“Bharata Yudha”
Sang Kala Tiga
I Wayan Sukarma
Sang Kala Tiga adalah waktu keramat terdiri atas Sang Kala Galungan, Sang
Kala Dungulan, dan Sang Kala Amangkurat. Waktu keramat yang berlangsung pada
Panyekeban, Panyajan, dan Panampahan Galungan ini mengingatkan, agar manusia
berpikir jenih, berucap jujur, dan berbuat bajik. Tiga macam perbuatan inilah senjata
sidhi untuk memenangkan dharma sehingga tidak menjadi dharmayudha kuruksetra, seperti teladan
yang disuguhkan dalam Bhatara Yudha. Memenangkan dharma adalah menjadi rumah dharma.
Sang Kala Tiga adalah panggilan
keramat untuk Kala yang berlangsung berturut-turut selama tiga hari sebelum Uma
pada Buda Kliwon
Dungulan, hari suci Galungan. Berdasarkan pawukon, umat Hindu merayakan Galungan setiap enam sasih atau 30 wuku atau 210 dina.
Peredaran Kala selama enam sasih ditemukan
berdasarkan pembagian jumlah Dina dengan Astawara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra,
Brahma, Kala, dan Uma), yakni 210 dina dibagi
8 wara adalah 26 kala dengan sisa dua kala. Hal
ini menunjukkan, setelah Brahma pada
Saniscara Sungsang secara berurutan mulai berlangsung
Kala pada Redite Pahing Dungulan disebut Sang Kala Galungan; Kala pada Soma Pon
Dungulan disebut Sang Kala Dungulan; hingga Kala pada Anggara Wage Dungulan disebut Sang Kala Amangkurat. Begitulah
rentetan Sang Kala Tiga yang berlangsung dari Panyekeban, Panyajan, hingga Panampahan
Galungan.
Kala dalam Kamus Jawa Kuna berarti waktu, masa,
zaman. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata
“kala” dijelaskan berkenaan dengan waktu, seperti kadangkala, manakala, apakala,
adakala, dan tatkala. Dalam mitologi Hindu kata “kala”, juga berkenan dengan
waktu misalnya, Sang Kala Rahu menelan Bulan, Bhatara Kala sebagai waktu
kosmis, Sanghyang Kalantaka sang penguasa masa, dan Kalandara adalah Matahari. Malahan
dalam sistem pawukon, kata “kala” menurunkan
banyak kala, seperti padewasan pakalan dalam Ala Ayuning Dewasa (2014) sedikitnya disebutkan
enam puluh satu kala. Misalnya, Kala
Katututan (Semut Sadulur) merupakan hari baik untuk mulai berdagang, tetapi buruk
melaksanakan pitra yadnya. Kala
Dangaskara adalah hari baik membuat tembok dan alat-alat menangkap ikan, tetapi
buruk melaksanakan panca yadnya. Pada prinsipnya setiap kala menggambarkan ala-ayuning dewasa, waktu untuk melakukan suatu kegiatan.
Selain membutuhkan ruang memang tindakan juga membutuhkan waktu
untuk tiba pada tujuan. Ruang, waktu,
tindakan, dan tujuan bagi Aristotelean adalah kategori suatu keberadaan. Bagi Bhagawadgita, ruang tercipta ketika
badan terikat pada jiwa; waktu tercipta ketika badan berpikir; tindakan muncul
ketika badan dibatasi; dan Yang Esa adalah tujuan akhir. Batasan ini sesungguhnya
ikatan yang melahirkan kewajiban. Ikatan badan dengan alam melahirkan kewajiban
kepada alam; ikatan dengan jiwa melahirkan kewajiban kepada jiwa; ikatan dengan
waktu melahirkan kewajiban kepada waktu; ikatan dengan tindakan melahirkan
kewajiban kepada tindakan; dan ikatan dengan Yang Esa melahirkan kewajiban
kepada Yang Esa. Banyaknya kewajiban menyebabkan banyak dharma. Apalagi badan mewarisi sifat hakiki alam, juga memunculkan beraneka
rupa dharma. Kebinekaan dharma secara empiris dicercap dalam
perbedaan dan pertentangan, bahkan peperangan. Inilah dharmayudha dan badan menjadi medannya, kuruksetra. Jadi, manusia adalah dharmayudha kuruksetra.
