TATTWA JNÀNA:
KAJIAN TERHADAP STRUKTUR
I Wayan Suka Yasa
1. Pendahuluan
“Candi pustaka” yang menjadi kepustakaan Hindu Bali
merupakan warisan dari tradisi nyastra.
Cikal bakal tradisi ini bermula dari keterbukaan masyarakat Bali mula
yang niraksara menerima pencerahan dari tradisi besar Hindu yang beraksara.
Berdasarkan telaah kepustakaan Hindu Jawa-Bali terbukti bahwa lontar yang
dikelompokkan sebagai naskah kakawin mayor yang sampai saat ini masih
diapresiasi dalam tradisi nyastra
berasal dari zaman jayanya Hindu di Jawa, yaitu dari zaman Mpu Sindok abad ke-9
sampai runtuhnya Kerajaan Majapahit abad ke-l5 (Poerbatjaraka, 1962; Zoetmulder, 1983).
Akibat kuatnya pengaruh agama Islam di Jawa, naskah-naskah
Hindu Jawa diselamatkan menurut dua arah penyelamatan. Di satu sisi,
naskah-naskah tersebut diselamatkan ke daerah pedalaman Jawa tengah, sekitar
Gunung Merbabu-Merapi. Koleksi naskahnya disebut koleksi Merbabu-Merapi
(Setyawati, 2002:1). Di sisi lain, naskah-naskah juga diselamatkan ke
Bali. Di Bali lontar ini dihargai
sebagai candi pustaka (Agastia, 1987:140) tempat suci yang dibangun dengan
kata-kata terpilih untuk memuliakan Sang Hyang Aji Saraswati yang dipuja secara
khusus pada hari suci Saraswati. Atas perlakuan ini, kesakralan lontar tetap
terpelihara. Di pusat-pusat tradisi nyastra,
teks lontar tetap berfungsi pendidikan. Teksnya selalu diapresiasi dan disalin
melalui tradisi nurun lontar. Bagi
para genius Bali (Mantra,1996:10), yang dalam tradisi Bali disebut anak nyastra, teks lontar itu dijadikan
sumber inspirasi untuk menciptakan karya budaya yang baru. Bahkan, ada semacam pembalian teks Jawa Hindu, baik secara
langsung maupun secara tidak langsung, seperti halnya yang pernah dilakukan di
Jawa Timur pada abad ke-10 ada semacam proyek membahasajawakan karya-karya
Bhagawan Bhyasa (Agastia, 1987:71). Dalam tradisi ini nilai-nilai teks Kawi
diadopsi, diwacanakan, diadaptasi kemudian dikembangkan untuk mencerahi
kearifan lokal Bali, yang kemudian menjadi kebudayaan Bali tradisional.
Dalam aktivitas sosial di desa adat, nilai-nilai teks lontar yang telah
diadaptasi itu ditransformasikan, terutama lewat seni dari generasi ke
generasi. Jasa tradisi nyastra ini
mendapat perhatian khusus para orientalis. Teeuw (1983:83) menyatakan: “Sarjana
Bali yang menyelamatkan dan menghidupkan tradisi filologi setempat itu
melakukan kritik teks, penafsiran dan penerapan sastra ini dengan cara mereka
sendiri, dan dalam tahun-tahun belakangan ini saya beberapa kali dapat
memastikan bahwa tradisi Bali bernilai tinggi dan bermanfaat sekali”.
Sarjana
Bali yang dimaksud Teeuw tidak lain adalah anak
nyastra “orang berilmu”di Bali (Bagus, 1980:7). Mereka adalah orang yang
suntuk melakukan olah budi dan rasa dengan membaca terutama teks lontar. Bidang
apresiasi sastra tradisional belakangan ini kembali tampak bergairah dengan
mengakses teknologi komunikasi.
Esensi dari ribuan lontar yang
terdokumentasi, baik di perpustakaan formal maupun pribadi di Bali memiliki
tiga tema utama yang menyatu-padu membangun beraneka-ragam tema minor. Tiga
tema utama dimaksud adalah jñàna, suúila,
dan raûa. (1) Tema jñàna, yaitu pengetahuan hakikat
diwujudkan menjadi lontar tattwa.
Isinya didominasi oleh doktrin-doktrin teologi-filosofis. (2) Tema suúila diwujudkan menjadi lontar sàúana dan nìti. Isi teksnya didominasi oleh ajaran moral dan kepemimpinan.
(3) Tema raûa atau estetika-religius
diwujudkan dalam lontar seni dan lontar-lontar religius-magis.
