USADA



WACANA USADA DALAM GEGURITAN SUCITA
I Wayan Suka Yasa

I.  Kesehatan dan Spiritual
Kesehatan adalah faktor penentu pertama hidup bahagia. Penentu kedua terpenting adalah moralitas. Sementara kekayaan (materi) dipandang sebagai penentu pendukung yang juga tidak kalah pentingnya. Ada wacana arif yang menyatakan: “Uang hilang tidak ada yang hilang, kesehatan hilang ada sesuatu yang hilang, akan tetapi bila moralitas yang hilang segala-galanya hilang”.
Hanya dalam kondisi sehat orang dapat berakivitas dengan baik, baik untuk kehidupan duniawi maupun untuk pendakian spiritual. Patanjali (Yogasutra, II) mengajarkan bahwa penentu kesehatan adalah pengendalian diri. Pengendalian dalam hal makan-minum, kebersihan diri dan lingkungan, serta sikap batin melalui olah fisik, nafas, dan terutama adalah pengendalian pikiran. Dalam Sanghyang Kamahayanikan (47) dijelaskan: “Pahayu ta juga úarìranta, apan hayu ni úarìra nimittani katêmwa ning suka, suka nimitta ni katemwa ning manah apagöh, manah apagöh nimitta ni katêmwan ing kamokûan” ‘(Bagi penekun spiritual) pelihara jugalah badanmu. Sebab, badan yang sehat, menyebabkan (orang) menemukan rasa senang. Keceriaan menyebabkan (orang) berpikiran kuat. Pikiran yang kuat menyebabkan (orang) mencapai kelepasan’. Kesehatan dan keceriaan dengan demikian adalah dua faktor dasar penentu yang memungkinkan orang dapat berpikir positif dan teguh. Dan kemudian secara bersama-sama menyebabkan orang mencapai keberhasilan spiritual.
Menyadari demikian vitalnya fungsi kesehatan dan keterjalinannya yang padu dengan keceriaan, serta fungsinya untuk mencapai tujuan akhir hidup, yaitu mencapai moksa ‘kebahagiaan’, maka untuk kepentingan tersebut tradisi nyastra di Bali mewariskan sejumlah lontar usada: lontar yang teksnya membicarakan persoalan kesehatan. Sarana utama pengobatannya adalah dengan ramuan tanaman (herbal) yang mengandung kasiat obat yang disebut taru pramana. Catatan tradisi pengobatan ini tidak hanya  ditemukan dalam lontar usada saja, tetapi juga dalam teks-teks lontar lainnya. Sekali lagi, pentingnya memelihara kesehatan ternyata juga diwacanakan dalam tradisi ritual Hindu Bali. Sarana upacara: banten, bila dikaji dari aspek usada, di situ kita akan menemukan makna kesehatan. Demikian pula dalam doa masyarakat ketika mempersembahkan sesajen dimaksud. Isi doa mereka yang utama adalah mohon karahayuan kepada Tuhan. Karahayuan dalam arti sempit berarti kesehatan.
Kembali kepada tradisi nyastra Bali, bila kita menyempatkan diri untuk menyimak karya sastra tradisional Bali yang mewacanakan tema spiritual, di situ sering pula ditemukan wacana usada ‘pengobatan, tanaman yang mengandung khasiat obat’. Pada kesempatan ini, mari kita baca wacana usada yang terdapat dalam Geguritan Sucita.