Dharmayudha kuruksetra yang menarik perhatian banyak
pembaca selama berabad -abad misalnya, Bharata Yudha. Peperangan antara Pandawa
dan Korawa ini merupakan klimaks dari pergulatan dharma dalam delapan belas parwa
Mahabharata. Peperangan ini merupakan
akibat dari kekacauan dharma dalam
istana Hastinapura. Kekacauan dharma bermula
dari kerapuhan politik istana yang mengalami kebuntuan mengartikulasikan dan
mendistribusikan kekuasaan. Dalam konstruksi kewajiban istana kepada kerajaan
dan kewajiban kerajaan kepada rakyat telah terjadi ketidakadilan distribusi kekuasaan,
baik pada struktur, kultur, maupun aparatur. Ketidakadilan pada aspek aparatur menimbulkan
manipulasi struktur dan kultur sehingga menimbulkan kekacauan kewajiban. Ketakpastian
kebenaran struktur dan kebaikan kultur menyebabkan dharma-negara dan dharma-agama
menjadi perdebatan berkepanjangan di antara semangat menegakkan dharma-putra dan dharma-suami. Perangai dharma
semakin tidak mudah ditebak karena manipulasi struktur dan kultur berlangsung bersamaan
dengan permainan moral. Situasi yang tidak menentu inilah dengan mudah menyulut
kemarahan, sumpah, dan dendam.
Sumpah penuh dendam ini,
bahkan menggusur makna dharma sebagai
kewajiban menjadi hak. Perdebatan politik istana tidak lagi pada kewajiban raja
kepada rakyat, tetapi pada yang berhak menjadi raja menguasai rakyat. Pergeseran
wacana politik semacam ini menyebabkan aparatur tidak lagi menguasai struktur
“yang semestinya” sehingga kultur “yang seharusnya” tidak sanggup lagi menjaga
keseimbangan kekuasaan. Ketimpangan ini secara latensi menciptakan kesenjangan
komunikasi politik antara keturunan Pandu dan keturunan Drstharastra. Tahta
sebagai pusat konflik telah mendorong permainan kekuasaan semakin meluas,
bahkan keluar dari arena politik melalui muslihat dan tipu daya, bahkan perjudian.
Ketika takdir menjadi permainan politik, maka harga diri adalah taruhannya. Bukan
hanya ekonomi, moral, dan kebudayaan, bahkan takdir dan harga diri pun menjadi
permainan politik demi tahta. Pada akhirnya tidak dapat dihindari peperangan menjadi
cara mulia meraih harga diri, seperti pesan etika sosial. Bharata Yudha, peperangan
mahadasyat pun terjadi, bahkan mengundang kehadiran Yang Esa menegakkan dharma, kewajiban puncak manusia.
Manusia memang mesti
dan harus menegakkan dharma,
sebagaimana pesan hari suci Galungan. Mengingat manusia adalah pecinta yang
malang. Manusia malang sebab cinta mengikatnya pada beragam objek yang
memberikannya kewajiban. Manusia menjadi insan malang-melintang dalam lebatnya rimba
kewajiban. Misalnya, apabila seorang pria mencintai seorang wanita, maka muncul
kewajiban kepada wanita. Setelah melangsungkan perkawinan muncul kewajiban
suami dan kewajiban ayah setelah punya anak. Kemudian, dalam kehidupan
bermasyarakat muncul kewajiban sosial, seperti keluarga, banjar, dadya, dan desa pakraman. Galungan juga mengingatkan
kewajiban kepada Yang Esa, leluhur, guru, alam, dan sesama. Kewajiban ini dipahami
menjadi swadharma, seperti ayah-ayahan kepada keluarga dan banjar. Prinsip swadharma senantiasa memaksa, menghimbau, dan mengingatkan, agar orang
tetap setia kepada komitmen moral dan tujuannya. Swadharma memang mengikat tingkah laku pada kewajiban dan tanggung
jawab, sebagaimana pesan moral Sang Kala Tiga.
Sang Kala Tiga adalah
gambaran waktu kosmis-mistis, seperti gambaran tentang kebebasan yang
dicita-citakan oleh penegak dharma. Kebebasan,
sebagaimana dikatakan Augustinus, sama halnya dengan waktu. Dia sendiri heran
dalam renungannya. Sebenarnya orang sudah tahu apa waktu itu, tetapi mengalami
kesulitan bila hendak merumuskan pengetahuan tentang waktu yang serba biasa itu.
Orang mengerti ketika sedang berbicara tentang waktu. Begitu juga orang
mengerti bila mendengarkan pembicaraan tentang waktu. Lalu, apakah gerangan
waktu itu? Augustinus akhirnya menjawab, “jika tidak ada orang yang bertanya, apa
waktu itu, saya tahu. Akan tetapi, bila hendak menjelaskan tentang waktu kepada
orang lain, saya tidak tahu”. Hal yang sama juga dapat dikatakan tentang
kebebasan. Kalau tidak ada yang bertanya, apakah kebebasan itu, orang yakin
tahu karena dia sendiri mengalaminya. Akan tetapi, bila ditanyakan, apakah
kebebasan itu, orang menjadi bingung dan tidak bisa menjawab.
