PERUBAHAN MORALITAS PAKRAMAN
I Wayan Sukarma
Abstrak
Manusia dalam berbagai aktivitasnya
tidak dapat lepas dari aturan hidup karena dengannya mereka memiliki kebebasan
moral. Patut disadari bahwa aturan moral bukanlah barang sesuatu yang bersifat
absolut. Melainkan aturan moral selalu berubah seturut dengan perkembangan dan
kemajuan zaman. Aturan-aturan moral mengalami perubahan sejalan dengan
perkembangan nilai dan norma dalam masyarakat, bahkan ketika nilai ditentang
dan norma dilanggar muncul perkembangan baru misalnya, modernisasi. Demikian
juga susila, moralitas agama Hindu
yang dipraktikkan di desa pakraman
(di Bali) senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan pakraman. Perubahan ini, bukan hanya
terjadi pada domain palemahan dan pawongan, tetapi juga pada domain parhyangan. Ini sebabnya krama desa dituntut melakukan
revitalisasi nilai dan norma moral yang dijadikan panduan untuk membangun pakramannya.
Kata Kunci: Moralitas Pakraman.
1. Pendahuluan
Susila berasal dari dua suku kata, yaitu “su”
berarti baik dan “sila” berarti tingkah laku. Jadi, susila berarti tingkah laku yang baik (Sudharta dan Punyatmaja,
2001:32; Sura dkk., 2002:111). Ajaran susila
dalam agama Hindu menurut Sura dkk. (2002:111) mencakup aspek yang begitu
luas dan beberapa di antaranya merupakan ajaran moral yang diajarkan secara
universal oleh semua agama. Sejalan dengan ini, Bertens (2007:36) menegaskan
bahwa secara umum aturan moral dalam suatu agama dapat dikelompokkan menjadi
dua macam. Pertama, aturan moral yang
dianut secara internal oleh penganutnya misalnya, tentang makanan yang haram,
ibadat, dan puasa. Kedua, aturan
moral yang diterima oleh semua agama, seperti jangan mencuri, jangan berdusta,
jangan membunuh, dan jangan berzinah. Aturan moral kelompok pertama menekankan
pada aturan moral yang unik dan khas berlaku bagi penganut agama tertentu,
sedangkan kelompok kedua melampaui kepentingan suatu agama sehingga menjadi
aturan yang berlaku umum dalam masyarakat. Malahan bidang ini banyak diambil
oleh institusi hukum dalam hal penegakannya.
Aturan-aturan moral mengalami perubahan sejalan dengan
perkembangan nilai dan norma dalam masyarakat, bahkan ketika nilai ditentang
dan norma dilanggar muncul perkembangan baru misalnya, modernisasi. Hal ini
terjadi karena modernisasi dengan berbagai salurannya memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap terjadinya pergeseran nilai dan norma moral masyarakat.
Berkaitan dengan perkembangan nilai dan norma moral dalam masyarakat mordern,
bahkan Bertens (2007:31) menegaskan bahwa situasi etis dalam dunia modern
ditandai tiga ciri yang paling menonjol, yaitu (1) pluralisme moral, (2) munculnya masalah-masalah etis yang
tidak terduga, dan (3) semakin tingginya kepedulian etis yang bersifat
universal.
Pertama, pluralisme moral ditandai dengan
semakin banyaknya sumber moral yang menjadi referensi masyarakat untuk menata
tingkah laku moralnya (Bertens, 2007:31). Rujukan-rujukan moral ini memasuki
ruang kesadaran individu, bahkan saling bertumpang-tindih sehingga memunculkan
tingkah laku yang beragam. Oleh karena itu, diperlukan ukuran yang tegas untuk
menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Dalam agama Hindu menurut Sura
(1985:40--41) ada tiga ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan baik dan
buruknya perbuatan, yaitu (1) desa (tempat),
kala (waktu), dan patra (keadaan); (2) pratyaksa (pengamatan), anumana (logika), agama (petunjuk orang yang dapat dipercaya); dan (3) sastratah (sastra agama), gurutah (ajaran guru), dan swatah (pengalaman sendiri). Ukuran
pertama mengindikasikan bahwa moral Hindu bersifat akomodatif terhadap tradisi lokal
dan kebiasaan masyarakat setempat. Ukuran kedua menekankan pada metode yang
digunakan dalam mempertimbangkan perbuatan. Kemudian, ukuran ketiga
mengungkapkan sumber-sumber nilai moral yang dapat dijadikan pedoman perbuatan.
Implikasi teoretis yang muncul bahwa moralitas Hindu merupakan hasil konstruksi
yang bersifat cair (fluid) melalui
interaksi dinamis antara manusia dan lingkungan.
Kedua, interaksi dinamis yang disertai dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebabkan dalam
dunia modern muncul masalah-masalah etis yang tidak terduga (Bertens, 2007:32).
Dalam konteks Hindu kondisi ini dapat dicermati melalui konsep sarjana dan sujana. Idealisme kesarjanaan ditandai dengan karakter ilmuwan yang
kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka, sedangkan idealisme kesujanaan merujuk pada integritas moral
kecendekiawanan (Suriasumantri, 1981:48). Untuk itu Siswomihardjo (2010:14)
menegaskan bahwa secara ideal ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan dapat
mengambil peran dalam pembangunan masyarakat, baik pada tataran teleologis,
etis, maupun integratif. Pada tataran teleologis, ilmu pengetahuan dan
teknologi diharapkan dapat mendorong tercapainya tujuan pembangunan. Pada
tataran etis, ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu meningkatkan harkat
dan martabat manusia dalam kemanusiaannya. Sementara itu, pada tataran
integratif, ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu meningkatkan kualitas
struktur dan kultur masyarakat. Sebaliknya, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mengabaikan moralitas akan menyebabkan munculnya kejutan-kejutan
moral.
Ketiga, gejala semakin tingginya kepedulian
etis yang bersifat universal di seluruh dunia yang melampuai batas-batas
negara-bangsa. Dalam hal ini, globalisasi tidak saja terjadi dalam bidang
ekonomi, tetapi juga dalam bidang moral. Munculnya gerakan-gerakan perjuangan
moral yang aktif pada taraf internasional dan kerja sama antarnegara dalam
membangun kesadaran moral yang terorganisasi pada bidang hak asasi manusia dan
lingkungan merupakan bukti tingginya kepedulian etis universal (Bertens,
2007:33). Implikasinya, pola-pola moral tradisional harus dikomunikasikan
secara intensif dengan pola-pola moral yang bersifat universal. Malahan karena
kuatnya tarikan modernitas seringkali menyebabkan pola moral tradisional
kehilangan landasan berpijak karena begitu pesatnya perubahan sosial-religius.