II. Piduh dan Kejanggutan
Dikisahkan bahwa Sucita, Subudi, dan Artati menikmati keindahan pemandangan bukit hutan di lingkungan pertapaan Granawati. Suatu ketika mereka melintasi tanaman perdu dan rerumputan yang tidak memiliki tanda keindahan. Oleh karena itu, tanaman jenis ini tentu luput dari perhatian nikmat mereka. Merasa diri tidak diperhatikan, I Piduh ‘kaki kuda’ merasa terhina. Ia iri kepada tumbuhan yang berbunga warna-warni nan indah. Walau demikian ia merasa terhibur sekaligus bangga juga pada dirinya karena memiliki khasiat obat yang mujarab. Mendengar keluhan dan rasa bangga I Piduh, I Kejanggutan ‘petikan kerbau’, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan ocehan I Piduh, tergelitik juga untuk mengetahui kasiat obat yang dimiliki oleh I Piduh. Beginilah I Kejangutan bertanya kepada I Piduh (Ginada, XLIII:14):
Cara apa gelahang siga,           “Seperti apa (kasiat obat) yang kau miliki
lakar manadi utami,                  yang dapat menjadikanmu utama ?”
i piduh gelis manimbal              I Piduh segera menjawab:
yen ada anak sengkala,                         “Jika ada orang kecelakaan
sanget kanin,                              luka berat
getihnye meles tan pegat.           darahnya mengalir tanpa putus-putusnya,

Oke ditu manyidayang,              di situ aku mampu
nulung manadi panyampi,         menolong menjadi penyembuh
pang suud getihne medal,          agar darahnya berhenti megalir          
enyat wusan ipun metu,             kering, berhenti darahnya ke luar
muwuh gelis sida waras,           dan segera dapat sembuh”.
malih nyawis,                             Kembali menyahut
i kejanggutan nyujutang.           I Kejanggutan terus bertanya

Ucapan I Piduh tersebut menarik perhatian I Kejanggutan. Ia ingin tahu lebih jauh tentang dasar pendirian I Piduh, karena sebelumnya I Piduh sempat menyinggung persoalan ruwatan yang dikaitkan dengan kesiapannya untuk mengurbankan dirinya sebagai ramuan obat. Katanya: ‘Oke ngelah jalan, pacang sida dadi luih, kala maan nulung jadma, ne luih maraga sadu” (XLIII,13:a-d) ‘Aku punya jalan untuk (menjelma) menjadi lebih baik, yaitu ketika aku dapat menolong orang yang utama, yang baik budi’. “Sinah ya enggalan luung, dumadi dadi manusa” (XLIII:11d-e) ‘Jelas aku lebih cepat menjadi baik, (yaitu dapat) menjelma menjadi manusia’. Menjelma menjadi manusia diimajinasikan oleh sang kawi sebagai cita-cita utama makhluk berbadan kasar lainnya.  Secara diam-diam tumbuh-tumbuhan pun sesungguhnya berjuang juga untuk mencapai cita-cita luhur dimaksud. Mereka, seperti halnya I Piduh, ingin dan berjuang untuk dapat menjelma menjadi manusia. Sejalan lanjut dengan cita-cita itu, seturut garis in-evolusi, setelah menjadi manusia, orang lalu bercita-cita mencapai sorga, dan terakhir mencapai cita-cita terluhur: mokûa ‘bebas dari lingkaran kelahiran’. Jalan ruatan dimaksud adalah dengan memanfaatkan hidup sebagai kurban dalam bentuk usaha luhur. Saracamuscaya (6) menyatakan: “Pêngpêngên ta pwa katêmwa niking si dadi wwang, durlabha wi ya ta, sàksàt handa ning mara ring swargga ika, sanimitta ning tan tiba muwah ta pwa damêlakêna” ‘Manfaatkanlah sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia. Kesempatan menjadi manusia ini sungguh sulit dicapai. (Menjelma menjadi manusia) adalah tangga menuju sorga. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menyebabkan kamu tidak jatuh lagi, itu yang sepatutnya dilakukan’.
I Piduh menjelaskan bahwa jalan ruwatan bagi tumbuh-tumbuhan adalah dàna ‘kedermawanan’, yaitu mendermakan diri. Ada tiga dàna. I Piduh menerangkan dengan tembang Ginada (XLIII:17-18):
Yen madana ban kasugihan,      “Jika berdana dengan kekayaan:
barang kalawan mas pipis,        harta benda, emas, dan uang
nista dana nto adannya, itu disebut dana  yang nista ‘kecil’.
dana madia wastan ipun,           Yang disebut dana menengah
yan madana pianak somah,       jika mendanakan anak atau istri.
ane paling                                  Yang paling utama
utama madana awak.                 mendanakan diri.

