Panca Sraddha



Panca Sila Sakti
Panca Sraddha Jati

I  W a y a n  S u k a r m a

Panca Sila adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan Panca Sraddha adalah keimanan agama Hindu. Panca Sila Sakti adalah kemampuan mengatasi segala ancaman terhadap keutuhan negara dan kesanggupan menata kehidupan rakyat Indonesia. Panca Sraddha Jati adalah kemampuan mengatasi gangguan terhadap keutuhan agama Hindu dan kesanggupan menata religiusitas kehidupan. Umat Hindu yang mengandalkan diri pada Panca Sraddha dan sebagai warga negara memiliki tanggung jawab menjunjung Panca Sila, sebagaimana Panca Sila memberikannya kebebasan beragama. Tanggung jawab dan kebebasan itulah kesaktian dan kesejatian kehidupan, baik individual maupun sosial.         

Satu Oktober diperingati bangsa Indonesia sebagai Hari Kesaktian Panca Sila. Peringatan ini dalam rangka mengenang keberhasilan penumpasan Gerakan Tiga Puluh September, G 30 S/PKI, yakni upaya pengingkaran dan pemungkaran terhadap Panca Sila. Peristiwa makar yang berlangsung pada menjelang akhir tahun 1965 ini telah menorehkan riwayat kelam dalam sejarah kemanusiaan. Bukan hanya menghancurkan kemanusiaan, bahkan meruntuhkan nilai ketuhanan, yaitu pondasi bangunan sosial dari bangsa yang sejatinya religius. Rakyat Indonesia tidak hanya memeluk agama resmi negara, tetapi setiap tradisi yang hidup dan tumbuh di seluruh pelosok Nusantara memiliki akar yang kuat pada nilai ketuhanan. Tradisi Bali misalnya, memiliki akar ketuhanan yang kokoh pada agama Hindu sehingga sistem sosial orang Bali bersifat religus. Orang Bali tidak memisahkan antara ketuhanan dan kemanusiaan, bahkan dengan kealaman sebagaimana dirangkum dalam rumusan Tri Hita Karana, yakni roh tradisi Bali.      
Kesatuan pengertian semacam itu serupa dengan mahawakya bangsa Indonesia, “Binneka Tunggal Ika”, sebagaimana tertulis pada sehelai pita yang dicengkram erat kaki Burung Garuda, lambang negara. Mahawakya ini merupakan penggalan dari mahamantra yang disenandungkan Empu Tantular dalam Sutasoma, “binneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa”, berbeda-beda dalam satu-kesatuan, tidak ada kebenaran yang mendua. Kebenaran yang bersumber dari ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman memang berbeda, tetapi tetap satu(-kesatuan) kebenaran. Prinsip kebenaran seperti ini menerima beragam wajah kebenaran yang dimiliki dan ditampilkan oleh setiap suku bangsa yang menyebar dalam ribuan pulau di tanah air Indonesia. Panca Sila tidak mengabaikan kenyatan bahwa setiap suku bangsa memiliki pengalaman mengenai kebaikan sesuai dengan lingkungannya. Panca Sila mengikat dan menyatukan seluruh perbedaan suku bangsa dalam semangat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesatuan inilah keindahan sosial yang diandaikan sebuah taman dan Bung Karno menyebutnya, Taman Sari Indonesia.     
“Taman Sari” itu tempat indah. Keindahan itu tujuan dari segala tujuan hidup manusia. Namanya saja taman bunga, tentu saja di taman akan dijumpai beragam dan berjenis-jenis bunga. Setiap jenis bunga menampilkan bentuk dan warna yang khas beserta aroma yang unik. Bentuk, warna, dan aroma inilah kekuatan bunga, saktinya bunga. Kekuatan bunga tidak terletak pada kekerasan ekspresinya, tetapi pada kelembutannya. Kelembutan yang mampu mengikat suku-suku yang berbeda menjadi satu bangsa yang besar. Kelembutan inilah inti, hakikat, dan kodrat dari bunga. “Say with plower” misalnya, ungkapan cinta yang bertumpu pada kelembutan bunga. Ungkapan cinta tidaklah indah dan sama sekali kehilangan makna, bila dinyatakan secara kasar dengan kekerasan. Kekerasan adalah kematian, sedangkan kelembutan adalah kehidupan. Kelembutan bunga mampu mengubah bunga menjadi ikon cinta dan simbol kehidupan. Ikon dan simbol yang diapresiasi umat Hindu menjadi sebentuk Canang Sari, sarana persembahan dan pemujaan kepada Hyang Widhi.
