Hari Nyepi,
Metamorfose Jati Diri
I W a y a
n S u k a r m a
Bulan
lahir dari budinya,
Matanya
melahirkan matahari,
Indra
dan Agni muncul dari mulutnya,
Dan
Vayu lahir dari napasnya,
Dari
pusarnya muncul udara,
Langit
muncul dari kepalanya,
Dari
kaki, bumi; dari telinga, mata angin,
Begitulah
mereka membentuk dunia-dunia.
(Rig Weda,
10:190).
Manusia yang dikiaskan seloka Rig Weda itu bukan makhluk mandiri, melainkan formulasi identitas sebagai interaksi
pribadi-individual dengan dunia-luar dan keilahian alam. Seperti dinyatakan dengan
metafora: pikiran seperti bulan, mata seperti matahari, mulut seperti api kemenangan,
dan badan manusia mengakar di bumi tegak menatap langit. Kepribadian manusia dilukiskan
sebagai kontinuitas individual dan alam dalam proses kosmos. Seloka-seloka Rig. Weda memang memuliakan kekuatan, keajaiban,
dan kegaiban alam sebagai keilahian yang kepadanya kurban dipersembahkan. Dalam
keberagamaan umat Hindu di Bali, bahkan keilahian alam dipahami sebagai dewa-dewa
dan dewi-dewi. Dalam mantra pemujaan disebut-sebut mana dewa, seperti Agni adalah
dewa api, Wisnu adalah dewa air, Maruta adalah dewa angin, dan Waruna adalah
dewa laut. Nama-nama dewi yang seringkali disebut, seperti Gangga, Yamuna,
Saraswati, Sindhu, Serayu sebagai dewi sungai dan
Prthiwi sebagai
dewi tanah. Keilahian alam inilah kontinuitas kesatuan individual
dan alam yang membentuk manusia menjadi makhluk unik dan khas.
Manusia memang makhluk unik dan khas, satu-satunya berbeda dengan makhluk lainnya. Keunikan manusia
berkenaan dengan ke-ada-an dan
kekhasan manusia berkaitan dengan sifatnya.
Keadaan dan sifat manusia dalam kerjasamanya dengan lingkungan menghasilkan kepribadian,
yakni wujud lahiriah dari jati diri. Wujud lahiriah ini lazimnya disusun dengan kriteria dan kategori tentang
manusia, seperti perlakukan terhadap manusia dalam tradisi psikologi,
sosiologi, antropologi, kebudayaan, serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora
lainnya. Barangkali rumusan tradisi tersebut lebih menarik karena lebih praktis dan pragmatis daripada rumusan manusia
dalam kebiasaan metafisika yang lebih teoretis dan filosofis. Ketertarikan pada
bidang pragmatis tersebut tanpa disadari telah begitu kuat mendorong hasrat dan
keinginan berpetualang ke arah sebaliknya ke dalam wilayah yang lebih filosofis.
Sebagaimana disarankan Upanisad bahwa
jati diri manusia berada dalam
lingkaran pengertian yang paling dalam dan pemahaman yang paling dewasa.
Keseriusan memahami dan kesungguhan mengapresiasi
jati diri manusia, juga tak disadari telah mengarahkan pandangan-pandangan ke
lorong keyakinan (pengetahuan) dan kepercayaan (pengalaman) menuju inti diri
manusia paling sublim. Apalagi menyorotnya dalam medan sunyi pada hari suci
Nyepi tentu tidak dapat dihindari berbaurnya pandangan pengamat dengan
penghayat. Pada kenyataannya memang mustahil menemukan manusia menjalankan
kehidupan melulu dengan keyakinan-pikiran tanpa kepercayaan-perbuatan, sebagaimana
tradisi memintanya. Begitu juga perayaan hari suci Nyepi. Nyepi tidak hanya tinggal-diam
dalam benak-keyakinan, tetapi juga hadir dalam kegairahan-kepercayaan, berupa kemeriahan
upacara. Pada puncaknya memang sepi-sipeng, namun perayaan Nyepi tidak lepas
dari kemeriahan upacara yadnya.
