Galungan,
Medan Perang Ideologis
I W a y a
n S u k a r m a
Dharma itu sifat asli benda dan makhluk memenuhi dunia-kehidupan.
Dharma tetap hidup dalam tradisi dan selalu menghidupi masyarakat setiap zaman.
Hanya saja dharma sebagai ideologi dari sistem pengetahuan dan tindakan tampil
dalam beragam wajah sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia. Peringai
dharma pun, sebagaimana tampak dalam dunia-kehidupan yang tidak senantiasa
seimbang, tetapi juga bergejolak dalam konflik. Gejolak inilah yang
direfleksikan melalui Galungan sebagai medan perang ideologis. Landasan
idealnya adalah seloka Bhagawadgita (II:19),“Sesungguhnya yang memikirkan ia
sebagai pembunuh dan yang berpendapat bahwa ia dapat dibunuh keduanya adalah
dungu, karena ia tidak pernah membunuh dan dibunuh”. Dharma, sebagaimana
Brahman adalah absolut, kekal, dan tidak terbatas. Seperti ditegaskan seloka (II:20),
“Ini tidak pernah lahir, juga tidak pernah mati atau setelah ada tak akan
berhenti ada. Ia tak dilahirkan, kekal, abadi, sejak dahulu ada; dan Dia tidak
mati pada saat badan jasmani ini mati”. Begitulah
dharma tetap ada dan senantiasa ada, bahkan ketika masyarakat manusia telah tiada.
Galungan itu hari suci agama Hindu. Umat Hindu merayakannya setiap
enam sasih (210 hari) pada Budha,
Keliwon, Dungulan. Mirip dengan perayaan hari-hari suci agama lainnya, umat
Hindu merayakan Galungan sebagai Hari Kemenangan. Menang berarti dapat mengalahkan
musuh, menundukkan lawan, dan menyisihkan saingan. Kemenangan menyiratkan bahwa
menang dicapai melalui perjuangan berat, karena itu yang menang lebih unggul daripada yang kalah. Merayakan hari kemenangan berarti memperingati keunggulan dalam perjuangan di medan perang. Medan perang adalah arena, tempat
konsisten berlangsungnya peperangan ide-ide, pertempuran nilai-nilai, pertarungan
norma-norma, dan benturan aturan-aturan. Inilah dunia-kehidupan. Dunia yang dipresentasikan melalui Galungan sebagai
pergulatan ideologi dan pergumulan pemikiran. Inilah medan perang ideologis. Ini sebabnya memperingati keunggulan tidak dimaksudkan memelihara
keangkuhan dengan tujuan menyombongkan diri, namun untuk membina kerendahan hati. Dengan penuh hikmat memanjatkan
angayubagya atas anugerah, baik tuntunan sinar kemuliaan tattwa, perlidungan
cahaya kehormatan susila, maupun kekuatan
warna-warni keindahan acara.
Anugerah itulah modal dasar menjadi senjata-utama untuk meraih kemenangan.
Dengannya, selain sebagai medan perang
ideologis, juga Galungan menjadi saat
indah untuk mengenangkan dan
menyelami kembali pengalaman perjuangan.
Mengenangkan kembali berbagai peristiwa kehidupan berarti menyadari sepenuhnya perjuangan
di medan perang kehidupan. Kesadaran
ini meninggalkan kesan dan ingatan mendalam sehingga menimbulkan beragam perasaan.
Seperti kegetiran mempertahankan Hidup dan kegembiraan melanjutkan Kehidupan. Bukan
hanya mempertahankan diri sendiri, bahkan manusia bertanggung jawab atas keberlangsungan
kehidupan semua makhluk dan ketahanan lingkungan. Inilah kesadaran atas kehadiran
bersama dengan makhluk lainnya dalam lingkungan yang wajib dijaga ketahanannya,
sebagaimana saran tri hita karana. Imbauan
hidup harmonis ini melarang sewenang-wenang kepada sesama makhluk dan semena-mena
kepada alam. Sebaliknya, mengingatkan kewajiban untuk bertindak adil-berkearifan
mencintai alam dan mengasihi semua makhluk (advesthyam
sarvam bhutanam). Kasih inilah ideologi dharma yang melandasi tatanan nilai,
norma, dan aturan kehidupan.