Begitulah cinta dengan kelembutannya memiliki kekuatan mengikat dan menyatukan. Cinta tidak hanya mengikat manusia dengan Tuhan melalui persembahan dan pemujaan, tetapi juga menyatukan manusia dengan sesama makhluk dan alam termasuk dengan lingkungannya melalui pengetahuan dan pengalaman. Cinta menyatukan sepasang insan dalam sebuah rumah tangga membina keluarga harmonis. Cinta menyatukan manusia dengan lingkungannya karena tanpa cinta manusia terasing dalam rumah tradisinya sendiri. Cinta dapat menyatukan seseorang dengan hewan peliharaan sehingga tidak mengherankan, bila harga seekor kucing atau anjing mencapai jutaan rupiah. Begitulah cinta, baik disadari maupun tidak telah merekatkan manusia dengan sesama termasuk alam kemudian, bersama-sama membangun lingkungan yang nyaman ditinggali. Lingkungan yang dibangun dan ditata berdasarkan cinta akan lebih produktif, baik individual maupun sosial. Lingkungan inilah bentuk murni dari persatuan yang menjadi landasan kokoh bagi sebuah bangunan yang disebut Kebangsaan, Taman Sari Indonesia.
Kebangsaan yang disebut Taman Sari Indonesia adalah jejaring agung Nusantara, untaian nilai-nilai keindahan yang memancar dari nilai kebenaran dan nilai kebaikan yang dijunjung tinggi pada setiap suku bangsa. Kebenaran dan kebaikan yang bersifat kesukuan memang suatu keniscayaan, sebagaimana ditampilkan dalam dunia-pengalaman bukan hanya suku, bahkan tidak mungkin menemukan dua orang yang sama persis dan persis sama. Akan tetapi, perbedaan lokalitas itu disatukan menjadi satu-kesatuan yang utuh dalam semangat kebangsaan. Selain Sumpah Pemuda, juga Panca Sila mengulang semangat yang sama melalui rumusan, Persatuan Indonesia. Rumusan ini sesungguhnya bentuk kesadaran mengenai kebangsaan yang meliputi beragam perbedaan, baik suku, agama, sosial maupun budaya. Perbedaan memang merupakan berkah sebagai kekayaan nasional, namun tidak jarang menjadi musibah. Kebangsaan semacam ini mengandung kerawanan, berupa perpecahan secara internal. Kesadaran munculnya situasi dan suasana rawan ini barangkali mendorong munculnya semangat menempatkan nilai persatuan berdasarkan ketuhanan dan kemanusiaan.  
Persatuan menegaskan kesadaran terhadap perbedaan dan menerima perbedaan sebagai realitas, kenyataan kehidupan. Menerima kenyataan seperti itu sekaligus menunut manusia agar menemukan diri mereka hidup bersama dalam suatu kelompok besar disebut bangsa. Panca Sila mengharapkan melalui kelompok yang berbeda mereka membangun kerjasama produktif, baik bagi kemuliaan masyarakat, bangsa, maupun negara. Kemuliaan semacam itu bertumpu pada keindahan nilai-nilai kemanusiaan. Kemusiaan yang adil beradab merupakan cita-cita bangsa sekaligus landasan moralitas dalam rangka kerjasama antarsuku dan bangsa. Kerjasama yang “adil” dan “beradab” memang khas manusia karena makhluk selain manusia tidak mengenal kedua kata ini. Dengan semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan kemudian, kerjasama dibangkitkan menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial inilah kesaktian sebagai kekuatan yang bebas dan aktif dalam menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia.   
