Sandyakalaning
Basa Bali
I W a y a
n S u k a r m a
Orang Bali, bila tak sigap dan tanggap, akan gagu gagap,
tak lancar berkata dan berucap, tegur sapa senyap, Basa Bali lenyap, Budaya Bali
pun gelap, apa wayan masih Orang Bali?
Sandyakalaning Basa Bali, suruping Budaya
Bali? Keprihatinan semacam ini telah lama berkumandang dalam ruang-intelektual dan bergema dalam relung-moralitas orang Bali. Gema
keprihatinan paling akhir, bahkan memicu kemunculan dan pesatnya perkembangan
wacana Ajeg Bali. Wacana yang sesungguhnya bukan hanya bersoal tentang kecemasan
terhadap perubahan kebudayaan Bali karena gempuran gelombang kebudayaan asing terutama
melalui pemberatan, seperti kemeriahan
diskusi dalam ruang-ruang seminar. Melainkan Ajeg Bali sekaligus menjadi
peringatan betapa mendesaknya membangun kesadaran orang Bali terhadap
kebudayaannya sendiri. Sadar budaya
menjadi wacana penting karena benturan gelombang besar kebudayaan Barat telah
menggerus pantai kebudayaan Bali dan menggulung Basa Bali, bahkan pada tarap
mencengangkan. Meme dan Bapa tidak lagi seturut mengikuti kebiasaan Kaki dan
Nini bertutur dan bertegur-sapa dengan Basa Bali. Akibatnya, tanpa disadari
bahwa orang tua telah mengasingkan anak-anaknya dalam rumah tradisinya sendiri.
Perhatikanlah keseharian orang Bali
tidak lagi dimeriahkan dengan tutur dan tegur-sapa Basa Bali, seperti cengkrama
keluarga, tawar-menawar di pasar tradisional, dan kelompok teman sebaya di banjar. Apalagi kesusastraan Bali,
seperti sasonggan, beblabadan, cacimpedan, raos ngempelin, dan wewangsalan
nyaris tidak terdengar lagi. Orang Bali sudah tercerabut dari akar tradisinya
sendiri. Kecuali wirama, seperti kidung, kakawin, dan macepat
masih sayup-sayup dalam relung acara agama
Hindu. Orang Bali semakin gagap dan gagu berbahasa Bali karena Bahasa Toris lebih menjanjikan
kemakmuran. Basa Bali semakin terlupakan seiring dengan kemajuan zaman yang mendorong
orang Bali memasuki pergaulan global. Padahal Basa Bali adalah produk
kebudayaan pemakai Basa Bali, yaitu orang Bali sendiri. Pada tataran ini, Ajeg
Bali lebih terdengar sebagai wacana tentang sadar budaya bahwa orang Bali menjadi
orang Bali karena kebudayaan Bali.
Basa Bali dapat dipandang sebagai hasil kebudayaan
orang Bali yang bersifat kompleks dan aktif. Basa Bali dikatakan bersifat
kompleks karena di dalamnya terekam dan tersimpan pemikiran kolektif orang Bali,
baik ide-ide tentang ketuhanan, kemanusiaan maupun kealaman, bahkan gagasan
tentang segala macam tindakan. Basa Bali dikatakan bersifat dinamis karena terus-menerus
mengalami perubahan seiring dengan perkembangan kehidupan orang Bali. Basa Bali
tidak kaku dan beku pada suatu zaman, tetapi terus berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan pengetahuan setiap generasi melalui proses pembelajaran. Basa Bali
pada sisi lain dapat dipandang sebagai sistem komunikasi yang merupakan subsistem
dari sistem kebudayaan Bali, bahkan dapat dikatakan sebagai inti kebudayaan
Bali. Artinya, kebudayaan
Bali lahir karena Basa Bali. Tanpa Basa Bali tidak akan pernah ada kebudayaan
Bali. Basa
Bali adalah pembentuk kebudayaaan Bali.
Kalau kebudayaan Bali adalah sistem ide
dan gagasan, maka orang Bali pun merumuskan ide dan gagasannya dengan Basa Bali,
seperti tentang parhyangan, pawongan, dan palemahan. Kalau kebudayaan Bali adalah sistem tindakan, maka orang
Bali merumuskan sistem sosialnya dengan Basa Bali, seperti mekanisme dan
kontrol sosial banjar dan desa pakraman
dalam bentuk pararem dan awig-awig. Kalau kebudayaan Bali adalah hasil
karya, maka orang Bali menyebut hasil karyanya dengan Basa Bali, seperti nama kesenian,
kerajinan, perundagian, pertukangan, dan keterampilan lainnya. Artinya, orang
Bali memiliki sistem pengetahuan, sistem tindakan, dan sistem keterampilan
tradisional yang dirumuskan dengan Basa Bali. Pada prinsipnya Basa Bali terlibat
pada semua unsur kebudayaan Bali sehingga Basa Bali memiliki peran penting dalam
kehidupan orang Bali. Basa Bali adalah semangat dan kepribadian orang Bali.
