AGAMA DAN RELIGIUSITAS:
Pemahaman Konsep Spirit Hindu di
Indonesia
I Wayan Suka Yasa
I. Pokok Masalah
Apakah arti agama, bila tidak
mampu berprikemanusiaan? Apa arti agama tanpa religiusitas, tanpa penuntunan
manusia ke arah segala makna yang baik? Demikianlah Mangunwijaya (1992:16,30)
menimbang-nimbang, menimbang keberatan hati nuraninya mengingat keberagamaan
masyarakat yang diamatinya tampak kering karena lebih mementingkan aspeknya
yang formal: yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, dan aspek formal
lainnya ketimbang perilaku yang berprikemanusiaan. Menimbang-nimbang dengan
penuh kearifan berarti pendewasaan, yaitu kritis terhadap segala hal termasuk
diri sendiri, sikap dan perilaku keagamaannya. Sebab, hidup iman dan keagamaan
pun bukan benda beku, melainkan suatu yang hidup, berkembang. Hal itu terjadi
berkat kritik dan koreksi yang semakin menyuburkan penghayatan.
Ucapan Mangunwijaya tersebut
mengandung arti bahwa ada unsur perbedaan dan sekaligus unsur persamaan antara
agama dan religiusitas. Apakah persamaan dan apa pula perbedaannya? Bagaimana
halnya itu dengan Hinduisme, konsep-konsep apakah yang menjadi kekhasannya? Dan
yang terpenting, bagaimanakah konsep-konsep religi itu dimaknai untuk
kepentingan menjadikan umatnya agar lebih berprikemanusiaan? Hal tersebutlah
yang ingin disimak dalam tulisan ini dengan cara memahami sistem keyakinan yang
menjadi landasan atau ideologi Hinduisme di Indonesia.
II Agama
Istilah agama dalam Hinduisme
berasal dari bahasa Sanskerta, àgama. Àgama memiliki akar kata gam ‘pergi’,
vokal à yang mengawali gam berarti ‘kebalikan dari’. À-gam, dengan demikian
berarti kembalikan dari pergi (Sura, 2002:1), yaitu kembali kepada Tuhan. Arti
kata bahasa Sanskerta àgama ini hendaknya dibedakan dengan agama. Kata agama dalam
bahasa Sanskerta ini, walaupun memiliki akar kata yang sama dengan kata àgama
yang secara leksikal juga berarti tidak pergi atau lebih tepatnya berarti tidak
bergerak, tetapi yang dimaksud bukanlah spirit atau yang berkaitan dengan
spirit, tetapi pohon kayu.
Sebagai istilah religi, àgama
berarti doktrin atau aturan tradisional yang suci. Kata ini juga berarti karya
suci (Monier, 1999:4,129). Dalam teks-teks Jawa Kuno, kata àgama juga berarti
doktrin atau ajaran suci. Dalam lontar Wrehaspati Tattwa (26) dijelaskan bahwa
àgama ngaranya ikang aji inupapatyan de sang guru ‘àgama artinya, pengetahuan
yang diajarkan oleh guru’. Adapun yang disebut guru adalah sang kinahanan de
ning pramàna têlu, pratyakûànumànàgama, ya ta siangguh samyagjnàna ngaranya
‘orang yang dijiwai oleh tiga metode untuk mendapatkan ilmu pengetahuan: (1)
pratyaksa pramàóa ‘melalui pembuktian langsung, berdasarkan hasil
pencanderaan’, (2) anumàna pramàóa ‘melalui penalaran rasional’, dan (3) àgama
pramàóa ‘melalui intuisi religius’ atau intuitus mysticus ‘intuisi mistikus’,
yaitu pikiran kalbu yang dibedakan dengan dan lebih halus keadaannya dengan
pikiran analitik. Kalau pikiran analitik disebut buddhi, yaitu aktivitas otak,
maka pikiran kalbu disebut citta, aktivitas batin, hati nurani.
Àgama pramàóa ‘pikiran kalbu,
sering pula disebut mata batin’ ini hanya dapat berfungsi bilamana sradha
‘iman’ seseorang telah kuat. Iman yang kuat adalah efek dari úarìra ‘tubuh,
indriya ‘indera’, manah ‘keinginan’, ahamkara ‘ego’, dan buddhi ‘pikiran analitik’
yang telah dimurnikan melalui latihan yoga ‘meditasi’ atas tuntunan dan restu
seorang mahaguru. Untuk lebih jelasnya perlu diajukan dua contoh sebagai
berikut.
Arjuna, murid terpilih Sri
Krisna, tidak puas dengan hanya memiliki pengetahuan yang ia peroleh secara
tidak langsung tentang Tuhan, walaupun itu diajar oleh seorang awatara ‘jelmaan
Tuhan, Sri Krisna’. Ia ingin dan memupuk kerinduannya sehingga menjadi kuat
semata-mata untuk mendapatkan pengalaman religius secara langsung. Untuk itu,
ia memohon dengan penuh bakti kepada Krisna. Sri Krisna berkenan atas
intelektualitas dan bakti Arjuna. Wacana dan restu Sri Krisna yang
membangkitkan kesadaran spiritual Arjuna sebagai berikut (Bhagawadgìta, XI:8).
Na tu màý úakyase draûþum anenai’va svacakûuûà
divyaý dadàmi te cakûuá paúya me yogam aiúvaram.
Artinya:
‘Engkau tidak dapat melihat Aku dengan mata
manusiamu. Karena itu, Aku akan menganugerahimu cakûu ‘mata batin’ yang
berkekuatan luar biasa. Dan ini, lihatlah kekuatan suci-Ku’.
Vivekananda (1863) adalah
murid spiritual mahaguru Ramakrisna yang cerdas. Di samping cerdas, ia juga
adalah murid yang nakal, tidak mudah percaya akan sesuatu sebelum ia mendapat
pengalaman langsung, tetapi sangat hormat kepada gurunya. Suatu ketika,
Ramakrisna memanggil Vivekananda, ia dipersilahkan duduk dekat di hadapannya.
Ramakrisna lalu berkata: “Tuhan dapat dialami. Seseorang dapat melihat dan
berbicara dengan-Nya sebagaimana saat ini saya berbicara dengan Ananda”. Sambil
berbicara demikian, Sri Ramakrisna menyentuh Vivekananda. Dan ajaib, seketika
itu pula ia merasakan dirinya “hilang”. Vivekananda merasa sedang menyatu
dengan Kekosongan yang penuh kasih.
Pengalaman yang menggetarkan
dan membahagiakan seperti itulah yang oleh para mistikus disebut sebagai
pengalaman religius (Ranganathananda, 2006:6). Rudolf Otto (Harjana, 2005:30)
menjelaskan bahwa sewaktu mengalami Yang Transenden, manusia mengalami dua
perasaan yang saling bertentangan. Di satu pihak manusia merasa tertarik karena
Yang Transenden itu fascinosum ‘penuh daya pesona’. Akan tetapi di lain pihak,
manusia juga mengalami perasaan takut-gemetar karena Yang Transenden itu
tremendum ‘penuh daya yang memaksa orang menjadi takut’. Sewaktu mengalami Yang
Transenden itu, manusia lupa akan dirinya, lalu hanya ingat akan Yang
Transenden saja dan terhanyut menikmati perjumpaan dengan-Nya.
Dalam kitab Bhagawadgìta
pengalaman menggetarkan itu dikisahkan pada bab XI. Dikisahkan bahwa, setelah
Arjuna mendapat anugerah mata batin, tiba-tiba ia melihat keesaan Sri Krisna.
Arjuna merasa kagum, bulu romanya berdiri, lalu menundukkan kepala dengan
tangan tercakup menyembah dan berkata gagap, ringkasnya: “Di dalam badan-Mu
Yang Esa, o Tuhan, aku melihat semua dewa dan juga bermacam-macam makhluk,
Brahma duduk di singgasana padma dan semua rsi agung, naga, dan lain-lainnya.
Aku melihat-Mu dalam bentuk tanpa batas pada semua sisi. Agung dengan anggota
badan dewa-Mu yang tak terbatas jumlahnya, tanpa bandingan. Aku hanya melihat
engkau di mana-mana. Kini hamba telah melihat apa yang tidak penah dilihat
sebelumnya dan hamba bahagia. Akan tetapi, hati hamba tergoncang ketakutan”.
Harjana (2005: 31-32) setelah
mempelajari pengalaman religius Nabi Musa menyatakan bahwa pengalaman religius
yang lengkap menunjukkan enam jenis pengalaman: (1) perjumpaan dengan wujud
ilahi secara tak terduga-duga; (2) perjumpaan itu menimbulkan perasaan takjub
dan mengejutkan; (3) perjumpaan itu sekaligus menyucikan orang dari
dosa-dosanya; (4) setelah itu ia mendapat tugas suci; (5) walaupun demikian, ia
merasa ragu juga karena tugas suci yang ia terima terasa terlalu berat bagi
dirinya; (6) akan tetapi, Yang Ilahi menganugerahi jaminan: “Bukankah Aku
bersamamu”. Bandingkan dengan tugas yang diemban Arjuna. Ringkas sabda Sri
Krisna: “Hai Arjuna, dharma-mu adalah kesatria, maka jangan takut membunuh
musuh-musuhmu di medan laga. Bangkitlah dan menangkan kemashyuranmu. Aku
bersamamu, jadilah alat-Ku. Takdir musuh-musuhmu telah Aku tentukan.
Ketahuilah, o Arjuna, badan wadagmu adalah lapangan dharma-mu. Dirimu yang
sejadi adalah Sang Jiwa, penguasa lapangan, bukan badan itu. Dengan mengetahui
itu, berjuanglah dengan pikiran teguh terpusat penuh perasaan bakti kepada-Ku”.
Alkisah kemudian, setelah Arjuna mendapatkan anugerah penampakan dan pencerahan
spiritual panjang lebar dari Gurunya (baca Bhagawadgìta XII-XVIII), maka ia
bangkit dan berkata: “O Krisna, berkat karunia-Mu, kini, kegelapan batin hamba
telah sirna. Dengan lenyapnya keragu-raguan ini, atas restu-Mu hamba siap
bekerja menurut sabda-Mu”.