Oleh karena itu, diperlukan kerja rasio untuk meletakkan fundamen bagi
norma-norma dan nilai-nilai etis. Menempuh cara hidup yang etis berarti mempertanggungjawabkan
tingkah laku berdasarkan alasan-alasan rasional (Bertens, 2007:35). Dengan
demikian, rasionalisasi nilai dan norma moral tradisional yang dikomunikasikan
dengan nilai dan norma moral universal merupakan ciri yang menonjol dalam masyarakat
modern.
Ini berarti bahwa modernitas telah memberikan kesan kepada
individu dalam mengkonstruksi pilihan-pilihan moralnya. Hal ini menyebabkan
terjadinya pergeseran nilai moral dalam berbagai institusi dan pranata sosial
dalam masyarakat. Padahal dalam konteks sosial dan budaya, agama dipahami
sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan,
mengatur hubungan antara manusia dan sesama, dan mengatur hubungan antara
manusia dan lingkungan (Kahmad, 2000:12; Suparlan dalam Robertson, 1998:v).
Model hubungan semacam ini menurut Gunadha (2009:2) dalam agama Hindu disebut tri hita karana yang berisi tiga konsep,
yaitu palemahan (lingkungan alam), pawongan (lingkungan sosial), dan parhyangan (lingkungan keagamaan).
Ketiga hukum ini merupakan landasan moral desa
pakraman, yaitu prinsip moral yang mengatur dan menata tingkah laku warga desa pakraman. Perkembangan nilai dan norma masyarakat desa pakraman yang tradisional dalam
masyarakat modern inilah merupakan tema yang hendak diugkap tulisan ini.
2. Moral dan Agama
Moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores)
berarti kebiasaan, adat (Bertens, 2002:4). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:754--755) moral diartikan
(a) ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila; (b) kondisi mental
yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan
sebagainya; (c) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Dari
kata dasar “moral” muncul istilah-istilah yang berkaitan, antara lain
“moralitas”, “amoral”, dan “immoral”. Moralitas berarti sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Amoral berarti
tidak berhubungan dengan konteks moral; di luar suasana moral; nonmoral.
Sementara itu, immoral berarti
bertentangan dengan moral yang baik; secara moral buruk; tidak etis (Bertens,
2002:7).
Kata yang dekat dengan moral adalah kata “etik” dan
“etika”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Depdiknas, 2005:309) dijelaskan bahwa etik berarti (1) kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (2) nilai yang mengandung benar
dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Kemudian, etika diartikan
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak). Walaupun memiliki arti yang berbeda, kata “moral”, “etik”, dan
“etika” sering kali digunakan secara bergantian dalam masyarakat, baik lisan
maupun tertulis. Ketiga kata ini memang dapat digunakan untuk mengatakan
pengertian yang sama, yaitu nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok untuk mengatur tingkah lakunya (Bertens, 2002:6).
Moral mempunyai hubungan erat dengan agama. Dalam tingkah
laku sehari-hari motivasi yang terpenting dan terkuat bagi tingkah laku moral
adalah agama (Bertens, 2002:35). Agama merupakan sesuatu yang bersifat sosial
karena representasi religius adalah representasi kolektif yang mengungkapkan
realitas kolektif. Keyakinan dan ritual-ritual agama merupakan ekspresi
simbolis dari kenyataan sosial (Durkheim, 2003:10). Malahan Nottingham
(2002:15--16) menegaskan bahwa hubungan antara anggota kelompok dan hal-hal yang
sakral dalam beberapa hal erat hubungannya dengan nilai-nilai moral kelompok
itu. Aturan moral memang tidak hanya bersumber pada agama, tetapi
keanekaragaman adat kebiasaan kelompok timbul dari keanekaragaman konsepsi
kelompok tersebut tentang Yang Sakral. Demikian juga adat dan kebiasaan
bersumber dari ajaran agama. Artinya, moralitas mengimplikasikan sebuah sistem
aturan praktis tingkah laku manusia dalam masyarakat sesuai dengan agama yang
dianut. Dalam hal ini, moralitas merupakan teknik pengungkapan diri, ia memberi
bentuk konkret bagi impian-impian, membantu mengaktualisasikan visi melalui
detail-detail yang praktis. Malahan Dasgupta (1994:4) menegaskan bahwa
moralitas akan kehilangan signifikansinya, bila dipisahkan dari agama, bahkan
dalam pencapaian spiritualitas.
Signifikansi agama sebagai sumber nilai moral dijelaskan
Bertens (2002:30), bahkan ditegaskan bahwa agama merupakan sumber nilai dan
norma moral yang paling penting. Agama dalam kaitannya dengan praktik sosial
dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola tingkah laku yang diusahakan oleh
masyarakat. Agama digunakan untuk menangani masalah-masalah yang tidak dapat
dipecahkan dengan teknologi ataupun teknik organisasi yang diketahui (Haviland
dalam Kahmad, 2000:119). Agama dalam konteks sosial telah mengambil bagian
dalam menentukan batas-batas identitas individu dan masyarakat. Agama telah
mengambil bagian pada saat yang paling penting pada pengalaman kehidupan
manusia. Dengan demikian, agama tidak hanya mengikat individu dengan Yang Ilahi,
tetapi juga manusia yang satu dengan yang lainnya sehingga agama memang
berimpit dengan kehidupan sosial (Bleeker, 2004:98; Keene, 2006:6). Dalam
konteks ini, Wattimena (2007:xi) menegaskan bahwa agama merupakan satu bentuk
legitimasi yang efektif dalam kehidupan sosial dan budaya.
Agama merupakan sesuatu yang bersifat budaya karena agama
merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan
penjelasan yang paling holistik tentang seluruh realitas. Agama merupakan
naungan sakral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan (chaos). Bagi penganutnya, agama berisi
ajaran tentang kebenaran tertinggi (summum
bonum) dan mutlak tentang eksistensi manusia serta petunjuk-petunjuk hidup
selamat di dunia dan akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan,
beradab, dan manusiawi (Kahmad, 2000:63). Dengan demikian, agama sebagai sistem
keyakinan dapat menjadi inti dari sistem nilai dalam suatu kebudayaan sehingga
agama dapat menjadi pendorong dan pengontrol tindakan warga masyarakat agar
tetap sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya (Kahmad,
2000:64).