Perhatikanlah keterlibatan secara
langsung Basa Bali dalam penamaan lokasi dan tempat, zaman dan masa, serta gagasan,
waktu, tindakan, dan karya orang Bali. Seperti nama-nama gunung dan danau,
sungai dan pantai, desa dan banjar, pura dan merajan agung, lembaga
sosial, sekaa-sekaa fungsional, serta
nama-nama orang Bali semuanya memakai Basa Bali. Malahan tidak sedikit hasil usaha
orang Bali diberikan nama dengan melekatkan kata “Bali”, seperti Salak Bali,
Bawang Bali, dan Gula Bali. Gunung Agung misalnya, tidak hanya menunjuk pada
nama gunung tertinggi di Pulau Bali, tetapi juga tempat bersthananya Sang Hyang
Toh Langkir, yakni dewa pujaan yang begitu dimuliakan oleh orang Bali. Dewa yang
dimuliakan ini, bahkan disthanakan di Pelangkiran dalam rumah tempat tingal
orang Bali, seperti di sudut Timur Laut setiap ruangan.
Kruna, kata Basa Bali memang mengandung suatu
spirit, bukan hanya sekadar nama menunjuk
pada rupa tertentu secara
korespondensional, seperti Gunung Agung, Gunung Batur, dan Gunung Lempuyang. Malahan
Basa Bali merupakan perwujudan semangat alamiah dan karakter orang Bali
misalnya, membedakannya dengan orang Jawa dan orang Madura. Semangat dan
karakter yang dipertaruhkan dalam pergaulan sosial yang cenderung pluralis dan
semakin multikulturalis. Bahasa sebagai representasi semangat alami dan
karakter nasional suatu masyarakat, seperti
diungkapan filosof Jerman, Willem von Humboldt berikut, “language by its very nature represents the spirit and national
character of a people”. Kenyataan
menunjukkan bahwa Basa Bali adalah cermin kebudayaan dan identitas orang Bali. Identitas
yang mesti dijaga dan harus dipelihara orang Bali dalam silang-sengkarut
pergaulan bahasa di desa global yang
bernama Virtual.
Orang
Bali memang mesti bertanggung jawab terhadap keberadaan Basa Bali sehingga harus
melindungi bahasanya, bila tidak ingin kehilangan identitas-kebaliannya. Kebudayaan
Bali sebagai identitas orang Bali tidak mungkin terjadi tanpa Basa Bali karena Basa
Bali adalah faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan Bali. Barangkali
pola sederhana ini yang melandasi pemikiran Prof. Dr. Ida Bagus Mantra mendirikan
Fakultas Sastra, Universitas Udayana serta membentuk Pusat Dokumentasi, Dinas
Kebudayaan Provinsi Bali dan Gedung Kertya di Kota Singaraja. Melengkapi upaya
pelestarian kebudayaan Bali kemudian, bersama tokoh masyarakat Bali lainnya Prof.
Dr. Ida Bagus Mantra mendirikan Universitas Hindu Indonesia, Sekolah Tinggi
Seni Indonesia, Pura Jagatnatha, Taman Budaya, dan Bajra Sandhi. Pada gagasan
tersebut dapat dilihat jalinan erat antara Basa Bali, Seni Bali, Budaya Bali,
dan Agama Hindu.
Mempertahankan jalinan aspek-aspek kehidupan orang Bali
tersebut merupakan suatu bentuk sadar budaya bahwa kebudayaan
Bali bersifat
dinamis dan transformatif. Dalam rangka menghadapi perubahan kebudayaan itulah
orang Bali perlu memahami Basa Bali sebagai inti
kebudayaan Bali.
Ide
sentral kebudayaan Bali
menurut Prof. Dr. Ida
Bagus Mantra adalah Rta, keadaan teratur berupa tata tertib alam semesta yang
nilai dasarnya adalah sathya
(kebenaran), yadnya (pemurnian diri), dan
tapas (penguasaan diri). Sathya
adalah keselarasan pikiran, ucapan, dan tindakan. Yadnya adalah pemurnian
ego
yang dicapai lewat ketulusan kurban suci. Tapas
adalah penguasaan diri yang diperoleh lewat disiplin. Inilah budaya
rohani, yaitu ide sentral
kebudayaan Bali. Keutuhan
ide sentral kebudayaan Bali
dapat dibina melalui
penghayatan utuh dan menyeluruh terhadap kebenaran, pemurnian diri, dan
penguasaan diri.
