dapat
digerakkan. Inilah konsep maya yang menekankan
pada pengetahuan negasi dalam upayanya membebaskan
pikiran dari konsep kebenaran konvensional. Akan tetapi,
hal ini tidak menyediakan satu ide pun, tidak ada
deskripsi atau pemahaman tentang apa yang harus diisikan pada kekosongan
pikiran karena ide-ide dan gagasan
selalu eksis di luar fakta.
Kalau ide-ide dan gagasan tentang pembebasan tidak
memadai untuk memahami kebebasan, maka Sang Mahardika menyadari bahwa disiplin
praktik dari jalan pembebasan adalah upaya membebaskan
diri. Disiplin membebaskan jiwa dari
setiap identifikasi bahwa “aku” bukan badan dan tubuh ini. “Aku” bukan sensasi perasaan, pemikiran,
pengalaman, ingatan, dan kesadaran
ini. Artinya, kenyataan dasar dari kehidupan bukanlah objek yang dapat
dipahami begitu saja secara objektif konvensional. Pada akhirnya semua itu
tidaklah dapat diidentifikasi dengan ide-ide dan gagasan
apapun, sebagaimana halnya Atman dan Brahman.
Ketika Diri tidak dapat lagi terindentifikasi dengan objek dalam realitas dan tidak dapat dipahami dengan
konsep apapun, maka dalam kondisi ini disebut Nirvikalpa, tanpa konsepsi. Dalam kondisi tanpa konsep seperti ini
muncul kilatan cahaya kesadaran dari kedalaman sesuatu yang misterius, yaitu
dari satu kondisi kesadaran akan ketuhanan, pengetahuan tentang Brahman.
Bhagawadgita menerangkan, pengetahuan tentang Brahman adalah pengetahuan yang
direpresentasikan sebagai penemuan bahwa dunia yang jamak adalah Satu. Semua dan segalanya adalah Brahman. Dualitas
adalah bayangan ilusi, semu, khayal. Dalam hal ini, sebagai pernyataan
faktual konvensional bahwa ungkapan seperti itu sama sekali tidak berarti
secara rasional dan tidak memberikan tambahan informasi apapun. Pernyataan
seperti itu sebenarnya merupakan pengekspresian yang paling mungkin dilakukan
dengan kata-kata dari pengalaman pribadi. Walaupun ketika hendak mengucapkan nada terakhir lidah bagaikan kelu, mulut
merapat erat, dan diam. Manakala terbukanya
segala rahasia Taoisme menggambarkan, “mereka yang tahu tidak bicara; mereka
yang bicara tidak tahu”. Menurut Bhagawadgita inilah ilmu kesempurnan dan kelepasan, ilmu tertinggi dan paling
rahasia, yoga yang paling tua.
Upaya Sang Mahardika menguatkan,
melindungi, dan menyelamatkan jiwanya itu telah menunjukkan betapa pentingnya
kemerdekaan, baik sebagai dasar komitmen maupun tujuan moral. Kemerdekaan
memilih perbuatan etis merupakan syarat mutlak dalam rangka meraih otonomi dan otentisitas
kebebasan jiwa. Merealisasikan kebebasan jiwa tersebut sesungguhnya membutuhkan kepastian tindakan di
sini-sekarang. “Tindakan pembebasan” ini pun mengikuti hukum karma bahwa Brahman adalah asal mula seluruh jiwa (makhluk) dan seluruh
makhluk secara bersamaan berupaya kembali kepada Brahman. Ketika upaya seluruh makhluk
telah berakhir, maka kesadaran individual pun bangkit dan menemukan ketuhanan
dalam dirinya sendiri. Kesadaran dan kepribadian Sang Mahardika yang telah
menemukan ketuhanan dalam dirinya sendiri dalam Bhagawagita diidentifikasi memiliki sifat-sifat kedewataan, yaitu Sat
(Kebenaran), Cit (Kesadaran), dan Ananda (Kebahagiaan). Sifat-sifat kedewataan
inilah hakikat Kebebasan.
(Majalah Wartam Edisi Agustus 2015)