I watek entik-entikan,                 Segala tumbuh-tumbuhan,
kadi benya buka jani,                 seperti kita sekarang ini
patuh ken watek ubuhan,           sama seperti binatang piaraan
madana awak kauduh,               dititahkan berdana dengan diri.
wireh tuara ngelah apa, Sebab (kita) tidak punya apa-apa
sajabaning,                                 selain (diri)
pianak ada gelahang.                 dan anak memang (kita) punya”.

Bhagawan Wararuci (Saracamuscaya: 172) menyatakan bahwa tidak ada yang lebih sulit dilakukan daripada ber-dànapuóya ‘bersedekah’. Sebab umumnya, orang sangat besar kelekatannya kepada harta milik, terlebih-lebih kepada harta yang diperolehnya dengan bersusah payah. Akan tetapi, untuk mencapai kebahagiaan: sorga dan mokûa, orang harus membebaskan dirinya dari segala bentuk keterikatan. Dan kurban dalam bentuk dànapuóya adalah titah suci yang ditetapkan sebagai jalan untuk meruwat diri dari keterikatan. Sanghyang Kamahayanikan (56-58) menjelaskan tiga dàna: dàna ‘mendermakan harta benda’, atidàna ‘mendermakan anak atau istri, dan mahàtidàna ‘mendermakan dirinya’.
Demikianlah landasan keyakinan I Piduh tentang dàna, maka ia rela mengurbankan diri sebagai obat. I Piduh lalu memberi keterangan lebih rinci tentang kegunaan dirinya dengan tembang Ginada (XLIII:20-24):
Sajaba nto masih ada,                “Selain itu, masih ada
kagunan okene buin,                  lagi kegunaan diriku.
yan ada jadma kalaran,             Jika ada orang menderita
sakit babuahan iku,                    sakit ginjal
encehnya tan pati melah,           kencingnya sering tidak lancar
muah panyakit,                           dan segala penyakit
sarwa ngutahang rah.                memuntahkan darah.

Oke nu matah-matah,                Diriku yang masih segar
pang cakcaka peseng raris,        agar digerus lalu disaring
sok isinin toya matah,                 tambah air bersih.
nto pepes kinum laut,                 Itu lalu diminum
anggon loloh pang saian,           sering-sering dipakai jamu.
nto ngawinin,                             Itu menyebabkan
panyakitnya dadi punah.            penyakitnya menjadi sembuh.

Yan lablab masih melah,            Jika dierbus juga baik
mingkin meniran kagohin,         apalagi dicampur dengan meniran,
ngawe waras babuahan,            menyebabkan ginjal sehat.
munahang panyakit liu,              Banyak penyakit disembuhkan:
bangkiang sakit anyang-anyangan, sakit pinggang, kencing seret.
sios malih,                                  Lagi yang lainnya
makuneng-kunengan ilang.        pengluhatan berkunang-kunang hilang.

Oteke milu ia kuat,                     Otak pun ikut kuat
makeneh tuara paling,               berpikir, tidak linglung,
cepet malajah dadinnya,            cepat belajar jadinya.
wireh babuahan iku,                  Karena ginjal itu                     
yen ya jati suba waras,               jika ia sungguh sehat,
nto nulungin,                              itulah yang menolong
ngawe utek muuh kuat.              membuat otak semakin kuat.

Yen uteke suba kuat,                   Jika otak sudah kuat,
enggal i manusa ririh,                manusia segera pintar.
uli ririh maan elah,                    Dari pintar mendapat kemudahan
uli elah bebase tepuk,                 Dari kemudahan kebebasan itu dijumpai.
uli bebas molih kedas,                Dari bebas (orang) mendapatkan kebersihan.
dadi suci,                                    (Dari kebersihan) menjadi suci
manjing ring nirbana sunya.      (lalu) masuk ke alam kelepasan”.