Meraih kemenangan di medan perang kehidupan berdasarkan dharma (dharma kuruksetra) dengan mencintai alam dan mengasihi makhluk
tentu menuntut tanggung jawab moralitas dan spiritualitas. Tanggung jawab Kehidupan
dan Hidup inilah sebagai kewajiban (dharma)
yang menjadi dasar komitmen moralitas dan tujuan perjuangan (catur purusa artha) yang pada puncaknya,
berupa kesejahteraan dan kebebasan (moksartham
jagadhita ya ca ithi dharma). Pertama-tama
dharma menganjurkan mengenyahkan enam
musuh dalam diri (sad ripu) dan
mengentaskan tujuh kegelapan batin (sapta
timira). Kemudian, untuk mengontrol perjuangan tetap dalam kewajiban (ahimsa karma), rerahinan tumpek menyarankan agar menggunakan tameng-kasih dan senjata-cinta
(prema). Hanya saja dharma sebagai ideologi kebenaran,
kebaikan, dan kebahagiaan tertinggi; dasar komitmen dan tujuan moral; serta tanggung
jawab dan kebebasan tidak mudah dikenali karena diselimuti pluralitas
perwujudan (maya). Untuk membuka
selimut maya tersebut dibutuhkan tidak
hanya pengetahuan benar (widya), tetapi
juga pengetahuan lebih tinggi (parawidya),
bahkan pengetahuan puncak (brahmawidya).
Widya itulah sistem
ide dan gagasan yang melandasi konstruksi pengetahuan dan tindakan. Sistem ide dan
gagasan yang melandasi suatu pandangan dan pendapat dalam rangka mencapai tujuan
kehidupan disebut ideologi. Kemudian, hal-hal yang berkenaan dan berkaitan langsung
dengan ideologi disebut ideologis. Gagasan yang berkaitan dengan ideologi
Galungan dapat dicermati pada tahapan perayaannya, sejak Tumpek Wariga hingga
Pegat Wakan. Di dalamnya terlibat prosesi penyempurnaan dan pemuliaan, baik
makhluk dan lingkungan maupun peralatan hidup. Bukan hanya dalam keseluruhannya,
bahkan setiap tahapan perayaan mengandung ideologi
dharma yang melandasi sistem pengetahuan dan sistem tindakan keagamaan. Ideologi dharma berfungsi untuk menghindari munculnya tirani karena pengetahuan
adalah kekuatan untuk memperoleh kekuasaan. Dengannya, agama Hindu menjadi
disiplin tindakan, pengabdian, dan dedikasi sempurna (karma kanda). Kesatupaduan pengetahuan dan tindakan keagamaan (sraddha-bhakti) ini menimbulkan kesulitan membedakan agama Hindu dengan tradisi.
Apalagi membongkar dan mengungkap anamasi ideologi di balik kompleksitas
pengetahuan keagamaan dan praktiknya dalam kehidupan karena tidak mungkin
mengenal wajah tunggal dharma.
Misalnya, betapa tidak mudahnya memahami gagasan ahimsa dalam perbuatan membunuh untuk persembahan adalah
kemuliaan dharma. Persembahan paling mulia adalah mempertahankan Hidup dan
Kehidupan. Bertahan Hidup dalam Kehidupan adalah kemenangan, yakni keselamatan
jiwa dan kebahagiaan. Dengannya,
membunuh untuk kurban persembahan adalah perbuatan
dharma. Jika membandingkan tindakan
keagamaan dalam perayaan Tumpek, memuliakan
makhluk dan lingkungan, dengan perayaan Sugihan termasuk Penampahan
Galungan dan Kuningan, membunuh untuk bertahan
hidup, maka kedua jenis tindakan keagamaan itu tampak bertentangan. Pada satu sisi tampak umat Hindu mengasihi
makhluk dan mencintai alam (ahimsa karma),
sedangkan pada sisi lain bengis dan kejam (himsa
karma). Inilah paradoksal ideologi
dharma. Nilai kasih di balik perbuatan membunuh seolah-olah
bertentangan dengan nilai kasih di
balik perbuatan memuliakan. Padahal dasar keselamatan jiwa dan tujuan kebahagiaan telah memuliakan
perbuatan membunuh. Begitulah dharma sebagai sifat brahman adalah sanatana dharma. Sifat yang mustahil diraih, namun prinsip dharma sebagai kualitas asli benda dan makhluk adalah kualifikasi
yang membangun dasar dan tujuan tindakan (karma).
Perang ideologis itu dimungkinkan karena agama Hindu memiliki
sifat terbuka, menerima beraneka ragam
gagasan dan pemikiran, sebagaimana digambarkan dalam Weda Samhita. Bukan hanya pengetahuan
yang didengar (sruthi), bahkan pengetahuan yang diingat (smrthi) dalam
tradisi merupakan kebenaran yang wajib dipertahankan. Tidak kurang pentingnya
mempertahankan Upanisad yang
memberikan begitu banyak komentar tambahan atas seloka Weda Samhita, selain menambahkan kedalaman budi dan keluasan etika.