Keadilan sosial sebagai puncak persatuan tidak hanya berguna dalam menata kehidupan sosial, tetapi juga dalam menata kehidupan individual. Persatuan dalam dunia kehidupan dapat membangun sistem kehidupan yang lebih mapan sehingga setiap elemen kehidupan fungsional terhadap keseimbangan struktur kehidupan. Keseimbangan sosial mampu mendorong kehidupan sosial yang lebih produktif bagi kebertahanan dan kelangsungan kehidupan sosial. Sebaliknya, nilai persatuan dalam kehidupan individual dapat mendorong sinkronisasi sistem kehidupan individual (baca: kesadaran), baik mekanis maupun organis. Kesadaran mekanis terbentuk berdasarkan prinsip hukum alam (Rta), sebagaimana keberuntungan dalam kehidupan masa kini lebih banyak ditentukan oleh perbuatan dalam kehidupan masa lalu. Hukum kesadaran seperti ini berjalan searas dengan hukum karmaphala bahwa keberuntungan (kualitas kelahiran dan/atau barangkali sama dengan takdir) pada kehidupan masa kini ditentukan oleh perbuatan pada kehidupan masa lalu. Tugas kehidupan pada masa kini adalah memberikan kesempatan bagi pertumbuhan dan perkembangan keberuntungan berdasarkan dharma.  
Pada kesadaran mekanis, manusia adalah insan malang yang tidak dapat melepaskan diri prinsip hukum alam. Misalnya, untuk menjadi dewasa dan matang manusia membutuhkan ruang dan waktu tertentu untuk mengalami pertumbuhan dan perkembangannya. Manusia lahir sebagai bayi kemudian, membutuhkan lingkungan sosial dan kebudayaan sebagai tempat untuk tumbuh dan kesempatan berkembang menjadi kanak-kanak, remaja, pemuda, dan tua. Manusia tidak dapat menghindari rasa lapar dan kantuk yang mendorongnya terus-menerus mencari dan menemukan pemenuhan. Malahan alam memberikan kepada manusia semacam dorongan alamiah berupa insting, yakni kecenderungan perbuatan. Kecenderungan perbuatan ini tidak jauh berbeda dengan insting yang dimiliki oleh binatang, bahkan dalam hal insting barangkali banyak binatang memiliki insting yang lebih baik daripada manusia. Seperti kepekaan insting yang dimiliki anjing banyak dimanfaatkan oleh lembaga kepolisian untuk melacak benda-benda dan barang-barang berbahaya. Akan tetapi, manusia memiliki kelebihan daripada binatang, seperti pikiran, perasan, dan kehendak, bahkan kebebasan.     
Kelebihan inilah perangkat yang digunakan manusia dalam menyusun dan membentuk kesadaran organisnya. Dalam hal ini, manusia adalah makhluk yang aktif dan kreatif. Manusia bebas menciptakan, memelihara, dan menghancurkan struktur kehidupan beserta kultur yang menyertainya. Mekanisme ini ditempuh karena tiba-tiba saja dalam dunia kehidupan, manusia berhadap-hadapan dengan sesama, alam, dan makhluk hidup lainnya. Multilingkungan tidak dapat dihindari menyebabkan kehidupan berlangsung lebih dinamis, karena itu manusia tidak bisa bertindak hanya berdasarkan pada kecenderungan alamiahnya. Sebaliknya, kebebasannya mengimbau, agar manusia menekan instingnya dan mengikuti tatanan kehidupan yang lebih luas. Manusia berkewajiban menundukkan tanggung jawabnya pada tatanan kehidupan yang lebih luas, yaitu sistem kehidupaan yang diciptakannya sendiri. Untuk itu, manusia membutuhkan kemampuan mengendalikan diri sehingga sanggup mengatur tingkah lakunya. Kemampuan dan kesanggupan moral inilah disebut kesadaran organis disusun dan dibentuk berdasarkan tatanan nilai kehidupan (Dharma). Melalui kesadaran organisnya, manusia mampu menghormati dan sanggup kemuliaan kodrat dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.         