Àgama pramàóa, dengan demikian
adalah metode untuk memperoleh pengalaman langsung, yaitu jalan kesadaran,
kemurnian, pengendalian, dan pemusatan pikiran sehingga orang dapat bekerja
dengan baik dan benar menuju siddhànta ‘keberhasilan paripurna’. Kebenaran
tidak akan pernah dialami dengan pikiran yang tidak murni, karena pikiran yang
tidak murni akan senantiasa menghalusinasi dan menciptakan
penghalang-penghalang (Rama, 2002:71). Halusinasi dan penghalang ini yang
disebut-sebut sebagai kekuatan màyà ‘daya gaib Tuhan’. Sebelum màyà tersingkap,
yang disebut Kebenaran, Spirit, atau pendek kata Itu yang disebut Tuhan, tetap
misteri.
Lalu, siapakah mahaguru?
Menurut pemahaman Hindu, orang yang memiliki tri pramàóa ‘ketiga kemampuan
berpikir’ itulah disebut Guru, yaitu orang yang samyagjnàna ‘memiliki ilmu
pengetahuan yang sempurna’ akibat kemurnian dirinya. Ciri-cirinya guru semacam
itu adalah ia (1) durasrawana ‘memiliki pendengaran supra atau dapat mendengar
sruti ‘wahyu wacana Ilahi’, (2) duradarsana ‘memiliki penglihatan supra atau
dapat melihat yang sublim, Yang Ilahi’, dan (3) durasarwajnà ‘memiliki wawasan
yang paripurna’. Dengan istilah lain, ia memiliki kemampuan supra yang disebut
asteswarya ‘delapan kemampuan supra’. Karya-karya guru suci ini sering disebut
úàstràgama ‘buku-buku suci’ (Zoetmulder, 1995:12) atau buku-buku yang bersifat
monumental, dapat memberi inspirasi dan dirujuk sepanjang zaman, karena
memiliki daya ungkap yang mempesona yang padanya sekaligus terkandung wawasan
yang agung, yang karena itu berfungsi menyucikan (lihat Mangunwijaya, 1942;
Hadi, 2004).
Istilah lain àgama adalah
dharma. Arti kata dharma ini sangat luas. Dari sudut akar katanya, yaitu dhå
berarti memegang atau menjinjing. Dari situ, kata dharma kemudian diberi arti,
antara lain, ‘yang ditetapkan atau diteguhkan, hukum, kebiasaan, tata cara atau
tingkah laku yang ditentukan oleh adat, kewajiban, keadilan, kebajikan,
kebaikan, adat sopan santun, pekerjaan baik, doktrin, karakter’ (Zoetmulder,
1995:197; Sura, 2002:29). Bhagawan Wararuci dalam kitab Saracamuúcaya (14)
menjelaskan bahwa ikang dharma ngaranya, hênuning mara ring swarga ika, kadi
gatining parahu, an hênuning banyàga nêntasing tasik ‘yang dimaksud dharma
adalah jalan menuju ke sorga. Bagi pedagang, dharma itu bagaikan perahu untuk
menyeberangi lautan, menuju pulau harapan’. Adapun yang dimaksud sorga dalam
teks tersebut adalah seperti yang disebut dalam sloka 15, yaitu pahala
perbuatan bajik berupa artha ‘arta kekayaan’, kàma ‘kenikmatan duniawi’, dan
mokûa ‘kebahagian batin’. Rumusan dharma tersebut dipertegas lagi
(Saracamuscaya:40):
Kunang kengêtakêna, asing kàjar de sanghyang sruti
dharma ngaranika, sakàjar de sanghyang smrêti kuneng dharma ta ngaranika,
úiûþàcàra Kunang, àcàranika sang úiûþa, dharma ta ngaranika, úiûþa ngaran
sanghyang satyawàdì, sang àpta, sang patirthan, sang panadahan upadeúa,
sangksepanya ika tiga dharma ngaranira.
Artinya:
‘Adapun yang patut diingat adalah segala yang
diajarkan oleh kitab sruti ‘wahyu’, kitab smreti ‘tafsir wahyu’ disebut dharma.
Demikian pula úiûtàcàra, yaitu tingkah laku sang úiûþa disebut dharma. Sang
úiûþa adalah orang yang setia kepada kata-katanya, orang yang dapat dipercaya,
orang yang menjadi tumpuan untuk mendapat kesucian diri, orang yang mengajarkan
kearifan. Simpulannya, ketiga hal itulah yang disebut dharma’.
Artinya, kitab suci dan
perilaku orang suci, orang yang memiliki kesadaran akan Keesaan Tuhan dipandang
sebagai pengejawantahan dharma. Dharma dikatakan bersifat abadi, karena dharma
adalah Tuhan itu sendiri (Narayana, 1982:1). Atas penalaran itu, maka agama
Hindu disebut juga sanatana dharma ‘dharma yang abadi’. Dharma, dengan demikian
adalah poros Hinduisme, sumber inspirasi, jalan hidup, dan penyebab orang
mencapai Keabadian.
Dharma mentransformasikan
dirinya dalam berbagai bentuk ideal: Satyaý båhad åtam ugram dìkûa tapo brahma
yajnaá påthivìm dhàrayanti (Atharva Veda, XII: I,1) ‘Kebenaran, hukum abadi
yang agung dan tegas, penyucian, pengekangan diri, doa, dan ritual. Itulah
dharma, yang menegakkan bumi’. Kautilya (4 sm) penasehat politik kerajaan
Mauria di India, menjelaskan bahwa dharma dalam konteks individu adalah
kewajiban dan tanggungjawab individu yang disebut swadharma; dalam konteks
sosial ia adalah solidaritas sosial untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran
jagat atau negara yang disebut jagaddhita; dalam konteks agama ia adalah
realisasi diri yang disebut mokûa (Rao, 2003:62-69). Dharma sebagai poros
spiritualitas, dasar batiniah Hindu disebut àtmadharma. Sebaliknya, yang
bertalian dengan atau yang mengatur berbagai masalah dan kebutuhan jasmani
disebut àcaradharma. Manakala dorongan-dorongan lahir dan batin dapat saling
bekerja sama, kala itulah matahari batin, sumber kebahagiaan itu menyingsing
menerangi seseorang.
Orang yang mengamalkan dharma
disebut sang dharmika (Saracamuúcaya. 22). Ciri-cirinya adalah (1) ia berusaha
agar selalu berada dalam kebahagiaan atma ‘batin’, disebut satya; (2) perilaku
hidupnya tenggelam dalam pandangan batin, disebut santam; (3) memiliki
keyakinan yang teguh bahwa hakikat sejati kita sama dengan Yang Mahamutlak,
disebut prema; dan (4) ia menyadari bahwa semuanya adalah Brahman ‘Tuhan yang
tak terlukiskan itu’ disebut ahimsa. Keempat itu merupakan eksistensi
kemanusiaan Hindu yang terdasar. Dengan kata lain, dharma adalah cinta kasih
dan hukum kemanusiaan yang bila dalam wujud pikiran benar dan baik disebut
satya ‘kebenaran’; bila mewujud dalam perilaku bajik disebut dharma
‘kebajikan’; bila mewujud dalam pengertian yang berwawasan kearifan disebut
santi ‘kedamaian’; dan bila mewujud dalam perasaan yang penuh kasih sayang
disebut ahimsa ‘tanpa kekerasan’ (Narayana, 82;13; dalam Jumsai, 1988:11)
Dalam pandangan oposisi,
dharma dipertentangkan dengan adharma, yaitu pandangan dunia yang sesat,
pandangan yang menyebabkan orang bersikap dan berperilaku yang tidak benar dan
tidak baik oleh karena menyebabkan orang jatuh menderita, masuk neraka’. Secara
aplikatif, dharma terekspresi dalam bentuk subhakarma ‘berbuatan bajik’ atau
dharmakarma ‘tindakan bijaksana’, yaitu perbuatan yang berprikemanusiaan.
Sebaliknya, perbuatan yang tidak bajik, perbuatan yang jahat disebut
asubhakarma.
Setelah memahami pengertian
àgama dan kaitannya dengan dharma dalam pemahaman Hinduisme seperti tersebut
sebelumnya, maka kini mari kita kembali kepersoalan pemahaman definisi agama
dalam kosa kata bahasa Indonesia. Istilah agama dimaksud dalam bahasa Inggris
disebut religion. Kata religion berasal dari bahasa Latin religio. Cicero
menjelaskan etimologi kata ini terkait dengan kata relegere yang berarti melacak
kembali atau membaca ulang. Dengan demikian, religio mencakup upaya melacak
kembali adat ritual nenek moyang suatu kaum. Bangsa Romawi menyamakan religio
dengan traditio ‘tradisi’. Religio merepresentasikan ajaran-ajaran nenek
moyang. Utamanya, religio menampilkan praktik-praktik ritual kuno dan memberi
penghormatan kepada dewa-dewa (King, 2001:68).
Berbeda dengan pendapat
Cicero, Lactantius mengatakan religio berasal dari kata re-ligare ‘mengikat
kebersamaan atau berhubungan’. Oleh karena itu, bagi Lactantius religio berarti
penyembahan kepada kebenaran, dan takhayul pada kekeliruan. Pengertian yang
diajukan oleh Lactantius inilah yang menjadi dasar pengertian agama dalam
pemahaman Kristen, yaitu menekankan kepercayaan teistik, menekankan doktrin,
dan bukan tradisi. Oleh karena itu, kepatuhan kepada doktrin adalah indikasi
penting untuk menentukan taat atau tidaknya orang beragama (King, 2001:69-74).