Budaya rohani inilah rumusan semangat dan karakter Basa Bali yang
memiliki kekuatan untuk mengontrol dan mengendalikan
perkembangan bentuk-bentuk budaya luar. Mengingat kebudayaan
bukanlah akumulasi kebiasaan dan tata kelakuan, melainkan sistem perilaku yang
terorganisir sehingga kebudayaan melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia,
baik material maupun nonmaterial. Dalam rangka menghadapi dinamika dan
dialektika kebudayaan inilah diperlukan upaya berkesinambungan, seperti
reinterpretasi, revitalisasi, reposisi, dan reorganisasi yang di dalamnya peran
Basa Bali tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan kata lain, Basa Bali perlu dibina terus-menerus
hingga orang Bali menyadari harga dirinya. Sadar harga diri adalah kemampuan menghargai
harkat dan kesanggupan menghormati martabat diri sendiri di tengah-tengah
perubahan sosial dan budaya. “Menghargai bahasa” dan “menghormati budaya”
inilah kata kerja yang sekiranya produktif bagi pelestarian kebudayaan Bali.
Sederhananya,
harga diri orang Bali dapat dibentuk berdasarkan kemampuan menghargai Basa Bali
dan kesanggupan memuliakan kebudayaan Bali. Untuk mempertahankan kebudayaan
Bali diperlukan proses berbahasa Bali sebaliknya, untuk mempertahankan Basa
Bali diperlukan keberlangsungan kebudayaan Bali. Apalagi kebudayaan adalah
naluri dari kehidupan manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial dan proses
sosial tidak dapat berlangsung normal tanpa kehadiran peran bahasa. Dalam
rumusan sederhana ini terlihatlah betapa pentingnya peran Basa Bali dalam keseluruhan
aspek kehidupan orang Bali sehingga untuk mempertahankan keberadaan orang Bali
dapat ditempuh dengan mempertahankan Basa Bali. Orang Bali perlu dibiasakan
menggunakan Basa Bali, baik dalam rangka bekerjasama, berkomunikasi, maupun
mengidentifikasikan dirinya dalam kehidupan sosial yang terus berkembang dan semakin
mengglobal.
Pada tataran kebiasaan dan pembiasaan ini
barangkali orang Bali memiliki kerinduan spesial pada I Gusti Ketut Kaler, Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali. Selain
banyak bercerita mengenai pengalaman keseharian orang Bali, juga dalam buku ini
I Gusti Ketut Kaler begitu banyak mengungkapkan peran sentral Basa Bali dalam
kehidupan orang Bali. Basa Bali sebagai satuan kebudayaan Bali berisi pemikiran
dan ingatan kolektif orang Bali, simbol penghargaan terhadap masa lalu,
pengalaman setiap generasi, dan tanggung jawab terhadap kebertahanan dan masa
depan kebudayaan Bali. Tanggung jawab yang lebih menekankan betapa pentingnya
upaya menghidupkan Basa Bali, baik melalui lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Tentu masih banyak upaya lain yang dapat ditempuh, seperti
menciptakan lembaga bahasa dan media yang dapat meneruskan semangat berbahasa
Bali di kalangan generasi muda Bali.
Pembelajaran Basa Bali dalam keluarga
misalnya, bukan hanya menghapalkan kosa kata dan merangkainya menjadi kalimat,
melainkan juga merupakan pendidikan moral Bali, yaitu upaya mengembangkan
akhlak mulia dan budi pekerti luhur. Sor
Singgih Basa Bali misalnya, (yang
banyak diperbincangkan oleh I Nengah Tinggen, I Gusti Bagus Sugriwa, Simpen AB,
dan Ida Bagus Narayana) merupakan sarana efektif untuk menuntun pikiran, perasaan,
dan kehendak dalam rangka mengenal struktur dan kultur masyarakat Bali. Dalam
hal ini, ayah dan ibu dapat membantu anak-anak dalam menentukan kedudukan dan
peran-peran sosial dalam keluarga. Apalagi hubungan keluarga, bukanlah jalinan ikatan
sederhana karena di dalamnya padat dengan fungsi-fungsi emosional, seperti rekatnya
ikatan suami-istri, ayah-anak, dan ibu-anak. Eratnya hubungan ini merupakan
modal dasar untuk menjaga pertumbuhan pikiran dan perkembangan emosional anak-anak
hingga mereka sanggup memasuki dunia sosial yang lebih luas.
Tanggung jawab ayah dan ibu tersebut
berkaitan dengan peran keluarga sebagai institusi pendidikan pertama dan utama.