Sosiologi humanistik berasumsi
bahwa simbol, nilai, dan makna merupakan dasar (basic term) karena atas dasar itu manusia memandang dirinya sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat (Triguna,1997:4). Sehubungan dengan itu,
ketiga tema utama tersebut jelas merupakan pokok nilai kearifan Hindu yang
mengajegkan kebudayaan Bali. Ketiga nilai itu berfungsi membangun citra
masyarakat Bali, baik karakter, pengetahuan, maupun cita rasanya dalam hubungan
dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan. Keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhan, sesama, dan alam kemudian dirumuskan menjadi konsep kearifan Hindu di
Indonesia yang disebut tri hita karana.
Harmonisasi di antara ketiganya menjadi isu amat sentral di berbagai bagian
dunia sebagai akibat eksploitasi manusia secara berlebihan terhadap alam
(Triguna, 1997:4). Bahkan, seorang antropolog, Parsudi Suparlan dalam
tulisannya yang berjudul “Kebudayaan dan Pembangunan”, mendefinisikan agama
semakna dengan konsep tri hita karana,
sebagai berikut. “Agama secara mendasar dan umum dapat didefinisikan sebagai
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia
gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya,
dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya” (Mastuhu (ed.), 1996:109).
Penarapan sistem pendidikan
Barat di Indonesia sejak pertengahan abad ke-19 mengakibatkan pengaruh
kebudayaan Barat yang bercorak intelektualistis, materialistis, dan
individualis semakin meluas (Geriya, 2000:3; Atmaja, 2001:17). Pengaruhnya
terhadap kebudayaan Bali menonjol sejak awal abad ke-20 (Mantra, 1996:1).
Akibatnya, keajegan kebudayaan Bali tradisional yang berkarakterkan budaya
ekspresif yang bercirikan nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas
berada pada posisi dilematis. Dinamikanya menunjukkan dua arah perkembangan. Di
satu sisi berproses ke arah integrasi adaptif dan di sisi lain juga menunjukkan
dialektik antagonistik (Geriya, 2000:3).
Dinamika yang mengarah ke
integrasi adaptif disebabkan oleh adanya gejala bahwa orang (Bali) tidak mau
kehilangan kepribadiannya (Mantra, 1996:6). Kebudayaan Bali telah
memperlihatkan daya tahan dari abad ke abad menghadapi perubahan-perubahan
karena sifatnya yang luwes, dinamis, adoptif, adaptif, dan kreatif. Di samping
itu, kebudayaan Bali juga mempunyai potensi untuk mengalami perkembangan,
pembaharuan, dan perubahan. Pada kesempatan lain, Mantra (1996:14) menyatakan
keyakinanya: “Sepanjang kedudukan dan fungsi seni budaya masih kuat dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat Bali, dan upacara-upacara dari kelahiran
sampai mati masih kokoh, maka seni budaya akan selalu hidup dan merakyat”.
Akan tetapi, di sisi lain
pengaruh modernisasi, juga mengakibatkan berbagai benturan budaya tidak dapat
dihindari. Ini muncul dalam berbagai kasus yang membawa dampak negatif:
fenomena distorsi, degradasi, demoralisasi sampai dengan berbagai pelecehan
kultural (Geriya, 2000:3). Naya Sujana (dalam Geriya, 2000:5) berkesimpulan
bahwa dinamika kebudayaan Bali tradisional menuju kebudayaan Bali modern
mengandung ancaman serius, krisis, dan semakin tidak berdaya. Kebudayaan Bali
tengah mengalami distorsi, diskontinu, dan disintegrasi. Dari sisi sosial dan
pendidikan, Bawa Atmadja (2001:22--30) menyatakan bahwa masyarakat Bali
mengalami disorganisasi sosial yang teraktualisasi dalam perilaku menyimpang
yang dapat dipilah menjadi tiga: kesukaran semantik, konversi agama, dan
menguatnya budaya konsumen. Dalam bidang agama, bahkan ada isu bahwa agama
Hindu yang dianut di Bali adalah agama ritual yang boros dan tidak jelas akar
teologisnya. Isu terakhir ini menarik untuk dicermati.
Pengaruh negatif tradisi modern
benar-benar disadari oleh para indolog dan budayawan Bali. Oleh karena itu,
dicetuskanlah ide-ide untuk menyelamatkan, melestarikan, dan mengembangkan
kebudayaan Bali. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1928 atas prakarsa residen
Bali Lombok, LJJ. Caron didirikanlah perpustakaan yang bernama Kirtya Liefrinck
van der Tuuk (Gedong Kirtya) untuk menyelamatkan lontar Bali-Lombok. Kemudian
tahun 1932 didirikan Museum Bali yang tujuannya juga untuk menyelamatkan
warisan budaya Bali.