Secara definitif, Durkheim
menjelaskan bahwa agama (religi) adalah suatu sistem keyakinan dan upacara yang
keramat yang berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut umat
(Koentjaraningrat, 1987:95). Atas definisi tersebut Sponville (2007:7)
mengajukan rumusan bahwa melalui agama, kita mengartikan segenap keteraturan
dari bentuk-bentuk kepercayaan dan ritual yang meliputi hal-hal yang suci,
gaib, dan transenden, khususnya meliputi satu atau banyak dewa di mana
keyakinan maupun ritual saling menyatu, untuk mereka yang mengakuinya dan
mempraktikkannya dalam sebuah komunitas moral dan spiritual.
Koentjaraningrat (1985:43-46;
1987:80-83), setelah mempelajari berbagai pandangan tentang religi, lalu
mengkategorikan unsur-unsur utama sebuah agama atas lima bagian, dibahasakan
kembali sebagai berikut.
(1)
Emosi
keagamaan, yaitu getaran jiwa yang menyebabkan manusia mempunyai sikap serba
religi. Getaran jiwa inilah—antara lain, berupa sikap kagum dan terpesona
terhadap hal yang gaib dan keramat—yang kemudian diekspresikan dalam berbagai
bentuk perilaku religius;
(2)
Sistem
keyakinan, yaitu wujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan
dan konsepsi tentang Tuhan, dewa, roh, daya sakti, alam gaib (kosmologi),
tercipta dan lenyapnya alam semesta (kosmogoni), kehidupan akhirat
(eskatologi), dan lain-lainnya. Kecuali itu, sistem keyakinan juga menyangkut
sistem nilai dan norma keagamaan, baik lisan dan atau tertulis, yang
difungsikan untuk mengatur tingkah laku penganutnya.
(3)
Sistem
ritual, yaitu berbagai wujud bakti atau wujud ekspresi penganutnya yang
dilakukan pada waktu-waktu suci untuk melukiskan, memuliakan, memohon, mengadu,
dan bersyukur kepada Tuhannya.
(4)
(Tempat,
waktu), sarana dan prasarana ritual. Dalam rangka mengekspresikan rasa baktinya
itu, ia menggunakan tempat, waktu suci, dan berbagai sarana dan prasarana suci
untuk melaksanakan aktivitas keagamaan dimaksud.
(5)
Umat
agama, yaitu masyarakat yang menganut sistem keyakinan dan melaksanakan sistem
ritus dan upacara yang diyakininya.
Menurut O’Dea (Hadi,
2006:28-29), aktivitas agama kemudian mengalami proses pelembagaan: (1) akibat
keterlibatan ideologis, intelektual, dan pengalaman yang menumbuhkan suatu
keyakinan. Di dalamnya termasuk emosi keagamaan dan sistem keyakinan; (2)
sebagai pola ibadat. Di dalamnya ada sistem ritual, termasuk tempat, waktu, dan
sarana prasarana ritual; dan (3) sebagai bentuk asosiasi atau organisasi, yaitu
umat agama.
III Agama Hindu di Indonesia: Pemahaman dalam Aspek Úiwaisme
Inti-inti atau hakikat ajaran
yang menjadi sumber inspirasi sistem keyakinan Hinduisme di Indonesia yang
diwarisi dari zaman Hindu Jawa tertuang dalam lontar, terutama lontar tattwa,
seperti Bhuwanakoúa, Jnàna Siddhànta, Wåhaspati Tattwa, dan Tattwa Jnàna.
Lontar-lontar warisan dimaksud lebih banyak berisi ajaran Ketuhanan menurut
paham Úiwa. Paham ini dianut di Nusantara sejak zaman Jawa Kuno, kemudian berlanjut
di Bali. Bagian-bagian tertentu teks lontar itu, sejauh ini tetap menjadi
sumber inspirasi kreativitas budaya Hindu, teristimewa dalam tradisi Bali. Oleh
karena itu, untuk memberi arah pemahaman, pokok-pokok ajaran Úiwa paksa
‘Úiwaisme’ itu perlu dipetakan sebagai berikut.
Úiwa paksa adalah tradisi
religius Hindu yang memuliakan Úiwa sebagai Tuhan. Ajaran inti awalnya
didasarkan pada paduan ajaran sà÷khya dan yoga yang kemudian dikembangkan
menurut kearifan lokal Jawa Kuno sehingga sàmkhya-yoga Jawa Kuno bersifat khas.
Goris (1974:11) menyatakan bahwa Hinduisme yang masuk ke Jawa banyak kehilangan
sifat dan wujudnya yang asli, mengalami sinkretis dengan agama asli sehingga
menjadi bersifat Jawa. Kemudian di Pulau Bali berkembang lebih lanjut dengan
arah yang sama.
Menurut tradisi, sàmkhya didirikan oleh Mahàrsi Kapila (diperkirakan hidup
abad ke-5 SM). Sàmkhya artinya pemantulan, yaitu pemantulan filsafati
(Hadiwijono, 1989:63). Sàmkhya juga berarti angka, yakni sistem angka yang
dipakai untuk menjabarkan urutan kebenaran tertinggi (Sura, 2008:8). Sàmkhya
adalah filsafat yang melibatkan diskriminasi eksak, karena menghitung jumlah
pasti kategori yang berjumlah dua puluh lima (dalam naskah Jawa Hindu berjumlah
26) jenis dari kategori yang paling sublim sampai pada kategori yang paling
kongkret: (1) Puruûa ‘azas roh’ dioposisikan dengan (2) Predana ‘azas materi’;
Pertemuan kedua azas itu melahiran (3) citta ‘intuisi kosmis’; lalu secara
evolusi berturut-turut lahirlah (4) buddhi ‘intelegensi kosmis’; (5) ahamkara
‘ego kosmis’; (6) manah ‘keinginan kosmis’; (7) panca buddhindrya ‘lima alat
persepsi kosmis’; (8) panca karmendrya ‘lima alat pekerja kosmis’; (9) panca
tanmatra ‘lima unsur alam semesta yang halus kosmis’; yang berkembang menjadi
(9) panca mahàbhuta ‘lima unsur besar atau utama alam semesta’. Setelah alam
semesta terbentuk diciptakanlah aneka ragam tumbuhan dan makhluk hidup.
Dilihat dari azas utamanya, sàmhkya menganut paham dvaita ‘dualis’ karena
konsep-konsep pokoknya didasarkan atas sistem ganda: (1) alam semesta dibangun
di atas landasan dikotomi yang tidak terpecahkan antara puruûa ‘azas kehidupan;
kesadaran’ dengan prakåti ‘azas materi’; (2) prakåti, meski pada dasarnya
sederhana dan tidak bersenyawa, bisa lenyap atau mewujud dalam tiga bentuk yang
berbeda yang disebut triguóa, yang sebanding dengan tiga jenis tali; (3) setiap
azas kehidupan yang bersatu dengan materi terlibat dalam penghambaan “lingkaran
transmigrasi” yang disebut samsara tiada berakhir (Zimmer, 2003: 274).
Pertemuan ajaran sàmkhya dengan yoga menyebabkan paham dvaita sàmkhya
mengalami pendalaman ke paham visisthàdvaita ‘nondualis terbatas’, karena
diterimanya Iúwara ‘Tuhan’, yaitu inti paham yoga. Posisi Iúwara ada di atas
dua azas utama sàmkhya: puruûa dan prakåti. Lebih dalam dari itu, bila lontar
Bhuwanakoúa bab-bab Brahma rahasyam-nya dipelajari, maka dapat pula diketahui
bahwa paham advaita ‘monisme’ yang terdapat dalam kitab-kitab Upaniûad pun
memperkaya paham Ketuhanan Hindu Jawa Kuno. Hal itu berarti bahwa ketiga paham
besar Hindu tersebut diramu menjadi inti keyakinan Úiwa paksa Jawa Kuno-Bali.
Ketiga paham tersebut oleh
penganutnya dipahami bukan sebagai paham yang saling bertentangan, melainkan
paham tunggal yang terpilah tiga. Bagaikan tangga, Úiwa paksa mendidik
penganutnya dengan pola pembelajaran rohani berjenjang tiga. Dvaita adalah
tangga dasar, visisthàwaita tangga tengah, dan advaita adalah tangga terakhir.
Melalui tiga tataran tangga tersebutlah pendakian spiritual dilakoni oleh
penganutnya sehingga memperoleh siddhànta ‘keberhasilan spiritual terakhir’.
Oleh karena itu, Úiwa paksa yang khas ini disebut Úiwasiddhànta. Salah satu
rumusan konsep Ketuhanan yang dipedomani terdapat dalam Jnàna Siddhànta
(Soebadio. 1985-122):
Sa eko bhagawàn Úarwaá, Úiwa kàraóa kàraóam,
Aneko widitaá Úarwaá caturwidhasya kàraóam.
Artinya:
Dia, Úarwa Yang Kudus adalah Esa. Úiwa adalah
Sebabnya sebab.
(Úiwa) Úarwa dipandang sebagai yang Aneka karena
Ia bersifat empat.
Mantra tersebut kemudian diterangkan
dengan bahasa Jawa Kuno sebagai berikut.
Kalinganya,
Ekatwànekatwa swalakûaóa Bhaþàra. Ekatwa ngaranya,
kahiðêp maka lakûaóa ng Úiwatattwa. Ndan tunggal, tan rwa-tiga kahiðêpanira.
Mangeka lakûaóa Úiwa kàraóa juga, tan paprabheda. Aneka ngaranya kahiðêpan
Bhaþàra makalakûaóa caturdhà. caturdhà ngaranya, lakûaóaniràn
sthùla-sukûma-para-úùnya.
Artinya:
Ciri-ciri Bhaþàra (Úiwa) adalah Eka-Aneka.
Disebut bersifat Eka, karena terpikir oleh Beliau (orang yang arif) bahwa
Hakikat Úiwa itu tunggal, tidak dua, tidak tiga. Meng-Eka ciri-Nya. Úiwa juga
adalah sebab. Tanpa perbedaan. Disebut Aneka, karena terpikir juga bahwa
Bhaþàra Úiwa memiliki empat laksanan: (1) stùla ‘kasar’, (2) sukûma ‘halus’,
(3) para ‘agung’, (4) úùnya ‘kosong’.