Keluarga sebagai lembaga pendikan sekaligus unit sosial yang paling kecil sekiranya
lebih mudah membangun komunikasi dan interaksi dalam Basa Bali dibandingkan
dengan komunitas dan masyarakat. Apalagi lingkungan keluarga yang tumbuh dengan
spirit yadnya akan menjadi lembaga
yang lebih produktif bagi perkembangan akhlak dan budi pekerti anak-anak. Perkembangan
sosial yang dibutuhkan sebelum mereka memasuki lingkungan pendidikan yang lebih
luas, seperti sekolah, kursus, kelompok teman sebaya, dan sekaa teruna. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal
barangkali dapat menjadi lingkungan yang efektif mengajarkan Basa Bali. Bukan
hanya menjadi mata pelajaran, tetapi Basa Bali dapat dikembangkan dalam bentuk ekstra
kurikuler, seperti Pesantian dan Utsawa. Utsawa Bali Sani yang digelar oleh
Universitas Hindu Indonesia misalnya, merupakan cara efektif melestarikan Basa,
Seni, dan Budaya Bali.
Begitu juga sekaa teruna di banjar-banjar
dapat menjadi lingkungan yang relevan untuk mengembangkan Basa Bali melalui
beragam program kegiatan. Tidak hanya secara formal dalam pasangkepan, tetapi Basa Bali dapat dikembangkan melalui berbagai
kegiatan, seperti lomba macimpedan, kaligrafi
aksara Bali, dharma gita, dharma wacana, dharma tula, dan upaya kreatif lainnya. Tentu upaya ini dengan
dukungan banjar, bahkan desa pakraman melalui Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) sebagai penyandang dana. Dalam rangka melestarikan Basa
dan Tradisi Bali ini barangkali menjadi alasan bahwa krama banjar atau krama desa
pakraman tidak disebut anggota banjar
atau desa pakraman. Krama Banjar
sebagai satuan banjar disebut dengan nama
pungkusan yang diawali dengan kata “Pan”
selanjutnya diikuti dengan “Nama Anak Pertama”. Misalnya, Wayan Kaler mempunyai
anak pertama bernama Wayan Kelor, maka sebagai krama banjar dipanggil dengan nama Pan Kelor.
Dalam rangka melestarikan Basa Bali
rupanya, pemerintah daerah sudah memulainya dengan memakai aksara Bali dalam penulisan
nama jalan dan gedung serta pasilitas dan ruang publik lainnya. Patut dicatat
bahwa tidak semua bahasa memiliki aksara tersendiri, seperti bahasa Bali
memiliki aksara Bali. Bahasa Ingris misalnya, bahkan diterima sebagai bahasa
internasional, tetapi tidak memiliki aksara Ingris, seperti bahasa dan aksara
Bali. Aksara Bali memiliki sistem tanda yang unik dan khas. Tidak hanya
berkaitan dengan sistem bunyi dan pemkanaan dalam komunikasi, bahkan aksara
Bali digunakan dalam implementasi dari sisi mistis agama Hindu. Om Kara dan
Modre misalnya, merupakan aksara Bali yang kegunaannya lebih berkaitan dengan kaligrafi-mistis
Hindu daripada komunikasi dan identifikasi diri orang Bali dalam dunia sosial.
Tentu saja selain aksara Bali, juga barangkali
pemerintah dapat mengembangkan upaya yang lebih sistematis dalam rangka melestarikan
Basa Bali, seperti menghidupkan pembelajaran Basa Bali di sekolah serta memuat lembaga
pengembangan dan pelestarian Basa Bali termasuk berbagai kegiatan aplikatif dan
terapan lainnya. Menghidupkan kembali pembelajaran Basa Bali di sekolah
misalnya, pemerintah daerah menyiapkan kurikulum, bahan dan alat pembelajaran,
serta pengangkatan dan pembinaan guru Basa Bali. Upaya pemerintah ini akan
lebih produktif, bila sadar budaya semakin tumbuh dalam masyarakat Bali. Sadar
budaya yang efektif dibangun melalui Basa Bali. Begitulah peran Basa Bali dalam
rangka mengatasi abrasi pantai kebudayaan Bali karena gulungan ombak kebudayaan
Barat yang tidak mudah dibendung. Pantai kebudayaan Bali yang begitu dibutuhkan
dalam rangka melasanakan upacara yadnya
segara-gunung, yaitu upaya menjaga kemakmuran dan memelihara kesejahteraan.
Kondisi yang diidolakan oleh para pemuja di Kemulan, “meme bapa ragantha jati” dan keadaaan yang cita-citakan pemeluk agama
Hindu, “moksartham jagadhita ya ca iti
dharma”.
(Majalah Wartam Edisi Oktober 2015)