“Kebebasan itu hubungan
antara aku konkret dan perbuatan yang dilakukannya”, kata Henri
Bergson. Malahan ia sampai pada simpulan, “kebebasan adalah suatu fakta dan di
antara fakta-fakta yang ditetapkan orang tidak ada yang lebih jelas”. Kata
“fakta” dalam hal ini tidak mempunyai arti seperti dalam ilmu-ilmu empiris,
tetapi data langsung dari pengalaman batin. Sebaliknya, pada tataran etis bahwa
kebebasan sejati mengandaikan keterikatan pada norma-norma. Tingkah laku
manusia tidak secara otomatis ditentukan oleh insting, tetapi manusia harus mengatur
kecenderungan-kecenderungan alamiahnya, karena itu manusia membutuhkan
norma-norma. Norma-norma memungkinkan tingkah laku bebas. Misalnya, dapat
dibandingkan dengan penggunaan bahasa. Kaidah tata bahasa tidak menghambat
komunikasi, tetapi memungkinkan berlangsungnya komunikasi melalui bahasa. Orang
harus mematuhi dan mentaati kaidah tata bahasa, bila ingin mengerti satu sama
lain. Malahan komunikasi melalui bahasa akan macet total, bila kaidah tata bahasa
disingkirkan. Begitulah kebebasan dimungkinkan karena norma-norma.
Artinya, dharma yang membelenggu tingkah laku dengan
kaidah dan norma-norma tidak menghambat kebebasan manusia, tetapi dharma yang memungkinkan kebebasan. Ini
sebabnya, Sang Kala Tiga mengingatkan manusia senantiasa menegakkan dharma seiring dengan tujuan kebebasan. Menegakkan
dharma memang suatu tantangan atau
sekurangnya menantang kesanggupan manusia mengatur tingkah laku karena dalam
dirinya sendiri memang memiliki potensi bertindak liar. Apabila sanggup menundukkan
potensi alamiah ini lewat dharma,
maka dharma akan memberikan
keselamatan, seperti ditegaskan seloka Mahabharata
berikut. “Dharma eva hato hanti, dharma
raksati raksitah, tasmad dharma na hantav yo, ma no dharma hate’vadhit”.
Artinya, ‘bila engkau membunuh dharma,
maka kamu akan dibunuh olehnya. Bila engkau menjaga dharma, maka kamu dijaga olehnya. Karena itu dharma tidak boleh dibunuh, sebab dharma yang dibunuh akan membunuhmu’. Sederhananya, “selamatkanlah dharma, maka dharma pun menyelamatkanmu”.
Dharma dalam Saracamuscaya dirumuskan seperti
berikut. “Segala yang diajarkan kitab sruti,
wahyu; kitab smerti, tafsir wahyu
disebut dharma. Acara, yaitu tingkah laku Sang Sista juga disebut dharma. Sang Sista adalah orang yang
setia kepada kata-katanya, orang yang dapat dipercaya, orang yang menjadi
tumpuan mendapatkan kesucian, orang yang mengajarkan kearifan. Ketiga hal itu
disebut dharma”. Pentingnya rumusan dharma ini karena dharma hadir dalam banyak swadharma
yang menyediakan banyak norma sehingga tidak seluruhnya mudah dikenali, apalagi
mematuhi dan mentaatinya. Malahan tidak sedikit norma yang seolah-olah berbeda,
berlawanan, dan bertentangan antara yang satu dan yang lainnya. Akibatnya,
muncul kesan bahwa orang boleh memilih satu dharma
karena dipandang memuaskan dengan mengabaikan dharma yang lainnya. Padahal upaya menegakkan dharma begitu terikat pada kemampuan mengenal dharma dan tergantung pada kesanggupan mematuhinya. Untuk lebih meningkatkan
kemampuan dan kesanggupan inilah umat Hindu memuliakan Bhatara Kala sebagai Sang
Kala Tiga.
Sang Kala Galungan pada
Redite Pahing
Dungulan dimuliakan sebagai Panyekeban Galungan. Panyekeban juga lazim disebut Pangejukan.