Setelah Indonesia merdeka
pemerintah pusat pun menaruh perhatian besar terhadap keselamatan kebudayaan
Bali. Untuk membina sumber daya manusia Bali yang diharapkan memiliki komitmen
terhadap kebudayaan Bali, pada tahun 1957 Poerbatjaraka dan Ida Bagus Mantra
ditugasi mendirikan dan membina Fakultas Sastra. Lima tahun kemudian (tahun
1962) dimekarkan menjadi Universitas Udayana dengan pola ilmiah pokok
kebudayaan. Berdekatan dengan itu, yaitu tahun 1963 didirikan pula Institut
Hindu Dharma (tahun 1993 menjadi Universitas Hindu Indonesia) dengan pola
ilmiah pokok agama dan kebudayaan. Di samping itu, ada satu lagi lembaga yang
melestarikan kebudayaan Bali, yaitu Akademi Seni Tari Indonesia (Mantra, l996).
Lebih lanjut setelah Ida Bagus
Mantra menjadi Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Bali (l978--l988), pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bali
sunguh-sungguh mendapat perhatian. Salah satu pandangannya yang menjadi dasar
penyusunan strategi pembangunan Bali tertuang dalam tulisannya yang berjudul Budaya
Bali: Strategi dan Realitas, sebagai berikut.
“Dalam
menghadapi arus komunikasi yang semakin besar ini, satu-satunya jalan yang
paling bijaksana dan dapat dipertanggungjawabkan secara nasional ialah
peningkatan kesadaran berbudaya kita yang menumbuhkan kemauan dan komitmen
berbudaya. Ini berarti hendaknya kita lebih mendalam mempelajari agama Hindu
dan nyastra (mendalami kesusastraan
Bali). Dengan landasan ini kita akan mampu menyaring unsur-unsur yang baik dan
menyisihkan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa” (Mantra,
1996:2).
Untuk merealisasikan ide
tersebut Pemerintah Daerah Propinsi Bali
tahun 1980-an mendirikan Dinas Kebudayaan. Unitnya, yaitu Pusat
Dokumentasi Bali, sejak berdiri secara terprogram bertugas menginventarisasi,
mentransliterasi, menerjemahkan, mengkaji, dan menyebarkan (secara terbatas)
hasil terjemahan dan kajiannya ke
masyarakat Hindu, khususnya di Bali. Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani
teks dengan pewarisnya. Akan tetapi, hasil kajian teks lontar, khususnya kajian
teks lontar tattwa yang lebih
mendalam sejauh diketahui masih langka adanya.
Atas tantangan dan peluang
tersebut di atas maka penelitian ini difokuskan dengan mengedepankan tema
“Brahma Widya dan Kearifan Lokal”. Brahma
widya atau teologi Hindu di Bali jelas tersimpan dalam kepustakaan Bali,
terutama pada lontar tattwa, seperti Buwana
Koúa, Wrêhaspati Tattwa, Tattwa Jñàna, Jñàna Siddhànta, Bhuwana Sangksepa,
dan Gaóapati Tattwa. Nilai-nilai teologis-filosofis yang terkandung dalam
sejumlah lontar penting tersebut sejauh diketahui ada beberapa yang belum
digali secara ilmiah yang lebih mendalam.
Oleh karena itu dari sejumlah lontar dimaksud lontar yang mengandung
teks Tattwa Jñàna (TJ) dipilih menjadi objek penelitian ini. Ada keunikan-keunikan
yang menjadikan teks TJ khas dan menarik untuk diteliti. Keunikan dimaksud,
antara lain sebagai berikut.
(a)
Ada penyimpangan terhadap konvensi
penulisan teks tattwa. Teks TJ
ditulis secara naratif berbahasa Kawi dengan meminimalkan úloka Sanskerta. Dari sudut kearifan lokal, kreativitas penulis
menyimpangi konvensi penulisan teks tattwa
patut dihargai sebagai wujud wira
(keberanian) anak nyastra mengajegkan
kearifan lokal. Teks tattwa yang lain
menjadikan úloka Sanskerta sebagai
teks inti dan bahasa Kawi bertindak sebagai bahasa penerjemah atau untuk
menerangkan isi úloka di depannya.
Ini berarti kedudukan bahasa Sanskerta lebih tinggi daripada bahasa Kawi.
Bahasa Sanskerta bertindak sebagai bahasa “wahyu”, sedangkan bahasa Kawi
sebagai bahasa tafsir, yang bertugas menerangkan ajaran yang terkandung dalam úloka dimaksud. Bahasa Sanskerta sebagai
bahasa puisi dan bahasa Kawi sebagai bahasa prosa dalam satu naskah. Akan
tetapi, dalam teks TJ, bahasa Kawi adalah bahasa utama, bahasa penutur teks untuk
menerangkan ajaran kepada murid-murid terpilih.