Ketika pengaruh agama menjadi kuat terhadap sistem nilai
kebudayaan suatu masyarakat, maka sistem nilai kebudayaan itu terwujud sebagai
simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama yang menjadi kerangka
acuannya. Apabila agama menjadi inti dari kebudayaan suatu masyarakat, maka
fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi, dan membantu
masyarakat untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral. Pengalaman
beragama (religious experience),
yaitu penghayatan kepada Tuhan menyebabkan masyarakat memiliki kesanggupan,
kemampuan, dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi Sang Ilahi
(Maman dkk., 2006:1). Penghayatan inilah yang menjadi landasan moral agama.
Moral agama menggariskan pedoman tingkah laku yang menetapkan tingkah laku yang
sesuai atau tidak sesuai dengan pengalaman dari kepercayaan terhadap Tuhan
dalam hidup pribadi, masyarakat, dan dunia (Hardjana, 2005:51). Pedoman tingkah
laku seperti ini dalam agama Hindu disebut susila.
Susila merupakan bagian integral dari kerangka dasar agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara.
3. Perubahan Moralitas Pakraman
Ikatan kesatuan wilayah yang terwujud dalam bentuk
komunitas desa pakraman diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
03, Tahun 2001. Dalam Perda tersebut
dijelaskan bahwa desa pakraman adalah
kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara
turun-temurun dalam ikatan kahyangan tiga
(kahyangan desa) yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga
sendiri. Dari Perda ini dapat ditemukan enam unsur pokok yang membentuk desa pakraman, yaitu (1) kesatuan
masyarakat hukum adat di Provinsi Bali, (2) mempunyai satu kesatuan tradisi dan
tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun, (3)
dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa), (4) mempunyai wilayah
tertentu, (5) mempunyai harta kekayaan sendiri, dan (6) berhak mengurus rumah
tangganya sendiri.
Dari keenam unsur itu dapat dipahami bahwa Perda tersebut
hendak menegaskan bahwa sistem sosial masyarakat (desa pakraman) Bali bercorak Hindu. Seperti dijelaskan Sirtha (Astra
dkk. (Ed), 2003:71) bahwa agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali
memberikan corak yang khas bagi desa
pakraman. Kegiatan masyarakat adat dijiwai oleh agama Hindu yang
dimanifestasikan dalam pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan
menjadi simbol pemersatu bagi masyarakat adat dalam melaksanakan upacara
pemujaan sebagai wujud bhakti kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, dasar komitmen dan tujuan desa pakraman adalah tri hita
karana, yaitu sukerta tata palemahan,
sukerta tata pawongan, dan sukerta
tata parhyangan.
Palemahan dari kata “lemah” berarti tanah,
yakni tanah tempat tinggal atau lingkungan alam; pawongan dari kata “wong” berarti orang, yakni segala hal yang
bersangkut-paut dengan kehidupan sosial orang Bali; dan parhyangan merupakan tempat suci pemujaan bagi umat Hindu (Atmaja,
1996:61--66; Gunadha, 2009:2). Ketiganya merupakan kesatuan yang membangun
hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Ketiga macam
hubungan ini menjadi sumber kesejahteraan hidup jasmani (jagadhita) dan hidup
rohani (moksa) secara selaras dan
seimbang (Mantra, 1996:15). Ketiga
macam hubungan ini menjadi landasan moral desa
pakraman, sebagaimana ditegaskan Geriya
(2000:63) bahwa selain agraris dan kepentingan khusus, juga sistem
kemasyarakatan orang Bali bertumpu pada kekerabatan, seperti banjar dan desa pakraman.
Tri hita
karana
sebagai landasan moral desa pakraman,
seperti dijelaskan Gunadha (2009:2) bahwa substansi awig-awig desa pakraman dijiwai oleh agama Hindu. Awig-awig ini merupakan penjabaran dari
tri hita karana, yaitu parhyangan, pawongan, dan palemahan. Palemahan atau wilayah, berupa perwujudan hubungan antara manusia
dan alam sekaligus menjadi tempat pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Pawongan sebagai perwujudan hubungan
manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial untuk
menjaga rasa aman dan nyaman termasuk ketenteraman bersama. Kemudian, parhyangan sebagai konkretisasi tempat
pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan
hubungan dengan Hyang Widhi Wasa dalam wujud ritual.
3.1 Moralitas Palemahan
Palemahan berarti tanah, bumi, dan pertiwi
memiliki keistimewaan tersendiri dalam konteks budaya Bali karena konsep ini
berkaitan dengan keharmonisan manusia dengan lingkungan alamnya. Hal ini
sejalan dengan asumsi bahwa tanah adalah lingkungan yang paling dekat dengan
kehidupan manusia, yaitu tempat manusia berpijak, bertempat tinggal, mencari
makan, hidup, bahkan hingga kematiannya. Ini merupakan konsepsi lingkungan
secara empiris dikaitkan dengan segala sesuatu yang berada di tanah, seperti
flora, fauna, sumber mineral, bahkan aktivitas sosiokultural (Purwanto,
2000:67). Artinya, keterikatan manusia dengan lingkungan alam membangun sistem
nilai yang menjadi bagian dari agama dan kebudayaannya.
Kesadaran religius krama
desa pakraman terhadap tanah mengalir dari Weda sebagai teks autentik agama
Hindu menuju konteks sosioreligius. Dalam Atharvaveda,
XII.1.12 dijelaskan, “bumi adalah
ibu kita, kita adalah putra-putranya”. Serupa dengan itu dalam Yajurveda
XXV.17 disebutkan, “bumi adalah ibu dan langit adalah ayah
kita”. Secara mitologis dijelaskan dalam Brahmanda
Purana bahwa Prthivi atau Dewi
Basundari adalah anak dari Prthu yang
berwujud lembu dan diberi tugas untuk mengeluarkan “susu”, berupa semua hasil
bumi yang berguna bagi kehidupan manusia (Sandi dan Pudja, 1979:86). Demikian
juga secara filosofis, ajaran Samkhya menjelaskan
bahwa tanah (prthivi) adalah bagian dari panca mahabhuta, yaitu unsur
dasar pembentuk alam semesta (bhuwana
agung) dan makhluk hidup (bhuwana alit) (Sura, 2003:11; Suamba, 2003:23; Yasa, 2009:73). Ini menegaskan bahwa agama Hindu
mengajarkan bahwa tanah sebagai dasar eksistensi manusia sekaligus sebagai
penganugerah kemakmuran.