Malahan kemeriahannya sudah tampak sejak Ida Bhatara ke Bale Agung, Melasti, Tawur,
Maprani, hingga Ngerupuk, bahkan Ngembak Geni setelah Nyepi. Kegairahan perayaan
itu tentu mewarnai rumusan jati diri (manusia Hindu) dalam perubahannya,
sebagaimana dirangkum dalam istilah “metamorfose”. Hanya saja penekanannya
bukan pada perubahan bentuk, melainkan pada keragaman dan kekaburan pandangan,
bahkan ketakberdayaan.
Darsana (sistem filsafat), Widya (sistem
ilmu), dan Tattwa (sistem ajaran) memang telah menyediakan beranekaragam
pendekatan dan metode penyingkapan jati diri manusia. Misalnya, Sankhya dan Yoga beranggapan, manusia sebagai kesatuan jiwa-raga, purusa-prakrti. Nyaya dan Vaisesika memandang, manusia sebagai kesatuan
kategori, padharta (dravya, guna, karma, samanya, visesa,
samavaya, abhava). Mimamsa juga merangkum
manusia sebagai kesatuan aktivitas, kerja, karma,
nirukta. Vedanta meringkas
manusia sebagai kesatuan selubung berlapis, kosa
(anamaya, pranamaya, manamaya, vidnyana,
ananda). Upanisad melalui tiga sistem filosofisnya dvaita, visistadvaita, advaita berambisi menelanjangi manusia dalam
kesatuannya dengan Alam dan Tuhan. Kesatuan manusia, alam, dan Tuhan, baik dalam
keseluruhan maupun bagian-bagiannya merupakan tema utama perdebatan sistem
filsafat Hindu dalam Brahmasutra. Malahan
Rig. Weda menyebut manusia sebagai musafir,
makhluk pengelana yang melintasi jalan tindakan,
pengetahuan, pengabdian, dan pengasingan
diri. Manusia dikatakan berkelana dan
berpetualang dalam realitas dunia-gerak-keluar-masuk-ke-dalam.
Gagasan keluar-masuk, pasuk-wetu memang berkembang pesat di
Bali misalnya, melalui Kanda Pat (dalam beragam tingkatan dan putaran). Lima
elemen pembentuk badan manusia dikupas melalui arah sekitar dengan bantuan aksara sebagai organ pengantar menuju ke
akar pemahaman diri. Ide tentang manusia sebagai keruangan, juga dijabarkan
dalam pangider-ider. Manusia, “ia” tidak hanya dilucuti di tengah rumah takdirnya, tetapi juga pada
warna buram nasib, kelemahan, kesengsaraan, dan kemalangannya yang dapat
dientaskan dengan mecaru. Gagasan manusia
sebagai keruangan dalam pola limaan,
juga dieksplorasi lebih holistik dan komprehensip dalam Panca Sraddha dan Panca
Yadnya. Panca Sraddha mengingatkan, “kepercayaanmu adalah dirimu”. Manusia
adalah kesatuan lima macam kepercayaan, yaitu Tuhan, jiwa, tindakan, inkarnasi,
dan kebebasan. Panca Yadnya berpesan, “kesucian adalah dirimu”. Pesan-pesan
kesucian manusia tidak hanya disampaikan lewat kemeriahan upacara, tetapi juga melalui senandung kidung-kidung dan kekawin
panca yadnya. Kelima pesan kesucian ini pun disampaikan dalam perayayaan hari
suci Nyepi.