Piduh disebut juga pepagan atau kaki kuda (centella asiatica). Daunnya dapat dimakan sebagai sayur lalapan. Piduh terkenal sebagai bahan obat herbal karena berkhasiat tonik, anti infeksi, antitoksin, anti rematik, penghenti pendarahan (homostatis), peluruh kencing, pembersih darah, memperbanyak pengeluaran empedu, pereda demam, penenang, mempercepat penyembuhan luka, dan melebarkan pembuluh darah tepi (Dalimarta, 2002:150). Dapat juga dipakai ramuan untuk mengobati sakit gila (baca stres) (Usada Dalem:13b).
Sementara meniran (phyllanthus nuriri l) juga sangat populer sebagai tanaman obat herbal. Secara farmakologis diketahui bahwa meniran mengandung zat kimia filantin, hipofinatin, kalium, damar dan tanin. Karena kandungannya itu, meniran berkhasiat obat antara lain untuk pengobatan busung perut, radang ginjal, batu saluran kencing, diare, radang usus, radang hati (Dalimartha, 202:136-137; Kardinan,2004; Usada Dalem: 25a; Usada Rare:7b,36b,37a).
Mendengar keterangan I Piduh seperti itu, I Kejanggutan pun berkata tentang manfaat dirinya dengan tembang Ginada (XLIII:27-28):
I Kejanggutan nimbal,              I Kejanggutan ganti bicara:
saja buka munyin cai,                “Betul seperti katamu,
ira masih ngelah guna,              diriku pun punya manfaat
lebih ken cai Paiduh,                 (bahkan) lebih darimu Piduh.
tur ira dadi sepelang,                 Dan aku dapat disimpan
kaetuhin,                                    dikeringkan
bulanan tuara rusak.                 berbulan-bulan (disimpan) tidak rusak.

Seduh cara teh melah,               Baik diseduh seperti teh.
yen inum sai-sai,                        Jika (sariku) sering diminum
paparu lan papusuhan,              paru-paru dan jantung,
miwah bebetukan milu,              juga lambung
ento bisa kawarasang,               itulah yang bisa disehatkan.
gring lilih,                                  penyakit itu kalah
takut ken kasaktin ira.                takut kepada kesaktianku”.

Kejanggutan ‘patikan kerbau’ (Euphorbhia hirta, linn) juga populer sebagai bahan obat herbal. Dikatakan mengandung unsur kimia di antaranya, alkaloida, tanin, senyawa folifenol, flavonoid quersitin dan yang lannya. Oleh karena itu, ia dapat menyembuhkan penyakit antara lain: radang tenggorokan, bronkitis, asma, desentri, radang kelenjar susu, eksem, abses paru, melancarkan kencing (Yuniarti, 2008: 302-304;Usada Tiwang:  21a).

III. Katang-katang dan Botor
Subudi, ketika perjalan pulang dari asrama Sukawan menemukan katang-katang ‘tapak kuda’ (Ipomiea pes-caprae L swee) dan kacang botor. Di samping keindahan bunganya, ia juga menuturkan khasiat obat daun katang-katang dan botor kepada Sucita dengan tembang Pangkur (XI:3-6):
Sang Subudi mangandika,         Sang Subudi berkata:
adi bagus,                                   “Adinda bagus,
indayang jua cingakin,               cobalah lihat
katang-katange ne atub, tapak kuda yang rimbun
ne mabun malepah samah,        yang bersulur bercabang banyak itu.
daun ipun                                   Daunnya
podok tuara ngelah muncuk,      podol tidak memiliki ujung
niru daun subita,                        meniru daun subita
sekar tangi lan putih,                  bunganya ada yang ungu dan putih.

Masih ngawe sukan manah,       Juga membuat perasaan (kita) senang,
yan kadulu,                                 jika dilihat (dinikmati)
ngirangin kuru di margi,            dapat mengurangi rasa lelah di jalan.
eling beli ane malu,                    Kakak jadi ingat waktu dulu
ada anak manuturang,               ada orang menuturkan
daun ipun,                                  (bahwa) daun itu
anggon tamba beseh luung,       baik dipakai obat bengkak
mulig misi bawang adas,           digerus bersama bawang dan adas.
nanging ne mabunga putih.       Tapi, (katang-katang) yang berbunga putih.