Secara filosofis, Bhaþàra Úiwa dipahami sebagai
Tattwa ‘Itu yang bersifat azas’, Itu azas adalah Kesadaran Semesta. Dalam
lontar Úiwa paksa, seperti Wåhaspati Tattwa, Tattwa Jnàna, dan Adji Sangkya,
Kesadaran Semesta itu
dibedakan menjadi tiga: Paramaúiwa
Tattwa, Sadàúiwa Tattwa, dan Àtmika
Tattwa (Úiwàtma). Ikhtisarnya sebagai berikut.
(a) Paramaúiwa
Tattwa adalah hakikat
Kesadaran yang Paripurna, yaitu Kesadaran Abadi. Kasadaran yang nirguóa ‘bebas nilai’ dan niskàla
‘tidak terbatas oleh ruang dan waktu’. Oleh karena itu, Paramaúiwa adalah kesadaran yang acintya ‘tidak terpikirkan’.
Tidak ada bentuk dan sifat apa pun yang dapat menjadi tanda untuk menandai Úiwa dalam kategori Kesadaran
tertinggi ini. Walaupun demikian, setidak-tidaknya untuk orientasi pikiran
pendakian spiritual disimbolkan juga dengan yang disebut nàda ‘bintang’ (). Secara teologis, dengan jnàna wiúeûa ‘menguasai
pengetahuan yang membebaskan’, Kesadaran Terunggul ini dapat dipahami sebagai
esensi Bhaþàra Úiwa, yaitu
Kesadaran Murni, Abadi, dan Universal. Jadi, Paramaúiwa adalah esensi Ketuhanan
penganut paham Úiwasiddhànta di
Indonesia. Pemikiran filosofis yang berlaku di tataran ini adalah pemikiran
advaita ‘monisme’. Istilah tattwa yang digunakan untuk menandai dan memahami
Hakikat Semesta di tataran ini adalah kata úùnya ‘sunyi, suwung, kosong’.
(b) Sadàúiwa Tattwa adalah kategori Kesadaran Semesta yang
Berpribadi, yaitu Kesadaran Semesta yang senantiasa aktif karena saguóa ‘memiliki kepribadian serba
tahu dan serba kerja. Ia adalah Pribadi Agung yang dilukiskan duduk aktif di singgasana-Nya
yang disebut Padmàsana. Padmàsana adalah Caduúakti, empat keesaan Tuhan:
Mahatahu, Mahakarya, Mahasempurna, dan Mahakuasa. Oleh karena itu, secara
teologis Sadàúiwa dipahami
sebagai eksistensi dari Ketuhanan Úiwa
paksa. Dalam aksara Bali disimbolkan dengan windu ‘matahari’ (O).
Pemikiran filosofis yang berlaku di tataran ini adalah pemikiran visisthàvaita
‘monisme terbatas’. Istilah yang umum digunakan untuk menandai dan memahami
tattwa di tataran ini adalah kata para ‘agung’.
(c) Àtmika Tattwa (Úiwàtma) adalah kategori kesadaran yang
dititahkan atau dikaryakan. Kesadaran yang dititahkan untuk menjadi roh
mahakarya Sadaúiwa. Úiwa sebagai àtma ‘roh individu’. Untuk memenuhi titah itu,
àtma ‘kesadaran’ ini menyusup-menguntai pada Prakåti atau Màyà Tuhan. Hubungan antara Sadàúiwa dengan àtma diibaratkan seperti matahari
dengan sinarnya, yaitu sinar yang menyusup untuk mendapat wujud yang sifat
relatif dari Màyà Sang Mahakuasa. Àtma dalam aksara Bali dilambangkan dengan adracandra ‘bulan sabit’ (). Istilah tattwa yang dipakai untuk menandai dan memahami
kesadaran individu ini adalah sukûma ‘halus, gaib’. Pertemuan àtma dengan màyà
menjadikannya berwujud dan beraneka wujud. Karena berwujud màyà, maka istilah
tattwa yang dipakai untuk menandai dan memahaminya disebut sthula ‘kasar’.
Úiwa-Màyà, Puruûa-Prakåti sesungguhnya adalah Prinsip Tunggal yang Abadi. Dalam
Prinsip Tunggal ini Prakåti ada di dalam Dia (Subramaniam, 2006:848). Dalam
aksara Ia dilambangkan dengan aksara Pranawa atau Omkara ( ý ) disebut juga Ekaksara ‘aksara Tunggal’. Akan tetapi, pemahaman
di tingkat Yang Tunggal Universal ini durlabha ‘sangat sulit’. Oleh karena itu,
pemahaman di tingkat dasar (awal), Hakikat Yang Tunggal tersebut dipahami
menurut paham dvaita ‘dualis’. (1) Paramaúiwa-Sadaúiwa-Úiwàtma, Kesadaran
Semesta-individu itu disebut Cetana atau Abyakta yang dilambangkan dengan
aksara Hamsa: Adracandra-Windu-Nada (). Itu dilawanpasangkan dengan (2) Màyà yang disebut Acetana
atau Byakta yang dilambangkan dengan Okara ( O ) atau angka tiga, yaitu Azas
Materi Semesta. Angka tiga melambangkan bahwa Azas Materi Semesta memiliki tiga
karakter, disebut triguóa: (1) satwam ‘asas materi yang terang, sifatnya
damai’; (2) rajas ‘asas materi yang aktif, sifatnya egois’; dan (3) tamas ‘asas
materi yang lembam, sifatnya bodoh atau malas.
Pertemuan antara Atmika Tattwa dengan Màyà inilah kemudian secara evolusi
melahirkan berturut-turut (seperti telah disebutkan sebelumnya): Citta ‘Intuisi
Kosmis’, Buddhi ‘Intelek Kosmis’, Ahamkara ‘Ego Kosmis’, Manah ‘Keinginan atau
Perasaan Kosmis’, Daúendriya ‘Sepuluh Indera Kosmis’, Panca Tanmatra ‘Lima
Unsur Halus Kosmis’, Panca Mahabhuta ‘Lima Unsur Besar Kosmis’, Andabhuwana
‘Alam Semesta’, dan sarwa wastu ‘segala makhluk dan tumbuhan’.
Apabila sàmkhya bersifat teoretis, maka yoga bersifat praktis. Hal itulah
yang menjadi alasan, maka dalam lontar Wåhaspati Tattwa, Tattwa Jnàna, Bhuwana
koúa, dan yang lainnya pelajaran yoga dijabarkan belakangan setelah ajaran
sàmkhya. Dalam Tattwa Jnàna (43) dijelaskan: Sira mnêrakên dumunung de nira
manggihakên yoga wiúeûa, an maka suluh samyagjnàna, maka sadhàna proyagasandhi
‘Tepat cara Beliau membidik sasaran (Úiwa, Sang Hakikat itu) sehingga Beliau
memperoleh yoga wiúeûa ‘pengalaman spiritual’. Caranya adalah (1) samyagjnàna
‘ajaran hakikat, kearifan budi’ dipakai sebagai suluh penerang dan (2) yoga
sebagai sarana perjalanan spiritual yang dilaksanakannya secara terpadu’.
Yoga berasal dari urat kata bahasa Sanskerta yuj yang artinya tindakan
menyatukan atau penyatuan, mengikatkan, mengekang atau pengekangan (Munier,
1999:856); pengerahan tenaga, usaha keras, metode atau praktik pemusatan
pikiran atau tapa (mengontrol indra, menahan naik-turunnya atau ketidaktetapan
pikiran, memperoleh kekuatan supranatural, mencapai kesatuan dengan dewa atau
kelepasan) (Zoetmulder, 1995:1492).
Dalam tradisi yoga, Mahàrsi
Patanjali (diperkirakan hidup pada abad ke-5 SM) adalah orang suci yang
mewariskan kitab Yogasùtra. Kitab ini dipandang sebagai sumber inspirasi
pertama yang utama dari berbagai cabang yoga yang lahir kemudian. Dalam tradisi
filsafat India, yoga adalah salah satu dari saddarsana. Seperti telah
disebutkan bahwa yoga dipasangkembarkan dengan sàmkhya. Bhagawadgìta (V:4) menyatakan:
Sà÷khyayoga prithag bàlàá prawadantì na paóðitaá,
ekam apy àsthitaá samyag ubhayor windate phalam.
Artinya:
Anak-anak dan bukan orang arif yang menyatakan sà÷khya dan yoga berbeda.
Sesungguhnya ia yang melaksanakan salah satu dari kedua ajaran itu akan memetik
pahala kedua-duanya.
Menurut Patanjali, yogas citta wåtti nirodaá ‘yoga adalah cara menyublimasi
gelombang pikiran’ (Yogasutra, I:2). Sementara dalam Bhagawadgita (VI:23)
dirumuskan: Ta÷ widyàd duhkha samyoga wiyoga÷ yogasamjñitam, sa niúcayena
yoktawyo yogo' nirwinnacetasà ‘Ketahuilah, yang dinamakan yoga adalah
berhubungan dengan atau putusnya hubungan dengan penderitaan. Yoga hendaknya
dilakukan dengan keteguhan dan keyakinan’. Atas dasar rumusan tersebut Poot
(1966:1) menjelaskan bahwa yoga adalah usaha spiritual untuk menyatukan jiwa
individu dengan Jiwa Alam atau Prinsip Semesta yang disebut Tuhan dengan cara
mengendalikan diri, baik fisik maupun mental.
Gerak-gerik pikiran dapat dikendalikan dengan melatih diri secara disiplin
mengikuti aûþàngga yoga: delapan tahap yoga, yaitu (1) yama ‘pengendalian
diri’: tidak menyakiti, jujur, tidak mencuri, mengekang nafsu seks, dan hidup
sederhana; (2) niyama ‘pembinaan sifat-sifat baik’ dengan cara menyucikan diri
lahir-batin, menjaga kesentosaan hati, tahan uji, hidup mandiri, dan bakti
kepada Tuhan; (3) àsana ‘olahraga agar fisik dapat duduk sempurna’, (4)
pràóàyàma ‘olah napas agar napas vital terkendali’, (5) prathyàhàra
‘mengarahkan pikiran (indera) ke dalam diri’, (6) dhàraóà ‘menyatukukuhkan dan
mengkonsentrasikan pikiran (indera) pada objek meditasi’, (7) dhyàna
‘mengalirkan pikiran secara konstan ke objek konsentrasi; kontemplasi’, dan
hasilnya adalah (8) Samàdhi ‘Diam dalam kemanunggalan’ (Yogasùtra, I:29;
Bhagawadgìta, VI:11-47).