(b)
Teks TJ ditulis dengan gaya
bertutur (dialogis katekismus) dengan latar sistem pendidikan seperti sistem
pendidikan upanisad. Di Bali disebut aguron-guron atau nabe-sisya, yaitu murid-murid terpilih duduk di bawah dekat
gurunya untuk mendengarkan ajaran rahasia yang disebut tattwa jñàna. Keunikannya,
penulis tidak mempersonifikasikan secara jelas siapa sang guru dan muridnya
itu. Kekaburan tokoh dalam teks TJ menjadi menarik dari sudut kearifan lokal bahwa teks adalah milik dan untuk kepentingan masyarakat. Tidak
begitu penting apakah tokoh itu dewa atau manusia suci, yang utama apakah
ajarannya itu berguna untuk kebaikan bersama atau tidak.
(c)
Ajaran yang disampaikan
berstruktur. Hal-hal yang dipandang sulit, dipertanyakan dan diulas dengan gaya
metafora. Pengarang tampak lebih mengedepankan cara berpikir logis. Sebaliknya
cara pengungkapan teologi yang memitos diposisikan untuk lebih menjelaskan
ungkapan-ungkapan filosofis yang dipandang sukar.
(d)
Boleh jadi karena hal tersebut,
teks TJ menjadi cukup populer di kalangan anak
nyastra di Bali. Hal ini dapat diketahui dari jumlah turunan dan versi teks
yang terdokumentasi. Tanggapan lebih
jauh, seorang anak nyastra Bali, Ida
Ketut Djelantik, atas penghargaannya terhadap keluhuran nilai teks Kawi dan atas pertimbangan didaktik memilih dan
menjadikan teks TJ sebagai salah satu sumber inspirasinya dalam nyastra. Teks Kawi kemudian diadaptasi
menjadi karya-karya “baru”. Dalam bidang tattwa
karyanya diberi judul Aji Sangkya. Dalam bidang sastra Ida Ketut
Djelantik menulis Geguritan Sucita yang struktur tattwa-nya jelas mengadaptasi teks TJ atau Wrêhaspati Tattwa.
Karya-karya itu, dipandang dari isinya dapat disebut sebagai salah satu wujud
nyata usahanya mendalami dan membalikan teks berbahasa Kawi. Ini berarti ada
kesinambungan teks. Nilai teks Kawi diadaptasi menjadi nilai kebudayaan Bali.
Berdasarkan latar keberadaan
kepustakan Bali dan dilema masyarakat Hindu di Bali sebagai pendukung
kebudayaan Bali maka masalahnya dapat diidentifikasi sebagai berikut.
(a)
Wacana ajeg Bali
mengisyaratkan masyarakat Bali agar menpertahankan kebudayaan Bali,
yaitu ajeg agama, adat, dan seni budaya, sementara pengaruh tradisi modern yang
berlatar kebudayaan Barat semakin kuat. Konsekuensinya, masyarakat Bali
mengalami ketegangan sosial-kultural.
(b)
Teologi Hindu di Bali yang menjadi
nilai kebudayaan Bali tersimpan dalam teks dengan medium lontar. Teksnya
berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, dan Bali yang ditulis dengan aksara Bali,
sementara sebagian besar masyarakat Bali tidak lagi mampu membaca dan mengerti
bahasa teks tersebut. Akibatnya, teks semakin berjarak dengan pewarisnya.
(c)
Di samping faktor-faktor di atas,
masyarakat Bali mengalami hambatan sosio-psikologis untuk mempelajari teks yang
ditulis dengan aksara Bali, terutama yang memakai medium lontar. Ada wacana
yang ditafsirkan dan ditransformasikan secara keliru sehingga masyarakat merasa
sungkan dan ragu untuk mempelajari teks lontar. Misalnya wacana aywa wera, yang sesungguhnya bermakna
pengendalian diri atau agar hati-hati untuk mempelajari ajaran khusus tingkat
lanjut dimaknai sebagai larangan untuk membaca teks lontar secara umum dan atau
belajar agama.
(d)
Teks lontar TJ merupakan salah
satu teks tattwa yang penuh dengan
ajaran teologi Hindu seperti yang dianut di Bali. Akan tetapi, terjemahan dan
kajian yang mempu menjembatani teks ini dengan pembaca sejauh ini belum
memadai.
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut maka
masalah penelitian dirumuskan sebagi berikut. Bagaimanakah struktur ajaran yang
terdapat dalam teks TJ?
2. Pembahasan
2.1 Ikhtisar Sang Hyang Tattwa Jñàna
(a) Cetana dan Acetana adalah dua asas
purba. Adanya sama halus, sama sukma, dan abadi. Cetana adalah Úiwa
Tattwa. Ia adalah jñàna, yaitu asas yang tahu dan sadar abadi.
Sebaliknya Acetana adalah Màyà Tattwa. Asas yang bersifat
lupa dan berwujud hampa (2).