Nyepi Saka 1938 dirayakan sehari setelah
Tilem Sasih Kesanga, panca dasi krsna
paksa caitra, 9 Maret 2016. Umat Hindu merayakannya dalam beberapa tahapan upacara yadnya, dari Melasti, Tawur Kasanga, Ngerupuk, Nyepi, hingga
Ngembak Geni. Melasti itu upacara penyucian pratima di pantai. Pantai adalah batas yang mengikat lautan dengan
daratan, seperti cinta mengikat sepasang insan, bahkan melekatkan manusia pada objek-objek
indrawi. Kalau meminjam gagasan dualisme Sankhya-Yoga,
maka laut adalah yoni pasangan dari gunung
adalah lingga. Laut adalah kedalaman rasa-sayang-ibu,
sedangkan gunung adalah ketinggian rasa-kasih-ayah. Kasih-Ayah dan Sayang-Ibu sebagai
metafora Purusa-Prakrti adalah asal
muasal segala keberadaan. Keluasan dan kedalaman samudera tanggug jawab Ibu
adalah perwujudan dari ketinggian dan kemuliaan kewajiban Ayah. Dalam gagasan siwa-shakti, budhi-sidhi ini makhluk dan benda diperlakukan sebagai Anak yang
lahir berkat permainan ikatan Cinta: Kasih-Sayang. Kewajiban anak adalah
mewarisi kasih-sayang sebagai kesucian jati diri (sebagaimana manusia mewarisi
keilahian panca mahahuta), seperti umat Hindu mewarisinya melalui Upacara Melasti di
Pantai Cinta.
Gemuruh ombak pantai cinta tidak dapat
dihindari membawa serta beragam jasad renik, entah binatang ataupun tumbuhan akan
mengganggu keindahan dan kesucian pantai cinta. Jasad-jasad itu menandai berakhirnya
sebagian kehidupan dapat mengusik sebagian kehidupan lainnya yang sedang
berlangsung. Kesengsaraan dan kemalangan pemilik jasad itu merupakan tanggung
jawab yang kehidupannya masih berlangsung. Tanggung jawab murni itulah
kewajiban suci yang memang sepantasnya dilaksanakan oleh Anak-Manusia. Dalam
rangka mengambil tanggung jawab murni dan menjalankan kewajiban suci itulah
umat Hindu melaksanakan Tawur Kasanga. Tujuannya memurnikan dan menyucikan diri dari gangguan bau-jasad
nafsu-binatang dan hasrat-tumbuhan. Sebagaimana keseluruhan makna bhuta yadnya adalah memurnikan dan
menyucikan lima elemen pembentuk badan dalam proses komos. Kalau meminjam
gagasan Vedanta tentang kosa, maka kondisi lapisan anamaya secara langsung mempengaruhi situasi pranamaya, suasana manamaya, kecemerlangan
vidnyana, dan kemuliaan ananda. Pesannya,
jagalah kekuatan badan dan pelihara kesehatan tubuh agar jiwa tetap selamat.
Keselamatan jiwa melalui proses
pemurnian dan penyucian, juga disarankan oleh Phytagoras, bahkan disebutnya
sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Dalam tujuan ini mengandung tiga jenis kewajiban,
yaitu kemestian, keharusan, dan kemurnian.
Kemestian itu tanggung jawab alamiah (rta)
misalnya, manusia mestilah berkemanusiaan. Keharusan itu tanggung jawab
manusiawi (dharma) misalnya, manusia
haruslah berperikemanusiaan. Kemurnian itu tanggung jawab kesucian (rohaniah) misalnya, manusia mestilah manusia. Tri Hita Karana menyebutnya kewajiban dan tanggung jawab palemahan, pawongan, dan parhyangan.
Pada prinsipnya manusia lahir sebagai
manusia, hidup menjadi manusia, dan
matilah sebagai manusia. Menyadari
dan mengapresiasi prinsip inilah lingkup catur
brata panyepian, puncak perayaan Nyepi. Intinya manusia mesti mengendalikan
diri dan harus mengatur perbuatan. Kemampuan dan kesanggupan ini dibina melalui
pembiasaan amati, meniadakan,
mengabaikan, menghentikan segala macam gerak
dalam rangka mengelola tri kaya parisudha. Begitulah jalan menuju
ketenangan batin, jalan memasuki ruang sepi sang diri sejati, sebagaimana
ditawarkan catur brata panyepian.