Dalam khazanah lontar Úiwa paksa, yama-niyama brata dipisahkan dari
induknya, lalu dijadikan salah satu isi penting lontar úasana atau susila
‘etika’, seperti Úiwa Úasana, Wåtti Úasana, Aguron-guron, Sarasamuúcaya, dan
yang lainnya. Sementara àsana sampai samàdhi menjadi isi lontar tattwa setelah
pengetahuan hakikat dijabarkan. Bahkan, di antara dhyàna dan samàdhi disisipi
tarka yoga, yaitu yoga renungan dengan menggunakan berbagai sarana spiritual,
seperti yantra ‘peralatan suci’, mudra ‘gerak-gerak suci’, dan mantra ‘formula-formula
suci’ sebagai wahana penuntun untuk mendapatkan pengalaman spiritual. Aspek
tarka ini memberi petunjuk bahwa yoga dalam Úiwa paksa adalah yoga tantra,
yaitu yoga yang dilaksanakan dengan menggunakan peralatan, gerak, dan
rumus-rumus religius-magis.
Setelah
Indonesia merdeka (1945), negara menentukan format agama sebagai ketentuan
resmi untuk menentukan apakah keyakinan tertentu yang dianut oleh rakyat
Indonesia dapat diakui sebagai sebuah agama atau tidak. Menteri Agama, melalui
utusannya K.H. Mansyur dan Mr.Sunajo, pada pertemuan dengan Dewan Pemerintah
Daerah Bali 28 Desember 1950 menyampaikan persyaratan dimaksud. Isinya antara
lain suatu agama harus memperlihatkan konsepsi Ketuhanan yang monoteisme
seperti Islam: memiliki kitab suci, hari suci, orang suci, nama agama, dan
tempat suci (Sudharta, 2006:24).
Dalam rangka memenuhi
persyaratan tersebut, umat Hindu melalui tokoh-tokohnya sepakat untuk
merumuskan kembali pokok-pokok ajaran Hindu yang selama ini secara mentradisi
mereka laksanakan. Kerangka dasar yang terumus, sebagaimana yang kemudian
tercatat dalam buku Upadeúa (1964;1980:12) disebut tri kerangka agama Hindu:
tattwa ‘filsafat agama’, susila ‘etika’, upacara ‘ritual’. Upacara, bagian
ketiga dari tri kerangka itu kemudian disebut acara agama. Dalam rumusan yang
kemudian berhasil disepakati dapat dipandang sebagai karakter Hindu di
Indonesia sebagai berikut.
(1) Panca sradha ‘lima keyakinan’ adalah dasar
keyakinan Hindu, yaitu Widhi sradha ‘yakin kepada Tuhan’, àtma sradha ‘yakin
kepada roh individu’, karmaphala sradha ‘yakin kepada perbuatan pasti
berpahala’, punarbhawa ‘yakin kepada hidup mengalami tumimbal lahir, dan mokûa
‘yakin kepada kelepasan’.
(2) Trikaya parisudha adalah landasan moral,
yaitu kaya parisudha ‘berbuat yang suci’, wak parisuddha ‘berkata yang suci’,
dan manacika parisudha ‘berpikir yang suci’.
(3) Catur marga adalah jalan atau disiplin
spiritual, yaitu bhakti marga ‘jalan bakti’, karma marga ‘jalan kerja’, jnàna
marga ‘jalan pengetahuan’, dan yoga marga ‘jalan kontemplasi’.
(4) Panca yadnya adalah ritual, yaitu dewa
yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada Tuhan’, Pitra yadnya ‘kurban
dipersembahkan kepada leluhur’, åsi yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada orang
suci’, manusa yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada sesama’, dan bhuta yadnya ‘kurban
demi kelestarian alam: panca mahàbhuta; kurban demi harmoni dengan makhluk
berbadan kasar selain manusia, dengan makhluk halus jenis asura, dan dengan
tumbuh-tumbuhan’.
(5) Catur purusàrtha adalah cita-cita hidup,
yaitu mendapatkan dharma ‘karakter dan pengetahuan luhur’, artha ‘harta
kekayaan’, kàma ‘kenikmatan hidup’, dan mokûa ‘kebahagiaan’.
IV Religiusitas: Kesalehan Hindu
Istilah religiusitas merupakan
penyifatan dari istilah religi, yaitu religi yang telah menjadi batin yang
kemudian tercitra dalam bentuk prilaku arif seseorang. Seperti telah disinggung
di depan bahwa, menurut Cicero religiusitas berasal dari kata Latin relegere
yang berarti memeriksa lagi, menimbang kembali, merenungkan keberatan hati
nurani (King, 2001:68). Religi berarti kepercayaan, agama, kepercayaan akan
adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Religius berarti bersifat religi,
bersifat keagamaan. Kesalehan berarti kepatuhan pada ajaran agama (Badudu,
2003: 301; KBBI, 2007:713).
Religi dalam arti leksikal
sama artinya dengan agama atau kepercayaan, yaitu sistem yang terdiri dari
konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan secara mutlak suatu umat,
dan upacara-upacara beserta pemuka-pemuka yang melaksanakannya. Sistem ini
mengatur hubungan antara manusia, manusia dengan lingkungan dan Tuhannya.
Seluruh sistem dimaksud dijiwai oleh suasana kekerabatan. Dikatakan pula bahwa
semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu
getaran jiwa yang biasanya disebut emosi keagamaan atau religious emotion
(Suyono, 1985:1805; Koentjaraningrat, 1995:376; Chaplin, 2000:427).
Sementara itu, Mangunwijaya (1992: 12--30)
menjelaskan bahwa fenomena keberagamaan masyarakat yang kini diterapkan di
Indonesia lebih menunjukkan kepada lembaga, kepada Tuhan atau kepada “Dunia
Atas” dalam aspek-aspeknya yang resmi. Jadi, mengikuti arti etimologis yang
dikemukakan oleh Lactantius (King, 2001:69). Efek negatifnya, muncullah
berbagai bentuk konflik sosial religius akibat keterpasungan wawasan umatnya
dalam ideologi sempit yang lebih menekankan pentingnya formalitas agama
ketimbang prikemanusiaan.
Dalam konteks itulah, wacana religiusitas
Mangunwijaya yang mangatakan: “Apalah arti agama tanpa religiusitas, tanpa
prikemanusiaan” menjadi relevan pula dalam pembumian agama Hindu sehingga
menjadi umat yang bijak, tidak hanya berkutat dalam rangka simbolik ritual yang
rumit fanatik. Tujuannya adalah untuk mengantarkan umatnya memasuki abad
fluralisme dengan pikiran-pikiran religius inovatif, meninggalkan modernisme
yang lebih dicekoki oleh pemikiran positivistik dalam jargon-jargon progresif,
individualistik, materialistik, dan konsumerisme yang ternyata berdampak
negatif. Di mana-mana terjadi distorsi ‘pemalsuan’, degradasi ‘penurunan
kualitas’, disintergarsi ‘keterpecah-belahan’, demoralisasi ‘kemerosotan
moral’, bahkan sampai dengan pelecehan kultural di dunia Timur (Griya, 2000:3;
Atmaja, 2001:22-30).
Berbeda dengan religi dalam arti agama formal,
religiusitas lebih mengikuti arti etimologi yang diajukan oleh Cicero, yaitu
lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani
pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena
menapaskan intimitas jiwa, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk di
dalamnya rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. Lebih lanjut
Mangunwijaya menegaskan bahwa religiusitas adalah kesadaran yang lebih penuh,
lebih mendalam, lebih intens, lebih berkadar, lebih manusiawi penuh dan sejati.
Artinya, religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak formal.
Religiusitas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak), tetapi dalam
pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau
konseptualisasi. Manusia yang religius berarti manusia yang berhati nurani serius,
saleh, teliti dalam pertimbangan batin. Oleh karena itu, orang beragama harus
meningkat ke suatu religiusitas, karena memang hukum agama bukanlah Tuhan
sendiri, melainkan hanya jalan dan sarana saja.
Pengertian religiusitas erat
kaitannya dan bahkan identik dengan spiritualitas. Spirirual artinya rohani,
imaterial, terdiri dari roh. Mengacu pada kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi
(mental, intelektual, estetik, religius), nilai-nilai menusiawi yang
non-material, seperti keindahan, kebaikan, kebenaran, cinta, belas kasihan,
kejujuran, dan kesucian (Lorens Bagus, 2002:1034). Spiritualitas merupakan
sebentuk pengalaman psikis yang meninggalkan kesan dan makna mendalam. Makna
spiritualitas di Barat tidak selalu terkait dengan penghayatan agama atau bahkan
dengan Tuhan. Sebaliknya di Timur, oleh karena sentimen masyarakat terhadap
agama masih tinggi, maka pengertian spiritualitas pun masih terikat erat dengan
agama, yaitu untuk membangun hubungan yang semakin dekat dengan Tuhan berupa
penghayatan dan kedekatan manusia dengan Tuhan melalui ajaran-ajaran agama
(Adlin 2007: xvii—xviii).
Selain istilah spiritualitas,
istilah mistisisme pun erat hubungannya dengan pengertian religiusitas.
Mistisisme berasal bahasa Yunani, yaitu dari kata mystes. Artinya, orang yang
mencari rahasia-rahasia kenyataan. Secara harfiah berarti pengalaman batin yang
tidak dapat dilukiskan. Mistisisme adalah keyakinan bahwa kebenaran terakhir
tentang kenyataan tidak dapat diperoleh melalui pengalaman biasa, pun tidak
melalui intelek (akalbudi), tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui
intuisi mistik yang irasional (Lorens Bagus, 2002:652—654).