(b) Úiwa Tattwa dibedakan menjadi tiga:
Paramaúiwa Tattwa, Sadàúiwa Tattwa, dan Àtmikà Tattwa. (1) Paramaúiwa
Tattwa adalah keberadaan Bhaþara Úiwa di niskàla. Ia adalah kesadaran
yang langgeng, sempurna, tak ternoda, bebas dari ruang dan waktu, bebas nilai,
tak terpikirkan, dan tak terlukiskan; (2) Sadàúiwa Tattwa adalah Bhaþàra
Úiwa yang wyàpara, yaitu kesadaran Úiwa yang aktif: serba tahu dan
serba kerja. Ia berstana pada Padmasana yang tiada lain adalah Caduúakti-Nya:
Jñànaúakti (Mahatahu), Kriyaúakti (Mahakarya), Wibhuúakti
(Mahasempurna), dan Prabhuúakti (Mahakuasa) ; (3) sedangkan Àtmika Tattwa adalah Bhaþàra Úiwa
yang uta-pota, yaitu kesadaran yang laksananya menyusup-menguntai,
memancar memberi kesadaran kepada Màyà Tattwa. Ia yang laksananya
menjadi jiwa segala ciptaan. Dalam hal ini Ia dan laksananya dianalogkan
sebagai matahari dan sinarnya. Matahari diam abadi, langgeng tak ternoda,
tetapi sinar yang memancar memberi sinar dan energi, baur menyusup dalam segala
rupa-warna ciptaan. Adanya pada ciptaan sebagai adanya api dalam kayu (3--5,
24, 29--30,34--36).
(c) Bhaþàra Mahulun yang tidak lain adalah Bhaþàra
Sadàúiwa berkehendak menyaksikan
segala ciptaan. Oleh karena itu, Ia mempertemukan Sang Hyang Àtmà dengan
Pradhana Tattwa, anaknya Màyà Tattwa. Sang Hyang Àtmà
adalah Puruûa, yaitu perwujudan dari asas yang sadar (tutur)
dipertemukan dengan Pradhana Tattwa, yaitu perwujudan dari asas yang
alpa (lupa). Dari perkawinan kosmis Puruûa-Pradhana tersebut
lahirlah citta dan guóa (6, 25-26, 28-29).
(d) Citta adalah wujud kasar dari Puruûa,
sedangkan guóa adalah wujud kasar dari Pradhàna Tattwa. Ada tiga
jenis guóa, yaiu sattwa, rajah, dan tamah. Ketiga guóa
inilah dijadikan sifat oleh citta. Oleh karena itu, ada yang disebut citta
sattwa, citta rajah, dan citta tamah. (1) Ciri-ciri citta
sattwa antara lain pandai, bijaksana, susila, setia, bakti, jujur, penuh
kasih sayang, tidak sedih bila ditimpa penderitaan, tidak senang bila mendapat
kesukaan; (2) Ciri-ciri citta rajah antara lain aktif, egois, cepat
bangga, irihati, cepat tersinggung, gampang marah, suka memaksa, usil, suka
mengagung-agungkan diri, loba, licik, bengis; (3) Ciri-ciri citta tamah
antara lain malas, kumal, senang makan, penidur, bodoh, pengkhayal, nafsu
besar, suka irihati. Kelekatan citta pada guóa inilah yang
menyebabkan Àtma mengalami tumimbal lahir (7—9,26).
(e) Dari kelekatan pertemuan citta dengan guóa lahirlah buddhi,
yaitu wujud kasar dari triguóa yang diberi kesadaran oleh citta. Sifat buddhi antara lain tidak tetap
pendirian, berkepribadian mendua: sadar
tak sadar, tahu tidak tahu, baik tidak baik (10).
(f) Dari buddhi lahirlah ahangkàra, yaitu wujud kasar buddhi
akibat buddhi berkesadaran aku. Ia adalah kesadaran yang menyatakan
sesuatu itu ada atau tidak ada, kesadaran yang melaksanakan aktivitas
baik-buruk, dan kesadaran yang mengaku serba milik. Ada tiga ahangkàra:
ahàngkara si waikrêta, si taijasa, dan si bhùtàdi (11, 26).
(g)
Aktivitas (1) ahangkàra si
taijasa adalah menciptakan manah (pikiran); pañca buddhindriya
(lima indra persepsi): indra pada mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit; dan panca
karmendriya (lima indra pekerja): indra pada mulut, tangan, kaki, alat
kelamin, dan anus; (2) ahangkàra si bhùtàdi adalah menciptakan pañca
tanmàtra dan pañca mahàbhùta. Panca tanmàtra, yaitu lima
unsur halus (màtra) dari suara, udara, teja, rasa, dan bau. Sedangkan pañca
mahàbhuta, yaitu lima unsur besar alam semesta: ether, yang berembus, yang
panas, yang cair, dan yang padat; (3) ahangkàra si taijasa berfungsi
membantu kerja si taijasa dan si bhùtàdi (12).