Artinya, kepercayaan terhadap tanah memang telah menjadi
dasar environmentalisme Hindu dalam konteks agraris yang bersifat
sosioreligius. Dalam religiusitas umat Hindu di Kota Denpasar kepercayaan
terhadap tanah ditunjukkan dengan berbagai ritual. Hal ini ditandai dengan
berbagai tradisi religius yang berhubungan dengan tanah, seperti bhuta yajna dan ritual agraris lainnya
sebagai wujud ikatan religius umat Hindu terhadap tanah (Sutrisno,
2005:72--75). Ikatan religius ini, juga ditegaskan dalam puja prthivi stava, yaitu mantra yang secara khusus dilantunkan
untuk memuja prthivi dalam
pelaksanaan upacara yajna oleh para pendeta di Bali
(Goudriaan dan Hooykaas, 1971:419--420).
Perlakuan krama desa
pakraman terhadap tanah di dalam keluarga dapat dilihat dari penataan ruang
pekarangan rumah tempat tinggal menurut konsep tri mandala, yaitu uttama
mandala, madya mandala, dan nista
mandala. Uttama mandala adalah ruang parhyangan
ditandai dengan keberadaan merajan;
madya mandala adalah ruang pawongan ditandai dengan rumah tempat
tinggal dan aktivitas sosial lainnya; sedangkan nista mandala adalah areal pekarangan rumah yang tidak termasuk
dalam dua mandala tersebut, seperti
tempat membuang sampah dan selokan. Konsep ruang ini membangun tingkah laku
etis krama desa pakraman yang
dibingkai dalam konsep suci-cemer. Tingkah
laku hidup bersih di uttama mandala dilaksanakan
dengan menjaga kebersihan dan kesucian merajan
dengan alat-alat khusus digunakan untuk itu. Alat-alat kebersihan yang biasa
digunakan untuk di areal madya dan nista mandala tidak boleh digunakan
untuk membersihkan merajan.
Berbeda halnya dengan kebersihan di merajan, tingkah laku hidup bersih di areal madya dan nista mandala tidak
menampakkan hal yang sama. Tingkah laku hidup bersih di kedua ruang ini begitu
bergantung pada kesadaran setiap anggota keluarga tentang kebersihan. Hal ini
menimbulkan fenomena perbedaan tingkah laku hidup bersih di merajan dan di lingkungan rumah tinggal.
Pada umumnya kebersihan di merajan lebih
terjaga dibandingkan dengan lingkungan rumah lainnya. Kesadaran menjaga
kebersihan selokan misalnya, masih belum sepenuhnya dilaksanakan dalam tingkah
laku hidup bersih sehari-hari.
Artinya, penataan areal parhyangan menjadi prioritas bila dibandingkan dengan areal lainnya
karena kondisi merajan dapat
menunjukkan religiusitas keluarga bersangkutan. Pendapat ini sejalan dengan
pandangan dramaturgis Goffman (Ritzer & Goodman, 2006:93) bahwa aktor
memainkan tingkah laku yang berbeda pada bagian depan (front region) dan bagian belakang (back region) dalam interaksi sosialnya. Rupanya, areal parhyangan cenderung diperlakukan
menjadi bagian depan yang mendapat perhatian lebih dalam hal kebersihan dan
penataannya. Sebaliknya, tingkah laku hidup bersih yang sama seperti di merajan sebagai front stage, ternyata
tidak sepenuhnya diimplementasikan pada bagian belakang (back stage), yakni di madya dan
nista mandala. Dengan kata lain,
moral agama tidak sepenuhnya mampu menginternal dalam diri krama desa pakraman sehingga menjadi pedoman tingkah laku. Hal ini
dimungkinkan karena penataan ruang tempat tinggal tidak didominasi oleh
pertimbangan moral, tetapi juga konsumsi simbolis dan estetisasi kehidupan.
Penataan palemahan keluarga sedapat
mungkin disusun menjadi satu kesatuan estetis sehingga tidak jarang renovasi
rumah tempat tinggal berpengaruh secara menyeluruh pada ruang lainnya.
Hal ini menegaskan bahwa kecenderungan estetisasi
kehidupan telah melemahkan nilai etis dalam tingkah laku krama desa pakraman dalam bidang palemahan. Dalam hal ini, nilai historis merajan sebagai warisan leluhur bergeser maknanya menjadi areal
yang dapat dipertukarkan secara sosial menjadi objek estetitasi dan konsumsi
simbolik. Keberadaan merajan dimaknai
tidak sebatas nilai guna dan fungsinya menjadi ruang sakral keluarga, tetapi
juga konsumsi citra yang mengekspresikan diri dan status sosial. Implikasinya
bahwa penataan areal merajan tidaklah
semata-mata karena kesadaran moral untuk memuliakan nilai religius, tetapi
merupakan moralitas yang dikomunikasikan dengan nilai-nilai modern sehingga
melahirkan tingkah laku yang berbeda. Dalam hal ini tanah telah diperlakukan
sebagai barang kultural yang dipertukarkan dalam arena sosial berdasarkan status
kepemilikan, fungsi, dan pemanfaatannya (Atmaja (ed), 2003:146).
Dengan demikian, pandangan terhadap tanah (lemah), baik dalam teks Hindu maupun konteks budaya Bali dipahami sebagai
sesuatu yang keramat (tenget),
ternyata nilainya telah bergeser menjadi ruang material yang dipertukarkan
dalam arena sosial. Ruang palemahan keluarga
dipahami secara spasial sehingga melahirkan tingkah laku dramaturgis dalam
rangka konsumsi simbolis, citra, dan estetisasi. Begitu juga ikatan historis
tanah warisan leluhur semakin melemah karena sudah tanah warisan leluhur itu
sudah menjadi komoditas. Malahan palaba
pura yang membangun ikatan hisoris-religius, juga tidak luput dari gejala komodifikasi. Dalam hal ini,
modernisasi tidak dapat dihindari melahirkan tingkah laku komodifikasi untuk
tujuan pragmatis.