Pengetahuan ketuhanan bukanlah kebenaran yang dapat diverifikasi secara objektif dan  empiris. Pengetahuan ketuhanan biasanya dipahami sebagai kebenaran analogi dicapai melalui beberapa cara, antara lain iman, spritual, filsafat, ilmu, dan ajaran. Dalam agama Hindu, iman ketuhanan disebut Sraddha berisi dogma, berupa doktrin ketuhanan yang wajib dipercaya. Spiritual lebih merupakan penikmatan hubungan pribadi dengan Tuhan. Filsafat ketuhanan disebut Darsana berisi perdebatan ketuhanan, berupa argumentasi ketuhanan. Ilmu ketuhanan disebut Brahmawidya berisi sistem ketuhanan atau teologi, berupa sistematika informasi ketuhanan. Ajaran ketuhanan disebut Tattwa berisi keberadaan Tuhan dan kewajiban ketuhanan. Tentu saja pengetahuan ketuhanan seolah-olah memiliki kebenaran berbeda sesuai dengan cara menemukannya. Akan tetapi, pada hakikatnya tidak ada kebenaran ketuhanan yang berbeda karena hanya ada satu Tuhan. Tuhan yang dipercaya sebagai pusat orientasi pengabdian dan Tuhan yang diyakini sebagai pusat orientasi pemikiran bukanlah Tuhan yang berbeda. Tuhan sebagai pencipta, Tuhan sebagai pemelihara, dan Tuhan sebagai pelebur bukanlah Tuhan yang berbeda. Tuhan pun tidak mengubah diri-Nya, baik mencipta, memelihara, maupun melebur.
Tuhan adalah awal, tengah, dan akhir”. Rumusan ketuhanan semacam itu dapat disimak melalui perdebatan ketuhanan dalam Brahmasutra. Apakah Tuhan terbagi-bagi, sebagaimana pikiran membagi realitas dan membedakannya menjadi fakta-fakta? Sama dengan Upanisad, juga Siwattwa menjelaskan, Tuhan adalah asal mula, dengannya bertahan, dan kepadaNya segalanya kembali. Rumusan emanasi ini mempercayai Tuhan hadir dalam setiap ciptaannya dan diyakini menjadi jiwa individu, atman. Kehadiran dan keberadaan atman ditunjukkan melalui tubuh dan badan. Untuk mengenali Keberadaan Atman itulah dibutuhkan pengetahuan tentang Sang Diri, Atma-Jnana. Mengetahui Atman, maka Atman menjadi Brahman, sebagaimana Upanisad menegaskan, “yang mengetahui menjadi”. Atman yang kembali kepada dan menjadi Brahman inilah disebut Moksa. Atman yang lahir kembali disebut Punarbhawa, bukan tujuan, melainkan akibat dari perbuatan. Pengulangan masa kelahiran disebut Samsara. Moksa itulah tujuan akhir kelahiran manusia, “moksartham jagadhita ya ca iti dharma”.    
Hanya saja untuk mencapai tujuan akhir kehidupan itu, selain membutuhan ajaran Atma-Jnana, juga membutuhkan kesungguhan menjalankan kehidupan dalam dunia pengalaman, seperti disarankan dalam kitab-kitab Susila. Ajaran Susila adalah dasar, cara, tujuan moralitas agama Hindu, yaitu landasan tingkah laku (karma), juga sebagaimana imbauan pendidikan moral Panca Sila. Kenyataannya tubuh hadir dan badan berada dalam dunia material, dunia fenomenal yang memberikan pengalaman mengenai aturan, norma, dan nilai kehidupan. Dunia pengalaman memberikan sensasi suka dan duka menyebabkan manusia putus asa melewati masa pengulangan kelahiran. Beragamnya pengalaman melahirkan beraneka jalan menuju Tuhan, namun Rg. Weda merangkumnya menjadi empat jalan utama, yaitu pengetahuan, perbuatan, pengabdian, dan pengasingan diri. Keempat jalan ini sesungguhnya sesuai dengan tingkat kesanggupan individu, namun memilih satu jalan utama ini tidaklah mudah, karena itu cita-cita moksa tetap dan selalu menjadi idola. Idola bagi yang menyadari, tujuan kelahiran adalah tidak lahir kembali.  
Idola tidak lahir kembali menyebabkan sraddha harus diraih terlebih dahulu. Pentingnya sraddha dijelaskan dalam Yajur Weda XIX.30 bahwa Sraddhaya satyam apnoti, sraddham satye prajapatih, ‘Dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan (Prajapati), Prajapati menetapkan dengan sraddha menuju Kebenaran (Satya)’. Artinya, sraddha adalah landasan sekaligus arah jalan untuk mencapai Tuhan. Hanya sraddha yang menuntun manusia menuju Satya, Kebenaran, Brahman. Kebenaran adalah wujud Tuhan itu sendiri (Sat) dan tentu saja selain Kebaikan (Cit) dan Kebahagiaan (Ananda). Kebenaran dalam Maitri Upanisad VI.3 dijelaskan sebagai berikut, “Dva vava brahmano rupe murtan ca murtan ca, atha yan murtham asatyam, yad amurtam tat satyam tad brahman”, ‘Ada dua kebenaran Brahman, yaitu yang dapat diwujudkan dan tidak dapat diwujudkan, yang dapat diwujudkan bukanlah Yang Benar (Asatya), tetapi yang tidak dapat diwujudkan itulah Yang Benar (Satya), itulah Brahman. Tugas utama kesadaran adalah mewujudkan Kebenaran yang tidak berwujud.