(h) Bhaþàra Mahulun dengan daya saktinya mengolah Pañca mahàbhùta:
prêthiwi, àpàh, teja bàyu, àkàúa dipadu dengan guóa. Dari perpaduan
itu terciptalah aóðabhuwana (alam semesta). Ada empat belas lapis alam.
Adanya seperti sarang tawon berlapis-lapis. Tujuh bagian alam atas disebut saptaloka:
Satyaloka, Mahàloka, Janaloka, Tapaloka, Swarggaloka, Bhuwarloka, dan Bhurloka;
dan tujuh bagian alam bawah disebut sapta pàtàla: Pàtàla, Waitàla, Nitàla, Mahàtàla,
Sutàla,Tàlatàla, dan Rasatàla. Di bagian bawah sapta pàtàla
adalah Mahànaraka stana Sang Hyang Kàlàgnirudra, api yang menjadi dasar
alam semesta yang senantiasa berkobar (13—14).
(i) Evolusi selanjutnya, atas kehendak Bhaþàra Mahulun, laksana
kesadarannya yang pada tahap ini disebut Sang Hyang Pramàóa atau Sang
Hyang Àtmà dirangsang untuk berkembang biak menjadi segala jenis mahluk. Buddhi
dan manah menjadi alat berpikir, sedangkan ahangkàra sebagai
sarana untuk mengaku dan melaksanakan perbuatan baik-buruk (15)
(j) Perkembangan Sang Hyang Pramàóa menjadi beraneka ragam makhluk
penghuni alam semesta mengalami tumimbal lahir. Hal itu disebabkan oleh
pengaruh triguna: sattwa, rajah, dan tamas. Tiap-tiap makhluk
menjadi berbeda kualitasnya menurut dominan tidaknya pengaruh karakter dasar
yang disebut yoni. Ada tiga kelompok yoni: yoni buddhi sattwa, yoni
buddhi rajah, dan yoni buddhi tamas. Tiap-tiap kelompok yoni
tersebut diurut menurut kualitasnya sebagai berikut.
Jenis-jenis yoni
buddhi sattwa
|
Ciri-ciri
kegemarannya
|
1.Yoni sang
hyang
tripuruûa
2. Yoni
pañcaåsi
3. Yoni
saptaåsi
4. Yoni
dewaåsi
5. Yoni dewa
6. Yoni widyàdhara
7. Yoni
gandhawa
|
Gemar akan kearifan, ilmu pengetahuan, suka ajaran kesempurnaan.
Gemar melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samàdhi.
Gemar melaksanakan upacara agama, japa, dan mantra.
Berani berkurban demi cintanya kepada semua mahluk.
Gemar kepada ajaran dharma, suka berbuat jasa, dan dermawan.
Gemar akan olah kanuragan, rela mempertaruhkan jiwa, tidak ragu dalam
bertindak, batin dan pikirannya jernih, dan memiliki ketetapan hati.
Gemar akan segala kesenian, suka bertamasya untuk menikmati keindahan
alam (16).
|
Jenis-jenis yoni
buddhi rajah
|
Ciri-cirinya
|
1.Yoni dànawa
2. Yoni daitya
3. Yoni
ràkûasa
|
Bila mendapat kata-kata kasar, ia menjadi marah, tetapi mampu
mengendalikannya karena malu kepada masyarakat di sekelilingnya.
Bila mendapat
kata-kata kasar, ia menjadi marah, tetapi untuk sementara waktu ia dapat
mengendalikan kemarahannya lalu menghindar sambil menggerutu.
Bila mendapat
kata-kata kasar, ia menjadi marah, badannya gemetar, mengumpat-umpat,
mendelik, mencak-mencak, dan menantang (17).
|
Jenis-jenis buddhi
tamas
|
Ciri-cirinya
|
1.
Yoni bhùtayaksa
2.
Yoni bhùtadêngên
3.
Yoni bhùtakàla
4. Yoni bhùtapisàca
|
Tidak senang makan, ia puas hanya dengan sejumput makanan, sejumput
sayur, dan seteguk minuman nira.
Suka
memilih-milih makanan, pikirannya menjadi tenteram hanya bila mendapatkan
makanan kesukaannya, uring-uringan, dan tidak riang.
Rakus akan
makanan, tidak memilih-milih makanan yang penting kenyang.
Haus makanan
enak, bingung bila tidak mendapatkan makanan, suka mencuri dan suka membuat
huru-hara hanya demi makanan (18)
|
(a)
Evolusi dan inevolusi makhluk
ditentukan oleh kombinasi yoni yang menjadi karakter dasar dan
kecenderungan perilaku hidupnya sebagai berikut.