3.2 Moralitas Pawongan
Perubahan nilai moral krama
desa pakraman bukan hanya terjadi pada ranah palemahan, tetapi juga
terjadi pada ranah pawongan. Dalam
agama Hindu terdapat konsep-konsep etis yang mengatur tingkah laku manusia,
antara lain (a) tri kaya parisudha, yaitu
pikiran (manacika), perkataan (wacika), dan perbuatan (kayika) yang harus disucikan; (b) catur paramitha, yaitu suka menolong (maitri), cinta kasih (karuna), menghargai orang lain (upeksa), menyenangkan hati orang lain
(mudita); (c) catur guru bhakti, yaitu bhakti
kepada orang tua (guru rupaka),
guru di sekolah (guru pangajian),
pemerintah (guru wisesa), dan Tuhan (guru swadyaya) (Sudharta &
Punyatmaja, 2001:52--57). Konsep-konsep etis ini pada dasarnya dipraktikkan
secara beragam dalam latar sosial dan kebudayaan yang berbeda. Oleh karena itu,
dalam pergaulan sehari-hari moralitas mewujudkan diri dalam bentuk tata krama,
yaitu adat sopan santun, basa-basi (Depdiknas, 2005:1147). Demikian halnya
dengan moralitas yang dipahami dan dipraktikkan krama desa pakraman pada bidang pawongan
dapat dilihat dalam wujud tata krama pergaulan. Dalam Pedoman dan Kriteria Lomba Desa Pakraman/Desa Adat (Tim Penyusun,
2009:45) dijelaskan bahwa ukuran etis dalam pawongan
meliputi tata wicara (sopan
santun dalam berbicara), tata busana (sopan
santun dalam berbusana), dan tata bhoga (sopan
santun dalam hal makanan). Secara implisit, ukuran-ukuran etis ini dipraktikkan
dalam ranah sosial dan budaya.
Dalam konteks tata wicara dapat dilihat dari salah
satu unsur kebudayaan yang memegang peran penting dalam penanaman budi pekerti
anggota keluarga, yaitu bahasa. Bahasa sebagai satuan budaya merupakan gambaran
kesadaran kolektif krama desa pakraman
yang ditunjukkan dengan penggunaan bahasa Bali. Melalui bahasa Bali nilai-nilai
budi pekerti ditanamkan karena dalam bahasa Bali terdapat sor-singgih basa yang mengharuskan setiap individu memilih kata
yang dipandang “baik”. Sor-singgih basa
Bali ini sekaligus menjadi pedoman bagi seseorang untuk memosisikan diri
sesuai dengan status sosialnya dalam hubungannya dengan orang lain. Misalnya,
saat komunikasi berlangsung antara anak dan orang tua, anak memiliki kewajiban
untuk berbahasa Bali halus, singgih.
Dalam proses komunikasi inilah pemahaman tentang sor-singgih basa Bali diperlukan sehingga pilihan kata yang
digunakan benar-benar menunjukkan sopan santun dan rasa hormat kepada orang
tua. Hal ini menjadi modal penting bagi anak ketika memasuki dunia sosial
berikutnya.
Akan tetapi, modernitas yang melibatkan struktur perasaan
dan revisi kronis atas pengetahuan perlahan-lahan telah memarginalkan
penggunaan bahasa Bali dalam tradisi keluarga. Hal ini ditandai dengan
munculnya gejala bahwa orang tua lebih senang mengajarkan bahasa Indonesia, bahkan
bahasa asing kepada anaknya. Akibatnya, tidak sedikit orang mengeluhkan bahwa
anaknya semakin melemah dalam penguasaan
bahasa Bali. Artinya, penggunaan bahasa Bali mulai terpinggirkan, baik dalam
keluarga maupun sekolah. Menurut Lash (2004:83) bahwa kemajuan telah membangun
struktur perasaan masyarakat yang memosisikan bahasa Bali sebagai pengetahuan
tradisional yang kuno dan kolot. Sebaliknya, penggunaan bahasa Indonesia dan
bahasa asing dipandang lebih modern dan menjadi pertanda kemajuan. Terkait
dengan melemahnya penggunaan bahasa Bali dalam keluarga cenderung disebabkan
oleh pertimbangan rasional yang lebih mengedepankan nilai guna dan efektivitas
komunikasi. Perubahan cara pandang ini menunjukkan terjadinya disorientasi
nilai dalam keluarga yang ternyata lebih mengedepankan rasionalitas daripada
moralitas.
Artinya, bahasa Bali tidak lagi memiliki nilai penting
sebagai media komunikasi antaranggota keluarga, apalagi menjadi sumber nilai
moral dan budaya. Malahan keberadaannya menjadi sangat formal sehingga hanya
diposisikan sebagai mata pelajaran yang kadar kesulitannya dipandang menyamai,
bahkan melebihi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Semakin terpinggirkannya
bahasa Bali dalam ranah komunikasi lokal telah menunjukkan terjadinya alienasi
masyarakat Bali dari budayanya sendiri. Dalam hal ini, kuatnya rasionalitas
yang lebih mengedepankan nilai guna dan manfaat praktis bahasa secara sistemik
telah meminggirkan bahasa Bali sebagai media interaksi sosial dan sumber nilai
moral (Schacht, 2009:245).
Melemahnya nilai moral tersebut, juga dapat diamati dari
penggunaan bahasa Bali dalam pergaulan generasi muda, remaja, dan anak-anak.
Kata-kata dalam bahasa Bali yang cenderung kasar, seperti “kleng ci…” tidak asing terdengar lagi dalam sebuah proses komunikasi.
Ungkapan ini memang tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa marah kepada
lawan bicara, tetapi justru menandakan hubungan karib. Baik disadari maupun
tidak, orientasi generasi muda dan remaja terhadap nilai bahasa Bali telah
mengarah pada penjiplakan “bahasa gaul” sebagai model budaya pop di Indonesia
yang marak belakangan ini. Budaya pop kemudian, juga merambah dunia komunikasi
berbahasa Bali. Fase menjiplak atau meniru ini menurut Adorno dan Horkheimer
(Tester, 2003:107) disebut sebagai pengasingan (alienasi) dan bukan sekadar
paradoks intelektual.