Ngejuk berarti menangkap dan nyekeb berarti menyimpan. Pada intinya menangkap dan menyimpan gerak-gerak pikiran, sebagaimana digariskan dalam Sundarigama, “among yoga samadhi, anyekung jnana sandhi nirmala”. Mengendalikan fluktuasi
pikiran memang tidak mudah karena pikiran bergerak lincah seperti kera dan berlangsung
sesaat seperti buih. Sebaliknya, pikiran yang sudah diwarnai hasrat dan
keinginan dapat menjadi kekuatan yang mendorong lahirnya tindakan semu. Tindakan
yang seolah-olah masuk akal, tetapi melanggar tatanan nilai dan norma. Memang
tidak mudah memadukan kebenaran dengan kebaikan untuk menikmati idahnya kebebasan.
Tampaklah betapa pentingnya mengendalikan gerak-gerak pikiran, seperti saran
Dalai Lama berikut. “Jagalah pikiranmu
karena akan menjadi perkataanmu. Jagalah perkataanmu karena akan menjadi
perbuatanmu. Jagalah perbuatanmu karena akan menjadi kebiasaanmu. Jagalah
kebiasaanmu karena akan membentuk karaktermu. Jagalah karaktermu karena akan
membentuk nasibmu. Jadi, nasib berawal dari pikiran”.
Menjaga pikiran berarti
mengatur gerak-gerak pikiran berdasarkan kaidah-kaidah berpikir atau logika
karena tidak sedikit terjadi kesesatan berpikir dan kesalahan analogi. Hal ini
menyebabkan kekeliruan konklusi sehingga simpulan tidak layak dijadikan pijakan
perbuatan. Pada tataran etis perbuatan pikiran dirumuskan dalam Sarasamusccaya seperti berikut, “tidak menginginkan
milik orang lain, tidak marah kepada semua makhluk, dan meyakini kebenaran
hukum karmaphala”. Ini berarti, mengetahui
perbuatan buruk sama pentingnya dengan mengetahui perbuatan baik karena kebaikan
biasanya tersirat di balik keburukan. Misalnya, ketika Sang Kala Galungan
mengatakan, “tidak boleh menginginkan milik orang lain” berarti “boleh
menginginkan milik sendiri” atau “tidak menolak milik sendiri”. Dalam kata
“boleh” sudah tersirat kewajiban sekaligus hak. Hanya saja biasanya orang tidak
menginginkan miliknya sendiri. Kecuali miliknya hilang karena kepuasan atas
kepemilikan berada pada hak, bukan pada kewajiban. Pesannya, orang haruslah melakukan
kewajiban, sebagaimana hak memerintahnya. Ini menunjukkan bahwa dharma tidak hanya menyarankan kewajiban,
tetapi juga hak yang sudah melekat pada kebebasan.
Kebebasan tidak mudah diraih hanya dengan kebenaran pikiran,
tetapi juga harus diraih melalui kejujuran, yakni kesetiaan ucapan pada pikiran,
perasaan, dan kehendak. Arti sebuah kata
memang penting, tetapi jauh lebih penting nilai sebuah kata dalam bentuk ujaran bermakna yang disebut ucapan. Pentingnya menjaga
ucapan inilah yang diingatkan Sang Kala Dungulan pada Soma Pon Dungulan yang dimuliakan
sebagai hari Panyajan Galungan. Saja dan
sajan berarti betul, benar, dan
kesungguhan. Ucapan benar bila seiring dengan pikiran dan ucapan betul bila sejalan
dengan perasaan. Kesungguhan ucapan adalah wujud kehendak. Inilah jnana nirmala, kemurnian pengetahuan untuk mengungkapkan dharma. Norma perbuatan ucapan dalam
konteks etis dirumuskan dalam Sarasamusccaya seperti berikut, “tidak
berkata jahat, tidak berkata kasar, tidak berkata fitnah, dan tidak berkata
bohong”. Inilah empat macam perbuatan ucapan yang dilarang. Bila ditambahkan lagi
satu perbuatan barangkali dapat diusulkan, “tidak berkata dusta”, membohongi
diri sendiri, seperti seringkali dilakukan oleh orang licik.
Kelicikan biasanya menjadi
sumber kemunafikan, anarya, seperti
diceritakan pada awal Bharata Yudha, berupa keraguan Arjuna dalam tema ahimsa. Kalau memenangkan peperangan
adalah tujuan, dan membunuh adalah tindakan peperangan, maka membunuh adalah
kewajiban. Membunuh berarti membasmi dan melenyapkan sehingga melenyapkan
ucapan jahat, ucapan kasar, ucapan fitnah, dan ucapan bohong adalah dharma. Inilah dharma wacana. Dharmaning
wacana, bahkan menjadi upaya orang Bali membangun suatu kesadaran, seperti ungkapan
berikut, “manusane kaiket antuk raos”,
“satwa adaang”, “napi ten dados raosang”, “jelema
sing ningehang munyi”, dan “jelema
buta bongol”. Malahan ucapan mantra yang dilantunkan sulinggih memiliki makna begitu sakral dalam keberagamaan. Ucapan
suci ini memiliki kekuatan mistis menghubungan manusia dengan dunia gaib,
seperti dewa dan bhuta, bahkan makhluk lainnya. Kekuatan ucapan adalah doa, karena
itu Sang Kala Dungulan berpesan ucapkanlah kata-kata yang hanya mendatangkan
kedamaian dan kemuliaan bagi semua.