Malih yan lablab daunnya,        Juga, jika daunnya direbus
laut inum,                                   lalu diminum
sakit ngrasa katelasin,                dapat mengobati sakit ngrasa
ring botor mirib mabarung,       Dengan kacang botor setanding
paturu dadi balian,                     sama-sama menjadi balian
masih nulung,                             juga menolong.
sakit beseh umbin ipun,              Umbinya untuk obat bengkak
ulig laut olesang,                        digerus lalu diurapkan
bawang adas campur masih.     campur dengan bawang dan adas.

Kocap i botor puniku,                Konon, kacang botor itu,
daun ipun,                                  daunnya
ne matah yadin ratengin,           yang mentah atau pun yang matang
seringang ngajengang laut,        lalu itu sering dimakan
munahang ngrasa turunan,        menghilangkan sakit ngrasa turunan.
teka aluh,                                    Jadi mudah
tamba mudah guna luung,         obat murah bermanfaat baik
tuara tuyuh ngalih balian,          tidak repot mencari balian,
nanging yaning kauningin.         tetapi hendaknya diketahui (cara meramunya)”.

Katang-katang atau tapak kuda (Impomoea pes-caprae (L.) Sweet) dikatakan mengandung behenic acid, melissic acid, myristic acid, anti alergi. Oleh karena itu ia memiliki kasiat obat untuk menyembuhkan antara lain penyakit rematik, pegal-pegal, wasir, sakit gigi, pembengkakan gusi, keracunan ikan, pusing, lepra (Dalimartha, 2006:101; Yuniarti, 2008:394; Usada Dalem:19a; Usada Cukil Daki:21b).
Botor (kacang-kacangan, Psohocarpus tetragonolobus), buah muda dan daun umum dipakai sebagai sayur, sedangkan biji tua digoreng untuk camilan. Kasiat obatnya tidak tercantum dalam buku Ensiklopedi Tanaman Obat Tradisional. Akan tetapi, secara tradisional Bali, seperti diwacanakan dalam teks terkutip memang dipakai ramuan obat, terutama umbinya untuk obat bengkak atau memar. Sementara itu sari daunnya digunakan untuk mengatasi sakit ngrasa ‘gangguan pada saluran kencing dan batu ginjal’ (Prastika, wawancara 18-1-2009)
Bawang merah atau brambang (Allium cepa L) dikatakan mengandung flavonglikosida dan sulfur. Oleh karena itu dapat dijadikan obat demam pada anak, perut kembung, masuk angin, desentri, hipertensi, dibetes, kutu air, bisul, luka payudara pengkak, dan melancarkan air seni (Yuniarti, 2008:45). Adas (Foeniculum vulgare Mill) dikatakan mengandung minyak astiri, anetol, fenkon, pinen, limonen, dippenten, felandren, metilchavikol, anisaldehid, asam anisat, dan lemak lemak. Oleh karena itu, adas dapat dipakai obat mencret, kencing manis, radang usus, radang kulit, luka berdarah, obat penenang, dan radang payudara (Yuniarti, 2008:14; Usada Dalem: 2a,4a,28a). Bawang adas adalah bahan ramuan obat herbal yang sangat terkenal dalam tradisi pengobatan tradisional di Bali. Dalam setiap lontar usada yang memakai tanaman herbal sebagai sarana obat, terutama sakit yang berkaitan dengan perut dan panas, bawang adas sering disebut-sebut.