Dengan demikian, mistisisme
atau mistik merupakan dimensi esoteris setiap kepercayaan atau agama. Ciri-ciri
utamanya adalah mempersoalkan prinsip keesaan Tuhan, prinsip keadaan Tuhan,
prinsip fana-baka, prinsip penetrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta
derivasi ‘turunan’ yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut (Nicholson
dalam Salam, 2004:1—2). Jadi, mistik memiliki ciri religius, yaitu merupakan
sebuah fenomena konstan dari kerinduan spirit manusia dalam hubungan
personelnya dengan Tuhan. Ciri-cirinya yang lain adalah mistik memiliki sifat
toleran, melihat kebenaran dalam semua agama, tidak dibatasi oleh dogma-dogma,
bebas dalam mengekspresikan berbagai pandangannya, dan mengutamakan pengalaman
batin (lihat Zaehner, 2004:4).
Selain itu, dikenal pula
istilah sufisme. Secara definitif, sufisme berarti pemisahan diri seseorang
dari segala makhluk ciptaan. Artinya, dibebaskan dari kontemplasi dunia
menjadi, lalu menjadi sahabat Tuhan tanpa alat tambahan atau duduk dalam
kehadiran Tuhan. Para sufi adalah mereka yang cintanya kepada Tuhan melebihi
segalanya sebagaimana cinta Tuhan kepada mereka yang melebihi segalanya. Dengan
demikian, sufisme adalah sikap hidup yang memiliki tiga karakteristik dasar:
(1) bergumul dengan kemiskinan, (2) sepi ing pamrih ‘tidak berhasrat mendapat
balasan’, dan (3) menjauhkan diri dan menghentikan nafsu (individu). Atas tiga
karakter tersebut, sufisme bermakna tangan kosong dan kebaikan hati, yaitu
pandangan hidup melalui jalan peniadaan, tapa brata, dan siap “hidup miskin”.
Tujuan utamanya adalah mencapai kesucian. Dengan kata lain, tujuannya adalah
mencapai mokûa ‘kelepasan atau pembebasan, yaitu pelepasan dari ruang, waktu,
dan kausalitas’. Oleh karena itu, pemikiran sufisme bermakna bahwa “Tuhan
seharusnya memerintahkanmu untuk membunuh dirimu sendiri supaya kamu hidup di
dalam diri Tuhan” (Zaehner, 2004:5-8). Bandingkan dengan laku mati raga dalam
ritual dikûa ‘inisiasi menjadi sulinggih’ dalam tradisi Hindu di Bali.
V Religiusitas: Emosi Keagamaan Hindu di Indonesia
Pikiran sufisme atau
mistisisme atau religiusitas Hindu dapat ditemukan dalam pemikiran para
upaniûadik, yogi, dan sebagian pada bhakti. Seperti diungkapkan dalam upaniûad,
diyakini bahwa tujuan hidup tercapai bila individu menyadari ketunggalan àtman
‘sang diri’ dengan Paramàtma ‘Sang Diri’. Yoga adalah metode atau jalan mistik
untuk mencapai ketunggalan dimaksud (Radakrishnan, 1989:4; Sura, 2009:18-61).
Pendapat para mistikus Hindu
tentang Ketuhanan beraneka ragam. Hal itu terjadi tentu karena pengalaman
religius mereka tentang Realitas berbeda satu dengan yang lainnya, bahkan
tampak saling bertentangan. Oleh karena itu, bagi yang fanatik, yang berpikiran
sempit, pertentangan yang tampak paradoks ini sering sulit didamaikan. Padalah
sesungguhnya, masing-masing pandangan atau hasil pengalaman itu adalah
sisi-sisi yang lain dari Realitas yang sesungguhnya Tunggal Adanya. Secara
metaforis menggelitik, hal itu dijelaskan dalam kitab Wrehaspati Tattwa. Kini,
penulis ceritakan kembali secara lebih bebas sebagai berikut.
Beberapa orang buta
bersama-sama ingin mengetahui gajah. Akan tetapi, sebelum meraba gajah mereka
sama-sama tidak memiliki pengetahuan pengetahuan yang holistik tentang gajah.
Alkisah, mereka meraba gajah. Tetapi, mereka hanya berhasil mengalami salah
satu bagian dari tubuh gajah, dan belum apa-apa telah merasa puas, karena
merasa telah mengetahui gajah. Saking gembiranya, mereka ingin berbagi
pengalaman dengan saling bertutur tentang gajah yang ia ketahui. Maka,
berceritalah mereka. Ia yang berpengalaman menyentuh dan membelai kaki gajah
berkomentar: “Hai, gajah itu ternyata hanya sebuah tiang kokoh bulat membesar
ke atas lagi kasar”. Pandangan itu kontan saja disanggah oleh orang buta yang
kebetulan berhasil meraba daun telinga gajah, katanya: “Tidak, pandanganmu
tentang gajah tidak benar. Bagiku, gajah itu seperti kipas yang besar, melekuk
di sana-sini, berbulu jarang yang cukup kaku, berbeda dengan kelembutan
rambutku”. Mendengar itu, teman butanya yang lain yang kebetulan berhasil
membelai ekor gajah lalu menyela sambil menertawakan pendapat dua temannya
tadi, katanya: “Aha, kalian berdua salah. Gajah itu sesungguhnya seperti pecut
dan memang kasar”. Sementara yang lain yang berpengalaman meraba badan gajah
tidak kalah semangatnya menyela: “Ah kalian semua keliru besar. Gajah itu
besar. Tubuhnya membulat seperti gentong, berbulu jarang, dan kasar”. Demikian
seterusnya, mereka saling mempertahankan pendapat dan akhirnya bertengkar.
Alhasil, mereka pada babak belur, kehabisan tenaga, dan menderita karena
kefanatikannya. Demikianlah, cerita sekawanan orang buta yang akhirnya saling
bermusuhan karena berbeda persepsi tentang gajah. Hal itu tentu menarik untuk
direnungkan. Jangan-jangan kita juga seperti itu?
Kembali ke persoalan pemikiran
religius upaniûad. Dikatakan bahwa kitab-kitab upaniûad atau vedanta ternyata
adalah tempat perbedaan-perbedaan pemikiran yang terjadi dan bukan risalah yang
sistematik, melainkan kumpulan ide-ide khusus yang dapat dikategorikan atas
beberapa tipe pemikiran. Dasgupta (dalam Zaehner, 2004:10) mengatakan bahwa hal
itu merupakan fase-fase dari pengalaman dan keyakinan yang ditemukan dalam
beberapa upaniûad. Semua itu dapat dilihat sebagai tingkat-tingkat pengalaman
di mana pikiran-pikiran bertingkat terombang-ambing ketika mencoba
merealisasikan suatu kebenaran yang melampaui bahasa lisan, melampaui
pemikiran, dan melampaui semua indera-persepsi. Ia terkadang merasa seolah-olah
telah mencapai posisi Tuhan, Sang Sebab dan Penguasa segala sesuatu.
Kadang-kadang sampai pada pengalaman kebahagiaan spiritual tersendiri. Dan
kadang-kadang juga sampai pada penyatuan sempurna di mana dualitas telah
lenyap.
Walaupun demikian, pemikiran
besar Hindu dimaksud, secara umum dapat dikategorikan atas tiga paham besar:
(1) dvaita ‘dualistik’, (2) wisiûþhàdvaita ‘monisme terbatas’, dan (3) advaita
‘monisme’.
Pertama, dvaita atau dualisme. Bagi penganut paham ini
mengakui bahwa ada kenyataan yang bedha ‘pluralis, berbeda-beda dan jamak’.
Perbedaan adalah hakikat segala sesuatu. Kebenaran dari sifat dunia fenomenal.
Tiap yang ada berada secara khas. Ada lima perbedaan: (1) perbedaan antara
Tuhan dengan jiwa; (2) antara jiwa dengan jiwa; (3) antara Tuhan dengan benda;
(4) antara jiwa dengan benda; dan (5) antara benda yang satu dengan benda yang
lainnya. Kapila (5 M?) dan Madwa (1199-1278) disebut-sebut sebagai tokoh aliran
ini. Dalam laku spiritual, sang yogin merasakan bahwa Tuhan itu ada tetapi
terpisah dari dirinya. Dvaita adalah dasar dari semua karma ‘tindakan’ dan
upàsana ‘pemujaan’ yang terkandung dalam Veda. Dalam literatur Hindu Kuno di
Indonesia, pandangan ini dapat disimak dalam lontar-lontar tattwa, antara lain,
Wrehaspati Tattwa, Tattwa Jnàna, Bhuwana Mareka, Bhuwana Mabah. Pernyataan
hakikat ajaran ini dinyatakan, antara lain sebagai berikut.
Anampih sanghyang tattwa
jnàna ngaranira, anung pinaka bungkah tattwa kabeh, ndya lwirnya nihan, cetana
acetana. cetana ngaranya jnàna wruh menget, ring tutur tan pabalik lupa,
acetana ngaranya ikang lupa wyamoha tan kahanan tutur, ikang cetana lawan
acetana, yeka sinangguh úiwa tattwa lawan màyà tattwa (Tattwa Jnàna, 2).
Artinya:
‘Ada ajaran spiritual
yang disebut Tattwa jnàna, yaitu ajaran yang menjadi dasar hakikat-hakikat
lainnya. Yang manakah itu? Inilah. Cetana adalah Kesadaran, cirinya tahu dan
ingat, yaitu kesadaran yang tidak pernah berbalik lupa. Sebaliknya, acetana
adalah hakikat yang bersifat alpa yang sama sekali tidak memiliki kesadaran.
Cetana dan acetana itulah yang disebut Úiwa Tattwa ‘azas roh’ dan Màyà Tattwa
‘azas materi’.