Kedamaian itu kebenaran dalam perasaan. Kebenaran perasaan yang
tampil dalam bentuk kejujuran adalah landasan tindakan produktif bagi
kebebasan. Seperti disarankan Sang Kala Amangkurat Anggara Wage Dungulan dimuliakan
yang sebagai Panampahan Galungan. Tampah
dan nampah berarti membuka, membedah,
mengeluarkan, seperti saran Sundarigama berikut, “angregepakna sarwa japa mantra pragolan”. Membuka pikiran adalah upaya meluaskan
wawasan, seperti penataan kognisi pada Penyekeban Galungan. Membedah perasaan adalah
upaya mengendalikan ucapan, seperti pengaturan emosi pada Panyajan Galungan. Kemudian,
tiba saatnya menyatakan kebenaran dan kejujuran dalam bentuk perbuatan pada
Panampahan Galungan. Mengingat orang baik adalah orang yang berbuat baik, bukan
hanya berpikir dan berucap baik. Perbuatan baik dirumuskan dalam Sarasamuccaya sebagai berikut, “tidak membunuh, tidak mencuri, dan tidak mengumbar hawa nafsu
seks dengan berzina”. Simpulannya, membunuh, mencuri, dan berzina adalah
perbuatan buruk karena dapat mendatangkan keonaran dalam masyarakat.
Padahal kehadiran agama dalam masyarakat menurut Nand Lal
Punj dalam Agama Hindu Bali I (1956)
untuk menjaga ketertiban, keteraturan, dan keseimbangan sosial. Dengan alasan
ini agama Bali mengajarkan hukum karma
dan hidup bersama dengan sesama manusia, bahkan makhluk melebihi manusia. Hukum
karma berpandangan bahwa dalam
dunia-kehidupan tidak ada peristiwa yang terjadi tanpa sebab. Setiap peristiwa
mesti ada sebab dan setiap daya yang dilakukan mesti ada pengaruhnya. Seperti
mencuri dapat menimbulkan tenaga menyebabkan gangguan ketertiban sosial. Tenaga
yang mengganggu ini kembali lagi kepada pelaku, seperti setiap gerakan benda
memiliki kecenderungan kembali kepada asalnya. Pelaku menyimpan tenaga yang
kembali kepadanya dalam bentuk ingatan, seperti poto pengalaman. Semua tenaga selama
hidup tersimpan dalam diri hingga menunjukkan pengaruhnya. Tenaga ini lalu, dikelompokkan menjadi satwam, rajas, dan tamas. Ini sebabnya, manusia hanyalah seberkas
karma.
Kalau manusia adalah seberkas karma, dan karma terikat
pada dharma, maka dunia-kehidupan
adalah rumah dharma. Rumah dharma tidak hanya mewarisi sifat-sifat dharma, tetapi pondasi, lantai, pilar, dinding,
pintu, jendela, dan atapnya tersusun dari dharma.
Kenyaman rumah dharma tergantung pada
kesanggupan manusia melaksanakan kewajibannya berdasarkan kejernihan pikiran,
kejujuran ucapan, dan kebajikan perbuatan, seperti disarankan Sang Kala Tiga. Melepaskan
tenaga tri kaya parisudha pada
perbuatan berarti memberikan peluang bagi berlangsungnya perang dharma, baik dalam diri sendiri maupun
dalam dunia-kehidupan. Dharmayudha
dalam diri ditandai oleh kebimbangan, keraguan, kecemasan, kekawatiran, dan
ketakutan. Dharmayudha dalam
dunia-kehidupan ditandai oleh ketakteraturan, ketaktertiban, dan
ketakseimbangan sosial dalam masyarakat. Menghindarkan diri menjadi dharmayudha kuruksetra inilah peringatan
Bharata Yudha, agar manusia menegakkan dharma.
Hanya menegakkan dharma, maka dharma melindungi karma sehingga karma
menyelamatkan manusia. Hidup bersama dharma
sehingga menjadi rumah dharma adalah
pesan Sang Kala Tiga Galungan.
(Majalah Wartam Edisi Juli 2015)