Gejala sejenis juga dapat dilihat pada tata busana Bali. Menurut Widana
(2010:8) busana mencerminkan nilai-nilai moral dan kultural dengan kandungan
makna kesederhanaan, kesopanan, dan kesusilaan. Akan tetapi, sesungguhnya tidak
ditemukan ketentuan yang pasti tentang penggunaan busana ke pura. Parisada Hindu Dharma Indonesia
telah melakukan pembahasan tentang busana adat Bali dalam seminar kesatuan
tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu. Dalam Kumpulan Hasil Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu
I–XIV (1994:23) dijelaskan bahwa busana daerah atau adat Bali adalah busana
yang mempunyai keterikatan dengan (1) daerah Bali sebagai wilayah dan (2)
pelaksanaan adat Bali. Lebih lanjut, busana adat Bali dibedakan lagi menurut
komposisi (kelengkapan) dan jenisnya, yaitu payas
agung, busana jangkep, busana madya, dan busana alit.
Fenomena keseragaman busana ini menunjukkan konstruk
budaya modern yang berdiri di atas prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas,
ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi,
emansipasi, dan oposisi biner (Haryono, 2005:35). Dalam hal ini, perbedaan
busana sembahyang dan ke setra dapat dipahami sebagai bentuk
konstruksi budaya yang memisahkan secara tegas antara suci dan cemer.
Keabsolutan warna putih sebagai simbol kesucian mendorong krama desa pakraman menggunakan busana warna putih untuk sembahyang, sedangkan warna hitam dan/atau gelap
sebagai simbol kesedihan digunakan ke setra.
Walaupun begitu, juga krama desa
pakraman terus-menerus mengkonstruksi busana sembahyangnya. Mengingat
konstruksi ini bersifat cair sehingga tingkah laku berbusana krama desa pakraman juga mengalami
perubahan secara terus-menerus.
Hal ini ditunjukkan hasil penelitian Widana (2010:155)
tentang penampilan selebritis umat Hindu saat mengikuti upacara persembahyangan
di Pura Agung Jagatnatha Denpasar. Kecenderungan perubahan yang terjadi adalah
busana yang tidak lagi berpegang pada format etis, tetapi lebih mengedepankan
aspek estetis, bahkan penonjolan unsur-unsur kemewahan (glamour) dan sensualitas. Kemudian, Widana (2010:159) juga
mengklasifikasikan penampilan selebritis umat Hindu ke pura sebagai tubuh modernis yang estetis, yaitu tubuh yang
ditampilkan lebih indah dengan atribut yang sesuai dengan perkembangan mode
terbaru. Tubuh modernis ini menekankan pada usaha untuk mengekplorasi, bahkan
mengeksploitasi tubuh dengan konsep artifisial yang kasual atau fashionable dan sekaligus sarat dengan
ekspresi simbol materialistik.
Tidak jauh berbeda dengan perubahan nilai moral pada tata
busana, juga terjadi perubahan pada tata
bhoga, yaitu tingkah laku krama desa
pakraman dalam hubungannya dengan tradisi makan. Dalam pemahaman
tradisional tradisi makan tidak hanya mengandung nilai material sebagai pengisi
perut, tetapi juga berhubungan dengan nilai moral. Pemahaman ini ditandai
dengan tata cara atau aturan makan yang merefleksikan nilai etis dan mitis.
Misalnya, tidak boleh makan sebelum menghaturkan saiban, tidak boleh makan di depan pintu, tidak boleh mengambil
makanan dari piring orang lain, tidak boleh makan langsung dari tempat
penyajiannya, tidak boleh makan sambil berbicara, dan tidak boleh makan sampai
mengeluarkan suara kecapan. Malahan juga jenis makanan mengandung nilai etis
misalnya, hanya makanan sukla yang
disuguhkan kepada tamu. Akan tetapi, nilai moral dalam kaitannya dengan tata
boga ini mulai mengalami pengenduran seiring dengan modernisasi yang sedang
berlangsung.
Perubahan dari tradisi mebat
ke tradisi catering misalnya, dapat
dipandang sebagai bentuk penerimaan inovasi sosial. Inovasi ini sesungguhnya
mengandung konsekuensi moral, yakni semakin lemahnya semangat kebersamaan dan
kolektivitas yang dapat dibangun melalui tradisi mebat. Pada saat mebat
sesungguhnya krama desa pakraman sedang membangun identitasnya sebagai
masyarakat komunal-ekspresif-religius (Yasa, 2010). Komunalitas dibangun dengan
mengerjakan pembuatan makanan secara bersama-sama dan dalam hal ini setiap
aktor mengambil peran dan fungsinya masing-masing. Ekspresivitas ditandai
dengan kebebasan setiap aktor untuk mengkomunikasikan ide tentang rasa dan
jenis makanan yang akan disajikan. Dalam proses komunikasi ini, tanpa disadari
bahwa mereka telah membangun konsensus bersama. Sementara itu, religiusitas
dibangun melalui kesadaran bahwa makanan yang hendak dihidangkan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari keberhasilan sebuah yadnya.
Nilai inilah yang tampaknya mulai bergeser dengan masuknya
pemikiran modern yang lebih mengedepankan rasionalitas, yaitu efektivitas dalam
pencapaian tujuan. Dalam hal ini, catering
(jasa boga) dipandang menjadi pilihan yang paling rasional untuk mendapatkan
makanan yang dihidangkan secara cepat dan efisien. Dalam hal ini, pasar telah
menjadi arena sosial baru yang mengakomodasi pergeseran ide dari mebat ke catering sehingga nilai uang lebih dominan dibandingkan dengan
nilai komunalitas dan religius. Malahan catering
telah menjadi pola konsumsi yang menunjukkan identitas kelas sosial dan
dengannya citra diri dibangun (Barker, 2005:145).
3.3 Moralitas Parhyangan
Moralitas pakraman
berikutnya dapat dicermati melalui tingkah laku dalam parhyangan. Unsur parhyangan merupakan
salah satu bagian dari tri hita karana yang
menguraikan hubungan manusia dengan Tuhan selaku pencipta. Hubungan ini
dijelaskan dalam Pedoman dan Kriteria
Penilaian Desa Pakraman/Desa Adat (Tim Penyusun, 2009:43) bahwa tingkah
laku dalam konteks parhyangan meliputi
persembahyangan, aktivitas seni dan budaya keagamaan, pemahaman ajaran agama Hindu,
dan sasana kapamangkuan. Pedoman ini
menunjukkan upaya penyeragaman doktrin moral dalam parhyangan yang dianggap terbaik bagi krama desa pakraman.