Dari sinilah muncul jalan pembebasan yang
digambarkan berliku melalui perbuatan,
pelayanan, pengertian, dan penyerahan
diri. Ide dasarnya, manusia dapat melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan
ilusi (maya) melalui empat jalan itu. Melaksanakan upacara yadnya secara teratur memang sulit dan mahal, namun
membebaskan manusia dari himpitan dunia-kehidupan sempit. Melakukan pelayanan,
perbuatan amal dengan dana-punia,
bukanlah jalan murah. Membangun pandangan luas-mendalam dengan meditasi-tafakur,
bukanlah jalan mudah. Berpuasa menyiksa badan dan tubuh dengan bertapa memisahkan
diri dari masyarakat pun bukan jalan sederhana.
Begitulah dharma
menyusup dan melingkupi manusia beserta medan perang kehidupan. Apabila dharma adalah perjuangan, tidak ada
perjuangan tanpa kurban, dan tidak ada kurban sia-sia dalam perjuangan, maka kurban
persembahan Galungan adalah perbuatan
dharma. Dalam perayaan tersebut terlibat
dharma-manusia, dharma-hewan, dan dharma-tumbuh-tumbuhan,
bahkan dharma-dewata yang kepadanya kurban dipersembahkan. Dalam masyarakat dharma menjadi landasan spiritual yang
di atasnya berdiri kokoh sistem kasta.
Setiap kasta mempunyai kewajiban memelihara
dunia-kehidupan. Dari kewajiban inilah muncul tanggung jawab brahmana, ksatrya, wesya, dan sudra, bahkan diperluas kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan. Perluasan “tanggung
jawab” kepada makhluk lain adalah pemuliaan
jiwa. Misalnya, perluasan “peran” Babi menjadi Babi Guling dan Ayam menjadi
Ayam Panggang adalah proses pemuliaan jiwa Babi dan Ayam. Bukan hanya karena
sentuhan moral dan kebudayaan, melainkan juga karena nilai kasih yang terkandung dalam persembahan. Perhatikanlah seloka
Bhagawadgita (II:18), “Raga
dari jiwa yang langgeng, tidak terhancurkan dan tidak terbatas ini, juga akan
berakhir”. Betapa mulianya jiwa-jiwa yang meninggalkan raganya menjadi
persembahan, seperti kemuliaan jiwa pahlawan yang dikonsepsikan etika sosial.
Kemuliaan jiwa pahlawan memang dicapai melalui perang pisik,
ideologi, dan kemanusiaan. Peperangan tentu berlangsung dalam suasana kekerasan,
kekejaman, dan kebengisan. Betapa sulitnya menemukan peperangan tanpa pembunuhan untuk meraih kemenangan. Dalam budaya pola duaan digambarkan untuk mempertahankan kehidupan yang satu
dengan mengakhiri kehidupan yang lain.
Mempertahkankan kehidupan manusia berarti mengakhiri kehidupan makhluk lain. Begitulah
kurban persembahan terus-menerus terjadi dalam perjuangan kehidupan dengan
mengikuti prinsip dialektis. Gagasan bertahan
dalam perubahan ini diadopsi dan diadaptasi desa pakraman sebagai tri
murti. Ideologi ini mengandaikan bahwa keberadaan benda dan makhluk berjalan
melingkar mengikuti hukum abadi dalam perubahan. Gagasan lahir-hidup-mati dari tatanan nilai desa pakraman ini
menunjukkan, desa pakraman adalah
sistem sosial dinamis. Pada suatu masa desa
pakraman membangun tananan nilai baru;
dipertahankan untuk menjaga keberlangsungannya; dan bila tidak sejalan lagi
dengan perkembangan zaman diganti dengan tatanan nilai lebih baru. Prinsip
dialektis inilah upaya penyempurnaan dan penyelamatan desa pakraman dari
kepunahan.
Mengganti
tatanan nilai sebagai tindakan penyempurnaan dan penyelamatan, bukan tindakan kejam
dan bengis melawan dharma. Menghancurkan tatanan nilai yang
ketinggalan zaman adalah upaya membangun relevansinya karena dunia-kehidupan
tidak mungkin berhenti pada masa tertentu. Hal serupa, juga terjadi pada perayaan
Sugihan termasuk Penampahan Galungan dan Kuningan. Menjaga ketertiban dan
keteraturan demi keseimbangan dunia-kehidupan dengan persembahan kurban adalah
kewajiban sosial, budaya, dan religius. Kewajiban yang tidak selalu simetris,
tetapi juga asimetris ini menunjukkan gagasan paradoks bahwa Galungan sebagai medan
perang yang tidak pernah berakhir. Di medan perang ini berhadap-hadapan beragam
ideologi seputar kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Apalagi relativitas pengetahuan
telah menyebabkan benar di sini-kini belum tentu benar di sana-nanti. Baik di sini-kini
belum tentu baik di sana-kelak. Indah di sini-kini belum tentu indah pada
setiap bangsa dan zaman. Pada kenyataannya tidak semua pengetahuan benar dengan mudah dapat diwujudkan
menjadi perbuatan baik dan dinikmati sebagai keindahan.