IV. Liligundi
Ketika dalam perjalanan menyusuri pinggir sungai menuju gua Rajasa, tempat tinggalnya si raksasa Durbudi,  Artati   lalu memetik ranting tumbuhan dan memberitahu tuannya, Katanya: “Puniki taru utama, ne kapuji, mawasta liligundi wulung, yan nyabran tumpek ajengang, astaguna pacang molih” (XI:45e-i) ‘Ini (Tuan,) kayu utama, tersohor bernama liligundi wulung. Jika tiap-tiap Tumpek ‘Sabtu Keliwon’ dimakan, akan mendapatkan astaguna ‘enam daya spiritual’. Lanjutnya dengan tembang Pangkur (XI:46-47):
nanging mangden manggeh pisan,        “Akan tetapi, supaya diyakini sekali
mangajengang,                                      memakannya. 
tan becik yan mangencedin,                   Tidak baik mematahkan rantingnya.
nyabran saniscara nuju,             Setiap hari Sabtu bertemu
Kliwon laut buatang,                              Kliwon selalu diusahakan
ditu pangan,                                           di situ (pad hari itu) disantap
muwuh mabrata tan surud,                    disertai tiada henti-hentinya
melaksanakan brata
tan wenang ngajeng carikan,                 dan tidak boleh makan makanan sisa.
tur tepet ring sila yukti.                           Dan melaksanakan susila dengan tepat.

Malih ne tan kayogyayang,                    Yang juga dilarang
ring umanis,                                           pada hari Umanis
mangalap liligundi,                                (hendaknya tidak) memetik legundi,
tan ngempak tuara ngabut                     tidak mematahkan, tidak mencabut,
makadi tan ngarusakang,                       terutama tidak boleh merusak
liligundi,                                                tanaman legundi.
keto babratannya bagus,                        Demikianlah pantangnya Adinda.
ayua lali aja lupa,                                  Jangan lupa janganlah lupa
yan pacang manglaksanain.                  jika akan melakoni (brata)nya”.

Liligundi wulung  atau legundi (Vitex trifolia L) yang berbunga ungu disebutkan mengandung minyak astiri, terpenoid, senyawa ester, alkaloid, glikosida flavon, dan komponen non flavonoid friedelin, B-sitosterol, glukosida dan senyawa hidrokarbon. Oleh karena itu, liligundi memiliki banyak kegunaan, antara lain: batang untuk menyembuhkan bengkak dan eksem; biji sebagai pereda batuk, penyegar badan, dan perawatan rambut; buah sebagai obat cacing dan peluruh haid; dan daun untuk mengurangi rasa nyeri, pusing, masuk angin, menurunkan panas, meredakan kejang, batuk, meredakan amandel, tuberkulose, tifus,  peluruh air seni, peluruh angin perut, peluruh keringat, melancarkan haid, membersihkan rahim, dan untuk membunuh serangga (Yuniarti, 2008:239); ramuan obat stres, jantung lemah, dan lemah sahwat (Usada Cukil Daki: 8b,35a; Usada Dalem: 15a,23a).
Selain itu, Subudi menyatakan dalam syair terkutip bahwa daun liligundi wulung bila didapat dengan cara yang sakral dapat dipakai sarana untuk mendapatkan atau meningkatkan daya spiritual. Hal ini dapat dimengerti, terutama karena liligundi mengandung kasiat obat, antara lain untuk menormalisir jantung dan obat penenang. Jantung yang normal dan ketenangan hati, bila dikaitkan dengan persoalan spiritual, adalah faktor penentu yang menjadikan orang dapat mencapai kondisi meditatif. Orang yang mencapai keadaan kontemplatif berarti mencapai tataran spiritual yang tinggi. Dan sangat beruntunglah ia yang dapat mencapai tataran spiritual paling purna yang disebut samadhi ‘manunggal dengan Realitas Semesta, Tuhan’. Akan tetapi, dikatakan bahwa jarang ada orang yang berhasil mencapai samadhi. Faktor penentunya antara lain adalah kesehatan, kemampuan mengendalikan pikiran dan ucapan, usaha bajik, ketekunan, kesabaran, kerendahan hati, kesederhanaan, keikhlasan, dan yang tak kalah pentingnya adalah rakhmat Tuhan.

Daftar Pustaka

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...