Umat Hindu melaksanakan catur brata panyepian sejak matahari
terbit setelah kemeriahan Tawur Kasanga dan Pangrupukan hingga keesokan harinya
saat matahari terbit kembali. Keempat catur
brata panyepian mengandung prinsip
penghentian-peniadakan gerak, aktivitas, perubahan, energi, karma, seperti paham Nirukta dalam sistem Mimamsa. Geni, api adalah prinsip panas, energi, membakar, mengubah sesuatu
menjadi wujud lain, seperti massa menjadi energi. Karya, kerja adalah prinsip gerak, kreatif, mengubah segala sesuatu
menjadi hasil, seperti imbalan dan upah dari pelaksanaan pekerjaan. Lalungan, bepergian, perjalanan,
meninggalkan adalah prinsip gerak, pindah, mengubah, migrasi ruang menjadi
lokalitas, seperti pekarangan menjadi rumah tempat tinggal. Lelanguan, kesenangan, hiburan adalah
prinsip gerak, kegirangan, penikmatan, mengubah sesuatu menjadi ekspresif. Keempat
gerak ini menandai kemeriahan dan kegairahan dunia-kehidupan. Dunia yang
dijejali hasrat dan keinginan, perangkat dan peralatan, norma dan aturan
bersama-sama dengan harapan dan cita-cita. Inilah dunia fenomenal, keseharian pergaulan
manusia dengan benda-benda dan makhluk. Rig.
Weda menyebutnya realitas dunia-gerak-ke-luar.
Dari dunia relatif itu disarankan, manusia
melanjutkan perjalanan menuju realitas dunia-gerak-masuk-ke-dalam. Untuk
menempuh perjalanan inilah catur brata
panyepian menawarkan metode “amati”
(mirip dengan “neti-neti”), yaitu amati geni, amati karya, amati lalungan, dan amati lelanguan. Perjalanan dengan metode
ini adalah gerak menuju tanpa tujuan, bergerak tanpa gerak, mengubah tanpa
perubahan. Begitulah metamorfosis jati diri, sang diri sejati. Metode
penyingkapan jati diri melalui catur
brata panyepian akan “optimal”
hasilnya, bila dilengkapi dengan teknik brata,
tapa, yoga, dan samadhi. Teknik brata adalah pengendalian gerak-gerak
pikiran. Tapa adalah ketahanan pada pemusatan
pikiran. Yoga adalah penyatuan
pikiran (dengan keakuan dan kesadaran). Samadhi
adalah tafakur, “berpikir dengan tidak berpikir”. Di antara indra, pikiran
adalah rajanya, rajendrya eka dasendrya. Pikiran dalam Peradaban
Barat dinyatakan sebagai pusat keraguan, seperti dicetuskan Rene Descartes
lewat, “co gito ergo sum”. Ragu-ragu hingga
bingung memang sifat pikiran. Barangkali dalam rangka mengatasi keraguan dan kebingungan
pikiran ini catur brata panyepian hadir
dalam keberagamaan umat Hindu.
Pertama,
amati geni, tidak menyalakan api. Hakikat
api adalah panas dan mesti membakar, kecuali dirinya sendiri. Api adalah
kekuatan pengubah. Sebagaimana fungsi Brahma sebagai dewa api adalah kreator,
pencipta, pengada (segala keberadaan). Rig
Weda menyebutkan, api di Bumi berasal dari Agni di Surga yang turun menjadi
Surya di Langit. Artinya, selain sumber panas, juga api adalah sumber terang. Tanpa
penerangan dunia menjadi gelap, seperti gulitanya malam Nyepi. Dari kegelapan,
terang tampak lebih benderang. Benderang diminati (mereka) yang dalam
kegelapan. Upanisad menegaskan, “tiada
ketakutan lain yang lebih menakutkan, selain kegelapan”. Takut kegelapan itulah
bentuk kebodohan, awidya. Bagi
kebodohan, terang di antara terang yang paling benderang adalah sinar ilmu
pengetahuan. Menyalakan dan mengobarkan api ilmu pengetahuan inilah pesan brata amati geni. Pengelana yang menempuh perjalanan di jalan pengetahuan
(jnana marga), api ilmu pengetahuan
adalah sinar suci penerang jalan kehidupan menuju Hidup, jati diri manusia.