Dunia-kehidupan tidak serta merta menjadi wadah nyaman dan menyediakan
arena aman bagi perkembangan ide-ide kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Kapling-kapling dunia-kehidupan pun secara dialektis dibatasi sistem sosial
dan kebudayaan. Dunia-kehidupan, bukanlah
medan perang liar tanpa aturan, melainkan penuh dengan tatanan nilai dan norma. Di
sini berlangsung tawar-menawar berbagai
macam sistem gagasan yang menjadi standar sistem pengetahuan dan tindakan. Standar
inilah yang memberikan kewajiban kepada individu menghargai hak-hak individu
dan kelompok lainnya. Di atas implementasi hak dan kewajiban itulah
dunia-kehidupan berlangsung. Berbagai aturan yang terkandung dalam institusi-institusi
sosial itulah yang menjamin kesahihan sikap dan tindakan sosial serta melindungi
hak-hak individu dan kelompok. Kemenangan pun dirumuskan berdasarkan norma-norma
dan didefinisikan dengan aturan kehidupan
sehingga hanya mungkin meraihnya di medan perang kehidupan. Dengan begitu, perang kehidupan tetap menjadi mesin inovasi idologi dan kebangkitan kemanusiaan.
Melukiskan kehidupan sebagai medan perang, seperti disajikan dalam
banyak widya bahwa kehidupan tidak
sepenuhnya stabil berdasarkan kemestian
rta, tetapi juga labil dalam keharusan
dharma. Masyarakat bukanlah sistem
mekanis rta, namun juga sistem
organis dharma. Masyarakat bukanlah struktur dan kultur yang senantiasa
seimbang, tetapi juga sebagai fenomena sejarah sosial yang melibatkan konflik. Ide rwa
bhineda dalam pementasan Barong dan Rangda misalnya, mengambarkan kehidupan
berlangsung di atas segala tegangan dua substansi berlawanan, seperti roh dan
materi (sebagaimana pandangan Sankhya).
Umat Hindu mengenalnya dengan istilah “niskala” dan “sakala”, dunia yang tak
terbagi-bagi dan dunia yang terbagi-bagi. Dunia-Niskala yang absolut adalah bentuk dengan ideologi tertutup dan Dunia-Sakala yang relatif adalah wujud dengan ideologi terbuka. Begitulah dharma
tidak hanya menggambarkan kebenaran sat, seperti
ajaran ketuhanan (tattwa), ilmu
ketuhanan (brahmawidya), dan sistem filosofis
(darsana). Namun juga kebenaran asat, seperti sistem berpikir,
sistem kepercayaan, dan praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan
sosial, bahkan berhubungan dengan pembenaran dominasi dan berhubungan dengan kekuasaan
yang tidak simetris.
Perhatikanlah kekuasaan manusia terhadap
alam dan waktu serta sikapnya terhadap Hidup dan Tuhan yang dirumuskan dalam
banyak kitab suci (agama Hindu). Bhagawadgita
misalnya, melalui empat lingkaran ideologis (karma-jnana-bhakti -raja) merumuskan sistem ketuhanan (brahman), sistem hidup (atman), sistem alam (prakrti), sistem waktu (kala), dan sistem tindakan (karma). Kelima sistem ini bukanlah
kekuasaan simetris, melainkan penuh tegangan dan konflik. Klaim jnana tentang brahman misalnya, tidak pernah “akur” dengan klaim karma, bhakti, dan raja tentang brahman. Menyelesaikan tegangan ini
ditempuh jalan mengatasi manipulasi ilusi
pandangan (maya) dalam rangka
memperoleh pandangan benar. Melalui pandangan benar (sathyam) inilah tegangan empat
lingkaran ideologis di balik lima sistem
widya tersebut didamaikan (sebagaimana alur perdebatan Brahmasutra). Misalnya, ditegaskan
seloka Bhagawadgita (II:14) berikut, “Sesungguhnya
hubungannya dengan benda-benda jasmaniah, menimbulkan panas dan dingin, senang
dan duka, yang datang dan pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar”. Artinya,
suka dan duka adalah perasaan yang disebab oleh hubungan antara dua substansi berlawanan, seperti roh dan benda.