Kombinasi yoni
|
Akibatnya
|
1
Bila yoni bhùtayakûa
berkombinasi dan didominasi oleh pengaruh yoni tripuruûa, pañcaåsi,
saptaåsi, dewaåsi, dan dewa
2
Bila yoni bhùtadêngên
berkombinasi dan didominasi oleh pengaruh yoni dewa, widyàdhara, dan
daitya
3
Bila yoni bhùtakàla
berkombinasi dan didominasi oleh yoni gandàrwa dan ràkûasa
4
Bila yoni bhùtapisàca
berkombinasi dan didominasi oleh yoni ràkûasa
5
Akan tetapi bila yoni
bhùtapisàca saja yang dominan
|
Àtmà mencapai mokûa.
Àtmà mencapai surga.
Àtmà menjelma menjadi manusia.
Àtmà jatuh ke neraka.
Àtmà menjadi triyak: binatang
peliharaan, binatang liar, burung, ikan, dan binatang yang bergerak dengan
dadanya (19).
|
(b) Kemerosotan kualitas Àtmà menjadi berbagai jenis makhluk, dari
kelahiran berkualitas luhur menjadi berkualitas lebih rendah disebabkan oleh
merosotnya iman dan kekurangtekunan dalam melaksanakan yoga. Bila Sang Hyang
Tripuruûa: Brahma, Wiûóu, dan Iúwara merosot imannya dan lalai dalam
beryoga, maka ia merosot menjadi pañcaåsi. Demikian seterusnya
berturut-turut: pancaåsi menjadi saptaåsi,
dewaåsi, dewa, widhyàdara, gandharwa, dànawa, daitya, ràkûasa, bhùtayakûa,
bhùtadêngên, bhùtakàla, bhùtapisàca, mànuûa, dan triyak. Demikian Àtmà
mengalami tumimbal lahir (19,30).
(c) Sang Hyang Yamabala disebut juga Bhaþàra
Dharma, penguasa hukum karma, menghukum dan memberi hadiah kepada
semua makhluk menurut perbuatannya. Perbuatan bajik menyebabkan Àtmà
mencapai surga. Dalam kelahiran berikutnya ia lahir menjadi orang yang
beruntung. Sebaliknya, perbuatan buruk menyebabkan Àtmà jatuh ke neraka dan
dalam kelahiran berikutnya lahir menjadi manusia tidak beruntung atau menjadi
binatang (20--22, 32--33).
(d) Pada bagian ini fokus perhatian dipusatkan pada penjelmaan Àtmà
menjadi manusia. Atas kehendak Bhaþàra Mahulun, pada mulanya sari-sari pañca
mahàbhùta yang disebut sadrasa dijadikan tubuh Àtmà (bayi
manusia). Perkembangan tahap kedua, bayi
itu tumbuh dan menjadi manusia dewasa dari sadrasa yang diperoleh dari
makanan dan minuman. Perkembangan tahap ketiga, setelah manusia dewasa sadrasa
itu menjadi sperma (kàma) dan sel telur (ratih). Cintalah yang
mempertemukan manusia pria dan wanita ciptaan pertama ini sehingga beranak pinak
menjadi banyak. Bila sperma yang dominan atas sel telur ia lahir menjadi
laki-laki. Sebaliknya, bila sel telur dominan atas sperma, ia lahir menjadi
wanita. Akan tetapi, bila sperma dan sel telur sama-sama dominan, ia akan lahir
menjadi manusia banci. Tiap-tiap unsur halus dan unsur besar alam semesta
menjadi bagian yang membangun strukur tubuh manusia dan triguóa menjadi
sifatnya (37--41).
(e) Pradhàna Tattwa, yaitu wujud asas materi yang
dikembangkan menjadi badan Sang Hyang Àtmà inilah yang disebut ambêk
dalam diri manusia. Ambêk adalah alat yang digunakan untuk berpikir oleh
Sang Hyang Àtmà. Ambêk menjadi penyebab manusia melakukan
perbuatan baik dan buruk. Ambêk juga sebagai penyebab manusia mengalami
suka duka, tumimbal lahir, mengembara ke seluruh alam menurut kecenderungan
pikirannya. Oleh karena itu, ambêk juga dipandang sebagai kumpulan
pahala perbuatan. Orang yang bijak mengetahui dan menyimpulkan bahwa ambêk
adalah akar penyebab penderitaan. Sehubungan dengan itu, ia senantiasa berusaha
mengendalikan dan mengarahkan pikirannya dengan sadana mengamalkan ajaran
yoga yang disebut Sang Hyang Prayogasandhi.
Ajaran filsafat yang disebut Sang Hyang Tattwa Jñàna menjadi suluh
hidupnya. Sebaliknya Sang Hyang Prayogasandhi menjadi sadananya untuk
mencapai kesempurnaan terakhir yang disebut Anta Wiúeûa (40--41).
2.2 Struktur Dasar Sang Hyang Tattwa Jñàna
Akhirnya, dari
seluruh bagian ikhtisar tersebut di atas dapatlah digambarkan struktur dasar
ajaran Tattwa Jñàna dalam bentuk diagram sebagai berikut.