Kebenaran yang tidak dapat diwujudkan adalah Nirguna Brahman, yaitu Brahman yang tanpa kategori, tanpa batasan, tanpa atribut, dan tanpa penetapan. Pengetahuan benar mengenai Brahman yang tanpa wujud mustahil dipahami melalui persepsi langsung, pratyaksa. Brahman tanpa kategori tidak dapat diperbandingkan sehingga kebenarannya tidak dapat diungkap melalui penyimpulan dan/atau analogi, upamana. Ini sebabnya, Brahmasutra menyarankan, Brahman hanya dapat dipahami melalui kitab suci. Malahan kitab suci sendiri menegaskan,Dia yang tidak mengetahui naskah suci, tidak akan dapat memahami Brahman”. Inilah agama pramana. Artinya, sraddha mesti diraih berdasarkan kitab suci. Kitab suci adalah ciptaan Brahman, karena itu sraddha sekaligus merupakan jalan memahami Brahman yang tanpa wujud. Kepercayaan semacam inilah yang menyebabkan orang bisa membuat keputusan dan keberanian menentukan tindakan. Keberanian ini penting untuk menuju pencerahan, pengetahuan rohaniah. Jadi, antara pengetahuan dan tindakan harus selaras untuk mencapai Kebenaran Tertinggi, Brahman.
Kesatuan pengetahuan dan tindakan seperti itu sesungguhnya sudah diapresiasi oleh umat Hindu di Bali dalam keberagamaannya disebut Sraddha dan Bhakti. Kemudian, dalam praksis mereka disebut dengan sraddha-bhakti. Sraddha adalah keimanan Hindu dan padanya umat Hindu mengandalkan diri untuk menghadapi dinamika dan dielaktika kehidupan. Sraddha inilah esensi, eksistensi, aktivitas, akibat, dan tujuan manusia, bahkan Bhagawadigita menegaskan, ”begitu sraddhamu, begitulah dirimu”. Selain ditentukan oleh Panca Sraddha, juga integritas kepribadian umat Hindu dibentuk oleh Panca Sila. Panca Sila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa turut serta membangun karakteristik umat Hindu sebagai warga negara yang memiliki tanggung jawab terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanggung jawab inilah kebebasan beragama, baik dalam hubungan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Kenyataannya, agama memiliki peran penting dalam membangun struktur dan kultur kehidupan, bahkan agama turut serta membangun batas-batas kehidupan antarbangsa dan negara. Artinya, agama tidak hanya berperan dalam penataan kehidupan suatu bangsa, tetapi kehidupan antarbangsa dan negara, bahkan melingkupi kebutuhan, kepentingan, dan keperluan manusia secara universal.   
Dengan demikian, kesejatian Panca Sraddha yang berpusat pada Widhi serupa dengan kesaktian Panca Sila yang berpusat pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan dalam Panca Sraddha adalah jiwa semua makhluk, yaitu jiwatman adalah inti kemanusiaan sekiranya sejalan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Panca Sila. Keberadaan manusia menurut Panca Sraddha adalah kesatuan jiwa-raga sejalan dengan persatuan Indonesia dalam Panca Sila. Dalam persatuan menempatkan pentingnya ikatan sosial kemasyarakatan, sebagaimana rumusan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dalam Panca Sila. Sejalan dengan rumusan Panca Sila ini, juga Panca Sraddha menempatkan betapa pentingnya perbuatan berdasarkan dharma, antara lain aturan, norma, dan nilai sosial. Rumusan kelima Panca Sila menyatakan hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sering dengan jagadhita dan moksa dalam Panca Sraddha. Begitulah kesaktian Panca Sila dan kesejatian Panca Sraddha adalah kemampuan membangun dan kesanggupan menata kehidupan, baik individual maupun sosial.  

(Majalah Wartam Edisi September 2015)
    






BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...