Perasaan suka dan duka itu, juga mengandaikan
bahwa hubungan dapat berlangsung
dalam suasana damai dan perang. Kedamaian
menimbulkan perasaan suka, senang, dan gembira, sedangkan peperangan
menimbulkan perasaan duka, sedih, dan derita. Jika damai dan perang muncul
silih berganti dalam lingkaran kehidupan, maka damai muncul setelah perang. Hadapilah
dengan sabar sebab peperangan adalah kebenaran dan berperang adalah kebaikan karena
dilakukan untuk mewujudkan kedamaian. Kondisi
dan tujuan kedamaian menyempurnakan
dasar dan cara tindakan sehingga membunuh
sebagai kurban persembahan adalah kebenaran dan kebaikan. Dengannya, Galungan tetap
menjadi medan perang untuk mewujudkan kedamaian
jagat sehingga sering disebut Rerahinan Jagat, Rerahinan Gumi. Artinya, mengakhiri
peperangan dengan memulai kedamaian sebagai kebenaran perasaan adalah
kemenangan. Kemenangan yang diperingati dengan keteguhan dan ketetapan hati ini
menstranformasikan upacara agama menjadi
tradisi pemujaan. Seperti disarankan seloka Bhagawadgita (II:15), “Sesungguhnya orang yang teguh pikirannya,
yang merasakan sama antara susah dan senang, orang seperti inilah yang patut
hidup kekal abadi”.
Melalui tradisi
pemujaan itulah umat Hindu menempatkan kurban dan persembahan sebagai disiplin
tindakan keagamaan (karma kanda)
sehingga melupakan hasilnya, entah suka ataupun duka. Bagi mereka yang penting adalah
melakukan kurban dan persembahan, entah mendapatkan hasil ataupun tidak, bukan
urusannya. Bukan hanya hasil, bahkan dalam Mimamsa
ditegaskan, dewa-dewa pun yang kepadanya kurban dipersembahkan tak penting
lagi. Artinya, pemusatan perhatian pada tindakan kurban persembahan sebagai
pemujaan menyebabkan pemuja melupakan hasil tindakannya, bahkan objek pujaannya.
Dalam hal ini, tidak lagi ada keterpisahan antara subjek dan objek, pemuja dan
yang dipuja “telah menyatu menjadi pemujaan”. Kemenyatuan dan kemenjadian
itulah tujuan puncak dari jnana kanda melalui kontemplasi eksklusif. Seperti dinyatakan dengan
ungkapan, “tat twam asi”,
(itu adalah engkau); “atman akyam brahman” (atman adalah brahman); dan “aham brahman asmi” (aku adalah brahman). Gagasan absolut
ini ditegaskan seloka Bhagawadgita (XII:5),
“Bagi mereka yang pikirannya dipusatkan kepada Yang Tak Berwujud, kesulitannya
lebih besar, karena sesungguhnya jalan dari Yang Tak termanifestasikan sukar
dicapai oleh orang yang mempunyai badan jasmani”.
Menyadari kesulitan
itulah barangkali menyebabkan umat
Hindu cenderung memilih karma kanda
daripada jalan lainnya. Dengan menempatkan agama sebagai disiplin tindakan sehingga
penilaian moral, seperti baik dan buruk tidak dapat dihindari. Dalam konteks
inilah Susila menemukan relevansinya
terutama dalam membentuk sikap dan menentukan tindakan di medan perang kehidupan.
Di sinilah dharma terus-menerus diinterpretasi
dan dipamahami melalui satuan gagasan, seperti sastra, bahasa, dan budaya. Upaya
merengkuh dharma terus berlangsung hingga
dipahami sebagai sifat asli benda dan makhuk, aturan melaksanakan kurban
persembahan, aturan dalam tradisi kehidupan, serta jalan memperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan. Dalam Upanisad
ditegaskan, “selain brahman adalah dharma”.
Brahman dan Dharma dijelaskan, seperti hubungan substansi dengan sifat adalah
absolut, kekal, dan tidak terbatas. Hanya saja dalam pengalaman dikenal dalam beragam
gagasan dan kategori berdasarkan intensi, inferensi, dan persepsi terbatas. Konsekuensinya
muncullah beragam wajah dan peringai dharma. Kemudian, Galungan merefleksikannya
sebagai pergulatan ideologi dan pergumulan pemikiran yang mengitarinya. Begitulah
Galungan tetap dan selalu menjadi medan perang ideologis.
(Majalah Wartam Edisi Pebruari 2016)