CETANA (ÚIWA TATTWA)
Paramaúiwa Tattwa
Sadàúiwa Tattwa
Àtmika Tattwa
+
ACETANA
(MÀYÀ TATTWA)
Puruûa + Pradhàna
Citta + Triguóa
Buddhi
(Jñàna-ajñàna, dharma-adharma)
Ahangkàra
Si Waikreta Si Taijasa s
Si Bhùtàdi
Manah & Daúendriya Pañca Tanmàtra
Panca Mahàbhùta
Keterangan: Aóðabhuwana
= aspek (alam semesta)
+ = dikawinkan O
= menjadi Segala makhluk
O = sarinya
menjadi
Setelah
ajaran Tattwa Jñàna dipahami dengan sempurna maka untuk merealisasikan
pengetahuan kesempurnaan tersebut sehingga sang
diri menemukan dan manunggal dengan Sang Diri Sejati, teks TJ menawarkan
langkah berikutnya, yaitu mengamalkan ajaran Prayogasandhi dengan cara
membatinkan ajaran tapa, brata, yoga, dan samàdhi (42—43).
Prayogasandhi adalah usaha yang berkesinambungan dari aúana, prànàyàma,
pratyàhara, dhàrana, dhyàna, tarka, dan mencapai samàdhi.
Hubungan yang menguntai tahap-tahap yoga itulah yang disebut sandhi.
Tujuannya adalah agar kesadaran menjadi manunggal, sebab kesadaran adalah
perwujudan Bhaþàra di alam nyata ini. Artinya, manusia hendaknya
menyadari Bhaþàra dalam segala tingkah lakunya (44).
Tahapan
ajaran Prayogasandhi dijelaskan sebagai berikut.
(a) Àúana, yaitu sikap duduk. Ada enam sikap duduk
yang ditawarkan. Seorang siswa yoga hendaknya memilih satu di antara sikap itu
untuk dibiasakan dalam latihan yoga.
(b) Prànàyàma, yaitu mengendalikan napas dengan
teknik rêcaka, pùraka, dan kumbhaka dalam pikiran terpusat.
Tujuannya adalah untuk membina kesehatan diri dan meredakan pengaruh sifat rajah
dan tamah. Dengan demikian, sifat sattwa menjadi semakin
terang.
(c) Pratyàhara, yaitu menarik indra dari objek
kesukaannya dan dipusatkan pada cita yang terang.
(d) Dharàna, yaitu pikiran dipusatkan pada Omkara
di hati, menjaga pikiran agar tetap sadar, dan menyucikan diri dari segala
noda.
(e) Dhyàna, yaitu pikiran terpusat dalam kesadaran
roh, tidak lagi mendua, tidak goyang, hening, dan terang bagaikan pelita dalam
tempayan.
(f) Tarka, yaitu renungan mendalam tentang dan
dalam Ia yang menjadi tujuan utama.
(g) Samàdhi yaitu keadaan bahwa kesadaran sang
yogi telah kembali manunggal dengan Bhaþàra Sadàúiwa Tattwa. Ia kembali
menjadi serba tahu dan serba kerja. Sang Hyang Àtmà kembali menjadi
Mahatahu, Mahakarya, Mahasempurna, dan Mahakuasa (43-49).
(h) Sang yogi yang telah berhasil mencapai samàdhi berhasil
menguasai astaiúwarya: (1) animà, dapat mengubah wujud menjadi
besar, kecil, atau gaib; (2) laghimà, tubuh sang yogi dapat menjadi
ringan atau berat; (3) mahimà, dihormati di mana-mana; (4) pràpti,
segala kehendaknya terwujud; (5) prakàmya, dapat mengubah wujud
sekehendaknya; (6) iúitwa dapat memerintah dewa; (7) waúitwa
tidak ada yang dapat menentang kehendaknya; (8) yatrakàmawasàyitwa dapat
mengutuk dewa menentang kehendaknya. Demikianlah asteúwarya ciri orang
yang telah berhasil mencapai yoga wiúesa (50).
3. Simpulan
Tattwa
Jñàna salah satu teks siwaistik
yang membedakan tiga asas esensi Siwa, yaitu Paramaúiwa Tattwa,
Sadàúiwa Tattwa, dan Àtmikà Tattwa. Untuk memahami esensi
tersebut terlebih dahulu hendaklah dipahami dualitas tunggal sebagai asas
purba, yaitu Cetana dan Acetana. Setelah ajaran Tattwa Jñàna
dipahami dengan sempurna maka untuk merealisasikan pengetahuan kesempurnaan
tersebut sehingga sang diri menemukan
dan manunggal dengan Sang Diri Sejati, teks TJ menawarkan langkah berikutnya,
yaitu mengamalkan ajaran Prayogasandhi dengan cara membatinkan ajaran tapa,
brata, yoga, dan samàdhi (42—43).