Doktrin moral dalam persembahyangan meliputi pedoman
persembahyagan, seperti trisandya,
kramaning sembah, matirtha, mabija, dan dharmawacana
(Tim Penyusun, 2009:41). Implikasinya
bahwa persembahyangan dipandang memenuhi standar moral “baik”, bila mengikuti
pedoman tersebut. Oleh karena itu, tingkah laku yang ditunjukkan dalam persembahyangan
juga relatif seragam. Artinya, standar moral dalam persembahyangan yang
ditetapkan telah mendorong munculnya konsensus baru bagi kraman desa pakraman. Akibatnya, keteraturan dan ketertiban
persembahyangan hanya hadir di permukaan secara seremonial.
Kemudian, juga standar moral dalam ranah parhyangan dapat ditelusuri dalam
aktivitas seni dan budaya keagamaan. Kesenian Bali pada prinsipnya dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu seni sakral (wali), seni sakral-profan (bebali),
dan seni profan (balih-balihan). Seni
wali adalah seni yang disakralkan
karena berkaitan dengan upacara keagamaan. Seni bebali adalah seni yang sesungguhnya bukan sakral, tetapi dapat
dipentaskan dalam upacara keagamaan. Sementara itu, seni balih-balihan adalah seni profan yang berfungsi sebagai hiburan
belaka (Bandem & Dibya, 1975:4). Berdasarkan pengelompokan ini dapat
dipahami bahwa aktivitas seni dan budaya keagamaan yang berhubungan dengan parhyangan adalah kesenian wali.
Wali atau seni sakral tidaklah dimaknai sebagai
tontonan semata, tetapi mewujudkan sebuah simbol sakral yang terkandung
berbagai macam nilai di dalamnya. Nilai tersebut dapat bersifat sangat
fundamental dalam kehidupan sosial religius masyarakatnya karena dikaitkan
dengan sebuah ritual. Hal ini sejalan dengan pandangan Hadi (2006:12) bahwa
seni dalam ritual merepresentasikan keyakinan mistis pemeluknya. Demikian juga
pendapat Suamba (Triguna, ed., 2005:17) menegaskan bahwa kesenian Bali mengalir
dari konsep Siwa Nataraja, yaitu Siwa sebagai penari kosmis yang
gerakan-gerakannya mengandung nilai estetik, filsafat, dan mistik yang tinggi.
Krama desa pakraman memang mewarisi berbagai jenis seni
sakral yang dilaksanakan dalam kaitannya dengan ritual keagamaan. Walaupun
demikian, berkembangnya Bali menjadi daerah wisata dunia telah membawa
perubahan yang signifikan terhadap keberadaan seni wali. Hal ini terutama sejak diterbitkannya Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 9, Tahun 1969 yang menjelaskan bahwa terdapat empat
kebutuhan dasar wisatawan, yaitu (1) akomodasi, (2) transportasi, (3) jasa, dan
(4) atraksi. Tidak dapat dihindari bahwa pembangunan kepariwisataan juga
diarahkan untuk memenuhi kepentingan tersebut. Atraksi wisata termasuk di
dalamnya pementasan kesenian Bali menjadi salah satu prioritas penting dalam
pembangunan kepariwisatawan.
Kesenian Bali yang dipentaskan untuk memenuhi kebutuhan
wisatawan ternyata telah merambah pada seni sakral (wali). Salah satu di antaranya ditandai dengan munculnya
ruang-ruang pertunjukan wisata, seperti Stage
Barong & Kecak Dance di desa
pakraman. Tempat ini mementaskan tari Barong dan Kecak secara terjadwal
dengan sasaran penonton utamanya adalah wisatawan. Kenyataan menunjukkan bahwa
setiap pementasan tari Barong dan Kecak di tempat ini cukup ramai dikunjungi
wisatawan. Padahal tari Barong selama
ini dipandang sakral karena Barong itu sendiri diyakini sebagai perwujudan dari
Bhatara Siwa (Ratu Bagus). Pergeseran
nilai kesakralan tari Barong ini dapat dipahami berdasarkan pandangan
Soedarsono (1999:34) bahwa atraksi wisata memiliki lima ciri utama, yaitu (1)
tiruan dari aslinya, (2) singkat atau padat atau bentuk mini dari aslinya, (3)
penuh variasi, (4) ditanggalkannya nilai-nilai sakral, magis, mistis, dan
simbolis, serta (5) harganya yang murah.
Artinya, seni sakral sebagai atraksi budaya telah
mereduksi berbagai nilai yang terkandung di dalamnya, baik bentuk, fungsi,
maupun maknanya. Bentuk pementasan seperti aslinya, tetapi dengan durasi yang
lebih singkat menjadi ciri penting pementasan seni sakral di arena wisata.
Kemudian, fungsi hiburan yang lebih menonjol memungkinkan terjadinya perubahan
pakem lakon karena kreasi dan variasi yang lebih menghibur. Sementara itu,
makna sakral, magis, mistis, dan simbolis yang terkandung dalam seni sakral
memang sengaja dihilangkan atau paling tidak dipinggirkan. Pada akhirnya,
kepentingan ekonomi menjadi tujuan akhir yang diperjuangkan oleh aktor dan agen
dengan melakukan profanisasi seni sakral.
Selanjutnya, ukuran moral dalam parhyangan ditelusuri dalam peningkatan pemahaman terhadap ajaran
agama Hindu. Hal ini dapat dicermati dari keterlibatan krama desa pakraman dalam pembinaan keagamaan. Dalam hal ini,
pembinaan keagamaan yang dimaksud meliputi dharma
wacana, dharma thula, dharma yatra, dharma gita, dharma sadhana, dan dharma santi (Krisnu, 1998:9). Lebih lanjut dapat dijelaskan
pengertian dari konsep-konsep tersebut sebagai berikut.
(1)
Dharma wacana adalah ceramah umum yang membawa
sentuhan rohani dan bersifat ceramah satu arah karena tidak tersedia waktu
untuk tanya jawab.
(2)
Dharma thula adalah mempertimbangkan dharma dengan saling mengisi renungan
yang bersifat memperluas dan memperdalam penafsiran terhadap materi yang
dibahas. Bentuknya berupa diskusi dua arah.
(3)
Dharma yatra adalah perjalanan suci menuju tempat-tempat
suci, sumber mata air (tirtha yatra).
(4)
Dharma gita adalah penyuluhan dengan cara atau
melalui media seni membaca kakawin,
kidung, sloka, dan jenis dharma gita lainnya.