Kedua,
amati karya, tidak bekerja. Prinsip
kerja adalah gerak yang dilekati hasil. Setiap kerja menghasilkan tenaga. Tenaga
ini akan kembali kepada pelaku, sebagaimana prinsip energi cenderung kembali ke
tempatnya diproduksi. Begitulah prinsip karmaphala.
Diminta ataupun tidak, hasil perbuatan akan kembali kepada pelaku. Hasil
perbuatan inilah melekati dan membentuk jati diri pelaku, “perbuatanmu adalah
dirimu”. Untuk mengatasi prinsip sebab-akibat inilah brata amati karya
melarang bekerja, yakni bekerja dengan mengharapkan hasil. Sebaliknya,
disarankan bekerjalah berdasarkan kewajiban (tiga jenis kewajiban). Seperti dianjurkan
Bhagawadgita, “lakukanlah
kewajibanmu”; “badan pun tidak bertahan tanpa berkarya”; “jangan meletakkan
pamrih dan kepentingan pibadi pada pekerjaanmu”. Bekerjalah demi alam, dunia,
dan kesucian. Ketika kerja tidak ditujukan kepada diri sendiri, maka hasil
kerja tidak kembali kepada pelaku. Kerja sudah berubah menjadi persembahan,
karena itu hasil kerja tidak melekati dan membentuk jati diri pelaku. Kerja
tanpa menghiraukan hasilnya inilah kerja dengan tidak bekerja karena seluruh
kerja sudah dikerjakan sendiri oleh sang pemilik segala kerja, Tuhan.
Ketiga,
amati lalungaan, tidak bepergian. Bepergian berarti
pindah dari satu tempat ke tempat lain, meninggalkan tempat, migrasi. Tempat
adalah ruang yang dilokalisir. Suatu lokasi yang dibangun berdasarkan suatu
sistem ide, nilai, norma, dan aturan, seperti tempat lahir dan tanah air. Misalnya,
masyarakat Bali menjadi masyarakat Bali karena sistem nilai Bali di (tempat dan
tanah) Bali. Pada tataran individu pun berlaku tertib yang sama, karena itu brata amati lalungaan melarang bepergian
meninggalkan rumah-diri. Kalau meminjam gagasan dualisme Sankhya, maka biarkanlah jiwa berada
pada badannya. Tatalah pikiran, keakuan, dan kesadaran tetap selaras dan
seimbang dengan lima elemen pembentuk badan. Jagalah harmoni badan, tubuh, dan
jiwa. Dalam rangka menjaga keharmonisan inilah Yoga menawarkan teknik brata,
yoga, tapa, dan samadhi. Teknik ini
dapat membantu manusia meniru perilaku Penyu, seperti dikiaskan Rig Weda, “Bagaikan penyu menarik kaki
dan kepala ke dalam tubuhnya, ia menarik semua indriya dari segenap objek
keinginannya, dengan demikian jiwanya akan menjadi seimbang”.