Kedua, wisiûþhàdvaita atau
monisme (nondualisme) terbatas. Penganut paham ini berpandangan bahwa yang
diterangkan atau yang ditentukan oleh sifat-sifat-Nya. Brahman, ‘Tuhan’ diberi
keterangan oleh sifat-sifat-Nya. Paham ini disebar-luaskan oleh Ramanuja
(1050-1137). Dalam laku spiritual, sang yogin merasakan dirinya merupakan
bagian dari Tuhan dan ada dalam Tuhan. Paham ini dapat disejajarkan dengan
panteisme dalam arti panteisme emanasi bahwa segala sesuatu tidak merupakan
substansi yang independen, tetapi hanya determinasi atau refleksi dari Yang
Mutlak. Secara empiris, pandangan ini mengakui bahwa hal-hal atau barang-barang
memang berbeda satu sama lain, bahkan juga dengan Tuhan (Lorens Bagus,
2002:774-775). Akan tetapi, secara hakikat semua itu memiliki satu substansi.
Semua yang ada datang, ada dalam, dan kembali kepada Yang Ilahi. Dalam
literatur Hindu Kuno Indonesia, pandangan ini dapat ditemukan, antara lain
dalam lontar Jnàna Siddhànta. Pernyataan Ketuhannya seperti yang terkutip
sebelumnya.
Ketiga, advaita atau monisme
atau tiada dualisme. Penganut paham ini berpandangan bahwa tiada dualisme roh.
Artinya, tiada sesuatu apapun yang nyata yang lepas dari roh yang mutlak, yaitu
Brahman. Paham ini diajarkan oleh Sangkara (788-827M). Bagi Sangkara, Brahman
adalah satu-satunya yang nyata, yang tidak rangkap. Jiwa perorangan adalah
Brahman semata-mata, bukan yang lainnya, yang menampakkan diri dengan upadhi
‘sarana tambahan’. Dunia adalah sesuatu penampakan khayali Brahman. Oleh karena
itu, keadaannya tidaklah nyata. Advaita disebut juga monisme. Dalam laku
spiritual, sang yogin merasakan
kebaradaan dirinya bahwa “aku dan Tuhan adalah satu, tidak terpisah”.
Advaita adalah tujuan akhir Veda. Dalam literatur Hindu Kuno di Indonesia,
paham ini cukup sulit ditemukan formulanya secara utuh, tetapi benih-benih
pemikiran ke arah advaita dapat dipelajari dalam bab-bab Brahma Rahasyam lontar
Bhuwana Koúa. Keberadaan-Nya dijelaskan secara negasi. Dijelaskan demikian,
karena tanpa sifat. Jadi, tidak mungkin menjelaskan-Nya. Untuk mangalami-Nya
orang harus meninggalkan aksara. Niraksara berarti orang harus dapat diam total
atau meniadakan dirinya secara total. Jika pun dijelaskan, dengan maksud agar
Ia dapat dipahami, penjelasannya justru turun ke tataran wisiûþhàvaita. Oleh
karena itu, penjelasan negasilah yang dianggap paling tepat untuk menerangkan
Ia yang Úùnya. Penjelasan negasi dimaksud, antara lain, ditemukan dalam teks
Brahma Rahasyam II:14. Teks bahasa
Kawinya berbunyi sebagai berikut.
Na rùpam, tan parùpa Sira ‘Na rùpa, artinya Ia
tanpa rupa’;
Na warnam, tan pawarna Sira ‘Na warnam, artinya Ia
tanpa warna’;
Na rasam, tan parasa Sira ‘Na rasam, artinya Ia
tanpa rasa’;
Na gandham, tan pagandha Sira ‘Na gandham, artinya
Ia tanpa bau’;
Na úabdam, tan paúabda Sira ‘ Na úabdam, artinya
Ia tanpa suara’;
Asparsam, tak kasparsa sira ‘Asparsam, artinya Ia
tidak dapat digapai’;
Anàmayam, tar keneng lara Sira ‘Anàmayam, artinya
Ia tidak kena penderitaan’
Acintya, tar keneng hidêp, ‘Acintya, Ia tidak
dapat dipikirkan’. Demikian seterusnya, Ia dijelaskan dengan cara negasi.
Seperti telah disebutkan bahwa
jenjang atau cara memahami pandangan advaita dapat dilakukan dengan atau lebih
pas dimulai dengan melakukan analisis kritis dengan mendekonstruksi keberadaan
segala sesuatu ini, termasuk diri sendiri sampai keakar-akarnya dengan
menerapkan wiweka jnàna ‘pengetahuan tentang keberbedaan’, yaitu mengetahui perbedaan
antara wujud yang abadi pada satu sisi dan wujud yang dipengaruhi oleh ruang,
waktu, dan permasalahan di sisi lain. Seperti yang dikatakan Sangkara:
mengetahui Brahman ‘Ia yang abadi’ dan màyà ‘wujud ilusi’. Màyà adalah hal yang
harus diterima dengan cara menegasikannya. Orang harus menidakkannya, karena
keberadaannya semata-mata màyà ‘ilusi’. Jika màyà telah dipahami sebagai yang
ilusi, maka kini yang tertinggal adalah Brahman. Yang sungguh-sungguh ada
semata-mata hanya Ia. Tidak ada sesuatu apapun di luar Brahman. Apakah màyà?
Mari kita simak sejenak pandangan arif Mpu Kanwa berikut ini.
Hana nonton ringgit manangis asêkêl muda hidêpan,
huwus wruh tuwin yan walulang inukir molah
angucap,
hatur ning wwang trêsneng wiûaya malaha tar
wihikana,
ri tattwanya màyà sahana-hananging bhàwa siluman.
Artinya:
Ada orang menonton wayang, ia menangis sedih. (Ah,
betapa) bodoh pikirannya, walau ia tahu bahwa wayang itu belulang diukir
ditarikan dan dinarasikan. Demikianlah halnya orang yang dibelenggu oleh nikmat
duniawi, ia menjadi lupa akan hakikat màyà, bahwa segala jenis yang berwujud
adalah ilusi.
Pandangan Mpu Kanwa ini sangat
ekstrim, berbanding terbalik dengan pandangan dunia masyarakat umum. Akan
tetapi, secara spiritualitas pandangan inilah yang benar. Walaupun benar,
sangat berbahaya bagi orang yang belum memiliki wawasan spiritual yang memadai.
Dalam konteks inilah ungkapan aywa wera difungsikan dalam arti ‘jangan
menjabarkannya kepada orang kebanyakan, kepada ia yang daya nalarnya belum
tajam, berbahaya’. Artinya, advaita hanyalah ajaran untuk golongan terbatas,
yaitu hanya pantas diberikan kepada orang-orang yang telah berpengalaman:
berhasil mengalami wawasan dvaita dan wisiûþhàdvaita. Oleh karena itu Jlantik,
pengarang Geguritan Sucita, mengingatkan pembacanya (Pucung, XXVIII:2-5):
Yan jeg patuh, ‘Jika
tiba-tiba (merasa) sama,
setondene jati putus, sebelum sungguh-sungguh arif,
bisa dadi lara, dapat
menyebabkan penderitaan
amertane dadi cetik amerta dapat menjadi racun.
krana bagus, Oleh
karena itu, Ananda sayang
kene bahan matindakan. beginilah caramu bertindak:
alih malu, Carilah
terlebih dahulu
kakuatane jati kukuh, kekuatan yang sungguh kokoh:
ne suba mategar, Sudahkah
(Ananda) mencoba
ngalahang loba brangti, mengalahkan sifat loba, pemarah,
sipok sigug, sombong,
angkuh,
tur suba manyaya indria. dan mengalahkan nafsu birahi’.
Turin sampun, ‘Dan
sebaliknya, (sudahkan Ananda)
mabalik alep tur pangus, berbalik menjadi orang arif:
sahi madalem anak, selalu
sayang kepada orang lain,
iing manulung nyagjagin, ringan tangan menolong
sang pakeyuh, orang
yang lagi susah, dan
tan takut melanin anak. tidak
takut membela orang (yang benar)’.
Tuara surud, ‘Juga
tidak henti-hentinya
ngae anak pang rahayu, mengusahakan orang lain agar rahayu,
nganut kaparartan, yaitu
sebagai penganut paham kaparartan:
tuhu sadu welas asih, sungguh arif, penuh kasih sayang.
uli ditu, Nah,
atas dasar itulah
rasan patuhe ya garap. Ananda mengusahakan rasa ketunggalan’.
Jadi, dasar pijakan untuk dapat
sampai di tataran advaita adalah perilaku kapararthan: memiliki wawasan yang
luas dan dalam, mampu mengendalikan nafsu duniawi, kreatif mengusahakan
kerahayuan dunia, dan telah teruji sebagai orang yang ikhlas.
Dalam bait tersebut tersirat
pula pengakuan bahwa rasa patuh ‘merasa tunggal’ atau advaita adalah tataran
spiritual tertinggi. Tataran dimaksud harus dicapai melalui undagan idep
‘tahapan-tahapan kesadaran’ yang kokoh. Artinya, ketiga pemikiran dimaksud
merupakan fase Hinduisme yang secara spiritual dikatakan sebagai tahapan
perkembangan kesadaran seseorang. Sri Narayana (Kasturi, 1988: 80) dengan
tandas mengatakan bahwa ketiga itu adalah struktur kesadaran spiritual, yang
karena itu, secara sistemik saling terkait. Wacananya: “Ada tiga jalan yang
secara berturut-turut menuju pada kesadaran Tuhan, yaitu dvaita ‘dualisme’,
wisiûþhàdvaita ‘nondualisme yang terbatas’ dan advaita ‘nondualisme’. Contoh
pengamalannya, mula-mula Anda akan menyatakan: “Aku adalah abdi Tuhan”. Di sini
ada dua perwujudan, yang satu Tuhan dan yang lain Anda. Pengabdi Tuhan
beranggapan dirinya berada di suatu tempat yang jauh dari Tuhan dan ingin
mencari Tuhan. Oleh karena itu, Anda mencari-Nya dan ingin sangat dekat, erat
dengan Tuhan. Sedikit demi sedikit Anda maju melalui jalan ini sehingga pada
akhirnya Anda berhadapan dengan-Nya. Ketika sudah ada di hadapan-Nya, Anda
berkata: “Ya Tuhan, aku ini abdi-Mu”. Itulah tahap kedua, Anda telah menemukan
Tuhan, berhadapan dengan-Nya. Dan tahap ketiga Anda menyatakan: “Aku adalah Engkau
dan Engkau adalah aku. Kita ini satu”. Artinya, Tahap pertama ketika anda
menyatakan: “Aku adalah abdi Tuhan” dan menganggap Tuhan berada di suatu tempat
yang jauh adalah tahap dvaita. Tahap kedua, ketika Anda berkata langsung kepada
Tuhan: “Ya Tuhan, aku adalah abdi-Mu”, dan ketika itu Anda merasakan
kehadiran-Nya dalam hatimu adalah tahap wisiûþhàdvaita. Tahap ketiga, ketika
Anda menyadari kebenaran: “Oh Tuhan, aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku”,
dan Anda merasa tidak dapat lagi membedakan antara dirimu dan Tuhan. Inilah
tahap advaita. Karena itu, Anda hendaknya menjalani kehidupanmu dari tahap
dualisme dan berakhir pada tahap nondualisme”.