(5)
Dharma sadhana adalah kegiatan melatih diri, baik
secara individual maupun berkelompok untuk melaksanakan ajaran agama, baik
renungan mendalam maupun kegiatan keagamaan yang sifatnya praktik langsung.
(6)
Dharma santi adalah kegiatan saling mengunjungi,
menjalin rasa keakraban, kasih sayang, antara umat yang satu dengan yang
lainnya (Krisnu, 1998:10).
Pada dasarnya keenam metode pembinaan ini merupakan cara
untuk meningkatkan pemahaman umat Hindu terhadap ajaran agama. Rupanya, dalam
kurun waktu belakangan ini pembinaan-pembinaan tersebut cukup marak
dilaksanakan. Misalnya, dharma wacana dan
dharma thula sudah mulai biasa
dilaksanakan, seperti di banjar, desa
pakraman, sekolah-sekolah, kantor-kantor swasta dan pemerintah, bahkan
melalui media cetak dan elektronik.
Demikian juga, dharma yatra,
dharma gita, dharma sadhana, dan dharma
santi menunjukkan kegairahan yang mengesankan.
Seturut dengan itu, maraknya sekaa santi ternyata tidak disertai dengan perkembangan yang sama
dalam bidang kesusasteraan Hindu. Kesemarakan sekaa santi tampaknya lebih banyak memainkan fungsi instrumental,
yakni kelengkapan dalam pelaksanaan ritual dibandingkan dengan media apresiasi
kesusastraan. Malahan tidak jarang menjadi legitimasi moral bahwa anggota santi merupakan penganut agama yang taat
dan paham ajaran Hindu. Kemudian, juga tingginya minat krama desa pakraman untuk melaksanakan dharma yatra dan/atau tirtha
yatra sampai ke luar Bali, bahkan India dapat dipandang sebagai media
rekreasi spiritual. Hal ini sejalan dengan pandangan Nottingham (2004:31) bahwa
pada zaman modern, agama diharapkan dapat berperan penting menjadi sistem nilai
yang mendorong masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya. Dalam hal
ini, pendalaman ajaran agama yang lebih bersifat praktis tampaknya lebih
mendominasi dibandingkan dengan internalisasi yang bersifat idealisitik. Implikasinya
bahwa standar-standar moral dibangun melalui pendalaman ajaran agama sering
kali menimbulkan paradoks dalam praktiknya. Mengingat pertimbangan praktis
lebih dapat mengafirmasi ajaran agama “yang baik” secara kontekstual daripada
“yang benar” secara tekstual. Oleh karena itu, pergeseran-pergeseran nilai
moral menjadi gejala yang diterima secara massif oleh krama desa pakraman.
Selain itu, perubahan moral pada ranah parhyangan dapat ditelusuri dalam sasana kapamangkuan. Pamangku adalah
rohaniwan Hindu golongan ekajati yang
mempunyai tugas dan kewajiban untuk menyelesaikan upacara (nganteb) sampai pada tingkatan tertentu sehingga sasananya dibedakan dengan sasana kasulinggihan (dwijati). Sasana kapamangkuan berarti disiplin hidup dan aturan-aturan yang
harus dilaksanakan pamangku dalam
melaksanakan kewajibannya (Tim Penyusun, 2002:3). Selanjutnya, dijelaskan bahwa
disiplin kehidupan pamangku meliputi
pakaian dan perlengkapan, aturan kacuntakan, dan larangan atau babratan (Tim Penyusun, 2002:25--31).
Dalam Keputusan
Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu VI tahun 1980 (Tim
Penyusun, 2002:25) ditetapkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pamangku agar berpakaian serba putih,
dandanan rambut wenang agotra (bercukur),
berambut panjang, anyondong (disanggul
dengan rapi), dan menutup kepala
dengan destar putih. Kemudian,
perlengkapan yang boleh digunakan saat nganteb,
antara lain genta, dupa, sasirat dari ambengan, bunga, dan janur, pasepan,
caratan, menyan astangi, sangku, tatabuh arak berem, canting, bunga dengan dulang sebagai alasnya (Tim Penyusun,
2002:26). Ini merupakan aturan normatif yang harus diikuti pamangku dalam melaksanakan kewajibannya.
Aturan normatif ini ternyata mengalami pergeseran dalam
praktiknya. Misalnya, pakaian serba
putih yang sesungguhnya dimaksudkan untuk membedakan identitas pamangku dengan walaka lainnya, ternyata menjadi semakin tidak jelas. Hal ini
terjadi mengingat krama desa pakraman
yang bersembahyang ke pura banyak
yang menggunakan pakaian yang serba putih tidak ubahnya seperti pamangku. Pada sisi yang lain, busana pamangku dan kelengkapan upacara yang
disiapkan juga menghadirkan kejutan-kejutan moral yang tidak seluruhnya mampu
diafirmasi secara bijak. Misalnya, tidak jarang pamangku memakai aksesoris yang dapat dikatakan berlebihan, seperti
cincin dengan batu permata tertentu, kacamata hitam, handphone, dan sasari yang
dibungkus amplop.
Dalam hal ini, busana pamangku
telah menjadi mengalami estetisasi dan meterialisasi. Mengingat masuknya
industri modern menjadi bagian dari aksesoris pamangku yang tidak memiliki korelasi langsung dengan fungsi busana
pamangku dalam pelaksanaan tugas kapamangkuan. Malahan makna sesari sebagai bentuk penghargaan krama desa pakraman kepada pamangku telah dikemas dalam wadah
amplop sehingga mengaburkan nilai antara penghargaan dan upah.
4. Penutup
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa budaya
modernitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan moralitas pakraman. Perubahan moralitas pakraman ini disebabkan oleh perluasan
budaya, pertumbuhan ekonomi, dan mobilisasi sosial. Perubahan ini ditandai,
antara lain penerimaan barang-barang hasil industri, baik dalam lingkungan parhyangan, pawongan, maupun palemahan.
Dalam lingkungan palemahan, tanah
telah kehilangan pesona sakralnya karena lebih dimaknai sebagai barang
komoditas. Dalam lingkungan pawongan,
kode moralitas telah kehilangan landasan tradisi karena tingkah laku religius
lebih dimaknai dalam konteks kekinian. Kemudian, dalam lingkungan parhyangan, terjadi perubahan
pengetahuan moral agama sesuai dengan masalah yang ditimbulkan oleh zaman
kemajuan.
Daftar Kepustakaan