Keempat,
amati lelanguan, tidak bersenang-senang. Senang berarti merasa
puas, lega. Bersenang-senang berarti sengaja membuat puas, lega; memuaskan
hati, melegakan rasa, bersantai, bersuka cita. Bersantai dan bersuka cita
memang kecenderungan manusia. Mau enak menghindari susah, mengejar ganjaran
menghindari hukuman, mempersoalkan imbalan dan konstribusi atas perilaku. Dalam
kecenderungan tersebut berlaku pandangan, “hidup adalah kepuasan, karena itu puaskanlah
dirimu”. Pandangan hidup ini mengarahkan perilaku pada pengejaran kesenangan,
kepuasan, hiburan, dan hura-hura. Hanya saja brata amati lelanguan
memperingatkan, “segala bentuk kepuasan duniawi tidak kekal, semua bentuk
kesenangan indrawi hanya sementara”. Kesementaraan menurut Upanisad, bukan tujuan akhir dan puncak tujuan manusia, karena itu
abaikan dan tinggalkan di sini-kini. Di sinilah tempat tinggal sementara dan
semua kesementaraan. Tempat ke-diam-an
manusia berada jauh di kedalaman Diri: Suatu Kepenuhan, yang di dalamnya tiada
lagi kekosongan dapat digerakkan. Kalau tiada lagi ruang kosong yang dapat
digerakkan, maka tiada lagi kriteria dan kategori tentang manusia yang dapat dikenakan
pada manusia. Itulah hakikat kata “amati”
(dan “neti-neti”) dalam catur brata panyepian.
“Amati” dan “neti-neti”, menidakkan
dan membukankan merupakan ciri khas jalan negatif pasangan-opisisi dari jalan afirmatif. Jalan negatif mengajarkan ada-nya manusia begitu luas melampuai batas pengetahuan dan pengalaman.
Tak satu pun kategori dan atribut tentang manusia dalam arti senyatanya dan
dapat menyingkap hakikatnya yang sebenarnya. Misalnya, dalam kalimat, “ini
badanku”, manusia bukanlah badan. Dalam pola kalimat yang sama, manusia bukanlah
tubuh, jiwa, dan Tuhan. Jalan negatif menawarkan jalan, “manusia hanya dapat
diketahui dengan mengetahui siapa yang bukan manusia atau apa-apa yang tidak
dapat dikenakan pada manusia”. Namun jalan ini pun buntu karena segalanya dapat
dikenakan pada manusia sebab Upanisad
mengatakan, manusia mewarisi sifat benda, makhluk, dan Tuhan. Bhrdaranyaka Upanisad mengisahkan, “Seperti
sebuah pohon hutan; Begitulah, pasti, manusia; Rambutnya adalah daun-daun;
Kulitnya kulit luar pohon; Dari kulitnya darah; Getah dari kulit (pohon)
mengalir keluar; Darinya mengalir ketika tertusuk; Kucuran, seperti dari pohon
bila ditebas; potongan-potongan dagingnya adalah lapisan-lapisan kayu; Serat
adalah seperti otot, kuat; Tulang adalah kayu di dalam; Sumsum pun dibuat
menyerupai inti kayu batang potong”.
Merengkuh jati diri manusia lewat jalan filsafat tampaknya gagal, bahkan ketika
filsafat dikeluarkan dari jaringan spekulasinya. Spekulasi filsafat dengan daya
akal dan nalar memang dapat disempurnakan dalam kesadaran intuisi sehingga berfilsafat
tidak melalu soal justifikasi argumentasi, tetapi juga upaya memperoleh
kesadaran ”mengenai” diri terdalam manusia: ”kebenaran-kebebasan”. Berpikir dengan
melampuai realitas nama-rupa semacam
ini tidak satu pun ciri dan atribut manusia yang dapat dikenakan pada diri
manusia, seperti manusia yang dilukiskan filosof-yogi. Hasilnya tidak memuaskan
karena tiada apa pun tentang manusia yang bisa diserap ”benak”. Barangkali
mengatasi kebuntuan ini dapat ditempuh via
negativa Thomas Aquinas, “kita mengetahui tentang apa yang bukan Tuhan dan
bukan apa yang kita ketahui tentang apa itu Tuhan”. Dengan begitu, kata “amati” memberikan “pengetahuan tentang
apa yang bukan manusia”. Barangkali jalan ini cukup memadai karena dengan
membiarkan manusia tetap misteri
sehingga manusia selalu punya alasan untuk
menemukan jati dirinya.
(Majalah Wartam Edisi Maret 2016)