Caranya, Sri Narayana
(Kasturi, 1988:80-81) mengajarkan: “Anda hendaknya memulai laku spiritual dalam
bentuk pengabdian yang umum, yaitu memuja Tuhan dengan wujud dan sifat serta
melakukan berbagai upacara dan bentuk pemujaan lahiriah lainnya. Tetapi
kemudian, Anda meningkat menuju aspek Ketuhanan yang tidak berwujud dan mutlak.
Dengan demikian, mula-mula Anda mengembangkan diri secara spiritual sebagai
hamba Tuhan, tetapi akhirnya Anda menyatu secara sempurna dengan Tuhan”.
Penjelasan yang sama
menariknya dapat ditemukan dalam lontar Jnàna Siddhànta sebagai berikut.
Laukika÷ kàrayet pùrva÷ dìkûà-vidhi-vidhànaka÷
paúcàt parama-kaivalya÷ kuryàt parama-paóðitah.
Artinya:
Pertama-tama, orang arif melaksanakan tata upacara
penyucian seperti yang umum dilakukan di dunia ini. kemudian ia berusaha
melakukan pengasingan sempurna.
Mantra dimaksud kemudian dijelaskan dengan bahasa Kawi:
Mangkana ta sang paóðita gumawayakên sira laukika
ring pùrwaka. Ndya laukika kàrya? Ikang dìkûà-widhi-widhàna gelarakênira ring
loka. Paúcàt, ri wêkasan pwa ya, gumawaya ta sira parama kaiwalya jnàna, ya
parama-paóðita ngaranira samangkana.
Artinya:
Demikianlah hendaknya orang yang arif,
pertama-tama, ia wajib melaksanakan kewajiban duniawinya. Apakah kewajibannya
di dunia ini? Ia harus menepati tata upacara penyucian ini. Paúcàt artinya,
setelah itu ia hendaknya melaksanakan kontemplasi dengan melakukan pengasingan
diri. Orang yang berperilaku demikian itu adalah orang yang sungguh-sungguh
arif.
Kembali ke persoalan
dualis-nondualis terbatas-monisme, agar lebih jelas, dalam bentuk analog, Sri
Narayana (idem: 81) mengajar: “Pikirkanlah sejenak, sebuah lingkaran yang besar
dan bayangkan di sebelahnya ada sebuah lingkaran yang jauh lebih kecil.
Lingkaran yang besar diumpamakan Tuhan sementara lingkaran yang kecil ibarat
jiwa atau individu. Di sini, individu berbeda dan terpisah dari Tuhan, inilah
dvaita. Jika Anda masukkan lingkaran kecil itu ke dalam lingkaran besar, Anda
menjadi visiûþhàdvaita. Kini jiwa menjadi bagian dari Tuhan. Ia ada dalam
Tuhan. Kemudian, apa artinya jiwa menyatu sempurna dengan Tuhan? Lingkaran
kecil harus meluaskan dirinya dan tumbuh makin lama semakin besar sehingga
menyamai ukuran lingkaran besar. Pada tingkat ini, kedua lingkaran tidak dapat
dibedakan. Jiwa dan Tuhan menjadi satu, manusia telah manunggal dengan Tuhan.
Inilah yang dinamakan Advaita”. Dan dengan demikian, ia telah mencapai
siddhànta.
VI REFLEKSI ATAS SISTEM KEYAKINAN HINDU DI INDONESIA
Dari pemahaman konsep inti
ajaran agama Hindu seperti yang telah terjabar sebelumnya dapatlah diketahui
bahwa sistem keyakinan Hindu yang kini dianut di Indonesia merupakan agama
warisan leluhur yang konsep-konsepnya dirangkum secara arif menurut
desa-kala-patra. Artinya, makna konsep-konsep pokok yang didapat dari kitab
suci dan atau lontar dan bahkan dari tradisi, secara emanasi digali,
diinterpretasi, dan disusun kembali menurut tempat-waktu-keadaan zamannya
sehingga relevan untuk menuntun umatnya menuju cita-citanya yang luhur,
berprikemanusiaan.
Berdasarkan pemetaan keilmuan,
maka ontologi, epistemologi dan aksiologi unsur-unsur pokok sistem keyakinan
Hindu yang kini dianut di Indonesia dapat dipolakan sebagai berikut.
Catur Asrama
|
Panca Sradha
(Tattwa)
|
Prawåtti-Nirwåtti
Marga
(Acara)
|
Trikaya
Parisudha
(Susila)
|
Catur
Puruûàrtha
|
|||
Brahmacari,
Gåhasta,
Wanaprastha
Bhiksuka.
|
Widhi,
Àtma,
Karmaphala,
Punarbhàwa,
Mokûa.
|
Bhakti Prawtti
Karma
Yadnya
Jnàna
Raja Nirwåtti
|
Manacika
Wacika
Kayika
|
Dharma
Artha
Kàma
Mokûa
|
|||
Subjek-objek
|
Ontologi
|
Epistemologi
|
Aksiologi I
|
Aksiologi II
|
Menurut tugas dan tahapan
hidup umat Hindu dapat dikelompokkan atas empat: (1) brahmacari ‘masa belajar’,
(2) gåhasta ‘masa berumah tangga’, (3) wanaprastha ‘masa pendalaman spiritual’,
dan (4) Bhiksuka ‘masa hidup kelepasan’. Secara spiritual, mereka masing-masing
adalah subjek yang terutama bertugas mempelajari dirinya sendiri. Artinya,
pembelajaran dimaksud sedapat mungkin diharapkan mempelajari diri dalam
kaitannya dengan alam, sesama makhluk, dan dengan Tuhan sedalam-dalamnya dan
seluas-luasnya. Jadi, umat dalam pandangan ini adalah subjek yang sekaligus
sebagai objek.
Panca sradha ‘lima dasar
keimanan Hindu’ dapat dipandang sebagai aspek ontologi agama Hindu. Oleh karena
itu, panca sradha itulah menjadi pokok ajar yang pertama-tama dan utama yang
patut mereka (sang brahmacari dan gåhasta) ketahui dari para guru agama (sang
wanaprastha dan biksuka).
Secara epistemologis, metode
mereka belajar dan latihan spiritual adalah dengan cara mendengarkan,
merenungkan, dan mengamalkan catur marga (yoga) dengan penekanan tertentu
menurut karakter masing-masing umat. Sang brahmacari dan gåihasta lebih
menekankan proses belajar melalui jalan bhakti dan karma yoga. Kedua cara itu
dapat dikelompokkan sebagai prawåtti marga ‘jalan aktivitas fisik’, sementara
sang wanaprastha dan bhiksuka lebih menekankan laku spiritual melalui jalan
jnàna dan raja yoga. Dua marga itu dapat pula disebut melalui jalan nirwåtti
marga ‘jalan tanpa aktivitas fisik, kontemplasi’.
Semua aktivitas, sejauh itu
didasarkan dan dilaksanakan dengan penuh keikhlasan adalah yadnya. Ada lima
yadnya yang wajib dilaksanakan: (1) dewa yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada
Widhi ‘Tuhan’, (2) pitra yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada leluhur’, (3) rsi
yadnya ‘kurban dipersembahkan kepada orang suci’, (4) manusa yadnya ‘kurban
untuk kebaikan sesama’, (5) bhuta yadnya ‘kurban untuk keharmonisan: harmoni
dengan alam, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya yang dipandang lebih
rendah kedudukannya dari manusia’.
Kemudian secara aksiologis,
hanya dengan aktivitas yang ikhlas, berlandaskan dharma, orang dapat mencapai
cita-cita luhur. Pertama, mencapai kesucian diri yang disebut trikaya
parisuddha: (1) manacika parisudha ‘pikiran yang suci’, (2) wacika parisudha
‘tutur kata yang suci’, dan (3) kayika parisuddha ‘perilaku yang suci. Kesucian
itulah yang menjadi landasan moral. Dengan landasan itu umat Hindu diyakinkan
akan berhasil meraih cita-cita luhur berikutnya. Cita-cita luhur Hindu ada
empat, yaitu disebut catur puruûàrtha: (1) pertama-tama orang mesti berusaha
mendapatkan dharma ‘moralitas dan pengetahuan, baik ilmu pengetahuan duniawi
maupun pengetahuan spiritual’, (2) atas dasar pengamalan dharma orang lalu
diyakinkan memperoleh artha ‘kekayaan’ dan (3) dengan dharma dan artha niscaya
orang memperoleh kàma ‘nikmat hidup’. Tiga tujuan tersebut disebut
kajagaddhitan ‘sumber kesejahteraan atau kebahagiaan duniawi’. Akan tetapi,
kajagaddhitan bukanlah cita-cita terakhir. Cita-cita terakhir adalah (4) mokûa
‘kelepasan’, yaitu lepas dari keakuan, mencapai keabadian.
Daftar Pustaka